Tampilkan postingan dengan label Kata Saya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kata Saya. Tampilkan semua postingan

Rabu, 01 Juli 2015

Faudina




Dia suara yang selalu membisikkan nama
yang setia bergelayut dalam doa-doa

Dia gemuruh dalam dada yang luruh
Sakit yang tak ingin sembuh-sembuh

Dia adalah bayang-bayang
Yang tiba-tiba datang
Membawa setiap ihwal perjumpaan-perpisahan

Dia, cerita singkat yang tak ingin tamat

 Dia, Dia, Faudina...


Senin, 23 Desember 2013

Bulan Ketiga Di Musim Hujan



Bulan ketiga di musim hujan ada yang lebih dingin dari desir angin. Lebih deras dari air, dari keras suara rintik hujan di atas genteng. Sebab dinginnya yang pisau, derasnya  yang ganas dan rintiknya yang ritmik, rinduku terbangun dari tidur panjangnya.  Hujan yang mengirim ingatan-ingatan. Ingatan telah lama diam dan disembunyikan kini ingin pulang, ia ingin mengulang.
Seumpama kau ada
Tapi di seberang jalan manapun mata memandang memang kau tak ada. Barangkali kau benar tentang aku yang pelupa atau engkau lupa tentang keberadaanku. Jawaban yang entah tak pernah kau sampaikan juga. Engkau, barangkali lupa cara mengirim kabar, memberitahu keadaan yang biasa kau titipkan pada senja. Semenjak kepergianmu, tahukah kau? Aku senang memandang senja. Membayangkan tangannya yang membentang merah menggenggam tubuh mungilmu. Senja tak paham bahasa rindu. Ia hanya tahu cara tenggelam dalam dekapan laut biru.
Sementara kau tiada
Aku sibuk menenggelamkan diri pada kata-kata. Kata yang menyusun kalimat yang tak pernah tersampaikan. Aku menjadi cerewet memarahi waktu dan usia. Tak ada yang bisa kuajak menghitung rintik hujan, duduk di beranda dan saling membaca telapak tangan. Aku sibuk membayangkan keberadaanmu yang merindukan pelukan. Tumpuan tangan yang mempertemukan perasaan cinta dan kerinduan. Tangan-tangan yang kau pilih untuk melingkari jari keempat tangan kiri.
Bulan ketiga ketika musim hujan tiba
Kenangan berbunga, Luka lama menganga. Ingatan kembali menolak lupa. Sedang cinta ada dan tiada.
Jogjakarta, 23 Desember 2013

Kenangan



Akan kuingat engkau pada setiap kesempatan. Pada setiap ruang dan waktu yang  tak ingin mengulang. Sejarah, barangkali hanya mencatat dinginnya sebuah kepergian. Kepergian ke sebuah negeri para pejalan yang tak ingin pulang. Sementara, bertahun-tahun kutafsirkan setiap perputaran siang dan malam. Selain sunyi senyap, hanya bulan yang fasih mengihwalkan kenangan.  Pada pergantian musim yang kacau kuharap kepulanganmu. Namun, yang ada hanya suara-suara parau melandai dan hinggap di hatiku yang makin masai.
Aku ganti buku harian sebab sampulnya hanya memampangkan masa yang kecokelatan. Pada lembar pertama, fotomu masih saja kupampang. Warnanya sudah mulai buram tapi sama sekali tak membosankan. Hanya matamu yang binar itu tak lagi kutemukan. Senyum itu, senyum yang pernah menelanjangi kedustaanmu kini terlihat biru. Biru sebiru-birunya. Aku belikan sebuah buku agenda dengan sampul berbeda, ingin kupampang foto terbarumu. Tapi kini kau tak sendiri lagi. Dan kini kau mengenalkan diri sebagai si asing lagi.
Masih saja kuingat pantai itu. Pantai dengan ikan-ikan pemalu berloncatan.
-di pantai, kita bercinta-
Aku memulai percakapan dan kau menjawabku suara penuh harapan.
Kusesatkan diri dalam rimbamu. Hutan pertama yang kumasuki dan kutinggali. Di sana kutemukan bunga warna-warni. Pun pohon tanpa akar menjalar. Tanah merah serupa darah. Bekas para musafir yang tersesat dan tak tahan lalu memutuskan urat nadinya sendiri. Darah yang keluar dari hati yang terluka.
Siapa yang tega membunuh mereka?
Engkau. Katamu
Aku tercengang saat kau ceritakan peristiwa berdarah itu. Aku tak tahan mendengarnya. Kututup telinga. Kututup mulutmu dengan ciuman. Kau mendesah, entah karena kesakitan atau di bibirku kau temukan ketulusan. Kutenangkan engkau dengan ciuman di kening. Tempat para orang soleh berserah diri pada Tuhannya. Aku seperti berbisik pada Tuhan. Menyampaikan permohonan dan harapan.
Ah, masih saja kuingat itu sayang meski kepalaku penuh dengan kunang-kunang dari negeri kenangan. Kunang-kunang yang seringkali hinggap dan menceritakan hal ihwal kesunyian. Yang pernah kutemui di sungai-sungai, saat malam terlalu kekanak-kanakan.
Setelah kepergianmu aku tak kenal musim. Entah musim panas atau musim hujan.
Barangkali matahari adalah mata para dewa-dewa yang dirundung amarah.
Barangkali hujan  adalah air mata para malaikat yang membawa doa-doa.

Akan kuingat engkau dalam setiap kesempatan, sayang. Meski tubuh ini terbakar. Meski tenggelam oleh hujan. Meski….
                                                                                                            Jogjakarta, 22 Desember 2013

Kamis, 28 November 2013

Suara Ilalang




Atas nama udara subuh yang sejuk. Demi fajar yang menyingsing nasib manusia di permulaan hari. Sungguh tak ada yang lebih utama selain selayang doa yang senantiasa kupanjatkan seiring landai udara yang tulus mengabdikan diri pada suara adzan. Pada kesibukan kaum hawa menyiapkan sarapan untuk suami dan buah hatinya. Doa yang membawa harapan melambung, melintasi cakrawala sampai entah pada tingkat keberapa. Kusampaikan reresah hati, kicauan jiwa yang tak kunjung henti meneriakkan suara sunyi. Hanya pada Sang Pemilik lah kukembalikan.
Awan melayang-layang  memberitakan cuaca. Matahari mengawali ikhtisar perjumpaan hari. Atas namaMu yang Mulia, Tuan. Kuhadapkan Engkau pada bermacam pertanyaan. Tentang nasib yang tak kunjung menentu:Pendidikan yang tak kelar, Kebutuhan hidup yang kian hari kian redup, Asmara yang tak lagi membara, dan segala kegelisahan yang tak penting untuk kujelaskan. Juga tentang Indonesia: Kasus korupsi yang mengalir bagai erupsi merapi, Kasus ‘pengkhianatan’ tetangga baik, Narkoba yang merajalela, Politik yang lama-kelamaan bikin jijik, orang-orang aneh yang tiba-tiba muncul dan menyatakan dirinya panutan masyarakat. Ah, terlalu banyak yang harus kugelisahkan.
Sayup udara cukup bagiku untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan. Desaunya yang landai, pandai mendongengkan sebuah dunia yang damai. Dunia yang sepi dari kejamnya pengkhianatan, menyendiri dari jahatnya perseteruan ego manusia, dunia yang dihuni makhluk-makhluk yang menjunjung cinta. Oh, alangkah nista hamba. Rendah sungguh diriku yang merasa mulia tapi tak lebih kecil dari seekor hewan melata. Mengharap bulan di siang hari, mengharap pelangi di malam hari. Kepada Tuan segala kukembalikan, Kepada Tuan, Tuhan.(21/11/2013)

Jumat, 11 Oktober 2013

Kepada Teman


Kita dekat, begitu dekat seperti kedekatan kaki musafir dan jalanan. Mata kita saling membuka tapi enggan menatap. Telinga kita mendengar tapi enggan menyimak. Tubuh kita bersama tapi hati kita dalam dunia yang berbeda. Oh kawan, sungguh hidup terlampau bijaksana hingga kita tak mampu mencerna setiap isyarat yang dibahasakan dedaunan dan desau angin pada pepohonan.
Kita dalam satu ruang sempit dunia, tapi perasaan kita tak pernah bersama. Aku nelayan, engkau petani yang tak peduli seberapa banyak kutangkap ikan-ikan. Aku nelayan yang tak pernah tahu seberapa banyak hasil panen yang kau dapatkan. Padahal begitu sempit dunia kita dalam sebuah ruang. Hanya pada satu ruang yang padat oleh kesepian.
Kau sadar, pisau yang di ruang itu, ruang tempat di mana kita sering bertemu, terbuat dari perasaan dan sifat dengki. Kau asah, Kupapah, hingga hati kita sama-sama diliput oleh gelisah. Sadarkah kau bahwa suatu saat pisau itu akan menghunjam dada kita, menusuk-nusuk, mencabik-cabik tubuh kita sampai kita gugur oleh senjata yang kita ciptakan sendiri. 
Maka, Sebelum kita membunuh atau terbunuh, Cabiklah dadaku, Belahlah sampai darah mengalir menjelma kata, menjadi isyarat bahwa ada sebongkah hati yang menuntut kita untuk selalu bersama. Selamanya.


Selasa, 01 Oktober 2013

Subuhku


Subuhku
Subuhku,rebahkan rindu ini di atas langit.Biarkan ia terbang bersama awan, mengintip fajar, mengikuti setiap garis cahaya matahari di balik sana. Jika dengan Bismillah ia menjadi tenang, tenangkanlah! Bawalah ia dalam puncak kenikmatan yang kudus menderas lafadz-lafadz jalalah. Jika ia harus terdampar, maka tepikan ia di sebuah pulau yang tanamannya menjulang dalam dzikir ilah. Hidupkan rindu ini dalam kekhusukan daun-daun, pada kokok ayam yang tak bosan-bosannya membangunkan setiap jiwa yang kelelahan.
Oh Subuhku, telah lelah tubuh ini berjalan seharian. Mencari hikmah, menggapai puncak taubat, menyesali dosa yang tak kunjung tamat. Akulah anai yang terbang tanpa tujuan. Bergerak mengikuti angin kehidupan yang kadangkala membawaku pada rimba kesesatan. Bimbingaku, bawa aku dalam kesejukan embun, kedamaian yang diisyaratkan pepohonan, ketenangan yang tersirat pada gumpalan awan. Hidup hanyamengingatkanku akan penyesalan-penyesalan. Mataku juling karena selalu melihat ke belakang. Tanganku timpang sebab api kegelisahan yang tak kunjung padam. Aku terbakar.Aku terkapar. Rengkuh Aku sebelum pagi mengisahkan sosokku sebagai tiada.
Subuhku, apa yang hendak kau isyaratkan kepadaku, sampaikanlah! Jangan kau sembunyikan dengan bahasa yang rahasia. Sebab aku si buta yang ingin melihat cahaya, si bisu yang ingin berbicara, si tuli yang ingin mendengar, si pincang yang ingin berjalan,. Akulah rindu yang ingin dipertemukan dengan kekasihnya.(1/10/13.DS)

Social Icons