Bulan ketiga di musim hujan ada yang lebih dingin dari
desir angin. Lebih deras dari air, dari keras suara rintik hujan di atas
genteng. Sebab dinginnya yang pisau, derasnya
yang ganas dan rintiknya yang ritmik, rinduku terbangun dari tidur
panjangnya. Hujan yang mengirim
ingatan-ingatan. Ingatan telah lama diam dan disembunyikan kini ingin pulang,
ia ingin mengulang.
Seumpama kau ada
Tapi di seberang jalan manapun mata memandang memang
kau tak ada. Barangkali kau benar tentang aku yang pelupa atau engkau lupa
tentang keberadaanku. Jawaban yang entah tak pernah kau sampaikan juga. Engkau,
barangkali lupa cara mengirim kabar, memberitahu keadaan yang biasa kau
titipkan pada senja. Semenjak kepergianmu, tahukah kau? Aku senang memandang
senja. Membayangkan tangannya yang membentang merah menggenggam tubuh mungilmu.
Senja tak paham bahasa rindu. Ia hanya tahu cara tenggelam dalam dekapan laut
biru.
Sementara kau tiada
Aku sibuk menenggelamkan diri pada kata-kata. Kata
yang menyusun kalimat yang tak pernah tersampaikan. Aku menjadi cerewet
memarahi waktu dan usia. Tak ada yang bisa kuajak menghitung rintik hujan,
duduk di beranda dan saling membaca telapak tangan. Aku sibuk membayangkan
keberadaanmu yang merindukan pelukan. Tumpuan tangan yang mempertemukan
perasaan cinta dan kerinduan. Tangan-tangan yang kau pilih untuk melingkari
jari keempat tangan kiri.
Bulan ketiga ketika musim hujan tiba
Kenangan berbunga, Luka lama menganga. Ingatan kembali
menolak lupa. Sedang cinta ada dan tiada.
Jogjakarta, 23 Desember 2013
0 komentar:
Posting Komentar