Senin, 23 Desember 2013

Bulan Ketiga Di Musim Hujan



Bulan ketiga di musim hujan ada yang lebih dingin dari desir angin. Lebih deras dari air, dari keras suara rintik hujan di atas genteng. Sebab dinginnya yang pisau, derasnya  yang ganas dan rintiknya yang ritmik, rinduku terbangun dari tidur panjangnya.  Hujan yang mengirim ingatan-ingatan. Ingatan telah lama diam dan disembunyikan kini ingin pulang, ia ingin mengulang.
Seumpama kau ada
Tapi di seberang jalan manapun mata memandang memang kau tak ada. Barangkali kau benar tentang aku yang pelupa atau engkau lupa tentang keberadaanku. Jawaban yang entah tak pernah kau sampaikan juga. Engkau, barangkali lupa cara mengirim kabar, memberitahu keadaan yang biasa kau titipkan pada senja. Semenjak kepergianmu, tahukah kau? Aku senang memandang senja. Membayangkan tangannya yang membentang merah menggenggam tubuh mungilmu. Senja tak paham bahasa rindu. Ia hanya tahu cara tenggelam dalam dekapan laut biru.
Sementara kau tiada
Aku sibuk menenggelamkan diri pada kata-kata. Kata yang menyusun kalimat yang tak pernah tersampaikan. Aku menjadi cerewet memarahi waktu dan usia. Tak ada yang bisa kuajak menghitung rintik hujan, duduk di beranda dan saling membaca telapak tangan. Aku sibuk membayangkan keberadaanmu yang merindukan pelukan. Tumpuan tangan yang mempertemukan perasaan cinta dan kerinduan. Tangan-tangan yang kau pilih untuk melingkari jari keempat tangan kiri.
Bulan ketiga ketika musim hujan tiba
Kenangan berbunga, Luka lama menganga. Ingatan kembali menolak lupa. Sedang cinta ada dan tiada.
Jogjakarta, 23 Desember 2013

0 komentar:

Posting Komentar

Social Icons