Kamis, 28 November 2013

Suara Ilalang




Atas nama udara subuh yang sejuk. Demi fajar yang menyingsing nasib manusia di permulaan hari. Sungguh tak ada yang lebih utama selain selayang doa yang senantiasa kupanjatkan seiring landai udara yang tulus mengabdikan diri pada suara adzan. Pada kesibukan kaum hawa menyiapkan sarapan untuk suami dan buah hatinya. Doa yang membawa harapan melambung, melintasi cakrawala sampai entah pada tingkat keberapa. Kusampaikan reresah hati, kicauan jiwa yang tak kunjung henti meneriakkan suara sunyi. Hanya pada Sang Pemilik lah kukembalikan.
Awan melayang-layang  memberitakan cuaca. Matahari mengawali ikhtisar perjumpaan hari. Atas namaMu yang Mulia, Tuan. Kuhadapkan Engkau pada bermacam pertanyaan. Tentang nasib yang tak kunjung menentu:Pendidikan yang tak kelar, Kebutuhan hidup yang kian hari kian redup, Asmara yang tak lagi membara, dan segala kegelisahan yang tak penting untuk kujelaskan. Juga tentang Indonesia: Kasus korupsi yang mengalir bagai erupsi merapi, Kasus ‘pengkhianatan’ tetangga baik, Narkoba yang merajalela, Politik yang lama-kelamaan bikin jijik, orang-orang aneh yang tiba-tiba muncul dan menyatakan dirinya panutan masyarakat. Ah, terlalu banyak yang harus kugelisahkan.
Sayup udara cukup bagiku untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan. Desaunya yang landai, pandai mendongengkan sebuah dunia yang damai. Dunia yang sepi dari kejamnya pengkhianatan, menyendiri dari jahatnya perseteruan ego manusia, dunia yang dihuni makhluk-makhluk yang menjunjung cinta. Oh, alangkah nista hamba. Rendah sungguh diriku yang merasa mulia tapi tak lebih kecil dari seekor hewan melata. Mengharap bulan di siang hari, mengharap pelangi di malam hari. Kepada Tuan segala kukembalikan, Kepada Tuan, Tuhan.(21/11/2013)

0 komentar:

Posting Komentar

Social Icons