Atas nama udara
subuh yang sejuk. Demi fajar yang menyingsing nasib manusia di permulaan hari.
Sungguh tak ada yang lebih utama selain selayang doa yang senantiasa
kupanjatkan seiring landai udara yang tulus mengabdikan diri pada suara adzan.
Pada kesibukan kaum hawa menyiapkan sarapan untuk suami dan buah hatinya. Doa
yang membawa harapan melambung, melintasi cakrawala sampai entah pada tingkat
keberapa. Kusampaikan reresah hati, kicauan jiwa yang tak kunjung henti
meneriakkan suara sunyi. Hanya pada Sang Pemilik lah kukembalikan.
Awan
melayang-layang memberitakan cuaca. Matahari
mengawali ikhtisar perjumpaan hari. Atas namaMu yang Mulia, Tuan. Kuhadapkan
Engkau pada bermacam pertanyaan. Tentang nasib yang tak kunjung
menentu:Pendidikan yang tak kelar, Kebutuhan hidup yang kian hari kian redup,
Asmara yang tak lagi membara, dan segala kegelisahan yang tak penting untuk
kujelaskan. Juga tentang Indonesia: Kasus korupsi yang mengalir bagai erupsi
merapi, Kasus ‘pengkhianatan’ tetangga baik, Narkoba yang merajalela, Politik
yang lama-kelamaan bikin jijik, orang-orang aneh yang tiba-tiba muncul dan
menyatakan dirinya panutan masyarakat. Ah, terlalu banyak yang harus
kugelisahkan.
Sayup udara
cukup bagiku untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan. Desaunya yang landai, pandai
mendongengkan sebuah dunia yang damai. Dunia yang sepi dari kejamnya
pengkhianatan, menyendiri dari jahatnya perseteruan ego manusia, dunia yang
dihuni makhluk-makhluk yang menjunjung cinta. Oh, alangkah nista hamba. Rendah
sungguh diriku yang merasa mulia tapi tak lebih kecil dari seekor hewan melata.
Mengharap bulan di siang hari, mengharap pelangi di malam hari. Kepada Tuan
segala kukembalikan, Kepada Tuan, Tuhan.(21/11/2013)
0 komentar:
Posting Komentar