Kita
dekat, begitu dekat seperti kedekatan kaki musafir dan jalanan. Mata kita
saling membuka tapi enggan menatap. Telinga kita mendengar tapi enggan
menyimak. Tubuh kita bersama tapi hati kita dalam dunia yang berbeda. Oh kawan,
sungguh hidup terlampau bijaksana hingga kita tak mampu mencerna setiap isyarat
yang dibahasakan dedaunan dan desau angin pada pepohonan.
Kita
dalam satu ruang sempit dunia, tapi perasaan kita tak pernah bersama. Aku
nelayan, engkau petani yang tak peduli seberapa banyak kutangkap ikan-ikan. Aku
nelayan yang tak pernah tahu seberapa banyak hasil panen yang kau dapatkan.
Padahal begitu sempit dunia kita dalam sebuah ruang. Hanya pada satu ruang yang
padat oleh kesepian.
Kau
sadar, pisau yang di ruang itu, ruang tempat di mana kita sering bertemu,
terbuat dari perasaan dan sifat dengki. Kau asah, Kupapah, hingga hati kita
sama-sama diliput oleh gelisah. Sadarkah kau bahwa suatu saat pisau itu akan
menghunjam dada kita, menusuk-nusuk, mencabik-cabik tubuh kita sampai kita
gugur oleh senjata yang kita ciptakan sendiri.
Maka,
Sebelum kita membunuh atau terbunuh, Cabiklah dadaku, Belahlah sampai darah
mengalir menjelma kata, menjadi isyarat bahwa ada sebongkah hati yang menuntut
kita untuk selalu bersama. Selamanya.
0 komentar:
Posting Komentar