Akan kuingat engkau pada setiap kesempatan.
Pada setiap ruang dan waktu yang tak
ingin mengulang. Sejarah, barangkali hanya mencatat dinginnya sebuah kepergian.
Kepergian ke sebuah negeri para pejalan yang tak ingin pulang. Sementara,
bertahun-tahun kutafsirkan setiap perputaran siang dan malam. Selain sunyi
senyap, hanya bulan yang fasih mengihwalkan kenangan. Pada pergantian musim yang kacau kuharap
kepulanganmu. Namun, yang ada hanya suara-suara parau melandai dan hinggap di
hatiku yang makin masai.
Aku ganti buku harian sebab sampulnya hanya
memampangkan masa yang kecokelatan. Pada lembar pertama, fotomu masih saja
kupampang. Warnanya sudah mulai buram tapi sama sekali tak membosankan. Hanya
matamu yang binar itu tak lagi kutemukan. Senyum itu, senyum yang pernah
menelanjangi kedustaanmu kini terlihat biru. Biru sebiru-birunya. Aku belikan
sebuah buku agenda dengan sampul berbeda, ingin kupampang foto terbarumu. Tapi kini
kau tak sendiri lagi. Dan kini kau mengenalkan diri sebagai si asing lagi.
Masih saja kuingat pantai itu. Pantai
dengan ikan-ikan pemalu berloncatan.
-di pantai, kita bercinta-
Aku memulai percakapan dan kau menjawabku
suara penuh harapan.
Kusesatkan diri dalam rimbamu. Hutan pertama
yang kumasuki dan kutinggali. Di sana kutemukan bunga warna-warni. Pun pohon
tanpa akar menjalar. Tanah merah serupa darah. Bekas para musafir yang tersesat
dan tak tahan lalu memutuskan urat nadinya sendiri. Darah yang keluar dari hati
yang terluka.
Siapa yang tega membunuh mereka?
Engkau. Katamu
Aku tercengang saat kau ceritakan peristiwa
berdarah itu. Aku tak tahan mendengarnya. Kututup telinga. Kututup mulutmu
dengan ciuman. Kau mendesah, entah karena kesakitan atau di bibirku kau temukan
ketulusan. Kutenangkan engkau dengan ciuman di kening. Tempat para orang soleh
berserah diri pada Tuhannya. Aku seperti berbisik pada Tuhan. Menyampaikan
permohonan dan harapan.
Ah, masih saja kuingat itu sayang meski
kepalaku penuh dengan kunang-kunang dari negeri kenangan. Kunang-kunang yang
seringkali hinggap dan menceritakan hal ihwal kesunyian. Yang pernah kutemui di
sungai-sungai, saat malam terlalu kekanak-kanakan.
Setelah kepergianmu aku tak kenal musim.
Entah musim panas atau musim hujan.
Barangkali matahari adalah mata para
dewa-dewa yang dirundung amarah.
Barangkali hujan adalah air mata para malaikat yang membawa
doa-doa.
Akan kuingat engkau dalam setiap
kesempatan, sayang. Meski tubuh ini terbakar. Meski tenggelam oleh hujan.
Meski….
Jogjakarta,
22 Desember 2013
0 komentar:
Posting Komentar