Senin, 23 Desember 2013

Kenangan



Akan kuingat engkau pada setiap kesempatan. Pada setiap ruang dan waktu yang  tak ingin mengulang. Sejarah, barangkali hanya mencatat dinginnya sebuah kepergian. Kepergian ke sebuah negeri para pejalan yang tak ingin pulang. Sementara, bertahun-tahun kutafsirkan setiap perputaran siang dan malam. Selain sunyi senyap, hanya bulan yang fasih mengihwalkan kenangan.  Pada pergantian musim yang kacau kuharap kepulanganmu. Namun, yang ada hanya suara-suara parau melandai dan hinggap di hatiku yang makin masai.
Aku ganti buku harian sebab sampulnya hanya memampangkan masa yang kecokelatan. Pada lembar pertama, fotomu masih saja kupampang. Warnanya sudah mulai buram tapi sama sekali tak membosankan. Hanya matamu yang binar itu tak lagi kutemukan. Senyum itu, senyum yang pernah menelanjangi kedustaanmu kini terlihat biru. Biru sebiru-birunya. Aku belikan sebuah buku agenda dengan sampul berbeda, ingin kupampang foto terbarumu. Tapi kini kau tak sendiri lagi. Dan kini kau mengenalkan diri sebagai si asing lagi.
Masih saja kuingat pantai itu. Pantai dengan ikan-ikan pemalu berloncatan.
-di pantai, kita bercinta-
Aku memulai percakapan dan kau menjawabku suara penuh harapan.
Kusesatkan diri dalam rimbamu. Hutan pertama yang kumasuki dan kutinggali. Di sana kutemukan bunga warna-warni. Pun pohon tanpa akar menjalar. Tanah merah serupa darah. Bekas para musafir yang tersesat dan tak tahan lalu memutuskan urat nadinya sendiri. Darah yang keluar dari hati yang terluka.
Siapa yang tega membunuh mereka?
Engkau. Katamu
Aku tercengang saat kau ceritakan peristiwa berdarah itu. Aku tak tahan mendengarnya. Kututup telinga. Kututup mulutmu dengan ciuman. Kau mendesah, entah karena kesakitan atau di bibirku kau temukan ketulusan. Kutenangkan engkau dengan ciuman di kening. Tempat para orang soleh berserah diri pada Tuhannya. Aku seperti berbisik pada Tuhan. Menyampaikan permohonan dan harapan.
Ah, masih saja kuingat itu sayang meski kepalaku penuh dengan kunang-kunang dari negeri kenangan. Kunang-kunang yang seringkali hinggap dan menceritakan hal ihwal kesunyian. Yang pernah kutemui di sungai-sungai, saat malam terlalu kekanak-kanakan.
Setelah kepergianmu aku tak kenal musim. Entah musim panas atau musim hujan.
Barangkali matahari adalah mata para dewa-dewa yang dirundung amarah.
Barangkali hujan  adalah air mata para malaikat yang membawa doa-doa.

Akan kuingat engkau dalam setiap kesempatan, sayang. Meski tubuh ini terbakar. Meski tenggelam oleh hujan. Meski….
                                                                                                            Jogjakarta, 22 Desember 2013

0 komentar:

Posting Komentar

Social Icons