Kamis, 21 November 2013

Book Review: Umar Bin Abdul Aziz



Book Review
Umar bin Abdul Aziz:
Dafid Syamsuddin

Judul Kitab     : Al-Khalifah al-‘Adil Umar ibn abdil ‘Aziz Khamis al-Khulafa’ al-                Rasyidin
Penulis             : Muhammad Abdullah ibn Abdil Hakim
Setelah beberapa tahun kekuasaan Bani Umayah dianggap dan banyak yang menilai bahwa pada masa-masa itu merupakan masa kedzaliman para penguasa. Kebanyakan dari para penguasa pada masa itu mempunyai sifat yang mestinya tidak pantas dimiliki oleh seorang pemimpin atau yang disebut dengan khalifah. Anehnya lagi, sifat yang buruk yang dimiliki para kalifah ternyata turun temurun pada khalifah-khalifah setelahnya yang menggantikan jabatan tertinggi itu.
Mulai pada pembahasan peradaban Islam pada khalifah inilah yang nantinya banyak mengalami perubahan pada segi positif pemerintahan ataupun kesejahteraan rakyat pada masa itu. Beliau adalah khalifah yang sudah lama ditunggu kedatangannya oleh rakyat yang merasa dianiaya oleh pemimpin-pemimpinnya yang kejam dan dinilai tidak adil. Beliau adalah khalifah yang memilki sifat yang mulia dan istimewa dibanding khalifah-khalifah yang terdahulu. Iinilah khalifah yang bernama Umar bin Abdul Aziz.
Umar bin Abdul Aziz dilahirkan dikota Hulwan pada tahun 61 H, tidak jauh dari Kairo ketika itu ayahnya yang jadi Gubernur di Mesir. Silsilah keturunannya dari pihak ibunya, bersambung kepada khalifah yang ke-2, Umar bin Khattab. Dimasa kecilnya Ia tinggal bersama paman-paman ibunya di Madinah. Dalam suasana yang semerbak itulah ia mempelajari bimbingan-bimbingan dan pendapat yang sehat, dan disana pulalah Ia tumbuh dengan baiknya terhadap sifat-sifatnya yang istimewa dan terpuji itu. Tentang kehidupan ayahnya sebagai pejabat tinggi mesir yang memangku jabatannya pada tahun 65 H dapatlah kita ceritakan sedikit disini seperti di bawah ini.
Zaman pemerintahan Abdul Aziz dimesir merupakan zaman yang paling gemilang. Dimasa itu ia banyak melakukun perbaikak-perbaikan, dibuatnya alat pengukur air sungai Nildan dibangunnya sebuah jembatan diteluk amirul mukminin. Abdul Aziz adalah seorang pemimpin yang toleran dan dermawan. Ia tidak pernah menumpuk kekayaan untuk dirinya sendiri, walaupun daerah mesir itu dapat dijadikannya sumber kekayaan baginya.Ia tidak mau mengirimkan ke ibu kota kerajaan sesuatu pun dari penghasilan daerah tersebut. Menurut riwayat, Ia telah membelanjakan seluruh harta kekayaannya dan ketika ia meninggal dunia ia hanya meninggalkan kekayaan sebanyak tujuh dinar saja. Ini adalah jumlah yang kecil bila dibandingkan dengan kedudukan dan kekayaannya.
Demikianlah kehidupan dan perilaku ayahnya selagi beliau menjabat kedudukan tinggi itu dimesir, seorang pejabat yang dapat menjadi suri tauladan yang baik bagi rakyat dan anaknya sendiri selama dua puluh tahun.
Umar bin Abdul Aziz sendiri nampaknya memang benar-benar meniru sifat-sifat baik dan terpuji serta kepemimpinan dari ayahnya. Sehingga Umar bin Abdul Aziz dapat memiliki watak dan kepribadian yang istimewa.
Menjadi Khalifah
Setelah dalam kurun waktu enam tahun tampuk kepemimpinan bani umayyah silih berganti, mulai dari Walid bin Abdul Malik hingga digantikan oleh Sulaiman bin abdul Malik, Di saat Sulaiman bin abdul Malik wafat, keturunan dari beliau masih terlalu belia untuk memegang tampuk kekuasan, Ayub bin Sulaiman masih kecil dan belum layak untuk menyandang mahkota.
Di saat seperti itulah salah seorang menteri bernama Raja’ bin Haiwah bermusyawarah dengan beberapa kolega istana untuk membicarakan hal tersebut. Sebelum meninggalnya, Khalifah Sulaiman telah berpesan kepadanya untuk mencari pengganti yang layak jika ia telah tiada. Maka, pada suatu saat Umar bin Abdul Aziz hendak menemui Mentri tersebut guna menyampaikan peringatan bahwa jikasaja nanti khalifah menyebut namanya sebagai penggantinya, maka menteri tersebut disuruh menyampaikan bahwa ia tidak menyukainya, dan seandainya khalifah tidak menyebut namanya maka jangan pernah menyebut namanya di depan khalifah. Hal tersebut ternyata berlainan dengan harapan Umar sendiri, Raja’ malah mengutarakannya pada khalifah, akhirnya sepeninggal khalifah Umar bin Abdil Aziz mendapatkan surat wasiat untuk mengganti posisi kepemimpinan Sulaiman bin Abdul malik.
Pada pemakaman Sulaiman, Umar membuka surat wasiat tersebut. Alangkah terkejutnya dirinya mengetahui telah diwasiatkan untuk menjadi Khalifah. Sampai muncul pernyataan dari beliau untuk khalayak ramai. Karena merasa dibebani sebuah tugas berat tanpa meminta persetujuannya terlebih dahulu maka ia mengembalikan keputusan itu kepada tangan kuasa rakyat. Akan tetapi, orang-orang dengan ramai serentak berkata:”kami telah memilihmu wahai Amirul Mu’minin dan ka"mi pasrahkan kepemimpinan ini padamu. Maka pimpinlah kami dengan baik dan bijak.” Begitu serentaknya suara dari rakyat membuat Umar tak berdaya untuk menolaknya. Alhasil, sepulangnya dari pemakaman ia pun murung  dan bersusah hati karena merasa tidak layak untuk memimpin roda kepemerintahan tersebut.
a.                 Rasa takut yang tinggi kepada Allah Azza Wajalla.
Hal yang menjadikan Umar bin Abdul Aziz begitu fenomenal bukanlah karena banyaknya shalat dan puasa yang dikerjakan, tetapi karena rasa takut yang tinggi kepada Allah dan kerinduan akan surga-Nya. Itulah yang mendorong beliau menjadi pribadi yang berprestasi dalam segala aspek; ilmu dan amal.
Dikisahkan pada suatu hari si Umar kecil menangis tersedu dan hal itu terdengar oleh ibunya. Lantas ditanyakan apa sebabnya. Beliau pun menjawab: "Aku teringat mati". Maka sang ibu pun menangis dibuatnya.( Al-Bidayah wa an-Nihayah (12/678) dan Siyar A'lam an-Nubala' (5/116).

Pernah seorang laki-laki mengunjungi Umar bin Abdul Aziz yang sedang memegang lentera. "Berilah aku petuah!", Umar membuka perbincangan. Laki-laki itu pun berujar: "Wahai Amirul Mukminin !! Jika engkau masuk neraka, orang yang masuk surga tidaklah mungkin bisa memberimu manfaat. Sebaliknya jika engkau masuk surga, orang yang masuk neraka juga tidaklah mungkin bisa membahayakanmu". Serta merta Umar bin Abdul Aziz pun menangis tersedu sehingga lentera yang ada di genggamannya padam karena derasnya air mata yang membasahi.( Sirah wa Manaqib Umar bin Abdul Aziz hal. 164 )
Beliau paling takut kepada Allah dan hari kiamat, beliau berdo’a :” Ya Allah, jika Engkau tahu sesungguhnya aku takut sesuatu selain hari kiamat maka jangan Engkau percaya rasa takutku….ketahuilah oleh kalian bahwa tidak ada tempat antara surga dan neraka, dan sesungguhnya kalian pasti milih salah satu tempat antara keduanya.” ( Sirah wa Manaqib Umar bin Abdul Aziz hal. 232 )
b. Wara'.  
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rohimahulloh :” Waro’ adalah diantara sifat Amirul Mu’minin Umar bin Abdul Aziz , menahan diri dari sifat yang membahayakan diri, karena kalau tidak masuk di dalamnya subuhat dan .muharromat dan itu sangat membahayakan, maka barang siapa yang takut dari sifat subuhat maka akan terbebas kehormatan dan agamanya, dan barang siapa yang terjatuh pada subuhat maka dia terjerumus ke dalam hal yang diharomkannya seperti seperti pengembala yang barada di dekat daerah larangan dan hampi terjatuh ke dalamnya.”
( Majmu’ Fatawa : 10/615 )
Di antara bentuk nyata sikap Wara' yang dimiliki Umar bin Abdul Aziz adalah keengganan beliau menggunakan fasilitas negara untuk keperluan pribadi, meskipun hanya sekedar mencium bau aroma minyak wangi. Hal itu pernah ditanyakan oleh pembantunya, "Wahai khalifah! Bukankah itu hanya sekedar bau aroma saja, tidak lebih?". Beliau pun menjawab: "Bukankah minyak wangi itu diambil manfaatnya karena bau aromanya?".( Sirah wa Manaqib Umar bin Abdul Aziz, karya Ibnu al-Jauzi hal. 192)
Di antara bentuk nyata sikap Wara' yang dimiliki Umar bin Abdul Aziz adalah menjaga dengan hati-hati penggunaan fasilitas dan uang Negara serta kaum Muslimin, dan beliau menggunakan lampu pada rumah – rumah ketika ada kebutuhan kaum Muslimin, dan ketika selesai kebutuhan mereka maka beliau memadamkannya selanjutnya beliau menggunakan lampu dengan uang pribadinya.” ( Atsar al-warodah Fi Umar bin Abdul Aziz Fil Aqidah 1/164 )
Dikisahkan suatu hari Umar bin Abdul Aziz pernah mengidam-idamkan buah apel. Tiba-tiba salah seorang kerabatnya datang berkunjung seraya menghadiahi sekantong buah apel kepada beliau. Lalu ada seseorang yang berujar: "Wahai Amirul Mukminin Bukankah Nabi Shollallahu alaihi wasallam dulu pernah menerima hadiah dan tidak menerima sedekah?". Serta merta beliau pun menimpali, "Hadiah di zaman Nabi Shollallahu alaihi wasallam benar-benar murni hadiah, tapi di zaman kita sekarang ini hadiah berarti suap". ( Sirah wa Manaqib Umar bin Abdul Aziz hal. 189.)
c. Zuhud
Umar bin Abdul Aziz adalah orang yang sangat zuhud, bahkan kezuhudan yang dimilikinya tidaklah mungkin bisa dicapai oleh siapa pun setelahnya. Kezuhudan yang mencapai level tertinggi di saat 'puncak dunia' berada di genggamannya.
Sesungguhnya akherat adalah negeri yang kekal dan abadi, oleh karena itu Umar bin Abdul Aziz zuhud pada dunia dan awal zuhud beliau adalah zuhud yang diharomkan, kemudian zuhud yang mubah, dan derajat zuhud yang paling tinggi yaitu zuhud dalam kelebihan rizki karena setiap raja memiliki kekayaan yang berlimpah. Zuhudnya Umar bin Abdil Aziz adalah dibangun di atas kitab dan sunnah dan oleh karena itu beliau meninggalkan semua perkara yang tidak manfaat untuk akheratnya, beliau tidak bangga dengan khilafah yang dipimpinnya, dan tidak sedih atas kehilangan perkara-perkara dunia, beliau meninggalkan apa yang beliau mampu untuk menghasilkan kesenangan dunia yang lebih menyibukkan diri dalam urusan yang lebih baik dalam akhiratnya dan mencintai apa yang ada di sisi Allah Ta’ala.” ( Atsar al-warodah Fi Umar bin Abdul Aziz Fil Aqidah 1/146 )
Berkata Imam Ibnu Abdil Hakam Rohimahulloh :” Ketika berkuasa Umar bin Abdil Aziz maka beliau zuhud pada dunia beliau menolak apa yang ada di dalamnya, beliau meninggalkan makanan yang beraneka ragam macamnya, ketika beliau dibuatkan makanan jika beliau senang pada makanan itu beliau sembunyikannya sampai ada orang yang masuk mengambil dan memakan makanan itu.” ( Siroh Umar bin Abdul Aziz Libni al-Hakam Hal. 43 )
Berkata Imam Ibnu Abdil Hakam Rohimahulloh :” Beliau berinfaq atas keluarganya pagi dan sore tiap hari sebesar 2 Dirham.” ( Siroh Umar bin Abdul Aziz Libni al-Hakam Hal. 43 )
Imam Malik bin Dinar Rohimahulloh berkata: "Orang-orang berkomentar mengenaiku, "Malik bin Dinar adalah orang zuhud." Padahal yang pantas dikatakan orang zuhud hanyalah Umar bin Abdul Aziz. dunia mendatanginya namun ditinggalkannya".( Al-Bidayah wan-Nihayah (12/699) dan Siyar A'lam an-Nubala' (5/134).  
Beliau tidaklah berpakaian melainkan pakaian yang kasar dan jelek, dan meninggalkan berlebih – lebihan yang sebelum beliau berkuasa beliau memerintahkan orang untuk menjual pakaian kebesarannya lalu uangnya diberikan untuk baitul mal kaum Muslimin.” ( Atsar al-warodah Fi Umar bin Abdul Aziz Fil Aqidah 1/155 )  
Pernahkan terbetik di benak kita seorang kepala negara ketika berkeinginan menunaikan ibadah haji, ia tidak bisa berangkat hanya karena uang perbekalannya tidak cukup? Pernahkah terlintas di bayangan kita seorang bangsawan yang hanya memiliki satu buah baju, itu pun berkain kasar? Beliau Umar bin Abdul Aziz pernah mengalaminya! ( al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 70.
d. Tawadhu'
Keluhuran budi pekerti yang dimiliki Umar bin Abdul Aziz sangatlah tinggi. Hal itu tercermin dari sekian banyaknya karakteristik yang menonjol pada diri beliau. Di antaranya adalah sikap Tawadhu'nya.
Berkata Imam az-Zuhaili Rohimahulloh :” Sifat tawadhu’ adalah sifat terpuji salah satu dari sifat politiknya yang membedakan beliau dengan kholifah lainnya, dan telah mencapai zuhudnya Umar bin Abdul Aziz pada sifat tawadhu’nya, karena syarat zuhud yang benar adalah tawadhu’ kepada Allah Ta’ala.” ( Umar bin Abdul Aziz Li Zuhaili. Hal. 105 )
Berkata Imam Ibnu Abdil Hakam Rohimahulloh :” Diantara sifat tawadhu’nya adalah melarang manusia untuk berdiri untuk menyambutnya, beliau berkata :” Wahai manusia “ jika kalian berdiri maka kami akan berdiri dan jika kalian duduk maka kami akan duduk, sesungguhnya manusia hanya berdiri dan berjalan di hadapan Allah Ta’ala saja, dan beliau berkata kepada pasukan :” Janganlah kalian memulai kepadaku dengan salam, sessungguhnya memulai salam adalah kalim pada kalian.” ( Siroh Umar bin Abdul Aziz Libni al-Hakam Hal. 34-35 )

Suatu hari ada seorang laki-laki memanggil beliau, "Wahai khalifah Allah di bumi!" Maka beliau pun berkata kepadanya: "Ketika aku dilahirkan keluargaku memberiku nama Umar. Lalu ketika aku beranjak dewasa aku sering dipanggil dengan sebutan Abu Hafs. Kemudian ketika aku diangkat menjadi kepala negara aku diberi gelar Amirul Mukminin. Seandainya engkau memanggilku dengan nama, sebutan atau gelar tersebut aku pasti menjawabnya. Adapun sebutan yang barusan engkau berikan, aku tidaklah pantas menyandangnya. Sebutan itu hanya pantas diberikan kepada Nabi Daud Alaihis Salam dan orang yang semisalnya", seraya membacakan firman Allah Ta’ala :
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ
Artinya: "Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi". (QS. Shad: 26).
( Sirah Umar bin Abdul Aziz, karya Ibnu Abdul Hakam hal. 46. Dinukil dari al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 71)
Namun, ada yang lebih mengagumkan lagi! Kisah yang mencerminkan sikap Tawadhu' yang dimilikinya; Kisah Umar bin Abdul Aziz dengan seorang pembantunya. Pernah suatu saat Umar bin Abdul Aziz meminta seorang pembantunya untuk mengipasinya. Maka dengan penuh cekatan sang pembantu segera mengambil kipas, lalu menggerak-gerakkannya. Semenit, dua menit waktu berlalu, hingga akhirnya Umar bin Abdul Aziz pun tertidur. Namun, tanpa disadari ternyata si pembantu juga ikut ketiduran. Waktu terus berlalu, tiba-tiba Umar bin Abdul Aziz terbangun. Ia mendapati pembantunya tengah tertidur pulas dengan wajah memerah dan peluh keringat membasahi badan disebabkan panasnya cuaca. Serta merta Umar bin Abdul Aziz pun mengambil kipas, lalu membolak-balikkannya mengipasi si pembantu. Dan sang pembantu itu pun akhirnya terbangun juga, begitu membuka mata ia mendapati sang majikan tengah mengipasinya tanpa rasa sungkan dan canggung. Maka dengan gerak reflek yang dimilikinya ia menaruh tangan di kepala seraya berseru karena malu. Lalu Umar bin Abdul Aziz pun berkata menenangkannya: "Engkau ini manusia sepertiku! Engkau merasakan panas sebagaimana aku juga merasakannya. Aku hanya ingin membuatmu nyaman -dengan kipas ini- sebagaimana engkau membuatku nyaman".( Akhbar Abi Hafs, karya al-Ajurri hal. 82. ( al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal.72.)
e. Adil.
Berkata Umar bin al-Khotthob Rodhiallahuanhuma :” Sesungguhnya dari anakku nanti dengan kedudukannya akan memenuhi bumi dengan keadilan ( al-Ma’rif, Ibnu Qutaibah Hal. 362 )
Umar bin Khattab pernah berkata: "Kelak salah satu keturunanku akan ada yang memenuhi bumi ini dengan keadilan; seorang laki-laki yang di wajahnya ada bekas luka". ( Siyar A’lam an-Nubala (5/116)
Di antara sekian karakteristik yang dimiliki Umar bin Abdul Aziz, adil adalah sikap yang paling menonjol. Sikap itulah yang menjadikan nama beliau begitu familiar di telinga generasi setelahnya hingga hari ini. Keadilannya selalu digaungkan oleh para pencari keadilan, entah karena betul-betul ingin menapaktilasi jejaknya ataukah hanya sekedar kamuflase belaka. Yang terpenting adalah nama besarnya telah mendapat tempat di hati para penerus perjuangannya. Dan nama itu terukir indah dengan tinta emas di deretan para pemimpin yang adil, para
pemimpin yang terbimbimg oleh kesucian wahyu; Al Qur'an dan Sunnah, para pemimpin yang dijuluki al-Khulafa' ar-Rasyidun. Dan sejarah Islamlah pengukirnya.
Imam Al-Ajurri Rohimahulloh menceritakan sikap adil yang dimilikinya, beliau berujar: "Seorang laki-laki Dzimmi ( Non muslim, yahudi atau nasrani) yang tinggal di negara Islam (muslim) dan terikat perjanjian damai dengan pihak setempat dengan syarat membayar Jizyah (pajak jaminan keamanan) serta tunduk pada hukum Islam. ( al-Mausu'ah al-Fiqhiyah (2/2487).  
Penduduk Himsh ( Mu'jam al-Buldan, Yaqut al-Hamawi (2/116). pernah mendatangi Umar bin Abdul Aziz seraya mengadu: "Hai Amirul Mukminin! Aku ingin diberi keputusan dengan hukum Allah". "Apa yang engkau maksud?", sergah Umar bin Abdul Aziz. "Abbas bin Walid bin Abdul Malik telah merampas tanahku", lanjutnya -saat itu Abbas sedang duduk di samping Umar bin Abdul Aziz-. Maka Umar bin Abdul Aziz pun menanyakan hal itu kepada Abbas, "Apa komentarmu?". "Aku terpaksa melakukan itu karena mendapat perintah langsung dari ayahku; Walid bin Abdul Malik", sahut Abbas membela diri. Lalu Umar pun balik bertanya kepada si Dzimmi, "Apa komentarmu?". "Wahai Amirul Mukminin! Aku ingin diberi keputusan dengan hukum Allah", ulang si Dzimmi. Serta merta Umar bin Abdul Aziz pun berkata: “Hukum Allah lebih berhak untuk ditegakkan dari pada hukum Walid bin Abdul Malik”, seraya memerintahkan Abbas untuk mengembalikan tanah yang telah dirampasnya.( Akhbar Abi Hafs hal. 58. Lihat: : al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 78. )
f. Sabar
Dari Hafshoh bin Umar berkata :” Ketika wafat Abdul malik bin Umar bin Abdil Aziz Abinya memujinya di sisi kuburannya, berkata Muslimah :” Bukankah engkau tetap orang yang berkuasa ? beliau berkata :” Tidak, Muslimah berkata :” Bukankah engkau memuji dengan suatu pujian  padanya? Beliau berkata :” Sesungguhnya aku takut jika aku diuji oleh Allah dengan rasa cinta yang berlebihan seorang bapak terhadap anaknya.” ( al-Kitabul Jami’ Lisiroh Umar bin Abdil Aziz 2/427 )
Beliau berkhutbah :” Tidaklah seseorang yang ditimpah suatu musibah kemudian dia berkata :” Inna lillahi Wainna ilaihi Roji’un” kecuali dia akan diberikan pahala yang lebih baik oleh Allah dari pada yang telah diambilNya, beliau berkata :” Orang yang ridho itu sedikit dan sabar itu pijakan orang yang beriman” beliau berkata :” Barang siap yang beramal tanpa ilmu kerusakan yang ditimbulkan lebih besar daripada perbaikannya. Barang siap yang tidak memperhitungkan ucapan dan amal perbuatannya maka akan banyak kesalahannya, orang ridho itu sedikit, pertempuran orang mu’min adalah sabar.” ( al-Kitabul Jami’ Lisiroh Umar bin Abdil Aziz 2/428 )
Kesabaran yang paling besar yang diujikan pada Umar bin abdil Aziz pada masa hidupnya adalah kesabaran yang terjadi dalam urusan khilafah, beliau berkata :” demi Allah, tidaklah aku duduk di tempatku ini kecuali aku takut bahwa kedudukanku bukan pada tempatnya, walaupun aku ta’at pada semua yang aku kerjakan untuk menyelamatkannya dan memberikan pada haknya yaitu al-khilafah. Akan tetapi aku bersabar sampai Allah memutuskan perkaranya pada khilafah, atau mendatangkan kemenangannya padanya.” ( an-Namudzi al-Idari al-Mustakhlishu Min Irodati Umar bin abdil Aziz . Hal. 144 )
g. Manhaj
Berkata Imam Ibnu Abdil Hakam Rohimahulloh :” Ketika beliau berkuasa beliau menulis surat , Beliau berkata :” Adapun sesudah itu : Aku wasiatkan kepada kalian semua untuk bertaqwa kepada Allah Ta’ala menetapi kitabulloh dan mengikuti sunnah NabiNya Shollallahu alaihi wasallam dan petunjukNya, dan tidaklah bagi seseorang dalam kitabulloh dan sunnah NabiNya dalam suatu perkara dan tidaklah suatu pendapat melainkan bersungguh-sungguh dalam mengikutinya, maka demi Dzat yang jiwaku dan sisa hidupku dalam mengurusi umat Muhammad shollallahu alaihi wasllam ..ikutilah kitaballah dan sunnah Rosululloh Shollalohu alaihi wasallam serta jauhi hawa nafsu , kesesatan yang jauh, maka barang siapa yang beramal yang tidak dari al-Qur’an dan As-Sunnah maka tidak ada kemulyaan dan derajat di dunia dan di akherat …sesungghnya manusia yang paling hina menurutku adalah orang yang hidupnya menyelisihi sunnah.” ( Siroh Umar bin Abdul Aziz Libni al-Hakam Hal. 65-67, al-Kitabul Jami’ Lisiroh Umar bin Abdil Aziz 1/284-287

Berkata Imam Maimun bin Mahron Rohimahulloh :”Aku berada di sisi Umar bin Abdil Aziz beliau banyak menangis dan meminta kepada RobbNya kematian, maka aku berkata :” mengapa engkau minta mati padahal Allah telah menjadikan engkau kebaikan yang banyak, engkau menghidupkan sunnah dan mematikan bid’ah ? beliau berkata :” Tidakkah aku ingin menjadi hambaNya yang sholih ketika Allah mengikohkan penglihatannya dan melaksanakan semua perintahNya, Allah Ta’ala berfirman :” Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta'bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” QS.Yusuf :101 ) sungguh beliau meminta do’a mati membawa iman, dan berdo’a untuk mengikuti orang-orang yang sholih.” ( al-Aqdul farid 4/396, al-Atsar al-warodah 1/224 )
Berkata Imam Hajib bin Kholifah al-Barjami Rohimahulloh :” Aku menyaksikan Umar bin Abdil Aziz berkhutbah pada manusia setelah beliau menjadi Kholifah, beliau berkhutbah :” Apa yang dicontohkan Nabi Shollalohu alaihi wasallam dan para shohabatnya adalah agama yang kami mengambilnya dan kami berhenti jika keduanya tidak melakukan, dan apa yang selain dari keduanya maka kami buang.” ( Jami’ul ulum Wal Hikam Hal. 288, al-Hilyah 5/298 )
Berkata Imam Umar bin Abdil Aziz Rodhiallahuanhu :” Telah mencontohkan Rosululloh Shollalohu alaihi wasallam dan kholifah sesudahnya suatu tauladan yang wajib diikuti, berpegang teguh dengan kitabillah adalah kekuatan agama yang tidak boleh bagi seorangpun yang merubah dan menggantinya, dan tidak boleh berfikir dalam suatu perkara yang akan menyelisihinya, barang siap yang diberi hidayah maka dia mendapat petunjuk, barang siapa yang menolong sunnahnya maka dia ditolong, barang siapa yang meninggalkannya dan mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman maka Allah akan palingkan jalannya dan akan menempatkannya di neraka jahannam sebagai sejelek-jelek tempat kembali.” ( Siroh Umar bin Abdul Aziz Libni al-Hakam Hal. 40 )

Umar bin "Abdul Aziz Rodhiallahuanhuma pernah berwasiat kepada sebagian pegawainya, "Aku berwasiat kepadamu agar senantiasa bertaqwa kepada allah dan berlaku sederhana dalam menjalankan perintah-Nya,mengikuti Sunnah (tuntunan)Rasulullah meninggalkan perkara-perkara baru dalam agama yang diada-adakan oleh orang-orang setelahnya, dan berhentilah pada batas-batas ajarannya. Dan ketahuilah, bahwa seseorang tidaklah berbuat bid'ah melainkan telah ada sebelumnya hal yang menunjukan kebid'ahannya dan pelajaran buruk yang ditimbulkannya. Karena itu, kamu wajib berpegang kepada As-sunnah, sebab ia tameng dan pelindung (dari berbagai kesesatan dan kebinasaan-Pen) bagi dirimu dengan izin Allah. Dan ketahuilah, barang siapa yang berjalan diatas sunnah, maka ia telah mengetahui bahwa tindakan menyelisinya adalah termasuk kesalahan, kekeliruan, sikap berlebih-lebihan dalam kedunguan. Maka generasi terdahulu dari umat ini (As-salafus sholih) dan telah berhenti dan menahan diri mereka dengan ilmu yang mapan (dari bid'ah-bid'ah) padahal mereka adalah orang yang sangat sanggup membalas suatu masalah agama, akan tetapi mereka tidak membahasnya." [ Shahih sunan Abi Dawud No. 4612 dan lihat takrij kitab Asy-Syariah, Atsar No. 292]
Dedikasinya pada Kajian Hadis
Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dikenal jujur dan mempunyai minat pada ilmu pengetahuan mengambil langkah dan kebijaksanaan terhadap hadis yang belum pernah dilakukan sebelumnya oleh semua khalifah pendahulunya. Khalifah ini menangkap kenyataan bahawa para penghafal hadis semakin berkurang jumlahnya kerana meninggal. Tumbuh rasa khawatir dalam diri Khalifah, apabila hadis tidak segera dikumpulkan dan dibukukan, maka beransur-ansur akan hilang. Rasa khawatir itulah yang menyebabkan Kh­lifah memerintahkan gabenor Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm (w. 117 H), supaya membukukan hadis Nabi shallallahu alaihi wasallam yang terdapat pada penghafal wanita terkenal dan seorang ahli fikih murid Aisyah RA, Amrah binti Abdurrahman bin Sa’ad bin Zurarah bin Ades, serta hadis-hadis yang ada pada Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq, seorang pemuka tabiin dan salah seorang dari tujuh fukaha (ahli fikih) Madinah.

Umar bin Abdul Aziz juga mengirim surat kepada semua gubernur dalam wilayah kekuasaannya untuk mengambil langkah serupa pada penghafal dan ulama hadis di tempat mereka masing-masing. Kebijaksanaan Khalifah Umar bin Abdul Aziz ini oleh sejarah dicatat sebagai kodifikasi hadis yang pertama secara resmi. Pengertian “resmi” di sini ialah kebijaksanaan itu dilaksanakan atas perintah penguasa yang sah dan disebarluaskan ke seluruh jajaran kekuasaannya. Abu Bakar Muhammad bin Syihab az-Zuhri (w. 124 H) tercatat sebagai ulama besar pertama yang membukukan hadis-hadis.      Selanjutnya, kodifikasi hadis dilakukan oleh para ulama atas anjuran dan dukungan para khalifah, seperti Khalifah Abu Abbas as-Saffah dan khalifah-khalifah keturunannya dari Dinasti Abbasiyah.
Kitab yang menceritakan tentang perjalanan ini menarik untuk dikaji karena keberadaannya yang langka dengan usia penulisan yang cukup lama. Tentu ini akan memberikan stimulan baru dalam kajian perkembangan hadis. Hal ini memungkinkan untuk para akademisi untuk kembali mengkaji kitab-kitab klasik yang dihasilkan dari karya para ulama’ terdahulu.

0 komentar:

Posting Komentar

Social Icons