Book Review
Umar bin Abdul Aziz:
Dafid Syamsuddin
Judul Kitab : Al-Khalifah
al-‘Adil Umar ibn abdil ‘Aziz Khamis al-Khulafa’ al- Rasyidin
Penulis : Muhammad Abdullah ibn Abdil Hakim
Setelah
beberapa tahun kekuasaan Bani Umayah dianggap dan banyak yang menilai bahwa
pada masa-masa itu merupakan masa kedzaliman para penguasa. Kebanyakan
dari para penguasa pada masa itu mempunyai sifat yang mestinya tidak pantas
dimiliki oleh seorang pemimpin atau yang disebut dengan khalifah.
Anehnya lagi, sifat yang buruk yang dimiliki para kalifah ternyata turun
temurun pada khalifah-khalifah setelahnya yang menggantikan
jabatan tertinggi itu.
Mulai pada
pembahasan peradaban Islam pada khalifah inilah yang nantinya banyak
mengalami perubahan pada segi positif pemerintahan ataupun kesejahteraan rakyat
pada masa itu. Beliau adalah khalifah yang sudah lama ditunggu
kedatangannya oleh rakyat yang merasa dianiaya oleh pemimpin-pemimpinnya yang
kejam dan dinilai tidak adil. Beliau adalah khalifah yang memilki sifat
yang mulia dan istimewa dibanding khalifah-khalifah yang
terdahulu. Iinilah khalifah yang bernama Umar bin Abdul Aziz.
Umar bin Abdul Aziz dilahirkan dikota Hulwan
pada tahun 61 H, tidak jauh dari Kairo ketika itu ayahnya yang jadi Gubernur di
Mesir. Silsilah keturunannya dari pihak ibunya, bersambung kepada khalifah yang
ke-2, Umar bin Khattab. Dimasa kecilnya Ia tinggal bersama paman-paman ibunya
di Madinah. Dalam suasana yang semerbak itulah ia mempelajari
bimbingan-bimbingan dan pendapat yang sehat, dan disana pulalah Ia tumbuh
dengan baiknya terhadap sifat-sifatnya yang istimewa dan terpuji itu. Tentang kehidupan ayahnya sebagai pejabat
tinggi mesir yang memangku jabatannya pada tahun 65 H dapatlah kita ceritakan sedikit disini seperti
di bawah ini.
Zaman pemerintahan Abdul Aziz dimesir merupakan
zaman yang paling gemilang. Dimasa itu ia banyak melakukun perbaikak-perbaikan,
dibuatnya alat pengukur air sungai Nildan dibangunnya sebuah jembatan diteluk
amirul mukminin. Abdul Aziz adalah seorang pemimpin yang toleran dan dermawan.
Ia tidak pernah menumpuk kekayaan untuk dirinya sendiri, walaupun daerah mesir
itu dapat dijadikannya sumber kekayaan baginya.Ia tidak mau mengirimkan ke ibu
kota kerajaan sesuatu pun dari penghasilan daerah tersebut. Menurut riwayat, Ia
telah membelanjakan seluruh harta kekayaannya dan ketika ia meninggal dunia ia
hanya meninggalkan kekayaan sebanyak tujuh dinar saja. Ini adalah jumlah yang
kecil bila dibandingkan dengan kedudukan dan kekayaannya.
Demikianlah kehidupan dan perilaku ayahnya
selagi beliau menjabat kedudukan tinggi itu dimesir, seorang pejabat yang dapat
menjadi suri tauladan yang baik bagi rakyat dan anaknya sendiri selama dua
puluh tahun.
Umar bin Abdul Aziz sendiri nampaknya memang
benar-benar meniru sifat-sifat baik dan terpuji serta kepemimpinan dari
ayahnya. Sehingga Umar bin Abdul Aziz dapat memiliki watak dan kepribadian yang
istimewa.
Menjadi Khalifah
Setelah dalam kurun
waktu enam tahun tampuk kepemimpinan bani umayyah silih berganti, mulai dari
Walid bin Abdul Malik hingga digantikan oleh Sulaiman bin abdul Malik, Di saat
Sulaiman bin abdul Malik wafat, keturunan dari beliau masih terlalu belia untuk
memegang tampuk kekuasan, Ayub bin Sulaiman masih kecil dan belum layak untuk
menyandang mahkota.
Di saat seperti itulah
salah seorang menteri bernama Raja’ bin Haiwah bermusyawarah dengan beberapa
kolega istana untuk membicarakan hal tersebut. Sebelum meninggalnya, Khalifah
Sulaiman telah berpesan kepadanya untuk mencari pengganti yang layak jika ia
telah tiada. Maka, pada suatu saat Umar bin Abdul Aziz hendak menemui Mentri
tersebut guna menyampaikan peringatan bahwa jikasaja nanti khalifah menyebut
namanya sebagai penggantinya, maka menteri tersebut disuruh menyampaikan bahwa
ia tidak menyukainya, dan seandainya khalifah tidak menyebut namanya maka
jangan pernah menyebut namanya di depan khalifah. Hal tersebut ternyata
berlainan dengan harapan Umar sendiri, Raja’ malah mengutarakannya pada khalifah,
akhirnya sepeninggal khalifah Umar bin Abdil Aziz mendapatkan surat wasiat
untuk mengganti posisi kepemimpinan Sulaiman bin Abdul malik.
Pada pemakaman
Sulaiman, Umar membuka surat wasiat tersebut. Alangkah terkejutnya dirinya
mengetahui telah diwasiatkan untuk menjadi Khalifah. Sampai muncul pernyataan
dari beliau untuk khalayak ramai. Karena merasa dibebani sebuah tugas berat
tanpa meminta persetujuannya terlebih dahulu maka ia mengembalikan keputusan
itu kepada tangan kuasa rakyat. Akan tetapi, orang-orang dengan ramai serentak
berkata:”kami telah memilihmu wahai Amirul Mu’minin dan ka"mi pasrahkan
kepemimpinan ini padamu. Maka pimpinlah kami dengan baik dan bijak.” Begitu
serentaknya suara dari rakyat membuat Umar tak berdaya untuk menolaknya.
Alhasil, sepulangnya dari pemakaman ia pun murung dan bersusah hati karena merasa tidak layak
untuk memimpin roda kepemerintahan tersebut.
a.
Rasa
takut yang tinggi kepada Allah Azza Wajalla.
Hal
yang menjadikan Umar bin Abdul Aziz begitu fenomenal bukanlah karena banyaknya
shalat dan puasa yang dikerjakan, tetapi karena rasa takut yang tinggi kepada
Allah dan kerinduan akan surga-Nya. Itulah yang mendorong beliau menjadi
pribadi yang berprestasi dalam segala aspek; ilmu dan amal.
Dikisahkan
pada suatu hari si Umar kecil menangis tersedu dan hal itu terdengar oleh
ibunya. Lantas ditanyakan apa sebabnya. Beliau pun menjawab: "Aku teringat
mati". Maka sang ibu pun menangis dibuatnya.( Al-Bidayah wa an-Nihayah
(12/678) dan Siyar A'lam an-Nubala' (5/116).
Pernah seorang laki-laki mengunjungi Umar bin Abdul Aziz yang sedang memegang lentera. "Berilah aku petuah!", Umar membuka perbincangan. Laki-laki itu pun berujar: "Wahai Amirul Mukminin !! Jika engkau masuk neraka, orang yang masuk surga tidaklah mungkin bisa memberimu manfaat. Sebaliknya jika engkau masuk surga, orang yang masuk neraka juga tidaklah mungkin bisa membahayakanmu". Serta merta Umar bin Abdul Aziz pun menangis tersedu sehingga lentera yang ada di genggamannya padam karena derasnya air mata yang membasahi.( Sirah wa Manaqib Umar bin Abdul Aziz hal. 164 )
Beliau
paling takut kepada Allah dan hari kiamat, beliau berdo’a :” Ya Allah, jika
Engkau tahu sesungguhnya aku takut sesuatu selain hari kiamat maka jangan
Engkau percaya rasa takutku….ketahuilah oleh kalian bahwa tidak ada tempat
antara surga dan neraka, dan sesungguhnya kalian pasti milih salah satu tempat
antara keduanya.” ( Sirah wa Manaqib Umar bin Abdul Aziz hal. 232 )
b.
Wara'.
Berkata
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rohimahulloh :” Waro’ adalah diantara sifat
Amirul Mu’minin Umar bin Abdul Aziz , menahan diri dari sifat yang membahayakan
diri, karena kalau tidak masuk di dalamnya subuhat dan .muharromat dan itu
sangat membahayakan, maka barang siapa yang takut dari sifat subuhat maka akan
terbebas kehormatan dan agamanya, dan barang siapa yang terjatuh pada subuhat
maka dia terjerumus ke dalam hal yang diharomkannya seperti seperti pengembala
yang barada di dekat daerah larangan dan hampi terjatuh ke dalamnya.”
(
Majmu’ Fatawa : 10/615 )
Di
antara bentuk nyata sikap Wara' yang dimiliki Umar bin Abdul Aziz adalah
keengganan beliau menggunakan fasilitas negara untuk keperluan pribadi,
meskipun hanya sekedar mencium bau aroma minyak wangi. Hal itu pernah
ditanyakan oleh pembantunya, "Wahai khalifah! Bukankah itu hanya sekedar
bau aroma saja, tidak lebih?". Beliau pun menjawab: "Bukankah minyak
wangi itu diambil manfaatnya karena bau aromanya?".( Sirah wa Manaqib Umar
bin Abdul Aziz, karya Ibnu al-Jauzi hal. 192)
Di
antara bentuk nyata sikap Wara' yang dimiliki Umar bin Abdul Aziz adalah
menjaga dengan hati-hati penggunaan fasilitas dan uang Negara serta kaum
Muslimin, dan beliau menggunakan lampu pada rumah – rumah ketika ada kebutuhan
kaum Muslimin, dan ketika selesai kebutuhan mereka maka beliau memadamkannya
selanjutnya beliau menggunakan lampu dengan uang pribadinya.” ( Atsar
al-warodah Fi Umar bin Abdul Aziz Fil Aqidah 1/164 )
Dikisahkan
suatu hari Umar bin Abdul Aziz pernah mengidam-idamkan buah apel. Tiba-tiba
salah seorang kerabatnya datang berkunjung seraya menghadiahi sekantong buah
apel kepada beliau. Lalu ada seseorang yang berujar: "Wahai Amirul
Mukminin Bukankah Nabi Shollallahu alaihi wasallam dulu pernah menerima hadiah
dan tidak menerima sedekah?". Serta merta beliau pun menimpali,
"Hadiah di zaman Nabi Shollallahu alaihi wasallam benar-benar murni
hadiah, tapi di zaman kita sekarang ini hadiah berarti suap". ( Sirah wa
Manaqib Umar bin Abdul Aziz hal. 189.)
c.
Zuhud
Umar
bin Abdul Aziz adalah orang yang sangat zuhud, bahkan kezuhudan yang
dimilikinya tidaklah mungkin bisa dicapai oleh siapa pun setelahnya. Kezuhudan
yang mencapai level tertinggi di saat 'puncak dunia' berada di genggamannya.
Sesungguhnya akherat adalah negeri yang kekal dan abadi, oleh karena itu Umar bin Abdul Aziz zuhud pada dunia dan awal zuhud beliau adalah zuhud yang diharomkan, kemudian zuhud yang mubah, dan derajat zuhud yang paling tinggi yaitu zuhud dalam kelebihan rizki karena setiap raja memiliki kekayaan yang berlimpah. Zuhudnya Umar bin Abdil Aziz adalah dibangun di atas kitab dan sunnah dan oleh karena itu beliau meninggalkan semua perkara yang tidak manfaat untuk akheratnya, beliau tidak bangga dengan khilafah yang dipimpinnya, dan tidak sedih atas kehilangan perkara-perkara dunia, beliau meninggalkan apa yang beliau mampu untuk menghasilkan kesenangan dunia yang lebih menyibukkan diri dalam urusan yang lebih baik dalam akhiratnya dan mencintai apa yang ada di sisi Allah Ta’ala.” ( Atsar al-warodah Fi Umar bin Abdul Aziz Fil Aqidah 1/146 )
Sesungguhnya akherat adalah negeri yang kekal dan abadi, oleh karena itu Umar bin Abdul Aziz zuhud pada dunia dan awal zuhud beliau adalah zuhud yang diharomkan, kemudian zuhud yang mubah, dan derajat zuhud yang paling tinggi yaitu zuhud dalam kelebihan rizki karena setiap raja memiliki kekayaan yang berlimpah. Zuhudnya Umar bin Abdil Aziz adalah dibangun di atas kitab dan sunnah dan oleh karena itu beliau meninggalkan semua perkara yang tidak manfaat untuk akheratnya, beliau tidak bangga dengan khilafah yang dipimpinnya, dan tidak sedih atas kehilangan perkara-perkara dunia, beliau meninggalkan apa yang beliau mampu untuk menghasilkan kesenangan dunia yang lebih menyibukkan diri dalam urusan yang lebih baik dalam akhiratnya dan mencintai apa yang ada di sisi Allah Ta’ala.” ( Atsar al-warodah Fi Umar bin Abdul Aziz Fil Aqidah 1/146 )
Berkata
Imam Ibnu Abdil Hakam Rohimahulloh :” Ketika berkuasa Umar bin Abdil Aziz maka
beliau zuhud pada dunia beliau menolak apa yang ada di dalamnya, beliau
meninggalkan makanan yang beraneka ragam macamnya, ketika beliau dibuatkan
makanan jika beliau senang pada makanan itu beliau sembunyikannya sampai ada
orang yang masuk mengambil dan memakan makanan itu.” ( Siroh Umar bin Abdul
Aziz Libni al-Hakam Hal. 43 )
Berkata
Imam Ibnu Abdil Hakam Rohimahulloh :” Beliau berinfaq atas keluarganya pagi dan
sore tiap hari sebesar 2 Dirham.” ( Siroh Umar bin Abdul Aziz Libni al-Hakam
Hal. 43 )
Imam
Malik bin Dinar Rohimahulloh berkata: "Orang-orang berkomentar mengenaiku,
"Malik bin Dinar adalah orang zuhud." Padahal yang pantas dikatakan
orang zuhud hanyalah Umar bin Abdul Aziz. dunia mendatanginya namun
ditinggalkannya".( Al-Bidayah wan-Nihayah (12/699) dan Siyar A'lam
an-Nubala' (5/134).
Beliau
tidaklah berpakaian melainkan pakaian yang kasar dan jelek, dan meninggalkan
berlebih – lebihan yang sebelum beliau berkuasa beliau memerintahkan orang
untuk menjual pakaian kebesarannya lalu uangnya diberikan untuk baitul mal kaum
Muslimin.” ( Atsar al-warodah Fi Umar bin Abdul Aziz Fil Aqidah 1/155 )
Pernahkan
terbetik di benak kita seorang kepala negara ketika berkeinginan menunaikan
ibadah haji, ia tidak bisa berangkat hanya karena uang perbekalannya tidak
cukup? Pernahkah terlintas di bayangan kita seorang bangsawan yang hanya
memiliki satu buah baju, itu pun berkain kasar? Beliau Umar bin Abdul Aziz
pernah mengalaminya! ( al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin
Abdul Aziz hal. 70.
d.
Tawadhu'
Keluhuran
budi pekerti yang dimiliki Umar bin Abdul Aziz sangatlah tinggi. Hal itu
tercermin dari sekian banyaknya karakteristik yang menonjol pada diri beliau.
Di antaranya adalah sikap Tawadhu'nya.
Berkata
Imam az-Zuhaili Rohimahulloh :” Sifat tawadhu’ adalah sifat terpuji salah satu
dari sifat politiknya yang membedakan beliau dengan kholifah lainnya, dan telah
mencapai zuhudnya Umar bin Abdul Aziz pada sifat tawadhu’nya, karena syarat
zuhud yang benar adalah tawadhu’ kepada Allah Ta’ala.” ( Umar bin Abdul Aziz Li
Zuhaili. Hal. 105 )
Berkata
Imam Ibnu Abdil Hakam Rohimahulloh :” Diantara sifat tawadhu’nya adalah
melarang manusia untuk berdiri untuk menyambutnya, beliau berkata :” Wahai
manusia “ jika kalian berdiri maka kami akan berdiri dan jika kalian duduk maka
kami akan duduk, sesungguhnya manusia hanya berdiri dan berjalan di hadapan Allah
Ta’ala saja, dan beliau berkata kepada pasukan :” Janganlah kalian memulai
kepadaku dengan salam, sessungguhnya memulai salam adalah kalim pada kalian.” (
Siroh Umar bin Abdul Aziz Libni al-Hakam Hal. 34-35 )
Suatu hari ada seorang laki-laki memanggil beliau, "Wahai khalifah Allah di bumi!" Maka beliau pun berkata kepadanya: "Ketika aku dilahirkan keluargaku memberiku nama Umar. Lalu ketika aku beranjak dewasa aku sering dipanggil dengan sebutan Abu Hafs. Kemudian ketika aku diangkat menjadi kepala negara aku diberi gelar Amirul Mukminin. Seandainya engkau memanggilku dengan nama, sebutan atau gelar tersebut aku pasti menjawabnya. Adapun sebutan yang barusan engkau berikan, aku tidaklah pantas menyandangnya. Sebutan itu hanya pantas diberikan kepada Nabi Daud Alaihis Salam dan orang yang semisalnya", seraya membacakan firman Allah Ta’ala :
Suatu hari ada seorang laki-laki memanggil beliau, "Wahai khalifah Allah di bumi!" Maka beliau pun berkata kepadanya: "Ketika aku dilahirkan keluargaku memberiku nama Umar. Lalu ketika aku beranjak dewasa aku sering dipanggil dengan sebutan Abu Hafs. Kemudian ketika aku diangkat menjadi kepala negara aku diberi gelar Amirul Mukminin. Seandainya engkau memanggilku dengan nama, sebutan atau gelar tersebut aku pasti menjawabnya. Adapun sebutan yang barusan engkau berikan, aku tidaklah pantas menyandangnya. Sebutan itu hanya pantas diberikan kepada Nabi Daud Alaihis Salam dan orang yang semisalnya", seraya membacakan firman Allah Ta’ala :
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ
Artinya:
"Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka
bumi". (QS. Shad: 26).
(
Sirah Umar bin Abdul Aziz, karya Ibnu Abdul Hakam hal. 46. Dinukil dari al-Khalifah
ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 71)
Namun,
ada yang lebih mengagumkan lagi! Kisah yang mencerminkan sikap Tawadhu' yang
dimilikinya; Kisah Umar bin Abdul Aziz dengan seorang pembantunya. Pernah
suatu saat Umar bin Abdul Aziz meminta seorang pembantunya untuk mengipasinya.
Maka dengan penuh cekatan sang pembantu segera mengambil kipas, lalu
menggerak-gerakkannya. Semenit, dua menit waktu berlalu, hingga akhirnya Umar
bin Abdul Aziz pun tertidur. Namun, tanpa disadari ternyata si pembantu juga
ikut ketiduran. Waktu terus berlalu, tiba-tiba Umar bin Abdul Aziz terbangun.
Ia mendapati pembantunya tengah tertidur pulas dengan wajah memerah dan peluh
keringat membasahi badan disebabkan panasnya cuaca. Serta merta Umar bin Abdul
Aziz pun mengambil kipas, lalu membolak-balikkannya mengipasi si pembantu. Dan
sang pembantu itu pun akhirnya terbangun juga, begitu membuka mata ia mendapati
sang majikan tengah mengipasinya tanpa rasa sungkan dan canggung. Maka dengan
gerak reflek yang dimilikinya ia menaruh tangan di kepala seraya berseru karena
malu. Lalu Umar bin Abdul Aziz pun berkata menenangkannya: "Engkau ini
manusia sepertiku! Engkau merasakan panas sebagaimana aku juga merasakannya.
Aku hanya ingin membuatmu nyaman -dengan kipas ini- sebagaimana engkau
membuatku nyaman".( Akhbar Abi Hafs, karya al-Ajurri hal. 82. (
al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal.72.)
e.
Adil.
Berkata
Umar bin al-Khotthob Rodhiallahuanhuma :” Sesungguhnya dari anakku nanti dengan
kedudukannya akan memenuhi bumi dengan keadilan ( al-Ma’rif, Ibnu Qutaibah Hal.
362 )
Umar
bin Khattab pernah berkata: "Kelak salah satu keturunanku akan ada yang
memenuhi bumi ini dengan keadilan; seorang laki-laki yang di wajahnya ada bekas
luka". ( Siyar A’lam an-Nubala (5/116)
Di
antara sekian karakteristik yang dimiliki Umar bin Abdul Aziz, adil adalah
sikap yang paling menonjol. Sikap itulah yang menjadikan nama beliau begitu
familiar di telinga generasi setelahnya hingga hari ini. Keadilannya selalu
digaungkan oleh para pencari keadilan, entah karena betul-betul ingin
menapaktilasi jejaknya ataukah hanya sekedar kamuflase belaka. Yang terpenting
adalah nama besarnya telah mendapat tempat di hati para penerus perjuangannya.
Dan nama itu terukir indah dengan tinta emas di deretan para pemimpin yang
adil, para
pemimpin
yang terbimbimg oleh kesucian wahyu; Al Qur'an dan Sunnah, para pemimpin yang
dijuluki al-Khulafa' ar-Rasyidun. Dan sejarah Islamlah pengukirnya.
Imam
Al-Ajurri Rohimahulloh menceritakan sikap adil yang dimilikinya, beliau
berujar: "Seorang laki-laki Dzimmi ( Non muslim, yahudi atau nasrani) yang
tinggal di negara Islam (muslim) dan terikat perjanjian damai dengan pihak
setempat dengan syarat membayar Jizyah (pajak jaminan keamanan) serta tunduk
pada hukum Islam. ( al-Mausu'ah al-Fiqhiyah (2/2487).
Penduduk
Himsh ( Mu'jam al-Buldan, Yaqut al-Hamawi (2/116). pernah mendatangi Umar bin
Abdul Aziz seraya mengadu: "Hai Amirul Mukminin! Aku ingin diberi
keputusan dengan hukum Allah". "Apa yang engkau maksud?", sergah
Umar bin Abdul Aziz. "Abbas bin Walid bin Abdul Malik telah merampas
tanahku", lanjutnya -saat itu Abbas sedang duduk di samping Umar bin Abdul
Aziz-. Maka Umar bin Abdul Aziz pun menanyakan hal itu kepada Abbas, "Apa
komentarmu?". "Aku terpaksa melakukan itu karena mendapat perintah
langsung dari ayahku; Walid bin Abdul Malik", sahut Abbas membela diri.
Lalu Umar pun balik bertanya kepada si Dzimmi, "Apa komentarmu?".
"Wahai Amirul Mukminin! Aku ingin diberi keputusan dengan hukum
Allah", ulang si Dzimmi. Serta merta Umar bin Abdul Aziz pun berkata:
“Hukum Allah lebih berhak untuk ditegakkan dari pada hukum Walid bin Abdul
Malik”, seraya memerintahkan Abbas untuk mengembalikan tanah yang telah
dirampasnya.( Akhbar Abi Hafs hal. 58. Lihat: : al-Khalifah ar-Rasyid wa
al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdul Aziz hal. 78. )
f.
Sabar
Dari
Hafshoh bin Umar berkata :” Ketika wafat Abdul malik bin Umar bin Abdil Aziz
Abinya memujinya di sisi kuburannya, berkata Muslimah :” Bukankah engkau tetap
orang yang berkuasa ? beliau berkata :” Tidak, Muslimah berkata :” Bukankah
engkau memuji dengan suatu pujian padanya? Beliau berkata :” Sesungguhnya aku takut jika aku diuji
oleh Allah dengan rasa cinta yang berlebihan seorang bapak terhadap anaknya.” (
al-Kitabul Jami’ Lisiroh Umar bin Abdil Aziz 2/427 )
Beliau
berkhutbah :” Tidaklah seseorang yang ditimpah suatu musibah kemudian dia
berkata :” Inna lillahi Wainna ilaihi Roji’un” kecuali dia akan diberikan
pahala yang lebih baik oleh Allah dari pada yang telah diambilNya, beliau
berkata :” Orang yang ridho itu sedikit dan sabar itu pijakan orang yang
beriman” beliau berkata :” Barang siap yang beramal tanpa ilmu kerusakan yang
ditimbulkan lebih besar daripada perbaikannya. Barang siap yang tidak
memperhitungkan ucapan dan amal perbuatannya maka akan banyak kesalahannya,
orang ridho itu sedikit, pertempuran orang mu’min adalah sabar.” ( al-Kitabul
Jami’ Lisiroh Umar bin Abdil Aziz 2/428 )
Kesabaran
yang paling besar yang diujikan pada Umar bin abdil Aziz pada masa hidupnya
adalah kesabaran yang terjadi dalam urusan khilafah, beliau berkata :” demi Allah,
tidaklah aku duduk di tempatku ini kecuali aku takut bahwa kedudukanku bukan
pada tempatnya, walaupun aku ta’at pada semua yang aku kerjakan untuk
menyelamatkannya dan memberikan pada haknya yaitu al-khilafah. Akan tetapi aku
bersabar sampai Allah memutuskan perkaranya pada khilafah, atau mendatangkan
kemenangannya padanya.” ( an-Namudzi al-Idari al-Mustakhlishu Min Irodati Umar
bin abdil Aziz . Hal. 144 )
g.
Manhaj
Berkata
Imam Ibnu Abdil Hakam Rohimahulloh :” Ketika beliau berkuasa beliau menulis
surat , Beliau berkata :” Adapun sesudah itu : Aku wasiatkan kepada kalian
semua untuk bertaqwa kepada Allah Ta’ala menetapi kitabulloh dan mengikuti
sunnah NabiNya Shollallahu alaihi wasallam dan petunjukNya, dan tidaklah bagi
seseorang dalam kitabulloh dan sunnah NabiNya dalam suatu perkara dan tidaklah
suatu pendapat melainkan bersungguh-sungguh dalam mengikutinya, maka demi Dzat
yang jiwaku dan sisa hidupku dalam mengurusi umat Muhammad shollallahu alaihi
wasllam ..ikutilah kitaballah dan sunnah Rosululloh Shollalohu alaihi wasallam
serta jauhi hawa nafsu , kesesatan yang jauh, maka barang siapa yang beramal
yang tidak dari al-Qur’an dan As-Sunnah maka tidak ada kemulyaan dan derajat di
dunia dan di akherat …sesungghnya manusia yang paling hina menurutku adalah
orang yang hidupnya menyelisihi sunnah.” ( Siroh Umar bin Abdul Aziz Libni
al-Hakam Hal. 65-67, al-Kitabul Jami’ Lisiroh Umar bin Abdil Aziz 1/284-287
Berkata Imam Maimun bin Mahron Rohimahulloh :”Aku berada di sisi Umar bin Abdil Aziz beliau banyak menangis dan meminta kepada RobbNya kematian, maka aku berkata :” mengapa engkau minta mati padahal Allah telah menjadikan engkau kebaikan yang banyak, engkau menghidupkan sunnah dan mematikan bid’ah ? beliau berkata :” Tidakkah aku ingin menjadi hambaNya yang sholih ketika Allah mengikohkan penglihatannya dan melaksanakan semua perintahNya, Allah Ta’ala berfirman :” Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta'bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” QS.Yusuf :101 ) sungguh beliau meminta do’a mati membawa iman, dan berdo’a untuk mengikuti orang-orang yang sholih.” ( al-Aqdul farid 4/396, al-Atsar al-warodah 1/224 )
Berkata
Imam Hajib bin Kholifah al-Barjami Rohimahulloh :” Aku menyaksikan Umar bin
Abdil Aziz berkhutbah pada manusia setelah beliau menjadi Kholifah, beliau
berkhutbah :” Apa yang dicontohkan Nabi Shollalohu alaihi wasallam dan para
shohabatnya adalah agama yang kami mengambilnya dan kami berhenti jika keduanya
tidak melakukan, dan apa yang selain dari keduanya maka kami buang.” ( Jami’ul
ulum Wal Hikam Hal. 288, al-Hilyah 5/298 )
Berkata
Imam Umar bin Abdil Aziz Rodhiallahuanhu :” Telah mencontohkan Rosululloh Shollalohu
alaihi wasallam dan kholifah sesudahnya suatu tauladan yang wajib diikuti,
berpegang teguh dengan kitabillah adalah kekuatan agama yang tidak boleh bagi
seorangpun yang merubah dan menggantinya, dan tidak boleh berfikir dalam suatu
perkara yang akan menyelisihinya, barang siap yang diberi hidayah maka dia
mendapat petunjuk, barang siapa yang menolong sunnahnya maka dia ditolong,
barang siapa yang meninggalkannya dan mengikuti selain jalan orang-orang yang
beriman maka Allah akan palingkan jalannya dan akan menempatkannya di neraka
jahannam sebagai sejelek-jelek tempat kembali.” ( Siroh Umar bin Abdul Aziz
Libni al-Hakam Hal. 40 )
Umar bin "Abdul Aziz Rodhiallahuanhuma pernah berwasiat kepada sebagian pegawainya, "Aku berwasiat kepadamu agar senantiasa bertaqwa kepada allah dan berlaku sederhana dalam menjalankan perintah-Nya,mengikuti Sunnah (tuntunan)Rasulullah meninggalkan perkara-perkara baru dalam agama yang diada-adakan oleh orang-orang setelahnya, dan berhentilah pada batas-batas ajarannya. Dan ketahuilah, bahwa seseorang tidaklah berbuat bid'ah melainkan telah ada sebelumnya hal yang menunjukan kebid'ahannya dan pelajaran buruk yang ditimbulkannya. Karena itu, kamu wajib berpegang kepada As-sunnah, sebab ia tameng dan pelindung (dari berbagai kesesatan dan kebinasaan-Pen) bagi dirimu dengan izin Allah. Dan ketahuilah, barang siapa yang berjalan diatas sunnah, maka ia telah mengetahui bahwa tindakan menyelisinya adalah termasuk kesalahan, kekeliruan, sikap berlebih-lebihan dalam kedunguan. Maka generasi terdahulu dari umat ini (As-salafus sholih) dan telah berhenti dan menahan diri mereka dengan ilmu yang mapan (dari bid'ah-bid'ah) padahal mereka adalah orang yang sangat sanggup membalas suatu masalah agama, akan tetapi mereka tidak membahasnya." [ Shahih sunan Abi Dawud No. 4612 dan lihat takrij kitab Asy-Syariah, Atsar No. 292]
Umar bin "Abdul Aziz Rodhiallahuanhuma pernah berwasiat kepada sebagian pegawainya, "Aku berwasiat kepadamu agar senantiasa bertaqwa kepada allah dan berlaku sederhana dalam menjalankan perintah-Nya,mengikuti Sunnah (tuntunan)Rasulullah meninggalkan perkara-perkara baru dalam agama yang diada-adakan oleh orang-orang setelahnya, dan berhentilah pada batas-batas ajarannya. Dan ketahuilah, bahwa seseorang tidaklah berbuat bid'ah melainkan telah ada sebelumnya hal yang menunjukan kebid'ahannya dan pelajaran buruk yang ditimbulkannya. Karena itu, kamu wajib berpegang kepada As-sunnah, sebab ia tameng dan pelindung (dari berbagai kesesatan dan kebinasaan-Pen) bagi dirimu dengan izin Allah. Dan ketahuilah, barang siapa yang berjalan diatas sunnah, maka ia telah mengetahui bahwa tindakan menyelisinya adalah termasuk kesalahan, kekeliruan, sikap berlebih-lebihan dalam kedunguan. Maka generasi terdahulu dari umat ini (As-salafus sholih) dan telah berhenti dan menahan diri mereka dengan ilmu yang mapan (dari bid'ah-bid'ah) padahal mereka adalah orang yang sangat sanggup membalas suatu masalah agama, akan tetapi mereka tidak membahasnya." [ Shahih sunan Abi Dawud No. 4612 dan lihat takrij kitab Asy-Syariah, Atsar No. 292]
Dedikasinya pada Kajian Hadis
Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dikenal jujur dan
mempunyai minat pada ilmu pengetahuan mengambil langkah dan kebijaksanaan
terhadap hadis yang belum pernah dilakukan sebelumnya oleh semua khalifah
pendahulunya. Khalifah ini menangkap kenyataan bahawa para penghafal hadis
semakin berkurang jumlahnya kerana meninggal. Tumbuh rasa khawatir dalam diri
Khalifah, apabila hadis tidak segera dikumpulkan dan dibukukan, maka
beransur-ansur akan hilang. Rasa khawatir itulah yang menyebabkan Khlifah
memerintahkan gabenor Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm (w. 117
H), supaya membukukan hadis Nabi shallallahu alaihi wasallam yang terdapat pada
penghafal wanita terkenal dan seorang ahli fikih murid Aisyah RA, Amrah binti
Abdurrahman bin Sa’ad bin Zurarah bin Ades, serta hadis-hadis yang ada pada
Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq, seorang pemuka tabiin dan salah
seorang dari tujuh fukaha (ahli fikih) Madinah.
Umar bin Abdul Aziz juga mengirim surat kepada semua gubernur
dalam wilayah kekuasaannya untuk mengambil langkah serupa pada penghafal dan
ulama hadis di tempat mereka masing-masing. Kebijaksanaan Khalifah Umar bin
Abdul Aziz ini oleh sejarah dicatat sebagai kodifikasi hadis yang pertama
secara resmi. Pengertian “resmi” di sini ialah kebijaksanaan itu dilaksanakan
atas perintah penguasa yang sah dan disebarluaskan ke seluruh jajaran
kekuasaannya. Abu Bakar Muhammad bin Syihab az-Zuhri (w. 124 H) tercatat
sebagai ulama besar pertama yang membukukan hadis-hadis. Selanjutnya, kodifikasi hadis dilakukan
oleh para ulama atas anjuran dan dukungan para khalifah, seperti Khalifah Abu
Abbas as-Saffah dan khalifah-khalifah keturunannya dari Dinasti Abbasiyah.
Kitab yang menceritakan tentang perjalanan ini menarik untuk dikaji
karena keberadaannya yang langka dengan usia penulisan yang cukup lama. Tentu
ini akan memberikan stimulan baru dalam kajian perkembangan hadis. Hal ini
memungkinkan untuk para akademisi untuk kembali mengkaji kitab-kitab klasik
yang dihasilkan dari karya para ulama’ terdahulu.
0 komentar:
Posting Komentar