Ada yang berkata bahwa mempelajari keilmuan hadis sulit sebab harus menempuh beberapa bidang cabang-cabang keilmuan di dalamnya. Salah satunya adalah tahap pelacakan para periwayat. Di bawah ini saya paparkan sebuah teori yang diperkenalkan oleh ilmuan barat yang begitu terkenal. Selamat membaca!
TEORI COMMON LINK G.H.A JUYNBOLL (MELACAK
AKAR KESEJARAHAN HADITS)
PENDAHULUAN
Hingga kini,
persoalan asal usul hadits masih menjadi perdebatan di kalangan pemikir hadits.
Sejumlah pemikir meragukan kebenaran hadits berasal dari Nabi dan hal itu,
menurut mereka, dapat dibuktikan secara historis, sedangkan sebagian pemikir
lainnya mempercayai bahwa hadits memang berasal dari Nabi.
Ignaz
Goldziher (1850-1921) yang termasuk kelompok pertama mengatakan: fenomena
hadits berasal dari dari zaman Islam yang paling awal. Akan tetapi, karena
kandungan hadits yang terus membengkak pada era selanjutnya dan dalam setiap
generasi muslim materi hadits berjalan paralel dengan doktrin-doktrin fiqih dan
teologi yang sering kali saling bertentangan, maka dapat disimpulkan bahwa
sangat sulit untuk menentukan hadits-hadits orisinil yang berasal dari
Nabi. Lebih lanjut dia berpendapat bahwa
sebagian besar materi hadits dalam koleksi kitab hadits, merupakan hasil
perkembangan keagamaan, historis, dan sosial Islam selama dua abad pertama,
atau refleksi dari kecenderungan-kecenderungan yang tampak pada masyarakat muslim selama masa-masa tersebut.
Joseph Schacht (1902-1969) yang
mengklaim sebagai penerus Goldziher menyatakan bahwa isnad yakni rangkaian periwayat hadits yang menjadi sandaran
kesahihan sebuah matan hadits,
memiliki kecenderungan untuk berkembang kebelakang. Menurutnya Isnad berawal dari bentuk yang
sederhana, lalu diperbaiki sedemikian rupa dengan cara mengaitkan
doktrin-doktrin aliran Fiqih klasik kepada tokoh yang lebih awal, seperti
sahabat dan akhirnya kepada Nabi. Teori-teori Goldziher dan Schacht tersebut
selanjutnya diikuti dan dikembangkan oleh ahli sejarah Islam Klasik dan hadits.
Juynboll dalam mengkaji sejarah
awal hadits, mengadopsi teori-teori Schacht, terutama teori common link-nya. Teori ini merupakan
struktur fundamental bagi seluruh
kajiannya mengenai hadits Nabi. Comman
link adalah istilah untuk seorang periwayat hadits yang mendengar suatu
hadits (jarang lebih dari) seorang yang berwenang dan lalu ia
menyiarkannya kepada sejumlah murid yang
pada gilirannya kebanyakan dari mereka menyiarkan lagi kepada sejumlah murid
yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka menyiarkan lagi kepada dua atau
muridnya. Dengan kata lain, Comman Link
adalah periwayat tertua yang disebut dalam berkas Isnad yang meneruskan hadits kepada lebih dari satu murid. Dengan
demikian, ketika berkas Isnad hadits itu mulai menyebar untuk yang pertama
kalinya maka disanalah detemukan Comman
Link-nya.
JuynBoll
lantas membuat kategori hadits sebagai berkut:
1. Hadits dengan isnad-isnad yang berakhir pada tabi’in.
Tabi’in atau muridnya
merupakan kaitan bersama atau sumbernya, jika isnadnya berganda dan dapat disatukan menjadi berkas yang mengacu
kepada kaitan bersama itu.
2. Hadits dengan isnad-isnad yang berakhir pada sahabat.
Sangat jarang seorang sahabat
dan kebanyakan muridnya (seorang tabi’in) atau orang lain dalam jalur tunggal
yang merentang dari sahabat itu,
merupakan kaitan bersama atau sumber hadits, tentunya bila ada jalur isnad ganda yang bias digabung menjadi
berkas yang bias dikembalikan kepada kaitan bersama itu.
3. Hadits dengan isnad-isnad yang berakhir pada Nabi dengan jalur tunggal yang
merentang dari Nabi dan memuncak pada kaitan bersama atau sumber yang termasuk
dalam generasi tabi’in atau generasi berikutnya, tentunya jika ada sejumlah
jalur yang cukup banyak untuk membentuk suatu berkas yang mengacu kepada kaitan
bersama itu.
Berdasarkan
uraian diatas, beberapa persoalan yang menjadi fokus kajian ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan teori common link?
2. Bagaimana implikasi tersebut bagi
persoalan asal-usul dan perkembangan hadits?
BAB I
Gautier H.A. JUYNBOLL
Karya dan Posisinya dalam Studi Hadits Modern
di Barat
A. Biografi dan Karya-Karya G.H.A Juyboll
Gautier H. A Juyn ball yang lahir
di Leiden, Belanda, pada tahun 1935 adalah seorang pakar di bidang sejarah
perkembangan awal hadits. Selama tiga puluh tahun lebih ia secara serius, mencurahkan
perhatiannya untuk melakukan penelitian hadits dari persoalan klasik hingga
kontemporer. Kepakaran murid J. Brugmen ini dalam kajian sejarah awal hadits,
menurut P.S van Koningsveld, telah memperoleh pengakuan internasional. Oleh
karena itu, tidak berlebihan jika ketkohannya di bidang itu dapat disejajarkan
dengan nama-nama seperti James Robson, Fazlur Rahman, M.M Azami, dan Michael
Cook.
Dalam pendahuluannya bukunya yang
berjudul Studies on Origins and Uses of
Islamic Hadith,Juynboll mengklaim telah menjelaskan perkembangan
penelitiannya atas literatur hadits secara kronologis sejak akhir tahun 1960-an
hingga 1996.
Semasa menjadi mahasiswa S1,
Juynboll bergabung bersama sekelompok kecil orang untuk mengedit satu karya
yang kemudian menghasilkann separo akhir dari kamus hadits, Concordance et indices de la tradition
musulmane, tepatnya dari pertengahan huruf ghayn hingga akhir karya tersebut.
Pada tahun 1965 hingga 1966, dengan dana bantuan dari The Netherlands Organization for the
Advancement of Pure Research(ZWO),
setelah disertasi tersebut diterbitkan oleh penerbit E.J. Brill, Leiden
pada 1969, Juynboll kemudian melakukan penelitian mengenai beberapa persoalan,
baik yang klasik maupun yang kontemporer. Pada 1974 ia menunlis makalah
bertitel: “On The Originsof Arabic
Prose” dan dimuat dalam buku Studies on
the Firts Century of Islamic Society. Sejak saat itu, ia memusatkan
perhatiannya pada studi hadits dan tidak pernah meningglkannya lagi.
Sebagai seorang ilmuwan dan peneliti
dalam bidang studi hadits, Juynboll telah menghasilkan sejumlah karya, baik
dalam bentuk buku maupun artikel. Sebagian besar pemikirannya, terutama yang
terkait dengan studi hadits dan teori comman
link, dielaborasi dalam tiga bukunya: The
Authenticity of the Tradition Literature: Discussion in modern Egypt, Muslim Tradition: Studies in Chronology,
Provenance and Authorship of Early Hadith, dan Studies on the Origins and Uses of Islamic Hadith. Juynboll
juga mengupas pendapat Ignaz Goldziher
dan Joseph Schacht dan pendapat para pemikir hadits modern seperti Fuat Sezgin
dan Fazlur Rahman tentang kedudukan hadits dalam Islam.
Menurut
Juynboll, Goldziher telah berkesimpulan bahwa jarang sekali sebuah hadits dapat dibuktikan sebagai perkataan Nabi atau
deskripsi mengenai prilaku Nabi asli dan dapat dipercaya. Literatur hadits,
kata Goldziher merupakan akibat dari perkembangan keagamaan, historis, dan
sosial Islam selama dua abad pertama.
Sedangkan
Joseph Schacht mengatakan bahwa isnad
sebenarnya memiliki kecenderungan berkembang ke belakang. Pada awalnya, hadits
tidak pernah kembali kepada Nabi atau sahabat sekalipun, tetapi disebarkan
berdasarkan otiritas para tabi’in. Di kemudian, hadits sering kali dikembalikan
kepada seorang sahabat dan akhirnya kepada nabi sendiri.
Berbeda
dengan Goldziher dan Schacht, Fazlur Rahman yang diharapkan dapat menyembatani
jurangg antara kesarjanaan Barat dan nilai-nilai Islam ortodoks, memperkenalkan
konsep kesinambungan sunnah Nabi dalam praktik kegamaan umat Islam. Menurutnya
konsep sunnah Nabi sudah dipakai pada masa Nabi sendiri. Dengan berbagai
argumen, ia menegaskan bahwa sunnah sebagaimana dihimpun dalam koleksi hadits,
mencakup prilaku Nabi. Dengan kata lain, ia menghembuskan semangat Nabi. Oleh
karena itu literatur hadits seharusnya tidak dianggap sebagai data sejarah yang
tidak dapat dipercaya sama sekali dan dibuang secara keseluruhan.
Sementara
itu, Fuat Sezgn lebih mengarahkan perhatiannya pada problem penulisan hadits
yang berujuang pada bukti mengenai kesejarahan Isnadhadits. Ia merevisi kesimpulan Goldziher tentang kronoligi
penulisan hadits. Baginya, aktivitas penulisan hadits telah diperaktikkan pada
masa yang lebih awal daripada yang dipahami oleh Goldziher.
B. Posisi Juynboll dalam Studi Hadits Modern di Barat
Sejauh ini
menurut J. Koren dan Y.D. Nevo, studi di Barat mengenai sejarah awal Islam
awal, agama dan kedudukan Al-Qur’an
sebagai kitab suic telah berkembang ke arah dua pendekatan yang berbeda
dan cenderung saling berhadapan – untuk tidak mengatakan saling bertentangan,
yakni pendekatan tradisional dan pendekatan revisionis. Yang pertama meneliti
sumber-sumber Islam dan mengujinya dengan cara-cara yang sesuai dengan berbagai
asumsi dan tradisi kesarjanaan muslim.
Sedangkan yang kedua mengkaji sumber-sumber non-Arab dan bahan-bahan lain,
seperti temuan-temuan arkeologi, epigrafi, dan numismatic, yang secara umum
tidak dikaji oleh aliran tradisional, sebagai bukti sejarah. Ignaz Goldziher
dan joseph Schacht adalah dua pengkaji hadits yang dapat dikatagorikan sebagai
wakil dari aliran revisionis, sementarab Fuat Sezgin, Nabia Abbott, dan M.M
Azami sebagai wakil dari aliran tradisional.
Ignaz Goldziher, salah seorang
wakil dari kelompok revisionis, dalam bukunya yang bertitel Muhammedanische Studienmenyatakan
keraaguannya atas kesejarahan dan keshahihan hadits. Setelah mengkaji berbagai
hadits yang terdapaat dalam koleksi kanonik, ia lebih cenderung pada “sikap
hati-hati yang skeptic daripada kepercayaan yang optimis”. Goldziher
sebagaimana telah disinggung sebelumnya, kemuudian menyimpulkan bahwa sebagian
besar hadits merupakan akibat dari perkembangan Islam secara religius,
historis, dan social selama dua abad pertama. Oleh karenanya hadits tidak dapat
dianggap sebagai dokumen sejarah pertumbuhan Islam, tetapi lebih sebagai
refleksi dari berbagai kecenderungan yang muncul di dalam masyarakat Islam
selama tahap-tahap perkembangannya yang lebih dewasa.
Ada beberapa alasan yang
menyebabkan Goldziher meragukan keshahihan hadits Nabi: pertama, koleksi hadits belakangan tidak menyebutkan sumber
tertulisnya dan memakai istilah isnad
yang lebih mengimplikasikan periwayatan lisan daripada periwayatan tertulis. Kedua, adanya hadits-hadits yang
kontradiktif antara satu sama lain. Ketiga,perkembangan
hadits secara missal sebagaimana terdapat dalam koleksi hadits belakangan tidak
termuat dalam koleksi hadits yang lebih awal.keempat, sahabat kecil lebih banyak mengetahui Nabi, dalam arti
mereka lebih banyak meriwayatkan hadits daripada sahhabat besar.
Sedangkan menurut Joseph Schacht,
wakil kedua darri aliran revisionis, lebih tegas dalam menilai kedudukan hadits
daripada pendahulunya, Goldziher. Pemikiran Schacht mengenai hadits terkait
erat dengan kajian utamanya mengenai asal-usul hukum Islam dan peranan
Asy-Syafi’i dalam perkembangnnya. ASy-Syafi’i dipandang sebagai sebagai orang
yang bertanggung jawab atas kemenangan hadits Nabi sebagai sumber hukum Islam.
Ada beberapa alasan mengapa Schacht
lebih memilih berangkat dari persoalan hukum di dalam mengkaji hadits. Pertama, sumber-sumber hukum dalam Islam
tidak hanya lebih tua dan lebih kaya daripada sumber-sumber lain, seperti
sejarah, tetapi juga Karena penilaian orang terhadap persoalan hukum cenderung
terdistorsi ole hide-ide prakonsepsi.
Kedua,hukum
Islam dalam pengertian teknis belum lahir pada abad pertama hijriyah. Menurut
Schacht, Nabi Muhammad tidak memiliki alasan yang cukup untuk mengganti hukum
adat yang sudah ada, Ketiga, pada
dekade selanjutnya, para khalifah Bani Umayyah melakukan langkah penting dengan
mengangkat para hakim untuk mengangkat persoalan-persoalan hukum.
Baik Goldziher maupun Schacht,
keduanya adalah para pemikir yang mewakili kelompok revisionis. Meski demikian
terdapat perbedaan diantara keduanya mengenai kesejarahn hadits. Jika Golziher
mengakui bahwa sumber hadits adalah Nabi dan generasi Islam awal, tetapi
kemudian mengalami kesulitan membedakan hadits yang otentik dan hadits palsu
karena adanya gerakan peemalsuan hadits secara besar-besaran, maka Schacht
memandang bahwa sumber hadits adalah tabi’in yang kemudian dikembangkan ke
belakang kepada sahabat dan akhirnya kepada Nabi Saw. Meski demikian, keduanya
sama-sama tidak mempercayai otentitas Isnad.
Menurut Goldziher dan Schacht, isnad
adalah hasil dari perkembangan pemikiran generasi awal.
Pendapat Goldziher dan Schacht ini
tentu saja menimbulkan respons keras dari kalangan pengkaji hadits tradisional,
sebagaimana terdapat dalam karya-karya Sezgin, Abbott, dan Azami. Fuat Sezgin
berargumen bahwa proses pencatatan hadits telah dimulai sejak masa hidup Nabi
dan terus berlanjut dengan isnad muttashilhingga munculnya koleksi hadits
yang besar-besar pada abad III H / VI M. Dengan demikian, proses penulisan
hadits sebenarnya telah dipraktikkan jauh lebih awal daripada yang dipahami
oleh Ignaz Goldziher.
Nabia Abott, seorang islamolog
terkemuka, juga mendukung pendapat Sezgin. Abott menyatakan bahwa praktik
penulisan hadits sudah berlangsung “sejak awal” dan bersinambungan. Kata “sejak awal” disini mengandung arti
bahwa bahwa para sahabat Nabi sendiri telah menyimpan catatan-catatab hadits,
sementara kata berkesinambungan berarti bahwa sebagian besar hadits memang
diriwayatkan secara tertulis, selain tentunya juga dengan lisan, hingga
akhirnya hadits-hadits itu dihimpun dalam berbagai koleksi kanonik. Periwayatan
hadits secara tertulis inilah yang menurutnya dapat dijadikan sebagai jaminan
bagi kesahihannya.
Adapun JuynBoll nampaknya lebih
sejalan dengan pendapat Goldziher dan Schacht daripada dengan Sezgin dan
Abbott, ia mengaku kagum dengan karya Schacht, The Origins. Bukan saja karena Juynboll memakai dua teori Schacht: backward projectiondan Common link, tetapi juga karena cross-reference buku tersebut yang tidak terhitung jumlahnya. Selain itu
juga Juynboll memposisikan diri sebagai pengembang teori Common link, yang dianggapnya sebagai teori yang brilian dan belum
mendapat perhatian serta elaborasi yang selayaknya, meskipun oleh Schacht
sendiri.
Dari paparan di atas, dapat
disimpulkan bahwa dari segi paradigma yang dipakai, Juynboll adalah pengikut
Schacht dan dengan demikian tergolong aliran revisionis. Akan tetapi bila
diamati hasil temuannya mengenai asal-usul dan otentisitas hadits maka tidak
dapat dipungkiri bahwa ia berada ditengah-tengah perdebatan sengit antara
pendekatan revisionis, di satu sisi, dan pendekatan tradisional di sisi yang
lain.
BAB II
TEORI COMMON LINK G.H.A JUYNBOLL
A.
Teori Common link Sebelum Juynboll
Juynboll
bukanlah orang pertama yang membicarakan fenomena common link dalam
periwayatan hadits. Ia mengkui bahwa dirinya hanya sebagai pengembang dan bukan
penemu dari teori tersebut. Dalam beberapa tulisannya ia selalu merujuk kepada
Schacht seraya menyatakan bahwa dialah pembuat istilah common link dan yang pertama kali memperkenalkannya dalam The Origins. Meski demikian. Schacht
ternyata gagal dalam mengamati frekuensi fenomena tersebut dan kurang
memberikan perhatian dan elaborasi yang cukup memadai.
Sejak awal,
fenomena common link ini sudah
dikenal oleh para ahli hadits di kalangan Islam. At-Tirmidzi dalam koleksi
haditsnya menyebut hadits-hadits, yang menunjukkan adanya seorang periwayat
tertentu, si A misalnya, sebagai common
link dalam isnad-nya, dengan
“hadits-hadits si A”. istilah teknis yang dipakai At-Tirmidzi untuk
menggambarkan gejala seperti itu adalah madar
(poros). Hadits-hadits ini membentuk sebagian hadit gharib, yaitu hadits
yang diriwayatkan oleh seorang periwayat tunggal pada thabaqah (tingkatan) isnad
tertentu. Akan tetapi kelihatannya para ahli hadits di kalangan Islam tidak
menyadari sepenuhnya implikasi dari gejala tersebut terhadap problem
penanggalan hadits.
Dalam kasus
seperti ini menurut Schacht, sebuah hadits biasanya diedarkan oleh seorang ahli
hadits yang disebutnya sebagai N.N., atau oleh seseorang yang pada saat
tertentu, menggunakan namanya. Dalam perkembangannya secara alami hadits itu
diriwayatkan oleh salah seorang atau beberapa periwayat pada generasi
berikutnya dan sebagai akibatnya bagian isnad
yang bawah bercabang menjadi beberapa jalur isnad.
Sebagai seorang periwayat yang mempromosikan hadits, N.N., menyediakan isnad yang kembali kepada otoritas yang
lebih tinggi, seperti sahabat dan Nabi. Sementara bagian atas isnad hanya bagian palsu yang dibikin oleh
N.N. sebagai upaya penyempurnaan, N.N. pun sering kali membuat jalur-jalur
tambahan (additional branches) dengan
menciptakan isnad-isnad tertentu
disamping isnad yang asli melalui
proses penyebaran isnad. Walaupun
demikian N.N. tetap sebagai common link
bagi seluruh atau sebagian besar isnad.
Selanjutnya menurut Schacht keberadaan common
link dalam semua atau sebagian besar isnad
dari hadits tertentu menjadi indikasi yang kuat bahwa hadits tersebut berasal
dari masa periwayat yang menjadi common
link. Oleh karena itu jika terdapat hadits yang memiliki isnad yang berbeda, namun masih dalam
satu matan yang terkait erat dan hal
itu menunjukkan gejala common link
maka dapat disimpulkan bahwa hadits itu bersumber dari seorang periwayat yang
menjadi common link yang tersebut
dalam isnad hadits.
B. Asumsi
Dasar dan Istilah-istilah Teknis dalam Teori Common link
Dalam
beberapa tulisannya, Juynboll sering kali mengemukakan asumsi dasar yang
menjadi pijakannya dalam meneliti hadits serta memperkenalkan beberapa istilah
teknis yang relatif baru, yang berhubungan erat dengan teori common link. Juynboll mengatakan bahwa
semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu, baik yang menuju kepadanya atau
yang meninggalkannya, maka semakin besar pula seorang periwayat dan
periwayatannya memiliki klaim kesejarahan.
Dengan demikian, jalur periwayatan yang dapat
dipercaya adalah jalur periwayatan yang menggambarkan sebuah simpul.
Sebaliknya, jika hadits dinyatakan berasal dari Nabi hanya melalui seorang
sahabat kepada seorang tabi’in, lalu kepada seorang tabi’in lain yang pada
gilirannya sampai kepada common link,
dan sesudah itu jalur periwayatannnya mulai tersebar dan terpancar keluar maka
kesejarahan jalur periwayatan tunggal dari Nabi hingga common link tersebut tidak dapat dipertahankan. Disini yang menjadi
persoalan adalah mengapa Nabi menyampaikan haditsnya hanya kepada seorang
sahabat, dan mengapa juga seorang sahabat itu hanya menyampaikan hadits
tersebut kepada seorang tabi’in, begitu juga mengapa seorang tabi’in hanya
menyampaikan hadits yang diterimanya itu kepada seorang tabi’in tabi’in.
Secara ideal,
seharusnya mayoritas jalur isnad
dalam berbagai koleksi hadits menunjukkan jalur-jalur periwayatan yang berkembang
sejak dari Nabi, dan kemudian memancar kepada sejumlah besar sahabat, yang pada
gilirannya sahabat juga menyampaikannya kepada sejumlah tabi’in dan seterusnya
hingga sampai kepada para kolektor hadits. Dengan demikian, jalur periwayatan
itu sejak awal mengambil bentuk sebagai berikut cl -> pcl -> pcl ->
pcl -> (pcl->) sejumlah koleksi.
Cl adalah
periwayat pertama atau tertua yang berbeda dengan para pendahulunya dalam budel
isnad, meriwayatkan hadits tidak
hanya kepada seorang, tetapi kepada beberapa orang yang dianggap sebagai
muridnya. Para murid ini pada gilirannya juga mempunyai lebih dari seorang
murid.
Menurut
Juynboll, single strand (jalur
tunggal) yang merentang dari cl ke bawah hingga Nabi tidak mempersentsikan
jalur periwayatan sebuah hadits Nabi, dan sebagai akibatnya tidak memenuhi
ukuran kesejarahan, tetapi hanya sebuah jalur yang diciptakan oleh cl sendiri
agar sebuah laporan atau hadits tertentu lebih mendapat kewibawaan dan
pengakuan dikalangan ahli hadits, lebih-lebih untuk memenuhi kriteria yang
pertama dan utama pada saat itu, yakni isnad
marfu’.
C. Cara Kerja Teori Common link: Metode Rekontruksi dan
Analisis Isnad
Dari berbagai
tulisan Juynboll khususnya yang menggunakan teori common link dan metode
analisis isnad, penulis menyimpulkan
langkah-langkah yang harus ditempuh untuk menerapkan metode tersebut secara
rinci. Langkah-langkah itu adalah:
1. Menentukan hadits yang akan
diteliti.
2. Menelusuri hadits dalam berbagai
koleksi hadits.
3. Menghimpun seluruh isnad hadits.
4. Menyusun dan merekontruksi seluruh
jalur iisnad dalam satu bundel isnad.
5. Mendeteksi common link, periwayat yang bertanggung jawab atas penyebaran
hadits.
Hal pertama
yang harus dilakukan oleh seorang pengkaji hadits adalah menentukan hadits yang
akan diteliti; dalam hal ini kita ambil contoh hadits-hadits yang merendahkan
martabat perempuan.
Setelah
melalui penelusuran panjang, akhirnya hadits tersebut ditemukan dengan matannya sebagai berikut: ma ada’/taraktu ba’di fitnatan adharra ‘ala
ummatil ‘ala ar-rijal min dun an-nisa (aku tidak meninggalkan setelahku
godaan yang lebih berbahaya bagi umatku atau bagi kaum laki-laki selain
perempuan.
Setelah itu
langkah selanjutnya adalah menyalin semua jalur isnad yang mendukung hadits tersebut kemuudian menghimpunnya.
Adapun caranya adalah dengan melihat hadits tersebut dalam salah satu koleksi
hadits yang kanonik untuk kemudian memilih nama-nama sahabat dan periwayat
tertua lainnya dalam isnad hadits
yang akan diteliti.
Setelah menemukan
semua jalur isnad dari berbagai
koleksi hadits, langkah selanjutnya adalah menyusun dan merekontruksi seluruh
jalur periwayatan ke dalam satu bundel isnad
yang memungkinkannya untuk mengidentifikasi periwayat yang bertanggung jawab
atas penyebaran hadits yang merendahkan perempuan itu.
Berdasarkan
bundel isnad tersebut, seorang analis
isnad akan melakukan langkah terakhir
dalam analisis isnad yaitu menarik
kesimpulan mengenai common link yaitu
periwayat yang bertanggung jawab atas penyebaran hadits yang merendahkan
martabat perempuan, yaitu Sulaiman at-Taimi.
Dalam kasus
hadits yang merendahkan orang lain Juynboll juga ingin menerapkan analisis matan. Secara umum, langkah-langkah
metode analisis matan yang diajukan
olehnya adalah:
1. Mencari matan yang sejalan.
2. Mengidentifikasi common link yang terdapat pada matan yang sejalan.
3. Menentukan common link yang tertua.
4. Menentukan bagian teks yang sama
dalam semua hadits yang sejalan.
Dalam upaya
memperbaiki metode analisis isnad
Juynboll Motzki mengajukan suatu yang disebut dengan metode analisis Isnad-cum-matan. Metode ini bertujuan
untuk menelusuri sejarah periwayatan hadits dengan cara membandingkan
varian-varian yang terdapat dalam berbagai kompilasi yang berbeda-beda.
Metode
analisis isnad-cum-matan, menurut
Motzki, terdiri dari beberapa langkah, yaitu:
1. Mengumpulkan sebanyak mungkin
varian yang dilengkapi dengan isnad.
2. Menghimpun seluruh jalur isnad untuk mendeteksi common link dalam generasi periwayat
yang berbeda-beda. Dengan dua langkah ini, hipotesis mengenai sejarah
periwayatan hadits mungkin diformulasikan.
3. Membandingkan teks-teks dari
berbagai varian itu untuk mencari hubungan dan perbedaan, baik dalam struktur maupun
susunan katanya. Langkah ini juga memungkinkan untuk membuat suatu rumusan
tentang sejarah periwayatan dari hadits yang dibicarakan.
4. Membandingkan hasil analisis isnad dan matan.
Jika kita
mencermati dengan seksama, dua langkah pertama dari metode analisis isnad-cum-matan
Motzki tampaknya tidak jauh berbeda dengan metode analisis isnad Juynboll. Yang berbeda adalah dua langkah terakhir yang
memusatkan perhatian pada matan
hadits, khususnya pada struktur dan susunan katanya.
D. Teori-teori Terkait
Selain teeori
common link, masih ada dua teori lain
yang memiliki kaaitan erat dengan teori common
link dan bahkan tidak bisa dipisahkan darinya, yaitu teori backward-projection dan teori argument e silentio.
1. Backward-projection
Backward-projection adalah
upaya, baik dari aliran fiqih klasik maupun dari para ahli hadits untuk
mengaitkan berbagai doktrin mereka kepada otoritas yang lebih tinggi di masa
lampau, seperti tabi’in, sahabat, dan akhirnya Nabi sendiri. Upaya ini perlu
dilakukan agar doktrin-doktrin mereka dipercaya oleh generasi berikutnya karena
dianggap sebagai berasal dari tokoh-tokoh yang dipercaya.
2. argument e silentio
Teori ini
berangkat dari asumsi bahwa “cara terbaik untuk membuktikan bahwa sebuah hadits
tidak ada pada masa tertentu adalah dengan cara menunjukkan bahwa hadits itu
tidak dipergunakan sebagai argumen hukum dalam diskusi yang mengharuskan untuk
merujuk kepadanya, jika memang hadits itu ada. Artinya sebuah hadits dinyatakan
tidak ada pada saat tertentu jika ia tidak dipakai sebagai argumen hukum, dalam
kitab-kitab fiqih awal yang ditulis oleh Imam malik, asy-Syafi’i, dan Abu
Yusuf, yang mengharuskan merujuk kepadanya.
BAB III
IMPLIKASI TEORI COMMON LINK
TERHADAP ASAL USUL DAN PERKEMBANGAN HADITS
A. Sumber
dan Asal-Usul Hadits
Implikasi
yang pertama dari teori common link
adalah menyangkut sumber hadits. Siapa yang menjadi sumber hadits yang
terhimpun dalam berbagai koleksi hadits, khususnya dalam koleksi hadits kanonik
(al-Kutub As-Sittah); apakah Nabi, sahabat, tabi’in, atau tabi’in tabi’in.
mayoritas ahli hadits di kalangan Islam berpendapat bahwa sebagian besar materi
hadits, setidak-tidaknya yan terdapat dalam koleksi hadits kaonik adalah
otentik, dan dengan demikian bersumber dari Nabi Saw.
Berbeda
dengan pendapat para ahli hadits, Juynboll dengan tegas mengugkapkan hasil
temuannya bahwa setiap hadits yan terdapat dalam koleksi hadits, yang kanonik
sekalipun, tidak bersumber dari sahabat dan tidak pula dari Nabi Saw. Nabi dan
para sahabatnya tidak bertanggung jawab atas dimasukkannya nama-nama mereka ke
dalam isnadhadits.Adapun yang
bertanggung jawab atas matanhadits
dan juga jalur isnadadalah seorang
periwayat yang berperan sebagai common
link dalam sebuah bundel isnad.
Akan tetapi sayangnya, kata Juynboll, yang menjadi common link dari setiap bundel isnad
setiap hadits hampir tidak pernah seorang sahabat, dan sangat jarang seorang
tabi’in besar, tetapi hampir selalu seseorang dari generasi tabi’in kecil atau
generasi setelah itu, yaitu generasi tabi’in tabi’in.
Ide Juynboll
menegnai sumber hadits, seperti di atas tampaknya berbeda dengan pendapat umum
dikalangan ahli hadits muslim dan juga dengan pendapat dari aliran tradisional
yang diwakili oleh Sezgin, Abbott, dan Azami. Secara umum mereka berpendapat
bahwa praktik periwayatan hadits secara tertulis telah dumulai pada masa Nabi
secara berkesinambungan hingga munculnya berbagai koleksi hadits kanonik dan
hal itulah yang menjamin bahwa hadits memang bersumber dari Nabi.
B. Metode Kritik Hadits Konvensional
Dalam rangka
menghadapi gerakan pemalsuan hadits, para ahli hadits telah mengembangkan
sebuah metode kritik untuk membedakan antara hadits otentik dengan hadits yang
lemah dan palsu. Metode tersebut berpijak pada lima kriteria: 1. Persambungan isnad(ittishal as-sanad), 2. Keadilan periwayat (adalah arruwat), 3. Ke-dhabitan
periwayat (dhabit ar-ruwat), 4.
keterhindaran dari syudzudz, dan
5. Keterihindaran illat. Belakangan ini syuhudi ismail mencoba menyistematisasi
kriteria itu dengan membaginya menjadi dua kategori: 1. Unsur-unsur kaidah
mayor dan 2. Unsur-unsur kaidah minor. Selain itu, di ajuga meringkas lima
kriteria keshahihan hadits menjadi tiga unsur mayor, yakni 1. Persambungan sanad, 2. Keadilan periwayat, dan 3. Ke-dhabitan-nya. Sementara kriteria
keshahihan matan dia meringkas
menjadi dua unsur mayor, yakni 1. Terhindar dari syudzudz dan 2. Terhindar dari illat.
Dari berbagai
metode tersebut menurut Juynboll terdapat kelemahan dalam metode kritik hadits
konvensional. Metode itu menurutnya masih menimbulkan kontroversi jika
digunakan untuk membuktikan kesejarahan penisbatan hadits kepada Nabi. Juynboll
mengatakan bahwa, metode kritik hadits konvensional ternyata memiliki beberapa
kelemahan: 1. Kemunculannya dirasa sangat terlambat jika dipakai untuk menyisihkan
materi hadits yang otentik dan tidak, 2. Isnad
dapat dipalsukan secara keseluruhan, dan 3. Tidak diterapkannya kritik matan yang tepat.
Berangkat
dari kenyataan itulah Juynboll kemudian menawarkan metode common link sebagai ganti dari metode kritik hadits konvensional.
Metode common link ternyata tidak
hanya berimplikasi pada upaya merevisi metode kritik hadits konvensional,
tetapi ia juga menolak seluruh asumsi dasar yanng menjadi pijakan bagi metode
itu. Jika metode kritik hadits konvensional berpijak pada kualitas periwayat
maka metode common link tidak hanya
menekankan kualitas sang periwayat, tetapi juga kuantitasnya.
Penolakan
Juynboll atas metode kritik hadits konvensional ini tampaknya sejalan
dengan Goldziher dan Schacht. Goldziher
menyatakan bahwa kritik hadits, selain hanya menekankan pada periwayat hadits
dan kurang memperhatikan matan
hadits, ia juga baru lahir sekitar tahun 150 H. Metode ini menurut Goldziher
hanya mampu mengeluarkan hadits palsu saja. Sementara schacht menyatakan bahwa
kritik hadits, yang berdasar kepada kritik isnad,
tidak relevan dengan tujuan analisis sejarah.
C. Teori Mutawatir dalam hadits
Hadits jika
dilihat dari sudut kualitas periwayatnya, terbagi atas tiga bagian, yakni shahih, hasan, dan dha’if. Akan tetapi
jika dilihat dari segi kuantitas periwayatnya, ia terbagi menjadi dua bagian,
yakni mutawatir dan ahad. Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat
(dan mereka juga memperolehnya) dari seorang periwayat dari awal hingga akhir sanad yang menurut nalar dan
kebiasaan mereka tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta.
Sebagian
besar ahli hadits beranggapan bahwa ke-mutawatiran sebuah
hadits dapat dijadikan jaminan bahwa hadits tersebut berasal dan bersumber dari
Nabi. Oleh karena itu periwayat hadits mutawatirtidak
perlu diteliti. Bahwakan mengamalkan hadits yang mutawatir adalah wajib dengan tanpa harus menelitinya terlebih
dahulu.
Berbeda
dengan sebagian besar ahli hadits, Juynboll dalam kajiannya lebih menekankan
pada keraguannya akan otentisitas hadits mutawatir
sebagai benar-benar berasal dari Nabi. Dalam hal ini ia mengatakan: ke-mutawatiran sebuah hadits bukanlah
jaminan bagi kesejarahan penisbatannya kepada Nabi Saw. Sebagi bukti, ia
meneliti dua hadits yang dogolongkan oleh ahli hadits sebagai hadits mutawatir, yaitu hadits man kadzaba (larangan berbohong atas
nama Nabi) dan hadits yang berisi
larangan niyahah (meratapi
kematian anggota keluarga). Setelah menyelidiki berbagai sumber mengenai matandan isnad dua hadits tersebut, Juynboll menyimpulkan bahwa kedua hadits
tersebut disebarkan oleh generasi belakangan dan benar-benar tidak berasal dari
periode kehidupan Nabi.
Lebih lanjut
dari itu, JuynBoll juga mempersoalkan definisi hadits mutawatir. Menurutnya, definisi hadits mutawatir dihasilkan dengan penuh persoalan. Perumusannya bahkan
mengelami berbagai perubahan yang tidak sederhana. Terkaang ia dapat diterapkan
untuk hadits tertentu dan dalam konteks tertentu, namun tidak dapat diterapkan
sama sekali untuk hadits-hadits yang lain. Konsep itu dikembangkan secara
semberono dan definisinya juga tidak pernah bebas dari kekaburan (ambiguity).
Istilah mutawatir juga sering
digunakan secara longgar atau bahkan malah secara salah.
Demikianlah,
dengan menggunakan metode common link
dan juga
teori lain yang terkait, seperti backward
projection dan argumen-tum e silentio,
Juynboll menemukan banyak anomali dalam teori tawatur, baik yang terkait
dengan pendefinisiannya maupun penerapan kriterianya dalam hadits. Meski
demikian, hasil temuan Juynboll tidak jauh berbeda dengan teori pertama yang
diwakili oleh Ibn ash-Shalah, al-Hazimi, asy-Syathibi, dan Ibn Hibban al-Busti
yang merasa kesulitan menemukan hadits mutawatir.
Hanya saja, karena para ahli hadits berangkat dari definisi yang berbeda mengenai
teori tawatur maka tidak mengherankan jika muncul beberapa pendapat lain
di kalangan
mereka mengenai teori tawatur ini.
D. Posisi Syu'bah bin
Hajjaj dalam Perkembangan Hadits
Dalam
buku-buku biografi periwayat hadits, seperti al Jarh waat-Tadil karya Abu Hatim ar-Raiff (w. 327 H.), dan Tahdzib at-Tahdzib karya
Ibn Hajar al-`Asgalani (w. 582 H.), Syu'bah bin al-Hajjaj menduduki
posisi yang sangat terhormat di antara para ahli hadits lainnya, khususnya
di Basrah. Dalam beberapa hal, is ditempatkan lebih tinggi daripada
al-A'masy dan Sufyan ats-Tsauri. Pada puncak-nya, Sufyan ats-Tsauri menyebutnya
sebagai amir al-mu'minin fi al hadits (pemimpin orang-orang beriman di bidang
hadits). Untuk lebih jelasnya, berikut ini dikutip beberapa komentar
Para kritikus hadits mengenai posisi Syu'bah dalam periwayatan
hadits.
Pada
awalnya, Syu'bah bin Hajjaj, seorang mawla dari Wasith yang kemudian tinggal di
Basrah, sebenarnya lebih tertarik dengan syair. Ketika ia mendengar seorang
ahli fiqh (fagih) dan kolektor hadits terkenal, al-Hakam bin Utaibah
meriwayatkan hadits dari guru-gurunya,ia kagum dan mulai mengumpulkan hadits.
Syu'bah ke-mudian mendapat kualifikasi shalih di antara kawan sebayanya karena
keterlibatannya dalam perkembangan dan perbaikan matan hadits demi kemajuan Islam. Akan tetapi, karena mampu
mensistematisasi berbagai penilaian atas para periwayat hadits, is menjadi ahli
di bidang kritik hadits. Sejak saat itu, is diakui oleh semua orang dan
diberi gelar yang paling terhormat di antara para ahli hadits pada saat itu,
yakni amiral-mu'mininfial-hadits (pemimpin
orang-orang beriman di bidang hadits).
E.IsnadKeluarga:Historisitas
Isnad Malik-Nafi'–IbnUmar
Sejak awal sejarah
periwayatan hadits, tidak sedikit hadits yang diriwayatkan melalui isnad-isnad keluarga (family isnads).
Kata keluarga di sini mencakup tidak hanya hubungan darah, yakni hubungan anak
dengan orang tuanya, tetapi juga hubungan mawali, hubungan budak dengan
tuannya. Beberapa contoh isnad
semacam itu adalah:
Ma'mar bin Muhammad dari ayahnya,
Isa bin Abdullah dari ayahnya,
Katsir bin Abdullah dari
ayahnya,
Musa bin Mathir dari
ayahnya,
Yahya bin Abdullah
dari ayahnya,
Nafi' dari tuannya, Ibn
Umar, dan
Muhammad bin Sirin
dari tuannya, Anas bin Malik
Analisis
atas isnad-isnad di atas, kata Schacht, membuktikan bahwa isnad keluarga adalah palsu dan dengan demikian ia bukan merupakan
indikasi bagi otentisitas hadits, melainkan lebih sebagai alat untuk menjamin
kemunculannya. Berbeda dengan Schacht, Abbott berpendapat bahwa isnad keluarga memiliki hubungan
lang-sung, dan sejak awal, dengan periwayatan hadits secara tertulis selama
beberapa generasi. Fenomena isnad
keluarga, menurutnya, semakin memperkuat teorinya yang menyatakan bahwa
terdapat kesinambungan dalam periwatan hadits secara tertulis dari masa nabi
hingga munculnya berbagai koleksi hadits kanonik.
Juynboll
dalam hal ini setidaknya didukung oleh penyelidikan-nya terhadap salah satu isnad keluarga yang dimiliki Malik bin
Anas dalam al-Muwaththa; yang diklaim oleh Para ahli hadits, seperti
al-Bukhari, sebagai isnad paling
sahih. Jalur isnad itu terdiri dari:
Malik - Nafi' mawla Ibn Umar - Abdullah bin Umar - Nabi. Para ahli hadits
menyebut isnad ini dengan silsilah
adz-dzahab (isnad emas).
Keraguan Juynboll atas isnad emas ini didasarkan atas dua hal, yakni kesejarahan
tokoh Nafi' dan hubungan guru-murid antara Malik dan Nafi'. Untuk masalah
pertama (kesejarahan tokoh Nafi'), Juynboll paling tidak mengungkapkan tiga
argumen yang mem-perkuat bahwa tokoh Nafi' adalah fiktif, bukan historis.
Argumen tersebut: pertama, sangat
sedikit sejarah hidup Nafi' yang dapat di-ketahui dari berbagai sumber
biografis, bahkan lebih sedikit daripada para periwayat penting yang lain. kedua, terdapat kontradiksi dalam
berbagai laporan tentang biografi Nafi' yang sangat sedikit itu, khususnya
tentang asal-usul dan tahun kematiannya.
Argumen ketiga adalah bahwa
dalam dua buku utama yang merekam para tabiin Madinah, Thabagat al-Kabir karya Ibn Sad dan Shifatash-Shafwah karya Ibn al-Jawzi, biografi Nafi' tidak
dijumpai, padahal nama-nama para tabiin yang semasa dengannya disebutkan di
sana.
Berdasarkan kronologi semacam itu,
Juynboll menyimpulkan bahwa hadits-hadits dengan isnad Nafi' tidak mungkin sampai ke-pada Malik, kecuali melalui
bahan tertulis (written material)
yang didapatkan Malik beberapa tahun setelah meninggalnya Nafi'. Jadi, Malik
sebenarnya meriwayatkan hadits-hadits Nafi' tersebut ber-dasarkan shahifah dan
meriwayatkannya dengan cara 'ardh
atau mu’dradhah, sebuah praktik periwayatan
hadits yang telah ada pada 110 H.
Berbagai temuan Juynboll mengenai isnad Malik - Nafi' - Ibn Umar
ini dikritik oleh Motzki dalam sebuah artikel yang diterbitkan dalam Der
Islam. Dalam tulisan tersebut, berbagai temuan Juynboll tentang isnad Malik - Nafi' - Ibn Umar
dipertanyakan secara serius. Pertama,
terkait dengan kesejarahan tokoh Nafi', misalnya, Motzki mengakui bahwa
terdapat beberapa periwayat penting yang tidak banyak diketahui riwayat
hidupnya, sementara biografi para periwayat yang kurang penting justru direkam
lebih luas dalam berbagai buku biografi periwayat. Dari sini dapat disimpulkan
bahwa biografi para periwayat Arab lebih banyak diketahui daripada biografi
mawali.
Kedua, berbagai laporan tentang biografi
Nafi' yang oleh Juynboll dianggap kontradiktif satu sama lain sebenarnya
tidaklah demikian. Walaupun terdapat dua versi mengenai asal-usul Nafi’ dalam
sumber-sumber biografi tertua, Juynboll tampaknya tidak sadar bahwa Abrasyahr
(daerah di sekitar Naysabur) telah disebutkan dalam Thabagat Ibn Sa'd
sebagai tempat kelahiran Nafi' dan bahwa Umar mendapatkannya sebagai mawla
dalam operasi militernya.
Ketiga, Motzki mempersoalkan sikap
Juynboll yang kelihatan rerkejutketika membaca informasi tentang Nafi' yang
hampir semuanya bersumber dari Malik sendiri. Menurut Motzki, berbagai tulisan
biografis mengenai Malik tentu saja menitik beratkan pada hubungannya
dengan Nafi' dan bukan hubungan Nafi' dengan murid-muridnya yang lain. Dan,
sangat logis jika Malik sendiri yang sering dikutip tcntang berbagai persoalan
yang menyangkut guru-gurunya, termasuk Nafi'. Terlebih lagi jika seseorang
membaca tulisan biografis mengenai Nafi', seseorang akan menemukan bahwa Malik
bukanlah sumber yang dominan.
Terlepas
dari berbagai kritik Motzki tersebut, pandangan negatif Juynboll atas isnad keluarga, khususnya isnad emas: Malik - Nafi'- Ibn
Umar, merupakan bukti yang tidak dapat dibantah bahwa ia adalah pengikut
Schacht (Schachtian) yang
setia.
Dalam banyak hal, baik teori maupun hasil temuan Juynboll tidak lebih
daripada sekadar syarh dan perluasan
atas ide-ide Schacht dan juga Goldziher.
G. Beberapa Isu Penting dalam Hadits
1. Hadits tentang pembangunan kota Baghdad
Salah satu
hadits yang dikaji oleh Juynboll dengan metode common link adalah hadits tentang pembangunan kota Baghdad dan
kekhawatiran originatornya atas masa depan kota Baghdad dan para penguasanya,
para khalifah
Abbasiyah. Hadits tersebut terdapat dalam Tarikh Baghdad, karya al-Khathib
al-Baghdadi dan Kitab al-Maudhu'at, karya Ibn al-Jawzi. Matan hadits itu berbunyi:
(wa yajtami'u fiha muluku ahl al-ardhi wa jababiratu ahl al-ardhi)
lahiya asra'u (bihim) dzahaban, htnan, khasfan, halakan, haraban,kharaban min
(al-) watad al-hadid (al-) sikka(;) (al-hadid),
al-hadid(ah)(al-muhmat), al-mirwad, al-mi'wal fi al-ardhi
ar-rakhwati;minal-watad al-yAbis fi al-ardhi ar-rathbah.
Menurut
Juynboll, hadits ini-yang dapat dijadikan sebagai contoh penerapan teori common link yang lebih
spektakuler-dikaji karena beberapa alasan: pertama, matan hadits tersebut menunjukkan dengan jelas kapan dan dari mana
is berasal; kedua, sejumlah isnadnya
menunjukkan adanya seorang common link,
yang merupakan salah seorang dari ahli hadits paling dikenal pada masanya dan
yang biografinya menunjukkan dengan jelas kemungkinan motifnya untuk
menyebarkan kata-kata ini; dan ketiga, dalam penjelasan yang luas tentang isnad-nya, al-Khathib al-Baghdadi dan
Ibn al-Jawzi telah menyimpan bukti-bukti yang menunjukkan adanya seorang ahli
hadits sebagai pencetus (originator)
-nya.
2. Hadits tentang mengecat rambut dan
janggut
Hadits lain
yang dikaji oleh Juynboll dengan menggunakan teori common link adalah hadits tentang mengecat rambut kepala dan
janggut, suatu kebiasaan bersolek yang terdapat dalam berbagai sumber Islam
kuno, seperti koleksi hadits, kumpulan biografi, dan naskah-naskah sejarah.
Tujuan utama pengkajian hadits ini, bagi Juynboll, tiada lain adalah untuk
menelusuri kronologi, asal-usul, dan sumber hadits tersebut. Dari ketiga
masalah ini, persoalan kedua lebih dapat dikaji secara cermat, meskipun
masalah pertama dan ketiga tetap saja bisa diselidiki. Tentu saja, jika dilihat
dari perkembangan
tulisannya di bidang hadits, analisis Juynboll tentang hadits ini dapat
dikatakan sebagai upayanya untuk memperkenalkan teori common link.
Hasil
analisis Juynboll menunjukkan bahwa hadits-hadits yang disandarkan kepada nabi
dan para tokoh awal Islam yang membicarakan masalah mengecat rambut itu pada
dasarnya berasal dari tiga tempat: Hijaz, Syria, dan Irak. Menurutnya, ada
laporan penting yang terkait dengan Hijaz, yang berasal dari Hasan
al-Bashri (w. 110 H./ 728 M.). Diberitahukan bahwa Hasan al-Basri pernah
mengatakan: "Saya melihat
perempuan-perempuan Madinah tertentu melakukan shalat dengan rambut bercat
wasmah". Kata-kata ini selanjutnya di-
ikuti dengan cerita tentang percakapan antara asy-Sya'bi, ahli fiqh Kufah (w. 103-110 H./721-728 M.) dengan Ibn Umar (w. 74 H./693 M.) tentang mengecat dengan wasmah, yang terjadi tidak lama menjelang Ibn Umar meninggal, namun tampaknya Ibn Umar tidak tahu hal itu.
ikuti dengan cerita tentang percakapan antara asy-Sya'bi, ahli fiqh Kufah (w. 103-110 H./721-728 M.) dengan Ibn Umar (w. 74 H./693 M.) tentang mengecat dengan wasmah, yang terjadi tidak lama menjelang Ibn Umar meninggal, namun tampaknya Ibn Umar tidak tahu hal itu.
3.
Hadits yang merendahkan martabat perempuan (misoginis)
Pada
bab II sub bab ketiga buku ini, hadits yang merendahkan martabat perempuan
telah didiskusikan dalam kaitannya dengan cara kerja teori common link: metode rekonstruksi dan analisis isnad. Agar tidak mengakibatkan pengulangan pembahasan yang
tidak perlu, di sini, pembicaraan mengenai hadits tersebut dilakukan secara
singkat saja dan hanya menitikberatkan pada materi haditsnya yang kurang
dibahas sebelumnya.
Pada
awalnya, Juynboll tampak curiga atas berbagai generalisasi tentang perempuan
yang terdapat dalam berbagai literatur hadits karena generalisasi itu dianggap
telah merendahkan martabat perempuan. Apakah hadits-hadits itu benar-benar
berasal dari nabi atau tidak, karena menurutnya, meskipun suatu hadits tertentu
yang berkaitan dengan nabi dapat ditemukan di berbagai koleksi hadits kanonik,
hal itu tidak berarti bahwa penyandarannya telah terjamin secara
historis. Dengan asumsi ini, is mencoba menelusuri hadits-hadits yang merendahkan
martabat perempuan hingga para pencetus (originatornya).
BAB IV
BERBAGAI INTERPRETASI TENTANG FENOMENA COMMON LINK
Jika
asumsi tentang adanya fenomena common
link dan singlestrand dalam
literatur hadits ini dapat diterima sebagai fakta sejarah (historical facts) maka yang menjadi titik tolak perdebatan
selanjutnya adalah persoalan interpretasi mengenai fakta tersebut. Sebab,
sebuah fakta sejarah, seperti fenomena common
link dan single strand, dapat diinterpretasikan dan dimaknai secara beragam;
mungkin ditafsirkan seperti penafsiran Juynboll dan mungkin pula ditafsirkan
sedikit berbeda dengannya. Selain itu, interpretasi dan penjelasan
Juynbollmengenai fakta-fakta sejarah itu mungkin akan memuaskan dan meyakinkan
sebagaian peneliti hadits, namun belum tentu bagi pengkaji hadits yang
lain.
A. M.M. Azami: Common link hanya Imajinasi
M.M.
Azami, pengkaji hadits dari Universitas King Sa'ud, tidak hanya mempertanyakan
interpretasi tentang fenomena common link
dan single strand, tetapi juga meragukan validitas teori tersebut.
Azami
cenderung menyatakan bahwa metode common
link dan semua kesimpulan yang dicapai dengannya tidak relevan dan
sama sekali tidak berdasar. Kesimpulan ini dicapai setelah dia mengkaji
jalur
isnad dari hadits tentang
makanan seseorang yang ber-ihram, yang menurut Schacht dapat dijadikan bukti
bagi adanya fenomena common link.
Lebih lanjut
Azami menyatakan bahwa mungkin ada hadits-hadits yang diriwayatkan oleh lebih
dan seorang sahabat, namun pada perkembangannya hanya seorang periwayat tunggal
saja yang menjadi satu-satunya periwayat yang menyampaikan hadits tersebut
kepada sejumlah muridnya. Akan tetapi, hadits semacam ini jarang ditemukan dan tidak
ada dalam naskah Suhail. Dengan demikian, menurut Azami, fenomena common link sebenarnya sangat jarang,
jika tidak pernah, terjadi dalam periwayatan hadits. Pendek kata, metode common link hanyalah imajinasi dari
Schacht yang tidak pernah ada dalam kenyataan.
B. H.H.Motzki: Common link sebagai Kolektor
Sistematis Pertama
Sistematis Pertama
Ketika
mengkaji beberapa konsep teknis dan asumsi-asumsi dari metode analisis isnad, Motzki menyadari bahwa fenomena
jalur tunggal di bawah common link
dan observasi yang menyatakan bahwa sebagian besar common link terjadi pada generasi ketiga dan keempat hijriah, hal
itu membutuhkan interpretasi dan penjelasan yang tepat. Menurut Juynboll,
penjelasan tentang hal ini harus dicari dalam kronologi kelahiran isnad. Berdasarkan asumsi dasarnya tent periwayatan
yang benar, is mengatakan, ada anomali yang sangat jelas dalam periwayatan
hadits. Dalam pandangannya, penyebutaii isnad, nama-nama periwayat yang menjadi sumber informasi mengenai
nabi dan sahabatnya, menjadi persyaratan bagi seorang periwayat itu berawal
pada seperempat ketiga abad pertama hijriah, yakni setelah "fitnah
kedua" yang terjadi pada 63-73 H./683-692 M.
Lebih
lanjut Motzki mengakui bahwa kebiasaan menyebutkan nama-nama periwayat dan
jalur-jalur periwayatan yang pada awalnya diadopsi secara perlahan pada abad
pertama dan awal abad kedua hijriah menjadi sebab timbulnya jalur-jalur tunggal
di bagian bawah bundel isnad. Akan
tetapi, terkait dengan fenomena common
link, ia berbeda dengan Juynboll dalam interpretasinya.
Menurut Motzki, ada banyak bukti yang mengindikasikan bahwa common links adalah para kolektor
sistematis pertama yang sekaligus berperan sebagai guru yang mengajarkan ilmu
pengetahuan secara umum dan mengajarkan hadits secara khusus.
C. Michael A. Cook: Common linksebagai
Akibat dariProsesPenyebaranIsnad
Interpretasi
lain tentang fenomena common link
berasal dari Michael A. Cook, seorang pakar sejarah hadits dari Universitas
Princeton, New Jersey. Dalam EarlyMusim
Dogma, ia mengkaji persoalan penanggalan (dating) hadits. la menantang temuan-temuan Joseph van
Ess mengenai asal-usul dan perkembangan
kontroversi Jabariah dan Qadariah pada masa Islam awal. Cook mengakui bahwa
metode van Ess adalah metode seorang orientalis: seseorang tidak member penanggalan
pada hadits hanya berdasarkan penyandaran seperti dalam Isnad. Menurut Cook, van Ess, seperti halnya Schacht, mengakui
bahwa
isnad telah berkembang ke
belakang dan ia juga menerima validitas teori common link. Yakni, seperti dijelaskan
di atas, ketika berbagai isnad dari
matan hadits yang lama tampak
bercabang atau menyebar dari seorang periwayat tertentu maka periwayat tersebut berperan
sebagai titik pindah bersama (terminus
antequem).
Untuk
mengkritik metode common link, Cook
mengembangkan dan memperluas teori Schacht yang lain, yakni teori penyebaran isnad (the spread
ofisnads). Teori ini mengatakan bahwa para periwayat hadits
terbiasa menciptakan isnad-isnad tambahan
untuk mendukung sebuah matan hadits
yang sama. Menurut Cook, munculnya fenomena common link adalah akibat dari proses penyebaran isnad dalam skala besar.
D. Norman Calder: Common link sebagai Tokoh yang
Kebaldari Kritik
Calder
berkeyakinan bahwa tidak hanya enam buku yang dikajinya, tetapi juga seluruh
literatur Arab-Islam yang diklaim berasal dari abad pertama, kedua, dan awal
abad ketiga hijriah telah mengalami pertumbuhan organis dan proses redaksional
multi-level. Teori pertumbuhan organik bagi literatur yuristik lisan dan
tertulis ini digunakan oleh Calder sebagai latar belakang bagi upayanya untuk
menunjukkan bahwa matan hadits yang sama, yang memiliki seorang common link bukan karena hadits itu disebarluaskan oleh periwayat yang berperan sebagai common link (atau beberapa muridnya), melainkan sebagai akibat dari sebuah skenario yang sangat berbeda. Oleh karena itu, Calder mengingkari bahwa metode common link itu dapat dipakai untuk mengetahui penanggalan hadits. Baginya, fenomena common link sebagai satu ciri yang terdapat dalam literatur hadits sangat terkait dengan metode kritik isnad yang berlaku di kalangan para ahli hukum dan yang lainnya pada paro kedua abad ketiga hijriah.
menunjukkan bahwa matan hadits yang sama, yang memiliki seorang common link bukan karena hadits itu disebarluaskan oleh periwayat yang berperan sebagai common link (atau beberapa muridnya), melainkan sebagai akibat dari sebuah skenario yang sangat berbeda. Oleh karena itu, Calder mengingkari bahwa metode common link itu dapat dipakai untuk mengetahui penanggalan hadits. Baginya, fenomena common link sebagai satu ciri yang terdapat dalam literatur hadits sangat terkait dengan metode kritik isnad yang berlaku di kalangan para ahli hukum dan yang lainnya pada paro kedua abad ketiga hijriah.
E. David Powers dan
Upaya Mencari The Real Common link
Ada
dua hal yang perlu diperhatikan dari argumen Powers: pertama, dia tidak mempersoalkan apakah common link harus didukung oleh beberapa partial common link dari generasi berikutnya atau tidak. Baginya,
periwayat yang menduduki posisi common
link tidak harus didukung oleh periwayat belakangan yang berstatus sebagai partial common link yang meriwayatkannya
kepada
partialcommon link berikutnya
hingga pada para kolektor hadits, sebagai-mana krteria yang ditetapkan oleh
Juynboll. Bisa saja common link hanya
didukung oleh jalur-jalur tunggal yang menerima hadits darinya dan pada
gilirannya menyampaikannya kepada seorang atau dua orang muridnya.
Kedua,
Powers mengakui, untuk mengidentifikasi the
real common link, seseorang seharusnya menerima asumsi bahwa isnad telah menyebar seperti yang
dijelaskan oleh tradisi Islam sendiri. Dengan demikian, ia mempercayai
jalur-jalur isnad, termasuk
jalur-jalur tunggal (single strand),
asalkan jalur-jalur tersebut bersambung dan terdiri dari Para periwayat yang
bisa diterima (reliable/tsiqah).
Oleh karena itu, ketika Powers menghadapi persoalan apakah jalur tunggal dari
Sa'd kepada nabi dapat dipercaya atau tidak, is mengembalikan persoalan
tersebut pada reliabilitas Sa'd sebagai seorang periwayat. Jika Sa'd termasuk
orang yang tidak dapat dipercaya maka is adalah pencetus (originator) hadits itu. Sebaliknya, Jika Sad termasuk orang yang
dapat dipercaya dengan bukti-bukti yang jelas maka hubungannya dengan nabi
dapat diterima.
F. Interpretasi
Alternatif
Interpretasi
alternatif mengenai fenomena common link,
singlestrand (jalur tunggal), dan
diving strand (jalur menyelam) dapat
ditemukan jika seseorang menyelidiki kembali sejarah awal periwayatan hadits.
Memang benar bahwa hadits yang terdiri dari isnad dan matan tidak
mungkin muncul begitu mendadak tanpa perkembangan sebelumnya, baik
perkembangan teknis maupun perkembangan materinya. Oleh karena itu,
hadits yang masih bersifat informal pada masa hidup nabi berubah
menjadi semi formal setelah nabi meninggal.
Pemahaman
dan interpretasi atas fenomena common
link dan fenomena lain yang terkait dengannya seharusnya didasarkan pada
konteks sejarah awal periwayatan hadits dan bukan pada kriteria-kriteria
subjektif seorang sejarawan hadits. Kekeliruan semacam inilah yang terjadi pada
Juynboll. Ia menafsirkan fenomena common
link melalui asumsinya sendiri yang pada gilirannya menimbulkan
kesalahpahaman atas sejarah periwayatan hadits. Juynboll tampaknya
terdeterminasi oleh ide-ide prakonsepsinya. Seharusnya, ia terlebih
dahulu menangguhkan ide-ide prakonsepsi tersebut sebelum memahami dan
menafsirkan gejala common link dan
gejala lainnya.
BAB V
VERIFIKASITEORI
COMMONLINK
BERDASARKAN HADITS TENTANG SYAHADAT DAN RUKUN
ISLAM
Dalam bab ini, kebenaran teori common
link Juynboll akan coba penulis uji dengan cara menerapkannya pada
hadits-hadits tertentu. Hadits yang dipilih untuk memverifikasi teori tersebut
adalah hadits-hadits tentang syahadat dan rukun Islam. Setidak-tidaknya, ada
beberapa alasan mengapa penulis lebih memilih hadits-hadits tentang topik
tersebut. Pertama, berbagai jalur isnad yang mendukung matan hadits tersebut, jika
dihimpun dan direkonstruksi, mem-bentuk suatu bundel isnad dan dengan demikian menunjukkan ada-nya periwayat
yang berperan sebagai common link-nya. Alasan
kedua bahwa hadits-hadits tentang
topik di atas adalah hadits-hadits pokok yang menjadi dasar ajaran Islam. Dalam
konteks semacam itu, perlu kiranya ditelusuri dan diketahui sejarah
periwayatannya, khususnya mengenai di mana, kapan, dan oleh siapa hadits-hadits
itu disebarkan. Ketiga, adanya perdebatan seputar hadits tersebut, baik dari kalangan
Islam, Mahmud Abu Rayyah' misalnya, maupun dari kalangan pengkaji
hadits di Barat, seperti Wensinck.Z Oleh karena itu, pengujian ini diharapkan
mampu memverifikasi teori Juynboll tersebut dan sekaligus memberikan kontribusi
di tengah perdebatan itu.
A. Analisis Isnad
Jika hadits-hadits
tentang syahadat dan rukun Islam ditelusuri di berbagai koleksi hadits, baik prakanonik
maupun kanonik maka akan ditemukan banyak hadits yang berkaitan dengan
masalah ini. Di antara semua hadits itu, paling tidak ada tiga hadits utama
yanng
memiliki kelompok periwayatan yang berbeda satu lama lain. Hadits yang
pertama diriwayatkan oleh sahabat nabi, Umar bin al-Khathab, hadits
kedua menunjukkan anak laki-lakinya, Abdullah bin Umar sebagai periwayat
pertamanya; dan hadits ketiga diriwayatkan oleh Thalhah bin Ubaidillah.
Sekarang, marilah kita analisis masing-masing kelompok isnadnya.
1. Hadits Umar
bin al-Khathab
Hadits
Umar ini lebih dikenal dengan hadits Jibril karena dalam hadits tersebut jibril
datang kepada nabi untuk menanyakan masalah Islam, iman, dan ihsan. Berbagai
varian dari versi ini, yang masing-masing dilengkapi dengan isnad, ditemukan dalam enam sumber:
Musnad Ahmad bin Hanbal, al-Jami'ash-Shahih Muslim, Sunan an-Nasa`i, Sunan Abu
Dawud, al jami' ash-Shahih at-Tirmidzi, dan Sunan Ibn Majah.
Muslim
menyebutkan tujuh varian; semuanya adalah versi panjang. Dua varian dari Zuhair
bin Harb dan Ubaidillah bin Mu'adz. Keduanya kembali kepada dua periwayat yang
berbeda, yakni kepada Mu'adz bin Mu'adz, ayah Ubaidillah, dan kepada
Waki', yang mana keduanya menyebut Kahmas bin al-Hasan sebagai somber haditsnya.
Tiga varian yang lain: varian Muhammad bin Ubaid al Ghubari, varian Abu Kamil
al-Jahdari, dan varian Ahmad bin Abdah, berasal dari seorang guru
(syaikh) yang sama, yakni Hammad bin Zaid yang menerima hadits itu dari Mathar
al-Warraq. Dua varian berikutnya adalah varian Muhammad bin Hatim dan varian
Hajjaj bin asy-Sya'ir. Muhammad bin Hatim memperoleh laporan tersebut dari
Yahya bin Sa'id yang meriwayatkan dari Utsman bin Ghiyats. Sementara Hajjaj bin
asy-Sya'ir menyebut Yunus bin Muhammad sebagai informannya yang meriwayatkannya
dari al-Mu'tamir.
2. Hadits Ibn Umar
Berbagai
varian hadits tentang syahadat dan rukun Islam yang didasarkan pada otoritas
Ibn Umar dan yang dilengkapi dengan isnad
ditemukan dalam sejumlah sumber: Musnad Humaidi, Musnad Ahmad bin Hanbal,
al-jdmi' ash-Shahih al-Bukhari, al jami' ash-Shahih Muslim, al jami' ash-Shahih
at-Tirmidzi, dan Sunan an-Nasal.
Humaidi
dan an-Nasa`i, masing-masing memiliki satu varian dengan versi pendek. Humaidi
menyebutkan satu varian dari Su'air bin al-Khimsh yang meriwayatkannya dari
Habib bin Abi Tsabit; sementara varian an-Nasa'i berasal dari Muhammad bin
Abdullah bin Ammar yang meriwayatkan dari Ibn Imran. Ibn Imran sendiri mengaku
menerima hadits tersebut dari Hanzhalah bin Aba Sufyan dari Ikrimah bin Khalid.
3. Hadits Thalhah bin Ubaidillah
Sejumlah
varian dari versi hadits tentang topik yang dibicarakan berdasarkan otoritas
seorang sahabat, Thalhah bin Ubaidillah, yang disertai dengan isnad-nya terdapat dalam berbagai sumber
berikut ini: Muwatha` Malik, Musnad Ahmad bin Hanbal, al Jami' ash-Shahih
al-Bukhari, al jami' ash-Shahih Muslim, Sunan an-Nasa'i, Sunan Abu Dawud, dan
Sunan ad-Darimi.
Al-Bukhari merekam dua varian; dua-duanya
versi panjang. Satu versi dari Qutaibah yang kembali kepada Ismail bin Ja'far,
sementara sate versi lainnya dari Isma'il bin Abi Uwais yang bersumber dari Malik.
Dua periwayat ini, Ismail bin Ja'far dan Malik, mengklaim telah menerima versi
tersebut dari paman Malik, Abu Suhail bin Malik, yang memperoleh hadits ini
dari ayahnya, Malik bin Abu Amir dari Thalhah bin Ubaidillah dari Nabi Saw.
Sementara itu, an-
Nasi'i merekam tiga varian; semuanya versi panjang. Dua varian dari Qutaibah dan dari Muhammad bin Salamah yang menyebut Abdurrahman bin al-Qasim sebagai informannya. Kedua varian ter-sebut bersumber dari seorang periwayat yang sama, Malik. Satu varian lagi dari All bin Hujr, yang kembali kepada Ismi'il bin Ja'far.
Nasi'i merekam tiga varian; semuanya versi panjang. Dua varian dari Qutaibah dan dari Muhammad bin Salamah yang menyebut Abdurrahman bin al-Qasim sebagai informannya. Kedua varian ter-sebut bersumber dari seorang periwayat yang sama, Malik. Satu varian lagi dari All bin Hujr, yang kembali kepada Ismi'il bin Ja'far.
B. Analisis Matan
Analisis atas
isnad-isnad dari semua varian hadits tentang syahadat dan rukun Islam
mengharuskan kita untuk mengklasifikasi versi-versi yang berbeda-beda. Dengan
mengidentifikasi para periwayat hadits yang menduduki posisi common link dan partial common link,
langkah pertama untuk menentukan sejarah periwayatan masing-masing versi telah
dilakukan. Akan tetapi, kepastian tentang asal-usul dan perkembangan awal
hadits tersebut tidak dapat diperoleh hanya dari berbagai jalur periwayatan
semata. Penanggalan tersebut dapat diperbaiki dengan metode analisis teks (matan) dan dengan membandingkan hasil
temuan yang dicapai dari analisis matan
dengan temuan dari analisis isnad.
Dari
studi ini dapat diamati bahwa berbagai varian matan dari sebuah bundel isnad
memiliki elemen-elemen umum yang muncul pada seluruh versi yang berbeda. Inti matan ini setidak-tidaknya kembali
kepada seseorang yang membentuk common
link dalam bundel isnad. hanya
saja, untuk menentukan apakah elemen-elemen tekstual ini lebih tua daripada common link atau justru sebaliknya, kita
harus membandingkan berbagai versi yang kembali kepada common link yang berbeda namun melaporkan riwayat yang sama.
Langkah per-tama dari analisis matan
ini adalah membandingkan berbagai varian yang termasuk ke dalam bundel isnad yang sama, sementara langkah kedua
adalah perbandingan antara berbagai matan
yang termasuk ke dalam bundel-bundel isnad
yang berbeda.
C. Hubungan Antarberbagai Hadits yang
Berbeda
Di
halaman-halaman sebelumnya, telah dilakukan langkah pertama dari analisis matan, yakni membandingkan antar berbagai
varian yang tergabung dalam bundel isnad
yang sama. Kini saatnya dilakukan langkah yang kedua, yakni membandingkan antar berbagai
matan yang tergabung dalam beberapa
bundel isnad yang berbeda. Ada empat
versi yang harus dibandingkan satu dengan yang lain: versi Umar bin al-Khathab,
versi Abu Hurairah, versi Ibn Umar, dan versi Thalhah bin Ubaidillah.
Jika
kandungan teks (matan) hadits yang
dinyatakan berasal dari Kahmas dibandingkan dengan teks hadits yang kembali
kepada Abu Zur'ah maka terlihat dengan jelas bahwa dua-duanya menunjukkan
persamaan substansi dan struktur matan.
Dari segi substansi matan, dua teks
ini sama-sama berisi penjelasan tentang Islam, iman, ihsan, dan tanda-tanda
hari akhir. Sementara dari segi struktur matan,
keduanya sama-sama menunjukkan bahwa hadits itu muncul karena nabi ditanya oleh seorang laki-laki tak dikenal yang kemudian diterangkan di bagian akhir bahwa seorang laki-laki itu adalah Jibril.
keduanya sama-sama menunjukkan bahwa hadits itu muncul karena nabi ditanya oleh seorang laki-laki tak dikenal yang kemudian diterangkan di bagian akhir bahwa seorang laki-laki itu adalah Jibril.
Perbedaannya
tentu saja hanya terkait dengan persoalan pemilihan lafazhnya saja adanya
penambahan (ziyadah) atau pengurangan
(nuqshan) pada bagian-bagian matan-nya. Versi Kahmas menggunakan
lafazh-lafazh, seperti akhbirni 'an
al-islam, akhbirni 'an al-iman,dan akhbirni 'an as-sa'ah, bukan
lafazh-lafazh seperti ma al-iman,ma
al-Islam, ma al-ihsan, dan mataas-sa'ah seperti
yang terdapat dalam versi Abu Zur'ah. Selain itu, elemen-elemen rukun Islam dan
rukun iman dalam versi Kahmas tampaknya jauh lebih lengkap dan lebih sistematis
daripada yang terekam dalam versi Abu Zur'ah. Dalam versi Abu Zur'ah tidak
disebutkan percaya kepada kitab-kitab dan percaya kepada qadar, balk dan buruk,
seperti dalam versi Kahmas. Versi Abu Zur'ah juga tidak menyebutkan haji
sebagai elemen rukun Islam.
Perbandingan
antara tiga kandungan teks hadits dari Kahmas, Abu Zur'ah, Ibn Umar dengan
kandungan matan hadits yang kembali
kepada Abu Suhail menunjukkan persamaan-persamaan berikut: (1) kandungan matan hadits Abu Suhail sama dengan
kandungan teks hadits dari tiga sumber di atas; (2) struktur teks hadits ini
sama dengan struktur tiga matan
hadits sebelumnya, yakni adanya
latar belakang pertanyaan dari seorang laki-laki yang tak dikenal. Perbedaannya: (1) Selain lebih mendahulukan puasa daripada zakat dalam urutannya, versi ini tidak menyebutkan syahadat dan haji sebagai elemen dari rukun Islam; (2) lafazh-lafazh yang digunakan dalam versi ini benar-benar berbeda dengan tiga versi sebelumnya. Selain itu, dari segi urutannya, puasa lebih didahulukan daripada
zakat.
latar belakang pertanyaan dari seorang laki-laki yang tak dikenal. Perbedaannya: (1) Selain lebih mendahulukan puasa daripada zakat dalam urutannya, versi ini tidak menyebutkan syahadat dan haji sebagai elemen dari rukun Islam; (2) lafazh-lafazh yang digunakan dalam versi ini benar-benar berbeda dengan tiga versi sebelumnya. Selain itu, dari segi urutannya, puasa lebih didahulukan daripada
zakat.
KESIMPULAN
Comman link adalah istilah untuk seorang
periwayat hadits yang mendengar suatu hadits (jarang lebih dari) seorang yang
berwenang dan lalu ia menyiarkannya
kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka
menyiarkan lagi kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari
mereka menyiarkan lagi kepada dua atau muridnya. Dengan kata lain, Comman Link adalah periwayat tertua yang
disebut dalam berkas Isnad yang
meneruskan hadits kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika berkas Isnad
hadits itu mulai menyebar untuk yang pertama kalinya maka disanalah
detemukan Comman Link-nya
G.H.A.
Juynboll telah menggunakan teori common
link untuk menyelidiki asal-usul dan sejarah awal periwayatan hadits selama
dua puluh tahun terakhir ini. Teori ini berpijak pada asumsi dasar bahwa
semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu pada seorang periwayat, baik yang
menuju kepadanya atau yang meninggalkannya, seambang ke satu jalur
saja, yakni single strand, tidak
dapat dipercaya kesejarahannya. Akan tetapi, hasil riset ini menunjukkan
bahwa asumsi ini tampaknya kurang meyakinkan.
Secara
praktis, asumsi tersebut diterapkan oleh Juynboll melalui metode analisis isnad yang terdiri atas beberapa langkah
berikut ini: (1) menentukan hadits yang diteliti; (2) menelusuri hadits di
berbagai sumber aslinya; (3) menghimpun seluruh isnad hadits; (4) merekonstruksi seluruh jalur isnad dalam sebuah bundel isnad, dan (5) mendeteksi seorang
periwayat yang menduduki posisi common
link. Juynboll mengembangkan teori common
link setelah mengetahui bahwa metode kritik hadits yang ditawarkan oleh
para ahli hadits (muhadditsun)
masih kontroversial karena memiliki beberapa ke-lemahan yang cukup mendasar dan
tidak mampu memberikan kepastian mengenai sejarah periwayatan hadits.
Berbagai
implikasi yang ditimbulkan oleh teoari common
link Juynboll memberikan indikasi yang sangat kuat bahwa ide-idenya tentang
sejarah awal periwayatan hadits lebih dekat dan lebih sejalan dengan Goldziher
dan Schacht, dua orang pendahulunya yang merupakan wakil utama dari kelompok
revisionis. Dalam banyak hal, baik teori maupun hasil temuannya tidak lebih
dari sekedar syarh dan perluasan atas ide-ide Goldziher dan Schacht.
Sebaliknya,pendapat Juynboll tentang hal tersebut berbeda dengan pendapat
Abbott, Sezgin, dan Azami dari aliran tradisional. Meskipun demikian,
kita tidak
dapat mengingkari bahwa dalam beberapa hal, temuan Juynboll tentang
asal-usul hadits tampaknya berada diposisi tengah antara kelompok
tradisionalis dan revisionis.
Verifikasi
teori common link berdasarkan hadits
tentang syahadat dan rukun Islam membuktikan bahwa seorang periwayat
yang menduduki posisi common link
dalam sebuah bundel isnad berasal
dari generasi
yang beragam. Ada yang termasuk generasi sahabat kecil, seperti Ibn Umar (w.
74 H.); ada yang berasal dari generasi tabiin, seperti Abu Zur'ah
(w. kira-kira awal abad II H.) dan Abu Suhail bin Malik (w. setelah 140
H.); dan ada pula yang tergolong generasi tabiin tabiin,
seperti Kahmas bin al-Hasan (w. 149 H.). Tidak ada seorang periwayat dari
generasi sahabat besar yang menjadi common
link bagi beberapa bundel isnad
hadits tersebut. Tidak dapat diingkari bahwa generasi tabiin lebih sering berperan
sebagai common link daripada
generasi sahabat kecil atau generasi tabiit tabiin. Hal ini adalah
wajar karena selain relatif sedikitnya jumlah sahabat kecil yang meriwayatkan
hadits, juga karena pada masa sahabat kecil, hadits baru disebarkan secara
publik.
0 komentar:
Posting Komentar