Kamis, 21 November 2013

Common Link Juynboll



Ada yang berkata bahwa mempelajari keilmuan hadis sulit sebab harus menempuh beberapa bidang cabang-cabang keilmuan di dalamnya. Salah satunya adalah tahap pelacakan para periwayat. Di bawah ini saya paparkan sebuah teori yang diperkenalkan oleh ilmuan barat yang begitu terkenal. Selamat membaca!
TEORI COMMON LINK G.H.A JUYNBOLL (MELACAK AKAR KESEJARAHAN HADITS)

PENDAHULUAN


Hingga kini, persoalan asal usul hadits masih menjadi perdebatan di kalangan pemikir hadits. Sejumlah pemikir meragukan kebenaran hadits berasal dari Nabi dan hal itu, menurut mereka, dapat dibuktikan secara historis, sedangkan sebagian pemikir lainnya mempercayai bahwa hadits memang berasal dari Nabi.
Ignaz Goldziher (1850-1921) yang termasuk kelompok pertama mengatakan: fenomena hadits berasal dari dari zaman Islam yang paling awal. Akan tetapi, karena kandungan hadits yang terus membengkak pada era selanjutnya dan dalam setiap generasi muslim materi hadits berjalan paralel dengan doktrin-doktrin fiqih dan teologi yang sering kali saling bertentangan, maka dapat disimpulkan bahwa sangat sulit untuk menentukan hadits-hadits orisinil yang berasal dari Nabi.  Lebih lanjut dia berpendapat bahwa sebagian besar materi hadits dalam koleksi kitab hadits, merupakan hasil perkembangan keagamaan, historis, dan sosial Islam selama dua abad pertama, atau refleksi dari kecenderungan-kecenderungan yang tampak pada masyarakat  muslim selama masa-masa tersebut.
            Joseph Schacht (1902-1969) yang mengklaim sebagai penerus Goldziher menyatakan bahwa isnad yakni rangkaian periwayat hadits yang menjadi sandaran kesahihan sebuah matan hadits, memiliki kecenderungan untuk berkembang kebelakang. Menurutnya Isnad berawal dari bentuk yang sederhana, lalu diperbaiki sedemikian rupa dengan cara mengaitkan doktrin-doktrin aliran Fiqih klasik kepada tokoh yang lebih awal, seperti sahabat dan akhirnya kepada Nabi. Teori-teori Goldziher dan Schacht tersebut selanjutnya diikuti dan dikembangkan oleh ahli sejarah Islam Klasik dan hadits.
            Juynboll dalam mengkaji sejarah awal hadits, mengadopsi teori-teori Schacht, terutama teori common link-nya. Teori ini merupakan struktur fundamental  bagi seluruh kajiannya mengenai hadits Nabi. Comman link adalah istilah untuk seorang periwayat hadits yang mendengar suatu hadits (jarang lebih dari) seorang yang berwenang dan lalu ia menyiarkannya  kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka menyiarkan lagi kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka menyiarkan lagi kepada dua atau muridnya. Dengan kata lain, Comman Link adalah periwayat tertua yang disebut dalam berkas Isnad yang meneruskan hadits kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika berkas Isnad  hadits itu mulai menyebar untuk yang pertama kalinya maka disanalah detemukan Comman Link-nya.
JuynBoll lantas membuat kategori hadits sebagai berkut:
1.      Hadits dengan isnad-isnad yang berakhir pada tabi’in.
Tabi’in atau muridnya merupakan kaitan bersama atau sumbernya, jika isnadnya berganda dan dapat disatukan menjadi berkas yang mengacu kepada kaitan bersama itu.
2.      Hadits dengan isnad-isnad yang berakhir pada sahabat.
Sangat jarang seorang sahabat dan kebanyakan muridnya (seorang tabi’in) atau orang lain dalam jalur tunggal yang  merentang dari sahabat itu, merupakan kaitan bersama atau sumber hadits, tentunya bila ada jalur isnad ganda yang bias digabung menjadi berkas yang bias dikembalikan kepada kaitan bersama itu.
3.      Hadits dengan isnad-isnad yang berakhir pada Nabi dengan jalur tunggal yang merentang dari Nabi dan memuncak pada kaitan bersama atau sumber yang termasuk dalam generasi tabi’in atau generasi berikutnya, tentunya jika ada sejumlah jalur yang cukup banyak untuk membentuk suatu berkas yang mengacu kepada kaitan bersama itu.
Berdasarkan uraian diatas, beberapa persoalan yang menjadi fokus kajian ini adalah:
1.      Apa yang dimaksud dengan teori common link?
2.      Bagaimana implikasi tersebut bagi persoalan asal-usul dan perkembangan hadits?








BAB I
Gautier H.A. JUYNBOLL
Karya dan Posisinya dalam Studi Hadits Modern di Barat




A. Biografi dan Karya-Karya G.H.A Juyboll
            Gautier H. A Juyn ball yang lahir di Leiden, Belanda, pada tahun 1935 adalah seorang pakar di bidang sejarah perkembangan awal hadits. Selama tiga puluh tahun lebih ia secara serius, mencurahkan perhatiannya untuk melakukan penelitian hadits dari persoalan klasik hingga kontemporer. Kepakaran murid J. Brugmen ini dalam kajian sejarah awal hadits, menurut P.S van Koningsveld, telah memperoleh pengakuan internasional. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika ketkohannya di bidang itu dapat disejajarkan dengan nama-nama seperti James Robson, Fazlur Rahman, M.M Azami, dan Michael Cook.
            Dalam pendahuluannya bukunya yang berjudul Studies on Origins and Uses of Islamic Hadith,Juynboll mengklaim telah menjelaskan perkembangan penelitiannya atas literatur hadits secara kronologis sejak akhir tahun 1960-an hingga 1996.
            Semasa menjadi mahasiswa S1, Juynboll bergabung bersama sekelompok kecil orang untuk mengedit satu karya yang kemudian menghasilkann separo akhir dari kamus hadits, Concordance et indices de la tradition musulmane, tepatnya dari pertengahan huruf ghayn hingga akhir karya tersebut.  Pada tahun 1965 hingga 1966, dengan dana bantuan dari The Netherlands Organization for the Advancement of Pure Research(ZWO),  setelah disertasi tersebut diterbitkan oleh penerbit E.J. Brill, Leiden pada 1969, Juynboll kemudian melakukan penelitian mengenai beberapa persoalan, baik yang klasik maupun yang kontemporer. Pada 1974 ia menunlis makalah bertitel: “On The Originsof Arabic Prose” dan dimuat dalam buku Studies on the Firts Century of Islamic Society. Sejak saat itu, ia memusatkan perhatiannya pada studi hadits dan tidak pernah meningglkannya lagi.
           Sebagai seorang ilmuwan dan peneliti dalam bidang studi hadits, Juynboll telah menghasilkan sejumlah karya, baik dalam bentuk buku maupun artikel. Sebagian besar pemikirannya, terutama yang terkait dengan studi hadits dan teori comman link, dielaborasi dalam tiga bukunya: The Authenticity of the Tradition Literature: Discussion in modern Egypt, Muslim Tradition: Studies in Chronology, Provenance and Authorship of Early Hadith, dan Studies on the Origins and Uses of Islamic Hadith. Juynboll juga  mengupas pendapat Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht dan pendapat para pemikir hadits modern seperti Fuat Sezgin dan Fazlur Rahman tentang kedudukan hadits dalam Islam.
Menurut Juynboll, Goldziher telah berkesimpulan bahwa jarang sekali sebuah hadits  dapat dibuktikan sebagai perkataan Nabi atau deskripsi mengenai prilaku Nabi asli dan dapat dipercaya. Literatur hadits, kata Goldziher merupakan akibat dari perkembangan keagamaan, historis, dan sosial Islam selama dua abad pertama.
Sedangkan Joseph Schacht mengatakan bahwa isnad sebenarnya memiliki kecenderungan berkembang ke belakang. Pada awalnya, hadits tidak pernah kembali kepada Nabi atau sahabat sekalipun, tetapi disebarkan berdasarkan otiritas para tabi’in. Di kemudian, hadits sering kali dikembalikan kepada seorang sahabat dan akhirnya kepada nabi sendiri.
Berbeda dengan Goldziher dan Schacht, Fazlur Rahman yang diharapkan dapat menyembatani jurangg antara kesarjanaan Barat dan nilai-nilai Islam ortodoks, memperkenalkan konsep kesinambungan sunnah Nabi dalam praktik kegamaan umat Islam. Menurutnya konsep sunnah Nabi sudah dipakai pada masa Nabi sendiri. Dengan berbagai argumen, ia menegaskan bahwa sunnah sebagaimana dihimpun dalam koleksi hadits, mencakup prilaku Nabi. Dengan kata lain, ia menghembuskan semangat Nabi. Oleh karena itu literatur hadits seharusnya tidak dianggap sebagai data sejarah yang tidak dapat dipercaya sama sekali dan dibuang secara keseluruhan. 
Sementara itu, Fuat Sezgn lebih mengarahkan perhatiannya pada problem penulisan hadits yang berujuang pada bukti mengenai kesejarahan Isnadhadits. Ia merevisi kesimpulan Goldziher tentang kronoligi penulisan hadits. Baginya, aktivitas penulisan hadits telah diperaktikkan pada masa yang lebih awal daripada yang dipahami oleh Goldziher.


B. Posisi Juynboll dalam Studi Hadits Modern di Barat  
Sejauh ini menurut J. Koren dan Y.D. Nevo, studi di Barat mengenai sejarah awal Islam awal, agama dan kedudukan Al-Qur’an  sebagai kitab suic telah berkembang ke arah dua pendekatan yang berbeda dan cenderung saling berhadapan – untuk tidak mengatakan saling bertentangan, yakni pendekatan tradisional dan pendekatan revisionis. Yang pertama meneliti sumber-sumber Islam dan mengujinya dengan cara-cara yang sesuai dengan berbagai asumsi dan tradisi  kesarjanaan muslim. Sedangkan yang kedua mengkaji sumber-sumber non-Arab dan bahan-bahan lain, seperti temuan-temuan arkeologi, epigrafi, dan numismatic, yang secara umum tidak dikaji oleh aliran tradisional, sebagai bukti sejarah. Ignaz Goldziher dan joseph Schacht adalah dua pengkaji hadits yang dapat dikatagorikan sebagai wakil dari aliran revisionis, sementarab Fuat Sezgin, Nabia Abbott, dan M.M Azami sebagai wakil dari aliran tradisional.
            Ignaz Goldziher, salah seorang wakil dari kelompok revisionis, dalam bukunya yang bertitel Muhammedanische Studienmenyatakan keraaguannya atas kesejarahan dan keshahihan hadits. Setelah mengkaji berbagai hadits yang terdapaat dalam koleksi kanonik, ia lebih cenderung pada “sikap hati-hati yang skeptic daripada kepercayaan yang optimis”. Goldziher sebagaimana telah disinggung sebelumnya, kemuudian menyimpulkan bahwa sebagian besar hadits merupakan akibat dari perkembangan Islam secara religius, historis, dan social selama dua abad pertama. Oleh karenanya hadits tidak dapat dianggap sebagai dokumen sejarah pertumbuhan Islam, tetapi lebih sebagai refleksi dari berbagai kecenderungan yang muncul di dalam masyarakat Islam selama tahap-tahap perkembangannya yang lebih dewasa.
            Ada beberapa alasan yang menyebabkan Goldziher meragukan keshahihan hadits Nabi: pertama, koleksi hadits belakangan tidak menyebutkan sumber tertulisnya dan memakai istilah isnad yang lebih mengimplikasikan periwayatan lisan daripada periwayatan tertulis. Kedua, adanya hadits-hadits yang kontradiktif antara satu sama lain. Ketiga,perkembangan hadits secara missal sebagaimana terdapat dalam koleksi hadits belakangan tidak termuat dalam koleksi hadits yang lebih awal.keempat, sahabat kecil lebih banyak mengetahui Nabi, dalam arti mereka lebih banyak meriwayatkan hadits daripada sahhabat besar.
            Sedangkan menurut Joseph Schacht, wakil kedua darri aliran revisionis, lebih tegas dalam menilai kedudukan hadits daripada pendahulunya, Goldziher. Pemikiran Schacht mengenai hadits terkait erat dengan kajian utamanya mengenai asal-usul hukum Islam dan peranan Asy-Syafi’i dalam perkembangnnya. ASy-Syafi’i dipandang sebagai sebagai orang yang bertanggung jawab atas kemenangan hadits Nabi sebagai sumber hukum Islam.
            Ada beberapa alasan mengapa Schacht lebih memilih berangkat dari persoalan hukum di dalam mengkaji hadits. Pertama, sumber-sumber hukum dalam Islam tidak hanya lebih tua dan lebih kaya daripada sumber-sumber lain, seperti sejarah, tetapi juga Karena penilaian orang terhadap persoalan hukum cenderung terdistorsi ole hide-ide prakonsepsi.
            Kedua,hukum Islam dalam pengertian teknis belum lahir pada abad pertama hijriyah. Menurut Schacht, Nabi Muhammad tidak memiliki alasan yang cukup untuk mengganti hukum adat yang sudah ada, Ketiga, pada dekade selanjutnya, para khalifah Bani Umayyah melakukan langkah penting dengan mengangkat para hakim untuk mengangkat persoalan-persoalan hukum.
            Baik Goldziher maupun Schacht, keduanya adalah para pemikir yang mewakili kelompok revisionis. Meski demikian terdapat perbedaan diantara keduanya mengenai kesejarahn hadits. Jika Golziher mengakui bahwa sumber hadits adalah Nabi dan generasi Islam awal, tetapi kemudian mengalami kesulitan membedakan hadits yang otentik dan hadits palsu karena adanya gerakan peemalsuan hadits secara besar-besaran, maka Schacht memandang bahwa sumber hadits adalah tabi’in yang kemudian dikembangkan ke belakang kepada sahabat dan akhirnya kepada Nabi Saw. Meski demikian, keduanya sama-sama tidak mempercayai otentitas Isnad. Menurut Goldziher dan Schacht, isnad adalah hasil dari perkembangan pemikiran generasi awal.
            Pendapat Goldziher dan Schacht ini tentu saja menimbulkan respons keras dari kalangan pengkaji hadits tradisional, sebagaimana terdapat dalam karya-karya Sezgin, Abbott, dan Azami. Fuat Sezgin berargumen bahwa proses pencatatan hadits telah dimulai sejak masa hidup Nabi dan terus berlanjut dengan isnad muttashilhingga munculnya koleksi hadits yang besar-besar pada abad III H / VI M. Dengan demikian, proses penulisan hadits sebenarnya telah dipraktikkan jauh lebih awal daripada yang dipahami oleh Ignaz Goldziher. 
            Nabia Abott, seorang islamolog terkemuka, juga mendukung pendapat Sezgin. Abott menyatakan bahwa praktik penulisan hadits sudah berlangsung “sejak awal” dan bersinambungan.  Kata “sejak awal” disini mengandung arti bahwa bahwa para sahabat Nabi sendiri telah menyimpan catatan-catatab hadits, sementara kata berkesinambungan berarti bahwa sebagian besar hadits memang diriwayatkan secara tertulis, selain tentunya juga dengan lisan, hingga akhirnya hadits-hadits itu dihimpun dalam berbagai koleksi kanonik. Periwayatan hadits secara tertulis inilah yang menurutnya dapat dijadikan sebagai jaminan bagi kesahihannya.
            Adapun JuynBoll nampaknya lebih sejalan dengan pendapat Goldziher dan Schacht daripada dengan Sezgin dan Abbott, ia mengaku kagum dengan karya Schacht, The Origins. Bukan saja karena Juynboll memakai dua teori Schacht: backward projectiondan Common link, tetapi juga karena cross-reference buku tersebut  yang tidak terhitung jumlahnya. Selain itu juga Juynboll memposisikan diri sebagai pengembang teori Common link, yang dianggapnya sebagai teori yang brilian dan belum mendapat perhatian serta elaborasi yang selayaknya, meskipun oleh Schacht sendiri.
            Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa dari segi paradigma yang dipakai, Juynboll adalah pengikut Schacht dan dengan demikian tergolong aliran revisionis. Akan tetapi bila diamati hasil temuannya mengenai asal-usul dan otentisitas hadits maka tidak dapat dipungkiri bahwa ia berada ditengah-tengah perdebatan sengit antara pendekatan revisionis, di satu sisi, dan pendekatan tradisional di sisi yang lain.




BAB II
TEORI COMMON LINK G.H.A JUYNBOLL


A. Teori Common link Sebelum Juynboll
Juynboll bukanlah orang pertama yang membicarakan fenomena common link  dalam periwayatan hadits. Ia mengkui bahwa dirinya hanya sebagai pengembang dan bukan penemu dari teori tersebut. Dalam beberapa tulisannya ia selalu merujuk kepada Schacht seraya menyatakan bahwa dialah pembuat istilah common link dan yang pertama kali memperkenalkannya dalam The Origins. Meski demikian. Schacht ternyata gagal dalam mengamati frekuensi fenomena tersebut dan kurang memberikan perhatian dan elaborasi yang cukup memadai.
Sejak awal, fenomena common link ini sudah dikenal oleh para ahli hadits di kalangan Islam. At-Tirmidzi dalam koleksi haditsnya menyebut hadits-hadits, yang menunjukkan adanya seorang periwayat tertentu, si A misalnya, sebagai common link dalam isnad-nya, dengan “hadits-hadits si A”. istilah teknis yang dipakai At-Tirmidzi untuk menggambarkan gejala seperti itu adalah madar (poros). Hadits-hadits ini membentuk sebagian hadit gharib, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat tunggal pada thabaqah (tingkatan) isnad tertentu. Akan tetapi kelihatannya para ahli hadits di kalangan Islam tidak menyadari sepenuhnya implikasi dari gejala tersebut terhadap problem penanggalan hadits.
Dalam kasus seperti ini menurut Schacht, sebuah hadits biasanya diedarkan oleh seorang ahli hadits yang disebutnya sebagai N.N., atau oleh seseorang yang pada saat tertentu, menggunakan namanya. Dalam perkembangannya secara alami hadits itu diriwayatkan oleh salah seorang atau beberapa periwayat pada generasi berikutnya dan sebagai akibatnya bagian isnad yang bawah bercabang menjadi beberapa jalur isnad. Sebagai seorang periwayat yang mempromosikan hadits, N.N., menyediakan isnad yang kembali kepada otoritas yang lebih tinggi, seperti sahabat dan Nabi. Sementara bagian atas isnad hanya bagian palsu yang dibikin oleh N.N. sebagai upaya penyempurnaan, N.N. pun sering kali membuat jalur-jalur tambahan (additional branches) dengan menciptakan isnad-isnad tertentu disamping isnad yang asli melalui proses penyebaran isnad. Walaupun demikian N.N. tetap sebagai common link bagi seluruh atau sebagian besar isnad. Selanjutnya menurut Schacht keberadaan common link dalam semua atau sebagian besar isnad dari hadits tertentu menjadi indikasi yang kuat bahwa hadits tersebut berasal dari masa periwayat yang menjadi common link. Oleh karena itu jika terdapat hadits yang memiliki isnad yang berbeda, namun masih dalam satu matan yang terkait erat dan hal itu menunjukkan gejala common link maka dapat disimpulkan bahwa hadits itu bersumber dari seorang periwayat yang menjadi common link yang tersebut dalam isnad hadits. 


B.  Asumsi Dasar dan Istilah-istilah Teknis dalam Teori Common link
Dalam beberapa tulisannya, Juynboll sering kali mengemukakan asumsi dasar yang menjadi pijakannya dalam meneliti hadits serta memperkenalkan beberapa istilah teknis yang relatif baru, yang berhubungan erat dengan teori common link. Juynboll mengatakan bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu, baik yang menuju kepadanya atau yang meninggalkannya, maka semakin besar pula seorang periwayat dan periwayatannya memiliki klaim kesejarahan.
 Dengan demikian, jalur periwayatan yang dapat dipercaya adalah jalur periwayatan yang menggambarkan sebuah simpul. Sebaliknya, jika hadits dinyatakan berasal dari Nabi hanya melalui seorang sahabat kepada seorang tabi’in, lalu kepada seorang tabi’in lain yang pada gilirannya sampai kepada common link, dan sesudah itu jalur periwayatannnya mulai tersebar dan terpancar keluar maka kesejarahan jalur periwayatan tunggal dari Nabi hingga common link tersebut tidak dapat dipertahankan. Disini yang menjadi persoalan adalah mengapa Nabi menyampaikan haditsnya hanya kepada seorang sahabat, dan mengapa juga seorang sahabat itu hanya menyampaikan hadits tersebut kepada seorang tabi’in, begitu juga mengapa seorang tabi’in hanya menyampaikan hadits yang diterimanya itu kepada seorang tabi’in tabi’in.
Secara ideal, seharusnya mayoritas jalur isnad dalam berbagai koleksi hadits menunjukkan jalur-jalur periwayatan yang berkembang sejak dari Nabi, dan kemudian memancar kepada sejumlah besar sahabat, yang pada gilirannya sahabat juga menyampaikannya kepada sejumlah tabi’in dan seterusnya hingga sampai kepada para kolektor hadits. Dengan demikian, jalur periwayatan itu sejak awal mengambil bentuk sebagai berikut cl -> pcl -> pcl -> pcl -> (pcl->) sejumlah koleksi.
Cl adalah periwayat pertama atau tertua yang berbeda dengan para pendahulunya dalam budel isnad, meriwayatkan hadits tidak hanya kepada seorang, tetapi kepada beberapa orang yang dianggap sebagai muridnya. Para murid ini pada gilirannya juga mempunyai lebih dari seorang murid.
Menurut Juynboll, single strand (jalur tunggal) yang merentang dari cl ke bawah hingga Nabi tidak mempersentsikan jalur periwayatan sebuah hadits Nabi, dan sebagai akibatnya tidak memenuhi ukuran kesejarahan, tetapi hanya sebuah jalur yang diciptakan oleh cl sendiri agar sebuah laporan atau hadits tertentu lebih mendapat kewibawaan dan pengakuan dikalangan ahli hadits, lebih-lebih untuk memenuhi kriteria yang pertama dan utama pada saat itu, yakni isnad marfu’.


C.      Cara Kerja Teori Common link: Metode Rekontruksi dan Analisis Isnad
Dari berbagai tulisan Juynboll khususnya yang menggunakan teori common link  dan metode analisis isnad, penulis menyimpulkan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk menerapkan metode tersebut secara rinci. Langkah-langkah itu adalah:
1.      Menentukan hadits yang akan diteliti.
2.      Menelusuri hadits dalam berbagai koleksi hadits.
3.      Menghimpun seluruh isnad hadits.
4.      Menyusun dan merekontruksi seluruh jalur iisnad dalam satu bundel isnad.
5.      Mendeteksi common link, periwayat yang bertanggung jawab atas penyebaran hadits.


Hal pertama yang harus dilakukan oleh seorang pengkaji hadits adalah menentukan hadits yang akan diteliti; dalam hal ini kita ambil contoh hadits-hadits yang merendahkan martabat perempuan.
Setelah melalui penelusuran panjang, akhirnya hadits tersebut ditemukan dengan matannya sebagai berikut: ma ada’/taraktu ba’di fitnatan adharra ‘ala ummatil ‘ala ar-rijal min dun an-nisa (aku tidak meninggalkan setelahku godaan yang lebih berbahaya bagi umatku atau bagi kaum laki-laki selain perempuan.
Setelah itu langkah selanjutnya adalah menyalin semua jalur isnad yang mendukung hadits tersebut kemuudian menghimpunnya. Adapun caranya adalah dengan melihat hadits tersebut dalam salah satu koleksi hadits yang kanonik untuk kemudian memilih nama-nama sahabat dan periwayat tertua lainnya dalam isnad hadits yang akan diteliti.
Setelah menemukan semua jalur isnad dari berbagai koleksi hadits, langkah selanjutnya adalah menyusun dan merekontruksi seluruh jalur periwayatan ke dalam satu bundel isnad yang memungkinkannya untuk mengidentifikasi periwayat yang bertanggung jawab atas penyebaran hadits yang merendahkan perempuan itu.
Berdasarkan bundel isnad tersebut, seorang analis isnad akan melakukan langkah terakhir dalam analisis isnad yaitu menarik kesimpulan mengenai common link yaitu periwayat yang bertanggung jawab atas penyebaran hadits yang merendahkan martabat perempuan, yaitu Sulaiman at-Taimi.
Dalam kasus hadits yang merendahkan orang lain Juynboll juga ingin menerapkan analisis matan. Secara umum, langkah-langkah metode analisis matan yang diajukan olehnya adalah:
1.      Mencari matan yang sejalan.
2.      Mengidentifikasi common link yang terdapat pada matan yang sejalan.
3.      Menentukan common link yang tertua.
4.      Menentukan bagian teks yang sama dalam semua hadits yang sejalan.
Dalam upaya memperbaiki metode analisis isnad Juynboll Motzki mengajukan suatu yang disebut dengan metode analisis Isnad-cum-matan. Metode ini bertujuan untuk menelusuri sejarah periwayatan hadits dengan cara membandingkan varian-varian yang terdapat dalam berbagai kompilasi yang berbeda-beda.
Metode analisis isnad-cum-matan, menurut Motzki, terdiri dari beberapa langkah, yaitu:
1.      Mengumpulkan sebanyak mungkin varian yang dilengkapi dengan isnad.
2.     Menghimpun seluruh jalur isnad untuk mendeteksi common link dalam generasi periwayat yang berbeda-beda. Dengan dua langkah ini, hipotesis mengenai sejarah periwayatan hadits mungkin diformulasikan.
3.      Membandingkan teks-teks dari berbagai varian itu untuk mencari hubungan dan perbedaan, baik dalam struktur maupun susunan katanya. Langkah ini juga memungkinkan untuk membuat suatu rumusan tentang sejarah periwayatan dari hadits yang dibicarakan.
4.      Membandingkan hasil analisis isnad dan matan.
Jika kita mencermati dengan seksama, dua langkah pertama dari metode  analisis isnad-cum-matan Motzki tampaknya tidak jauh berbeda dengan metode analisis isnad Juynboll. Yang berbeda adalah dua langkah terakhir yang memusatkan perhatian pada matan hadits, khususnya pada struktur dan susunan katanya.


D.  Teori-teori Terkait
Selain teeori common link, masih ada dua teori lain yang memiliki kaaitan erat dengan teori common link dan bahkan tidak bisa dipisahkan darinya, yaitu teori backward-projection dan teori argument e silentio.


1.      Backward-projection
Backward-projection adalah upaya, baik dari aliran fiqih klasik maupun dari para ahli hadits untuk mengaitkan berbagai doktrin mereka kepada otoritas yang lebih tinggi di masa lampau, seperti tabi’in, sahabat, dan akhirnya Nabi sendiri. Upaya ini perlu dilakukan agar doktrin-doktrin mereka dipercaya oleh generasi berikutnya karena dianggap sebagai berasal dari tokoh-tokoh yang dipercaya.


2.      argument e silentio
Teori ini berangkat dari asumsi bahwa “cara terbaik untuk membuktikan bahwa sebuah hadits tidak ada pada masa tertentu adalah dengan cara menunjukkan bahwa hadits itu tidak dipergunakan sebagai argumen hukum dalam diskusi yang mengharuskan untuk merujuk kepadanya, jika memang hadits itu ada. Artinya sebuah hadits dinyatakan tidak ada pada saat tertentu jika ia tidak dipakai sebagai argumen hukum, dalam kitab-kitab fiqih awal yang ditulis oleh Imam malik, asy-Syafi’i, dan Abu Yusuf, yang mengharuskan merujuk kepadanya.








BAB III
IMPLIKASI TEORI COMMON LINK
TERHADAP ASAL USUL DAN PERKEMBANGAN HADITS


A.  Sumber dan Asal-Usul Hadits
Implikasi yang pertama dari teori common link adalah menyangkut sumber hadits. Siapa yang menjadi sumber hadits yang terhimpun dalam berbagai koleksi hadits, khususnya dalam koleksi hadits kanonik (al-Kutub As-Sittah); apakah Nabi, sahabat, tabi’in, atau tabi’in tabi’in. mayoritas ahli hadits di kalangan Islam berpendapat bahwa sebagian besar materi hadits, setidak-tidaknya yan terdapat dalam koleksi hadits kaonik adalah otentik, dan dengan demikian bersumber dari Nabi Saw.
Berbeda dengan pendapat para ahli hadits, Juynboll dengan tegas mengugkapkan hasil temuannya bahwa setiap hadits yan terdapat dalam koleksi hadits, yang kanonik sekalipun, tidak bersumber dari sahabat dan tidak pula dari Nabi Saw. Nabi dan para sahabatnya tidak bertanggung jawab atas dimasukkannya nama-nama mereka ke dalam isnadhadits.Adapun yang bertanggung jawab atas matanhadits dan juga jalur isnadadalah seorang periwayat yang berperan sebagai common link dalam sebuah bundel isnad. Akan tetapi sayangnya, kata Juynboll, yang menjadi common link dari setiap bundel isnad setiap hadits hampir tidak pernah seorang sahabat, dan sangat jarang seorang tabi’in besar, tetapi hampir selalu seseorang dari generasi tabi’in kecil atau generasi setelah itu, yaitu generasi tabi’in tabi’in.
Ide Juynboll menegnai sumber hadits, seperti di atas tampaknya berbeda dengan pendapat umum dikalangan ahli hadits muslim dan juga dengan pendapat dari aliran tradisional yang diwakili oleh Sezgin, Abbott, dan Azami. Secara umum mereka berpendapat bahwa praktik periwayatan hadits secara tertulis telah dumulai pada masa Nabi secara berkesinambungan hingga munculnya berbagai koleksi hadits kanonik dan hal itulah yang menjamin bahwa hadits memang bersumber dari Nabi.   


B.  Metode Kritik Hadits Konvensional
Dalam rangka menghadapi gerakan pemalsuan hadits, para ahli hadits telah mengembangkan sebuah metode kritik untuk membedakan antara hadits otentik dengan hadits yang lemah dan palsu. Metode tersebut berpijak pada lima kriteria: 1. Persambungan isnad(ittishal as-sanad), 2. Keadilan periwayat (adalah arruwat), 3. Ke-dhabitan periwayat (dhabit ar-ruwat), 4. keterhindaran dari syudzudz, dan 5.  Keterihindaran illat. Belakangan ini syuhudi ismail mencoba menyistematisasi kriteria itu dengan membaginya menjadi dua kategori: 1. Unsur-unsur kaidah mayor dan 2. Unsur-unsur kaidah minor. Selain itu, di ajuga meringkas lima kriteria keshahihan hadits menjadi tiga unsur mayor, yakni 1. Persambungan sanad, 2. Keadilan periwayat, dan 3. Ke-dhabitan-nya. Sementara kriteria keshahihan matan dia meringkas menjadi dua unsur mayor, yakni 1. Terhindar dari syudzudz dan 2. Terhindar dari illat.
Dari berbagai metode tersebut menurut Juynboll terdapat kelemahan dalam metode kritik hadits konvensional. Metode itu menurutnya masih menimbulkan kontroversi jika digunakan untuk membuktikan kesejarahan penisbatan hadits kepada Nabi. Juynboll mengatakan bahwa, metode kritik hadits konvensional ternyata memiliki beberapa kelemahan: 1. Kemunculannya dirasa sangat terlambat jika dipakai untuk menyisihkan materi hadits yang otentik dan tidak, 2. Isnad dapat dipalsukan secara keseluruhan, dan 3. Tidak diterapkannya kritik matan yang tepat.
Berangkat dari kenyataan itulah Juynboll kemudian menawarkan metode common link sebagai ganti dari metode kritik hadits konvensional. Metode common link ternyata tidak hanya berimplikasi pada upaya merevisi metode kritik hadits konvensional, tetapi ia juga menolak seluruh asumsi dasar yanng menjadi pijakan bagi metode itu. Jika metode kritik hadits konvensional berpijak pada kualitas periwayat maka metode common link tidak hanya menekankan kualitas sang periwayat, tetapi juga kuantitasnya.
Penolakan Juynboll atas metode kritik hadits konvensional ini tampaknya sejalan dengan  Goldziher dan Schacht. Goldziher menyatakan bahwa kritik hadits, selain hanya menekankan pada periwayat hadits dan kurang memperhatikan matan hadits, ia juga baru lahir sekitar tahun 150 H. Metode ini menurut Goldziher hanya mampu mengeluarkan hadits palsu saja. Sementara schacht menyatakan bahwa kritik hadits, yang berdasar kepada kritik isnad, tidak relevan dengan tujuan analisis sejarah.


C.  Teori Mutawatir dalam hadits
Hadits jika dilihat dari sudut kualitas periwayatnya, terbagi atas tiga bagian, yakni shahih, hasan, dan dha’if. Akan tetapi jika dilihat dari segi kuantitas periwayatnya, ia terbagi menjadi dua bagian, yakni mutawatir dan ahad. Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat (dan mereka juga memperolehnya) dari seorang periwayat dari awal hingga akhir sanad yang menurut nalar dan kebiasaan mereka tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta.
Sebagian besar ahli hadits beranggapan bahwa ke-mutawatiran sebuah hadits dapat dijadikan jaminan bahwa hadits tersebut berasal dan bersumber dari Nabi. Oleh karena itu periwayat hadits mutawatirtidak perlu diteliti. Bahwakan mengamalkan hadits yang mutawatir adalah wajib dengan tanpa harus menelitinya terlebih dahulu.
Berbeda dengan sebagian besar ahli hadits, Juynboll dalam kajiannya lebih menekankan pada keraguannya akan otentisitas hadits mutawatir sebagai benar-benar berasal dari Nabi. Dalam hal ini ia mengatakan: ke-mutawatiran sebuah hadits bukanlah jaminan bagi kesejarahan penisbatannya kepada Nabi Saw. Sebagi bukti, ia meneliti dua hadits yang dogolongkan oleh ahli hadits sebagai hadits mutawatir, yaitu hadits man kadzaba (larangan berbohong atas nama Nabi)  dan hadits yang berisi larangan niyahah (meratapi kematian anggota keluarga). Setelah menyelidiki berbagai sumber mengenai matandan isnad dua hadits tersebut, Juynboll menyimpulkan bahwa kedua hadits tersebut disebarkan oleh generasi belakangan dan benar-benar tidak berasal dari periode kehidupan Nabi.
Lebih lanjut dari itu, JuynBoll juga mempersoalkan definisi hadits mutawatir. Menurutnya, definisi hadits mutawatir dihasilkan dengan penuh persoalan. Perumusannya bahkan mengelami berbagai perubahan yang tidak sederhana. Terkaang ia dapat diterapkan untuk hadits tertentu dan dalam konteks tertentu, namun tidak dapat diterapkan sama sekali untuk hadits-hadits yang lain. Konsep itu dikembangkan secara semberono dan definisinya juga tidak pernah bebas dari kekaburan (ambiguity). Istilah mutawatir juga sering digunakan secara longgar atau bahkan malah secara salah.
Demikianlah, dengan menggunakan metode common link dan juga teori lain yang terkait, seperti backward projection dan argumen-tum e silentio, Juynboll menemukan banyak anomali dalam teori tawatur, baik yang terkait dengan pendefinisiannya maupun penerapan kriterianya dalam hadits. Meski demikian, hasil temuan Juynboll tidak jauh berbeda dengan teori pertama yang diwakili oleh Ibn ash-Shalah, al-Hazimi, asy-Syathibi, dan Ibn Hibban al-Busti yang merasa kesulitan menemukan hadits mutawatir. Hanya saja, karena para ahli hadits berangkat dari definisi yang berbeda mengenai teori tawatur maka tidak mengherankan jika muncul beberapa pendapat lain di kalangan mereka mengenai teori tawatur ini.


D. Posisi Syu'bah bin Hajjaj dalam Perkembangan Hadits
Dalam buku-buku biografi periwayat hadits, seperti al Jarh waat-Tadil karya Abu Hatim ar-Raiff (w. 327 H.), dan Tahdzib at-Tahdzib karya Ibn Hajar al-`Asgalani (w. 582 H.), Syu'bah bin al-Hajjaj menduduki posisi yang sangat terhormat di antara para ahli hadits lainnya, khususnya di Basrah. Dalam beberapa hal, is ditempatkan lebih tinggi daripada al-A'masy dan Sufyan ats-Tsauri. Pada puncak-nya, Sufyan ats-Tsauri menyebutnya sebagai amir al-mu'minin fi al hadits (pemimpin orang-orang beriman di bidang hadits). Untuk lebih jelasnya, berikut ini dikutip beberapa komentar Para kritikus hadits mengenai posisi Syu'bah dalam periwayatan hadits.
Pada awalnya, Syu'bah bin Hajjaj, seorang mawla dari Wasith yang kemudian tinggal di Basrah, sebenarnya lebih tertarik dengan syair. Ketika ia mendengar seorang ahli fiqh (fagih) dan kolektor hadits terkenal, al-Hakam bin Utaibah meriwayatkan hadits dari guru-gurunya,ia kagum dan mulai mengumpulkan hadits. Syu'bah ke-mudian mendapat kualifikasi shalih di antara kawan sebayanya karena keterlibatannya dalam perkembangan dan perbaikan matan hadits demi kemajuan Islam. Akan tetapi, karena mampu mensistematisasi berbagai penilaian atas para periwayat hadits, is menjadi ahli di bidang kritik hadits. Sejak saat itu, is diakui oleh semua orang dan diberi gelar yang paling terhormat di antara para ahli hadits pada saat itu, yakni amiral-mu'mininfial-hadits (pemimpin orang-orang beriman di bidang hadits).


E.IsnadKeluarga:Historisitas Isnad Malik-Nafi'–IbnUmar
Sejak awal sejarah periwayatan hadits, tidak sedikit hadits yang diriwayatkan melalui isnad-isnad keluarga (family isnads). Kata keluarga di sini mencakup tidak hanya hubungan darah, yakni hubungan anak dengan orang tuanya, tetapi juga hubungan mawali, hubungan budak dengan tuannya. Beberapa contoh isnad semacam itu adalah:
    Ma'mar bin Muhammad dari ayahnya,
Isa bin Abdullah dari ayahnya,
Katsir bin Abdullah dari ayahnya,
Musa bin Mathir dari ayahnya,
Yahya bin Abdullah dari ayahnya,
Nafi' dari tuannya, Ibn Umar, dan
Muhammad bin Sirin dari tuannya, Anas bin Malik
Analisis atas isnad-isnad di atas, kata Schacht, membuktikan bahwa isnad keluarga adalah palsu dan dengan demikian ia bukan merupakan indikasi bagi otentisitas hadits, melainkan lebih sebagai alat untuk menjamin kemunculannya. Berbeda dengan Schacht, Abbott berpendapat bahwa isnad keluarga memiliki hubungan lang-sung, dan sejak awal, dengan periwayatan hadits secara tertulis selama beberapa generasi. Fenomena isnad keluarga, menurutnya, semakin memperkuat teorinya yang menyatakan bahwa terdapat kesinambungan dalam periwatan hadits secara tertulis dari masa nabi hingga munculnya berbagai koleksi hadits kanonik.
Juynboll dalam hal ini setidaknya didukung oleh penyelidikan-nya terhadap salah satu isnad keluarga yang dimiliki Malik bin Anas dalam al-Muwaththa; yang diklaim oleh Para ahli hadits, seperti al-Bukhari, sebagai isnad paling sahih. Jalur isnad itu terdiri dari: Malik - Nafi' mawla Ibn Umar - Abdullah bin Umar - Nabi. Para ahli hadits menyebut isnad ini dengan silsilah adz-dzahab (isnad emas).
    Keraguan Juynboll atas isnad emas ini didasarkan atas dua hal, yakni kesejarahan tokoh Nafi' dan hubungan guru-murid antara Malik dan Nafi'. Untuk masalah pertama (kesejarahan tokoh Nafi'), Juynboll paling tidak mengungkapkan tiga argumen yang mem-perkuat bahwa tokoh Nafi' adalah fiktif, bukan historis. Argumen tersebut: pertama, sangat sedikit sejarah hidup Nafi' yang dapat di-ketahui dari berbagai sumber biografis, bahkan lebih sedikit daripada para periwayat penting yang lain. kedua, terdapat kontradiksi dalam berbagai laporan tentang biografi Nafi' yang sangat sedikit itu, khususnya tentang asal-usul dan tahun kematiannya.  Argumen ketiga adalah bahwa dalam dua buku utama yang merekam para tabiin Madinah, Thabagat al-Kabir karya Ibn Sad dan Shifatash-Shafwah karya Ibn al-Jawzi, biografi Nafi' tidak dijumpai, padahal nama-nama para tabiin yang semasa dengannya disebutkan di sana.
            Berdasarkan kronologi semacam itu, Juynboll menyimpulkan bahwa hadits-hadits dengan isnad Nafi' tidak mungkin sampai ke-pada Malik, kecuali melalui bahan tertulis (written material) yang didapatkan Malik beberapa tahun setelah meninggalnya Nafi'. Jadi, Malik sebenarnya meriwayatkan hadits-hadits Nafi' tersebut ber-dasarkan shahifah dan meriwayatkannya dengan cara 'ardh atau mu’dradhah, sebuah praktik periwayatan hadits yang telah ada pada 110 H.
    Berbagai temuan Juynboll mengenai isnad Malik - Nafi' - Ibn Umar ini dikritik oleh Motzki dalam sebuah artikel yang diterbitkan dalam Der Islam. Dalam tulisan tersebut, berbagai temuan Juynboll tentang isnad Malik - Nafi' - Ibn Umar dipertanyakan secara serius. Pertama, terkait dengan kesejarahan tokoh Nafi', misalnya, Motzki mengakui bahwa terdapat beberapa periwayat penting yang tidak banyak diketahui riwayat hidupnya, sementara biografi para periwayat yang kurang penting justru direkam lebih luas dalam berbagai buku biografi periwayat. Dari sini dapat disimpulkan bahwa biografi para periwayat Arab lebih banyak diketahui daripada biografi mawali.
Kedua, berbagai laporan tentang biografi Nafi' yang oleh Juynboll dianggap kontradiktif satu sama lain sebenarnya tidaklah demikian. Walaupun terdapat dua versi mengenai asal-usul Nafi’ dalam sumber-sumber biografi tertua, Juynboll tampaknya tidak sadar bahwa Abrasyahr (daerah di sekitar Naysabur) telah disebutkan dalam Thabagat Ibn Sa'd sebagai tempat kelahiran Nafi' dan bahwa Umar mendapatkannya sebagai mawla dalam operasi militernya.
Ketiga, Motzki mempersoalkan sikap Juynboll yang kelihatan rerkejutketika membaca informasi tentang Nafi' yang hampir semuanya bersumber dari Malik sendiri. Menurut Motzki, berbagai tulisan biografis mengenai Malik tentu saja menitik beratkan pada hubungannya dengan Nafi' dan bukan hubungan Nafi' dengan murid-muridnya yang lain. Dan, sangat logis jika Malik sendiri yang sering dikutip tcntang berbagai persoalan yang menyangkut guru-gurunya, termasuk Nafi'. Terlebih lagi jika seseorang membaca tulisan biografis mengenai Nafi', seseorang akan menemukan bahwa Malik bukanlah sumber yang dominan.
Terlepas dari berbagai kritik Motzki tersebut, pandangan negatif Juynboll atas isnad keluarga, khususnya isnad emas: Malik - Nafi'- Ibn Umar, merupakan bukti yang tidak dapat dibantah bahwa ia adalah pengikut Schacht (Schachtian) yang setia. Dalam banyak hal, baik teori maupun hasil temuan Juynboll tidak lebih daripada sekadar syarh dan perluasan atas ide-ide Schacht dan juga Goldziher.


G. Beberapa Isu Penting dalam Hadits
1. Hadits tentang pembangunan kota Baghdad
Salah satu hadits yang dikaji oleh Juynboll dengan metode common link adalah hadits tentang pembangunan kota Baghdad dan kekhawatiran originatornya atas masa depan kota Baghdad dan para penguasanya, para khalifah Abbasiyah. Hadits tersebut terdapat dalam Tarikh Baghdad, karya al-Khathib al-Baghdadi dan Kitab al-Maudhu'at, karya Ibn al-Jawzi. Matan hadits itu berbunyi:
(wa yajtami'u fiha muluku ahl al-ardhi wa jababiratu ahl al-ardhi) lahiya asra'u (bihim) dzahaban, htnan, khasfan, halakan, haraban,kharaban min (al-) watad al-hadid (al-) sikka(;) (al-hadid), al-hadid(ah)(al-muhmat), al-mirwad, al-mi'wal fi al-ardhi ar-rakhwati;minal-watad al-yAbis fi al-ardhi ar-rathbah.
Menurut Juynboll, hadits ini-yang dapat dijadikan sebagai contoh penerapan teori common link yang lebih spektakuler-dikaji karena beberapa alasan: pertama, matan hadits tersebut menunjukkan dengan jelas kapan dan dari mana is berasal; kedua, sejumlah isnadnya menunjukkan adanya seorang common link, yang merupakan salah seorang dari ahli hadits paling dikenal pada masanya dan yang biografinya menunjukkan dengan jelas kemungkinan motifnya untuk menyebarkan kata-kata ini; dan ketiga, dalam penjelasan yang luas tentang isnad-nya, al-Khathib al-Baghdadi dan Ibn al-Jawzi telah menyimpan bukti-bukti yang menunjukkan adanya seorang ahli hadits sebagai pencetus (originator) -nya.


2. Hadits tentang mengecat rambut dan janggut
Hadits lain yang dikaji oleh Juynboll dengan menggunakan teori common link adalah hadits tentang mengecat rambut kepala dan janggut, suatu kebiasaan bersolek yang terdapat dalam berbagai sumber Islam kuno, seperti koleksi hadits, kumpulan biografi, dan naskah-naskah sejarah. Tujuan utama pengkajian hadits ini, bagi Juynboll, tiada lain adalah untuk menelusuri kronologi, asal-usul, dan sumber hadits tersebut. Dari ketiga masalah ini, persoalan kedua lebih dapat dikaji secara cermat, meskipun masalah pertama dan ketiga tetap saja bisa diselidiki. Tentu saja, jika dilihat dari perkembangan tulisannya di bidang hadits, analisis Juynboll tentang hadits ini dapat dikatakan sebagai upayanya untuk memperkenalkan teori common link.
Hasil analisis Juynboll menunjukkan bahwa hadits-hadits yang disandarkan kepada nabi dan para tokoh awal Islam yang membicarakan masalah mengecat rambut itu pada dasarnya berasal dari tiga tempat: Hijaz, Syria, dan Irak. Menurutnya, ada laporan penting yang terkait dengan Hijaz, yang berasal dari Hasan al-Bashri (w. 110 H./ 728 M.). Diberitahukan bahwa Hasan al-Basri pernah mengatakan: "Saya melihat perempuan-perempuan Madinah tertentu melakukan shalat dengan rambut bercat wasmah". Kata-kata ini selanjutnya di-
ikuti dengan cerita tentang percakapan antara asy-Sya'bi, ahli fiqh Kufah (w. 103-110 H./721-728 M.) dengan Ibn Umar (w. 74 H./693 M.) tentang mengecat dengan wasmah, yang terjadi tidak lama menjelang Ibn Umar meninggal, namun tampaknya Ibn Umar tidak tahu hal itu.


3. Hadits yang merendahkan martabat perempuan (misoginis)
Pada bab II sub bab ketiga buku ini, hadits yang merendahkan martabat perempuan telah didiskusikan dalam kaitannya dengan cara kerja teori common link: metode rekonstruksi dan analisis isnad. Agar tidak mengakibatkan pengulangan pembahasan yang tidak perlu, di sini, pembicaraan mengenai hadits tersebut dilakukan secara singkat saja dan hanya menitikberatkan pada materi haditsnya yang kurang dibahas sebelumnya.
Pada awalnya, Juynboll tampak curiga atas berbagai generalisasi tentang perempuan yang terdapat dalam berbagai literatur hadits karena generalisasi itu dianggap telah merendahkan martabat perempuan. Apakah hadits-hadits itu benar-benar berasal dari nabi atau tidak, karena menurutnya, meskipun suatu hadits tertentu yang berkaitan dengan nabi dapat ditemukan di berbagai koleksi hadits kanonik, hal itu tidak berarti bahwa penyandarannya telah terjamin secara historis. Dengan asumsi ini, is mencoba menelusuri hadits-hadits yang merendahkan martabat perempuan hingga para pencetus (originatornya).




BAB IV
BERBAGAI INTERPRETASI TENTANG FENOMENA COMMON LINK


Jika asumsi tentang adanya fenomena common link dan singlestrand dalam literatur hadits ini dapat diterima sebagai fakta sejarah (historical facts) maka yang menjadi titik tolak perdebatan selanjutnya adalah persoalan interpretasi mengenai fakta tersebut. Sebab, sebuah fakta sejarah, seperti fenomena common link dan single strand, dapat diinterpretasikan dan dimaknai secara beragam; mungkin ditafsirkan seperti penafsiran Juynboll dan mungkin pula ditafsirkan sedikit berbeda dengannya. Selain itu, interpretasi dan penjelasan Juynbollmengenai fakta-fakta sejarah itu mungkin akan memuaskan dan meyakinkan sebagaian peneliti hadits, namun belum tentu bagi pengkaji hadits yang lain.
A. M.M. Azami: Common link hanya Imajinasi
M.M. Azami, pengkaji hadits dari Universitas King Sa'ud, tidak hanya mempertanyakan interpretasi tentang fenomena common link dan single strand, tetapi juga meragukan validitas teori tersebut. Azami cenderung menyatakan bahwa metode common link dan semua kesimpulan yang dicapai dengannya tidak relevan dan sama sekali tidak berdasar. Kesimpulan ini dicapai setelah dia mengkaji jalur isnad dari hadits tentang makanan seseorang yang ber-ihram, yang menurut Schacht dapat dijadikan bukti bagi adanya fenomena common link.
Lebih lanjut Azami menyatakan bahwa mungkin ada hadits-hadits yang diriwayatkan oleh lebih dan seorang sahabat, namun pada perkembangannya hanya seorang periwayat tunggal saja yang menjadi satu-satunya periwayat yang menyampaikan hadits tersebut kepada sejumlah muridnya. Akan tetapi, hadits semacam ini jarang ditemukan dan tidak ada dalam naskah Suhail. Dengan demikian, menurut Azami, fenomena common link sebenarnya sangat jarang, jika tidak pernah, terjadi dalam periwayatan hadits. Pendek kata, metode common link hanyalah imajinasi dari Schacht yang tidak pernah ada dalam kenyataan.


B. H.H.Motzki: Common link sebagai Kolektor
       Sistematis Pertama
Ketika mengkaji beberapa konsep teknis dan asumsi-asumsi dari metode analisis isnad, Motzki menyadari bahwa fenomena jalur tunggal di bawah common link dan observasi yang menyatakan bahwa sebagian besar common link terjadi pada generasi ketiga dan keempat hijriah, hal itu membutuhkan interpretasi dan penjelasan yang tepat. Menurut Juynboll, penjelasan tentang hal ini harus dicari dalam kronologi kelahiran isnad. Berdasarkan asumsi dasarnya tent periwayatan yang benar, is mengatakan, ada anomali yang sangat jelas dalam periwayatan hadits. Dalam pandangannya, penyebutaii isnad, nama-nama periwayat yang menjadi sumber informasi mengenai nabi dan sahabatnya, menjadi persyaratan bagi seorang periwayat itu berawal pada seperempat ketiga abad pertama hijriah, yakni setelah "fitnah kedua" yang terjadi pada 63-73 H./683-692 M.
Lebih lanjut Motzki mengakui bahwa kebiasaan menyebutkan nama-nama periwayat dan jalur-jalur periwayatan yang pada awalnya diadopsi secara perlahan pada abad pertama dan awal abad kedua hijriah menjadi sebab timbulnya jalur-jalur tunggal di bagian bawah bundel isnad. Akan tetapi, terkait dengan fenomena common link, ia berbeda dengan Juynboll dalam interpretasinya. Menurut Motzki, ada banyak bukti yang mengindikasikan bahwa common links adalah para kolektor sistematis pertama yang sekaligus berperan sebagai guru yang mengajarkan ilmu pengetahuan secara umum dan mengajarkan hadits secara khusus.


C. Michael A. Cook: Common linksebagai Akibat dariProsesPenyebaranIsnad
Interpretasi lain tentang fenomena common link berasal dari Michael A. Cook, seorang pakar sejarah hadits dari Universitas Princeton, New Jersey. Dalam EarlyMusim Dogma, ia mengkaji persoalan penanggalan (dating) hadits. la menantang temuan-temuan Joseph van Ess mengenai asal-usul dan perkembangan kontroversi Jabariah dan Qadariah pada masa Islam awal. Cook mengakui bahwa metode van Ess adalah metode seorang orientalis: seseorang tidak member penanggalan pada hadits hanya berdasarkan penyandaran seperti dalam Isnad. Menurut Cook, van Ess, seperti halnya Schacht, mengakui bahwa isnad telah berkembang ke belakang dan ia juga menerima validitas teori common link. Yakni, seperti dijelaskan di atas, ketika berbagai isnad dari matan hadits yang lama tampak bercabang atau menyebar dari seorang periwayat tertentu maka periwayat tersebut berperan sebagai titik pindah bersama (terminus antequem).
Untuk mengkritik metode common link, Cook mengembangkan dan memperluas teori Schacht yang lain, yakni teori penyebaran isnad (the spread ofisnads). Teori ini mengatakan bahwa para periwayat hadits terbiasa menciptakan isnad-isnad tambahan untuk mendukung sebuah matan hadits yang sama. Menurut Cook, munculnya fenomena common link adalah akibat dari proses penyebaran isnad dalam skala besar.


D.  Norman Calder: Common link sebagai Tokoh yang  Kebaldari Kritik
Calder berkeyakinan bahwa tidak hanya enam buku yang dikajinya, tetapi juga seluruh literatur Arab-Islam yang diklaim berasal dari abad pertama, kedua, dan awal abad ketiga hijriah telah mengalami pertumbuhan organis dan proses redaksional multi-level. Teori pertumbuhan organik bagi literatur yuristik lisan dan tertulis ini digunakan oleh Calder sebagai latar belakang bagi upayanya untuk
menunjukkan bahwa matan hadits yang sama, yang memiliki seorang common link bukan karena hadits itu disebarluaskan oleh periwayat yang berperan sebagai common link (atau beberapa muridnya), melainkan sebagai akibat dari sebuah skenario yang sangat berbeda. Oleh karena itu, Calder mengingkari bahwa metode common link itu dapat dipakai untuk mengetahui penanggalan hadits. Baginya, fenomena common link sebagai satu ciri yang terdapat dalam literatur hadits sangat terkait dengan metode kritik isnad yang berlaku di kalangan para ahli hukum dan yang lainnya pada paro kedua abad ketiga hijriah.


E. David Powers dan Upaya Mencari The Real Common link
Ada dua hal yang perlu diperhatikan dari argumen Powers: pertama, dia tidak mempersoalkan apakah common link harus didukung oleh beberapa partial common link dari generasi berikutnya atau tidak. Baginya, periwayat yang menduduki posisi common link tidak harus didukung oleh periwayat belakangan yang berstatus sebagai partial common link yang meriwayatkannya kepada partialcommon link berikutnya hingga pada para kolektor hadits, sebagai-mana krteria yang ditetapkan oleh Juynboll. Bisa saja common link hanya didukung oleh jalur-jalur tunggal yang menerima hadits darinya dan pada gilirannya menyampaikannya kepada seorang atau dua orang muridnya.
Kedua, Powers mengakui, untuk mengidentifikasi the real common link, seseorang seharusnya menerima asumsi bahwa isnad telah menyebar seperti yang dijelaskan oleh tradisi Islam sendiri. Dengan demikian, ia mempercayai jalur-jalur isnad, termasuk jalur-jalur tunggal (single strand), asalkan jalur-jalur tersebut bersambung dan terdiri dari Para periwayat yang bisa diterima (reliable/tsiqah). Oleh karena itu, ketika Powers menghadapi persoalan apakah jalur tunggal dari Sa'd kepada nabi dapat dipercaya atau tidak, is mengembalikan persoalan tersebut pada reliabilitas Sa'd sebagai seorang periwayat. Jika Sa'd termasuk orang yang tidak dapat dipercaya maka is adalah pencetus (originator) hadits itu. Sebaliknya, Jika Sad termasuk orang yang dapat dipercaya dengan bukti-bukti yang jelas maka hubungannya dengan nabi dapat diterima.


F. Interpretasi Alternatif
Interpretasi alternatif mengenai fenomena common link, singlestrand (jalur tunggal), dan diving strand (jalur menyelam) dapat ditemukan jika seseorang menyelidiki kembali sejarah awal periwayatan hadits. Memang benar bahwa hadits yang terdiri dari isnad dan matan tidak mungkin muncul begitu mendadak tanpa perkembangan sebelumnya, baik perkembangan teknis maupun perkembangan materinya. Oleh karena itu, hadits yang masih bersifat informal pada masa hidup nabi berubah menjadi semi formal setelah nabi meninggal.
Pemahaman dan interpretasi atas fenomena common link dan fenomena lain yang terkait dengannya seharusnya didasarkan pada konteks sejarah awal periwayatan hadits dan bukan pada kriteria-kriteria subjektif seorang sejarawan hadits. Kekeliruan semacam inilah yang terjadi pada Juynboll. Ia menafsirkan fenomena common link melalui asumsinya sendiri yang pada gilirannya menimbulkan kesalahpahaman atas sejarah periwayatan hadits. Juynboll tampaknya terdeterminasi oleh ide-ide prakonsepsinya. Seharusnya, ia terlebih dahulu menangguhkan ide-ide prakonsepsi tersebut sebelum memahami dan menafsirkan gejala common link dan gejala lainnya.






BAB V
VERIFIKASITEORI COMMONLINK
BERDASARKAN HADITS TENTANG SYAHADAT DAN RUKUN ISLAM


            Dalam bab ini, kebenaran teori common link Juynboll akan coba penulis uji dengan cara menerapkannya pada hadits-hadits tertentu. Hadits yang dipilih untuk memverifikasi teori tersebut adalah hadits-hadits tentang syahadat dan rukun Islam. Setidak-tidaknya, ada beberapa alasan mengapa penulis lebih memilih hadits-hadits tentang topik tersebut. Pertama, berbagai jalur isnad yang mendukung matan hadits tersebut, jika dihimpun dan direkonstruksi, mem-bentuk suatu bundel isnad dan dengan demikian menunjukkan ada-nya periwayat yang berperan sebagai common link-nya. Alasan kedua bahwa hadits-hadits tentang topik di atas adalah hadits-hadits pokok yang menjadi dasar ajaran Islam. Dalam konteks semacam itu, perlu kiranya ditelusuri dan diketahui sejarah periwayatannya, khususnya mengenai di mana, kapan, dan oleh siapa hadits-hadits itu disebarkan. Ketiga, adanya perdebatan seputar hadits tersebut, baik dari kalangan Islam, Mahmud Abu Rayyah' misalnya, maupun dari kalangan pengkaji hadits di Barat, seperti Wensinck.Z Oleh karena itu, pengujian ini diharapkan mampu memverifikasi teori Juynboll tersebut dan sekaligus memberikan kontribusi di tengah perdebatan itu.


A.   Analisis Isnad
Jika hadits-hadits tentang syahadat dan rukun Islam ditelusuri di berbagai koleksi hadits, baik prakanonik maupun kanonik maka akan ditemukan banyak hadits yang berkaitan dengan masalah ini. Di antara semua hadits itu, paling tidak ada tiga hadits utama yanng memiliki kelompok periwayatan yang berbeda satu lama lain. Hadits yang pertama diriwayatkan oleh sahabat nabi, Umar bin al-Khathab, hadits kedua menunjukkan anak laki-lakinya, Abdullah bin Umar sebagai periwayat pertamanya; dan hadits ketiga diriwayatkan oleh Thalhah bin Ubaidillah. Sekarang, marilah kita analisis masing-masing kelompok isnadnya.
1. Hadits Umar bin al-Khathab
Hadits Umar ini lebih dikenal dengan hadits Jibril karena dalam hadits tersebut jibril datang kepada nabi untuk menanyakan masalah Islam, iman, dan ihsan. Berbagai varian dari versi ini, yang masing-masing dilengkapi dengan isnad, ditemukan dalam enam sumber: Musnad Ahmad bin Hanbal, al-Jami'ash-Shahih Muslim, Sunan an-Nasa`i, Sunan Abu Dawud, al jami' ash-Shahih at-Tirmidzi, dan Sunan Ibn Majah.
Muslim menyebutkan tujuh varian; semuanya adalah versi panjang. Dua varian dari Zuhair bin Harb dan Ubaidillah bin Mu'adz. Keduanya kembali kepada dua periwayat yang berbeda, yakni kepada Mu'adz bin Mu'adz, ayah Ubaidillah, dan kepada Waki', yang mana keduanya menyebut Kahmas bin al-Hasan sebagai somber haditsnya. Tiga varian yang lain: varian Muhammad bin Ubaid al Ghubari, varian Abu Kamil al-Jahdari, dan varian Ahmad bin Abdah, berasal dari seorang guru (syaikh) yang sama, yakni Hammad bin Zaid yang menerima hadits itu dari Mathar al-Warraq. Dua varian berikutnya adalah varian Muhammad bin Hatim dan varian Hajjaj bin asy-Sya'ir. Muhammad bin Hatim memperoleh laporan tersebut dari Yahya bin Sa'id yang meriwayatkan dari Utsman bin Ghiyats. Sementara Hajjaj bin asy-Sya'ir menyebut Yunus bin Muhammad sebagai informannya yang meriwayatkannya dari al-Mu'tamir.


2. Hadits Ibn Umar
Berbagai varian hadits tentang syahadat dan rukun Islam yang didasarkan pada otoritas Ibn Umar dan yang dilengkapi dengan isnad ditemukan dalam sejumlah sumber: Musnad Humaidi, Musnad Ahmad bin Hanbal, al-jdmi' ash-Shahih al-Bukhari, al jami' ash-Shahih Muslim, al jami' ash-Shahih at-Tirmidzi, dan Sunan an-Nasal.
Humaidi dan an-Nasa`i, masing-masing memiliki satu varian dengan versi pendek. Humaidi menyebutkan satu varian dari Su'air bin al-Khimsh yang meriwayatkannya dari Habib bin Abi Tsabit; sementara varian an-Nasa'i berasal dari Muhammad bin Abdullah bin Ammar yang meriwayatkan dari Ibn Imran. Ibn Imran sendiri mengaku menerima hadits tersebut dari Hanzhalah bin Aba Sufyan dari Ikrimah bin Khalid.
3. Hadits Thalhah bin Ubaidillah
Sejumlah varian dari versi hadits tentang topik yang dibicarakan berdasarkan otoritas seorang sahabat, Thalhah bin Ubaidillah, yang disertai dengan isnad-nya terdapat dalam berbagai sumber berikut ini: Muwatha` Malik, Musnad Ahmad bin Hanbal, al Jami' ash-Shahih al-Bukhari, al jami' ash-Shahih Muslim, Sunan an-Nasa'i, Sunan Abu Dawud, dan Sunan ad-Darimi.
     Al-Bukhari merekam dua varian; dua-duanya versi panjang. Satu versi dari Qutaibah yang kembali kepada Ismail bin Ja'far, sementara sate versi lainnya dari Isma'il bin Abi Uwais yang bersumber dari Malik. Dua periwayat ini, Ismail bin Ja'far dan Malik, mengklaim telah menerima versi tersebut dari paman Malik, Abu Suhail bin Malik, yang memperoleh hadits ini dari ayahnya, Malik bin Abu Amir dari Thalhah bin Ubaidillah dari Nabi Saw. Sementara itu, an-
Nasi'i merekam tiga varian; semuanya versi panjang. Dua varian dari Qutaibah dan dari Muhammad bin Salamah yang menyebut Abdurrahman bin al-Qasim sebagai informannya. Kedua varian ter-sebut bersumber dari seorang periwayat yang sama, Malik. Satu varian lagi dari All bin Hujr, yang kembali kepada Ismi'il bin Ja'far.


B. Analisis Matan
Analisis atas isnad-isnad dari semua varian hadits tentang syahadat dan rukun Islam mengharuskan kita untuk mengklasifikasi versi-versi yang berbeda-beda. Dengan mengidentifikasi para periwayat hadits yang menduduki posisi common link dan partial common link, langkah pertama untuk menentukan sejarah periwayatan masing-masing versi telah dilakukan. Akan tetapi, kepastian tentang asal-usul dan perkembangan awal hadits tersebut tidak dapat diperoleh hanya dari berbagai jalur periwayatan semata. Penanggalan tersebut dapat diperbaiki dengan metode analisis teks (matan) dan dengan membandingkan hasil temuan yang dicapai dari analisis matan dengan temuan dari analisis isnad.
Dari studi ini dapat diamati bahwa berbagai varian matan dari sebuah bundel isnad memiliki elemen-elemen umum yang muncul pada seluruh versi yang berbeda. Inti matan ini setidak-tidaknya kembali kepada seseorang yang membentuk common link dalam bundel isnad. hanya saja, untuk menentukan apakah elemen-elemen tekstual ini lebih tua daripada common link atau justru sebaliknya, kita harus membandingkan berbagai versi yang kembali kepada common link yang berbeda namun melaporkan riwayat yang sama. Langkah per-tama dari analisis matan ini adalah membandingkan berbagai varian yang termasuk ke dalam bundel isnad yang sama, sementara langkah kedua adalah perbandingan antara berbagai matan yang termasuk ke dalam bundel-bundel isnad yang berbeda.


C. Hubungan Antarberbagai Hadits yang Berbeda
Di halaman-halaman sebelumnya, telah dilakukan langkah pertama dari analisis matan, yakni membandingkan antar berbagai varian yang tergabung dalam bundel isnad yang sama. Kini saatnya dilakukan langkah yang kedua, yakni membandingkan antar berbagai matan yang tergabung dalam beberapa bundel isnad yang berbeda. Ada empat versi yang harus dibandingkan satu dengan yang lain: versi Umar bin al-Khathab, versi Abu Hurairah, versi Ibn Umar, dan versi Thalhah bin Ubaidillah.
Jika kandungan teks (matan) hadits yang dinyatakan berasal dari Kahmas dibandingkan dengan teks hadits yang kembali kepada Abu Zur'ah maka terlihat dengan jelas bahwa dua-duanya menunjukkan persamaan substansi dan struktur matan. Dari segi substansi matan, dua teks ini sama-sama berisi penjelasan tentang Islam, iman, ihsan, dan tanda-tanda hari akhir. Sementara dari segi struktur matan,
keduanya sama-sama menunjukkan bahwa hadits itu muncul karena nabi ditanya oleh seorang laki-laki tak dikenal yang kemudian diterangkan di bagian akhir bahwa seorang laki-laki itu adalah Jibril.
Perbedaannya tentu saja hanya terkait dengan persoalan pemilihan lafazhnya saja adanya penambahan (ziyadah) atau pengurangan (nuqshan) pada bagian-bagian matan-nya. Versi Kahmas menggunakan lafazh-lafazh, seperti akhbirni 'an al-islam, akhbirni 'an al-iman,dan akhbirni 'an as-sa'ah, bukan lafazh-lafazh seperti ma al-iman,ma al-Islam, ma al-ihsan, dan mataas-sa'ah seperti yang terdapat dalam versi Abu Zur'ah. Selain itu, elemen-elemen rukun Islam dan rukun iman dalam versi Kahmas tampaknya jauh lebih lengkap dan lebih sistematis daripada yang terekam dalam versi Abu Zur'ah. Dalam versi Abu Zur'ah tidak disebutkan percaya kepada kitab-kitab dan percaya kepada qadar, balk dan buruk, seperti dalam versi Kahmas. Versi Abu Zur'ah juga tidak menyebutkan haji sebagai elemen rukun Islam.
Perbandingan antara tiga kandungan teks hadits dari Kahmas, Abu Zur'ah, Ibn Umar dengan kandungan matan hadits yang kembali kepada Abu Suhail menunjukkan persamaan-persamaan berikut: (1) kandungan matan hadits Abu Suhail sama dengan kandungan teks hadits dari tiga sumber di atas; (2) struktur teks hadits ini sama dengan struktur tiga matan hadits sebelumnya, yakni adanya
latar belakang pertanyaan dari seorang laki-laki yang tak dikenal. Perbedaannya: (1) Selain lebih mendahulukan puasa daripada zakat dalam urutannya, versi ini tidak menyebutkan syahadat dan haji sebagai elemen dari rukun Islam; (2) lafazh-lafazh yang digunakan dalam versi ini benar-benar berbeda dengan tiga versi sebelumnya. Selain itu, dari segi urutannya, puasa lebih didahulukan daripada
zakat.


KESIMPULAN


Comman link adalah istilah untuk seorang periwayat hadits yang mendengar suatu hadits (jarang lebih dari) seorang yang berwenang dan lalu ia menyiarkannya  kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka menyiarkan lagi kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka menyiarkan lagi kepada dua atau muridnya. Dengan kata lain, Comman Link adalah periwayat tertua yang disebut dalam berkas Isnad yang meneruskan hadits kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika berkas Isnad  hadits itu mulai menyebar untuk yang pertama kalinya maka disanalah detemukan Comman Link-nya
G.H.A. Juynboll telah menggunakan teori common link untuk menyelidiki asal-usul dan sejarah awal periwayatan hadits selama dua puluh tahun terakhir ini. Teori ini berpijak pada asumsi dasar bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu pada seorang periwayat, baik yang menuju kepadanya atau yang meninggalkannya, seambang ke satu jalur saja, yakni single strand, tidak dapat dipercaya kesejarahannya. Akan tetapi, hasil riset ini menunjukkan bahwa asumsi ini tampaknya kurang meyakinkan.
Secara praktis, asumsi tersebut diterapkan oleh Juynboll melalui metode analisis isnad yang terdiri atas beberapa langkah berikut ini: (1) menentukan hadits yang diteliti; (2) menelusuri hadits di berbagai sumber aslinya; (3) menghimpun seluruh isnad hadits; (4) merekonstruksi seluruh jalur isnad dalam sebuah bundel isnad, dan (5) mendeteksi seorang periwayat yang menduduki posisi common link. Juynboll mengembangkan teori common link setelah mengetahui bahwa metode kritik hadits yang ditawarkan oleh para ahli hadits (muhadditsun) masih kontroversial karena memiliki beberapa ke-lemahan yang cukup mendasar dan tidak mampu memberikan kepastian mengenai sejarah periwayatan hadits.
Berbagai implikasi yang ditimbulkan oleh teoari common link Juynboll memberikan indikasi yang sangat kuat bahwa ide-idenya tentang sejarah awal periwayatan hadits lebih dekat dan lebih sejalan dengan Goldziher dan Schacht, dua orang pendahulunya yang merupakan wakil utama dari kelompok revisionis. Dalam banyak hal, baik teori maupun hasil temuannya tidak lebih dari sekedar syarh dan perluasan atas ide-ide Goldziher dan Schacht. Sebaliknya,pendapat Juynboll tentang hal tersebut berbeda dengan pendapat Abbott, Sezgin, dan Azami dari aliran tradisional. Meskipun demikian, kita tidak dapat mengingkari bahwa dalam beberapa hal, temuan Juynboll tentang asal-usul hadits tampaknya berada diposisi tengah antara kelompok tradisionalis dan revisionis.
Verifikasi teori common link berdasarkan hadits tentang syahadat dan rukun Islam membuktikan bahwa seorang periwayat yang menduduki posisi common link dalam sebuah bundel isnad berasal dari generasi yang beragam. Ada yang termasuk generasi sahabat kecil, seperti Ibn Umar (w. 74 H.); ada yang berasal dari generasi tabiin, seperti Abu Zur'ah (w. kira-kira awal abad II H.) dan Abu Suhail bin Malik (w. setelah 140 H.); dan ada pula yang tergolong generasi tabiin tabiin, seperti Kahmas bin al-Hasan (w. 149 H.). Tidak ada seorang periwayat dari generasi sahabat besar yang menjadi common link bagi beberapa bundel isnad hadits tersebut. Tidak dapat diingkari bahwa generasi tabiin lebih sering berperan sebagai common link daripada generasi sahabat kecil atau generasi tabiit tabiin. Hal ini adalah wajar karena selain relatif sedikitnya jumlah sahabat kecil yang meriwayatkan hadits, juga karena pada masa sahabat kecil, hadits baru disebarkan secara publik.

0 komentar:

Posting Komentar

Social Icons