Abstrak
Dalam
tulisan ini penulis akan membahas tentang hukum mencium istri ketika dalam
suasana puasa bulan Ramadlan. Objek kajian kami adalah hadis yang berkenaan
dengan tema di atas, yang kemudian akan ditelaah dalam bingkai kritik sanad dan
kritik matan.
Keyword:
Cium istri, Puasa Ramadlan, Kritik sanad, Kritik matan, Hukum
A.
Pendahuluan.
Hadis berkembang begitu pesat. Ia
menjadi sumber hadis yang keua. Kebutuhan masyarakat akan hadis pun makin
terasa. Realitanya, saat ini sangat banyak muncul pemaknaan orang terhadap
hadis dengan berbagai macam variasi pengaplikasiannya. Sayangnya, kebanyakan
orang mengaplikasikan hadis tidak melalui kaidah-kaidah ma’anil hadis. Mereka
hanya melihat hadis secara dlahir saja dan langsung berani mengaplikasikannya.
Hal ini akan mengakibatkan hasil dari pangaplikasikannya tidak sesuai dengan
harapan dari ma’na yang sebetulnya tersembunyi dibalik teks hadis.
Pengaplikasian hadis harus mempertimbangkan sanad dan matan dan juga setting
historis ketika hadis itu muncul. Diharapkan dari pertimbangan tersebut
pengaplikasian hadis akan sesui dengan zaman yang selalu berubah dan juga
masyarakat yang berbeda dalam sosisl dan budayanya. Itulah alasan mengapa
kajian atas ma’anil hadis sangat penting dilakukan dalam memaknai hadis yang
selanjutnya akan diaplikasikan.
B.
Tema
hadis
Tema hadis yang dipilih adalah tentang
hukum mencium istri pada saat berpuasa. Pembahasan ini berpijak dengan adanya
hadis tentang Nabi mencium Istrinya ketika berpusa. Salah satu hadis yang
menjelaskan tentang Nabi mencium Istrinya ketika berpuasa adalah hadis yang
terdapat dalam kitab Shahih Muslim nomor 1853.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ
بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ
عُمَرَ عَنْ الْقَاسِمِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُنِي وَهُوَ صَائِمٌ
وَأَيُّكُمْ يَمْلِكُ إِرْبَهُ كَمَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْلِكُ إِرْبَهُ
Mencium istri pada saat bulan memang merupakan masalah yang perlu dibahas.
Alasannya adalah hal ini sangat menarik dan penting dibahas karena maslah ini
terkait dengan hal ibadah puasa. Tepatnya terkait dengan batalnya puasa yang
dikarenakan mencium istri pada saat puas. Yang juga jadi pertimbangan adalah
Nabi sendiri pernah mencium istrinya pada saat beliau puasa. Salah satu hadis
yang dicantumkan di atas merupakan pernyataan ‘Aisyah sendiri bahwa Nabi pernah
menciumnya. Untuk menggali ma’na apa
yang sebenarnya ada di balik teks hadis tersebut tidak bisa secara mudah kita
mengambil kesimpulan atas hukum mencium istri pada saat puasa untuk diterapkan
secara umum dikalangan orang-orang Islam.
Alasan selanjutnya adalah karena
keinginan penulis untuk mengetahui apa yang sebenarnya historisitas ada di
balik hadis ini. Bagaimana juga sebenarnya hukum orang lain selain Nabi apabila
mencium istrinya pada saat berpuasa, apakah tidak batal puasanya, ataukah
batal. Hal-hal yang terkait dengan hadis ini tentu saja sangat banyak. Untuk
memaknai hadis ini maka dilakukan penelitian dengan menggunakan metodologi yang
berlaku dalam ma’anil hadis. Misalnya menentukan posisi nabi pada saat itu
adalah sebagai suami, pemimpin negara, ayah, dsb. Yang perlu diteliti juga
bagaimana dasar dari ciuman yang dilakukan Nabi, apakah sama dengan manusia
yang lainnya ataukah berbeda. Tidak bisa dengan sederhana kita mema’nai hadis
ini bahwasannya diperbolehkan ciuman pada saat puasa secara mutlak bagi setiap
orang hanya melihat dari tekstual dari hadis tersebut. Banyak pertimbangan yang
dilakukan sehingga pada akhirnya pema’naan hadis ini tidak sama antara satu
orang dengan yang lain.
Dari sedikit pemaparan di atas dapat
diambil kesimpulan bahwasannya hadis ini akan menjalani pema’naan hadis yang
berangkat suatu kasus yaitu hal yang pernah dilakukan Nabi sendiri yaitu
mencium istrinya dan dari beberapa analisis teks dan kontekstual yang
pada akhirnya akan diambil
kesimpulan dari perbedaan hukum yang diambil dari hadis ini. Diharapkan dari
kesimpulan beberapa hukum yang akan diambil akan membawa orang-orang Islam
akan pengetahuan bahwasannya hukum
tentang mencium istri pada saat berpuasa mempunyai pengaplikasian yang berbeda antara satu muslim dengan muslim
yang lainnya dengan melihat beberapa pertimbangan yang akan membawa mereka pada
tegaknya maqasid syari’ah. Dan untuk
melakukannya secara kongkrit maka akan menjalani beberapa tahapan yang
merupakan bagian dari kaidah-kaidah mayor dan minor.
C.
Kritik
hadis
1.
Takhrij
Hadis
Langkah awal yang akan dilakukan penulis
dalam membahas hadis tentang hukum berciuman pada saat puasa adalah melakukan
takhrij hadis. Penulis akan mencoba mencari hadis yang satu makna dengan
pembahasan ini yang menggunakan rujukan dari kutubut tis’ah. Ketika hadis yang
ditemukan penulis mempunyai redaksi matan yang sama, maka penulis akan
mencantumkannya satu saja. Pertimbangan pencantuman hadis juga akan dipilih
yang sekiranya mempunyai matan berbeda yang redaksinya dapat dijadikan
perbandingan dengan matan lain dan dapat memberikan data yang baru yang akan memperkaya
pembahasan ini. Mengingat hadis yang
akan ditemukan tentang tema hadis ini dari kutubut tis’ah jumlahnya sangat banyak. Takhrij hadis juga
melalui pencarian dari beberapa lafadz, karena mungkin saja hadis yang
ditemukan dari beberapa lafadz berbeda. Jika hanya menggunakan satu lafadz,
maka hadis yang ada dalam lafadz lainnya tidak tercover.
1.
Muslim
1851
حَدَّثَنِي
عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ
أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ إِحْدَى نِسَائِهِ وَهُوَ صَائِمٌ
ثُمَّ تَضْحَكُ
2.
Bukhori 1792, 1793
حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ الْحَكَمِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ
عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَكَانَ
أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ وَقَالَ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ مَآرِبُ حَاجَةٌ قَالَ
طَاوُسٌ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ الْأَحْمَقُ لَا حَاجَةَ لَهُ فِي النِّسَاءِ
3.
Tirmidzi 659, 660,
661
a.
659
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ وَقُتَيْبَةُ قَالَا حَدَّثَنَا
أَبُو الْأَحْوَصِ عَنْ زِيَادِ بْنِ عِلَاقَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ عَنْ
عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُ
فِي شَهْرِ الصَّوْمِ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ
وَحَفْصَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ وَأُمِّ سَلَمَةَ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَأَنَسٍ وَأَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ عَائِشَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَاخْتَلَفَ
أَهْلُ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَغَيْرِهِمْ فِي الْقُبْلَةِ لِلصَّائِمِ فَرَخَّصَ بَعْضُ أَصْحَابِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْقُبْلَةِ لِلشَّيْخِ وَلَمْ يُرَخِّصُوا
لِلشَّابِّ مَخَافَةَ أَنْ لَا يَسْلَمَ لَهُ صَوْمُهُ وَالْمُبَاشَرَةُ
عِنْدَهُمْ أَشَدُّ وَقَدْ قَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ الْقُبْلَةُ تُنْقِصُ
الْأَجْرَ وَلَا تُفْطِرُ الصَّائِمَ وَرَأَوْا أَنَّ لِلصَّائِمِ إِذَا مَلَكَ
نَفْسَهُ أَنْ يُقَبِّلَ وَإِذَا لَمْ يَأْمَنْ عَلَى نَفْسِهِ تَرَكَ الْقُبْلَةَ
لِيَسْلَمَ لَهُ صَوْمُهُ وَهُوَ قَوْلُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ وَالشَّافِعِيِّ
b.
660
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ
حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ أَبِي مَيْسَرَةَ عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُبَاشِرُنِي وَهُوَ صَائِمٌ وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ
4.
Abu daud 2034, 2035, 2036
1.
2036
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا
سُفْيَانُ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ
يَعْنِي ابْنَ عُثْمَانَ الْقُرَشِيَّ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُنِي
وَهُوَ صَائِمٌ وَأَنَا صَائِمَةٌ
5.
Ibnu majah, 1673, 1674, 1677
-
1673
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَبْدُ
اللَّهِ بْنُ الْجَرَّاحِ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ عَنْ زِيَادِ بْنِ
عِلَاقَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ فِي شَهْرِ الصَّوْمِ
6. Ahmad: 23000, 23025, 23045, 23178, 23193, 23525,
23558, 23769, 23802, 23817, 23840, 23873, 24050, 24071, 24128, 24244, 24259,
24284, 24412, 24435, 24473, 24550, 24584, 24600, 24617, 24631, 24663, 24683,
24742, 24763, 24775, 24852, 24862, 24949, 24975, 24994, 25019, 25068, 25079,
25088, 25096, 25117, 25188, 25208
1. Ahmad 23178
حَدَّثَنَا
ابْنُ نُمَيْرٍ عَنْ طَلْحَةَ بْنِ يَحْيَى قَالَ حَدَّثَتْنِي عَائِشَةُ بِنْتُ
طَلْحَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كَانَ يُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ ثُمَّ يَجْعَلُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا ثَوْبًا
يَعْنِي الْفَرْجَ
2. Ahmad 23193
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ قَالَ حَدَّثَنَا الْحَجَّاجُ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ
عَنْ زَيْنَبَ السَّهْمِيَّةِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ ثُمَّ يُقَبِّلُ وَيُصَلِّي وَلَا
يَتَوَضَّأُ
3. 23558
حَدَّثَنَا عَفَّانُ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ
قَالَ حَدَّثَنَا مُطَرِّفٌ عَنْ عَامِرٍ عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ
قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَظَلُّ
صَائِمًا ثُمَّ يُقَبِّلُ مَا شَاءَ مِنْ وَجْهِي حَتَّى يُفْطِرَ
4. 23769
حَدَّثَنَا
عَفَّانُ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ دِينَارٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ أَوْسٍ عَنْ
مِصْدَعٍ أَبِي يَحْيَى الْأَنْصَارِيِّ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُهَا وَهُوَ صَائِمٌ وَيَمُصُّ
لِسَانَهَا قُلْتُ سَمِعْتَهُ مِنْ سَعْدِ بْنِ أَوْسٍ قَالَ نَعَمْ
5. 24412
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ حَبِيبِ بْنِ شَهِيدٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ
وَلَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
6. 24435
حَدَّثَنَا
يَحْيَى عَنْ هِشَامٍ يَعْنِي الدَّسْتُوَائِيَّ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ
أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنِ الْحَكَمِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ هَمَّامِ بْنِ
الْحَارِثِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
نَحْوَ هَذَا يَعْنِي فِي فَرْكِ الْمَنِيِّ
7. 24473
حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ
عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُ
وَهُوَ صَائِمٌ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ
8. 24600
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ عَنْ زَكَرِيَّا عَنْ الْعَبَّاسِ بْنِ ذَرِيحٍ عَنِ الشَّعْبِيِّ عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ الْأَشْعَثِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَمْتَنِعُ مِنْ شَيْءٍ مِنْ وَجْهِي وَهُوَ
صَائِمٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا بْنِ أَبِي زَائِدَةَ قَالَ
حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ صَالِحٍ الْأَسَدِيِّ عَنِ الشَّعْبِيِّ عَنْ مُحَمَّدِ
بْنِ الْأَشْعَثِ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مِثْلَهُ قَالَ عَبْد اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ الْأَشْعَثِ يَعْنِي ابْنَ قَيْسٍ
9. 24862
حَدَّثَنَا
رَوْحٌ حَدَّثَنَا عَوْفٌ حَدَّثَنَا أَوْفَى بْنُ دَلْهَمٍ الْعَدَوِيُّ عَنْ
مُعَاذَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ يَنَالُ شَيْئًا مِنْ وُجُوهِنَا وَهُوَ صَائِمٌ
10. 24994
حَدَّثَنَا
حَمَّادُ بْنُ خَالِدٍ الْخَيَّاطُ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ النَّهْشَلِيُّ
وَأَبُو الْمُنْذِرِ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو بَكْرٍ عَنْ زِيَادِ بْنِ عِلَاقَةَ
عَنْ عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ قَالَ أَبُو الْمُنْذِرِ فِي
رَمَضَانَ
11. 25088
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْوَهَّابِ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ
عَنْ عَائِشَةَ و قَالَ مَرَّةً أُخْرَى الْخَفَّافُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصِيبُ مِنْ الرُّءُوسِ
وَهُوَ صَائِمٌ و قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ يَعْنِي فِي حَدِيثِهِ عَنْ
سَعِيدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
وَكَذَا قَالَ الْخَفَّافُ مَرَّةً أُخْرَى
7. Muwattha malik: 569
و
حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ
أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ إِنْ كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُقَبِّلُ بَعْضَ أَزْوَاجِهِ وَهُوَ
صَائِمٌ ثُمَّ ضَحِكَتْ
8. Darimi : 632, 762, 763, 1659, 1660
1. 632
أَخْبَرَنَا
إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ قُلْتُ لِعَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ أَسَمِعْتَ أَبَاكَ يُحَدِّثُ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُهَا وَهُوَ
صَائِمٌ قَالَ نَعَمْ
2. 762
أَخْبَرَنَا
أَبُو عَاصِمٍ عَنْ هِشَامٍ صَاحِبِ الدَّسْتَوَائِيِّ عَنْ حَمَّادٍ عَنْ
إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ
3. 1659
حَدَّثَنَا
حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ
عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ فَقَالَ عُرْوَةُ أَمَا
إِنَّهَا لَا تَدْعُو إِلَى خَيْرٍ
1.
Bukhari
1792
2.
Muslim
1851, 1854, 1855, 1856, 1857, 1858, 1859, 1860, 1861.
o 1854
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ قَالَ
يَحْيَى أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ
الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ وَعَلْقَمَةَ عَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ح و حَدَّثَنَا شُجَاعُ بْنُ مَخْلَدٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى
بْنُ أَبِي زَائِدَةَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ مُسْلِمٍ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ
وَلَكِنَّهُ أَمْلَكُكُمْ لِإِرْبِهِ
3.
Darimi
762, 1659
4.
Muwattha’
569
5.
Ahmad.
Hadis-hadis yang ditemukan dalam musnad Ahmad dengan menggunakan lafadz ini
sama dengan hadis-hadis yang ditemukan dalam takhrij menggunakan lafadz يُقَبِّلُ
6.
Ibnu
Majah. Hadis –hadis yang ditemukan juga sama dengan yang sudah tertera di atas
dengan menggunakan lafadz يُقَبِّل
7.
Abu
Daud yang berbeda dengan hadis yang sudah tertera menggunakan lafadz يُقَبِّلُ adalah nomor 2037
o 2037
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ
ح و حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ حَمَّادٍ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ
بُكَيْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ جَابِرِ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ هَشَشْتُ فَقَبَّلْتُ
وَأَنَا صَائِمٌ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا
عَظِيمًا قَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ مَضْمَضْتَ مِنْ
الْمَاءِ وَأَنْتَ صَائِمٌ قَالَ عِيسَى بْنُ حَمَّادٍ فِي حَدِيثِهِ قُلْتُ لَا
بَأْسَ بِهِ ثُمَّ اتَّفَقَا قَالَ فَمَهْ
8.
Tirmidzi.
Hadis-hadis yang ditemukan juga sama dengantakhrij menggunakan lafadz يُقَبِّلُ
-
Takhrij
dengan lafadz فِي
شَهْرِ الصَّوْمِ
Mayoritas hadis yang ditemukan dengan
lafadz ini juga sama dengan hadis-hadis yang didapat dengan menggunakan kedua
lafadz di atas. Namun ada beberapa hadis yang belum didapat dengan menggunakan
kedua lafadz di atas, yaitu
1.
Bukhari
1852, 1853. Setelah diteliti, ternyata
isi hadis kedua nomor ini tidak sesuai dengan tema yang dibahas kali ini.
2.
Ahmad
22981
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ قُلْتُ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ الْقَاسِمِ أَسَمِعْتَ أَبَاكَ يُحَدِّثُ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُهَا وَهُوَ صَائِمٌ
فَسَكَتَ عَنِّي هُنَيَّةً ثُمَّ قَالَ نَعَمْ
2.
Kualitas
hadis
Setelah
meneliti sanad-sanad hadis yang sudah tertera di atas, ternyata semuanya sanadnya
muttashil, dan tentang bersambungnya sanad, hadis ini termasuk hadis yang muttashil. Hal ini dapat dilihat
dalam skema di bawah ini:
Dari
tabel nama-nama rawi yang ada dalam hadis Muslim 1851, jika diteliti dari
kredebilitas mereka dalam meriwatkan hadis adalah sebagai berikut:
a.
‘Aisyah
Nama panjang beliau dan
julukan beliau adalah ‘Aisyah binti Abi Bakar ash-Shidiq Ummul Mu’minin at-Taimaiyyah
al-Faqihiyyah, ar-Rabaniyyah, Habibatu Rasulillah. Diantara murid beliau adalah
Masruq, Aswar, Sa’id bin Musayyab, Urwah, Qasim, dll. Nabi menikahi ‘Aisyah di
makkah ketika beliau berumur 7 tahun dan beliau ke Madinah pada umur 9 th.[3]
Nabi sendiri memberikan penilaian yang sangat menyanjung ‘Aisyah. Musa bin
Thalhah berkata: saya tidak melihat orang yang lebih fasih dari ‘Aisyah. Atha
bin Abi Rabah berkata: ‘Aisyah adalah orang yang paling faqih paling bagus
argumennya.[4]
Masih banyak lagi ulama yang memberikan penilaian terhadap beliau, dan intinya
semua memberikan ta’dil. Tentang tahun wafatnya, Hisyam bin ‘Urwah berpendapat
bahwa beliau wafat pada tahun 57H. Beliau hidup selama 63 tahun. [5]
b.
Urwah
bin Zubair
Nama lengkap beliau
adalah Urwah bin Zubair bin ‘awam bin Khuwailid bin asad abdul Ghazi bin Qusha
al-Qurasyi al-asadi. [6]Beliau
mempunyai laqab Abu Abdillah al-Madani. Diantara guru beloiau adalah Usamah bin
yazid bin haritsah al-Kulli, Walid an-Nu’man bin Basyir, Basyir bin Sa’id, dll.
Diantara murid beliau adalah Bakr bin Suwadah, al-Jadami, Tamim bin Salamah
as-Salmi, dll. [7]
Kahalid bin Nazar
berkatadari Sufyan bin ‘Uyainah bahwa orang yang paling alim atas hadis ‘Aisyah
ada tiga orang, yaitu al-Qasim bin Muhammad, Urwah bin Zubair, dan Umrah binti
Abdur rahman. [8]Jarir
bin Abdul Hamid berkata dari Hisyam bin Urwah: Saya tidak mendengar seseorang
pun yang memberikan penilaian terhadap Urwah kecuali kebaikan darinya. [9]Menurut
Khalifah Ibnu Khiyath, beliau lahir pada tahun 203.[10]
c.
Hisyam
bin Urwah
Nama lengkap beliau
adalah Hisyam bin Urwah bin Zubair bin Awam al-Qurasyi al-Asadi, laqab beliau
Abu Mundzir.[11]
Guru beliau di
antaranya adalah Bakr bin Wail, Shalih bin Rabi’ah bin al-Hadir at-Tami, Shalih
bin Abi Shalih as-Samani, dll. Di antara murid beliau adalah Aban bin Yazid
al-Athar, Ibrahim bin Hamid bin Abdur rahman ar-Ruasi, Abu Ishaq Ibrahim bin
Muhammad al-fazari. [12]Abu
hatim berkata bahwa Hisyam Tsiqqah, Imam fil hadis. Ibnu Sa’ad berkata bahwa
Hisyam adalah Tsabit, banyak hadisnya, hujjah. Beliau meninggal pada tahun 146[13]
d.
Sufyan
bin ‘Uyainah
Nama lengkap beliau
adalah Sufyan bin ‘Uyainah bin Abi Imran. Diantara murid beliau adalah Aban bin
Taghlab, Ibrahin bin Uqbah, Ibrahim bin Muhammad, dll. [14]
Ali bin Madani
bependapat bahwa beliau lahir pada tahun 107. Hadisnya ditulis ketika beliau
berumur 35 tahun. Ali bin madani juga berkata bahwa tidak ada sahabat dari
az-Zuhri yang lebih dipercaya dari pada Sufyan bin Uyainah. Sebagian ahli hadis
berkata bahwa Sufyan bin Uyainah Atsbata an-Nas dalam hadis az-Zuhri, Hasanul
hadis, diperhitungkan bagi Hukama Ashabul hadis.[15]
Hadis yang beliau riwayatkan ada sekitar 1070 hadis. Beliau meninggal pada
tanggal 1 rajab tahun 198[16]
e.
‘Ali
bin Hajar
Nama lengkap beliau
adalah ‘Ali bin Hajar bin Iyas bin Muqatil bin Mukhadasy bin Musmarij bin
Khalid as-Sa’di. Laqab beliau adalah Abu Hasan al-Marwazi. [17]Diantara
guru beliau adalah Ishaq bin Iyas, Ayyub bin Mudrak, Baqiyyah bin Walid, dll.
Beliau berpindah ke iraq pada saat beliau berumur 33 tahun. Menurut Abu Bakar
A’yan beliau termasuk masyayikh Khurasan. Beliau lahir pada tahun 154 dan
meninggal pada tahun 244 jumadil Ula. [18]
Semua rawi yang
meriwayatkan hadis Muslim 1853 ini dinilai tsiqqah oleh para ulama, tidak
ditemuka satu rawi pun yang dhaif. Hadis ini sanadnya juga sampai kepada Nabi
Muhammad yang disebut marfu’ muttashil. Dengan asumsi demikian, maka dapat
dikatakan bahwasannya tidak ada masalah dalam hal sanad dalam hadis ini, dan
dapat dilakukan penelusuran lebih lanjut dari hadis ini.
D.
Pemaknaan
hadis
1.
Analisis
matan
-
Arti
kata يُقَبِّلُ
Dalam kamus muhith,
lafadz ini mempunyai masdar القبلة yang mempunyai arti اللثمة.[19]
Sedangkan dalam lisanul arab, kata ini juga mempunyai masdar القبلة yang artinya اللثمة معروفة
yang mempunyai jama’ القبل dan pekerjaannya disebut
التقبيل
[20]Sedengkan
dalam kamus munawwir, lafadz ini juga mempunyai masdar yang sama yaitu القبلة sinonim dengan al-bautsah, yang artinya
ciuman.[21]
Kecupan. Masdar yang terbentuk dari asal madhi قبل-يقبل kemudian menjadi القبلة merupakan masdar sima’I yang didapat dari
perkataan orang arab. Jika diurutkan
menurut tashrifan yang mengikuti qaidah, maka bukan القبلة
yang akan terbentuk pada masdar.
-
Syarah
hadis
Jika mendasarkan pada
lafadz hadis yang berkaitan dengan tema ini secara umum dan dilihat dari dhohir
lafadznya saja, maka dapat diketahui bahwasannya ciuman bagi orang yang
berpuasa itu diperbolehkan, baik dalam bulan ramadhan atau diluar bulan
raamadhan, baik orang tua maupun pemuda. Pemahaman ini didapat karena
Rasulullah tidak berkata pada istrinya
batasan umur suami yang mencium istrinya, apakah masih muda apakah sudah
tua. Adapun hukum syara’ yang membedakan hukum orang tua dan pemuda, maka hal
ini didasarkan pada perkataan ‘Aisyah yang artinya siapakah di antara kalian yang
mampu menahan dirinya dari pada Rasulullah? [22]Asumsi
dari perkataan ‘Aisyah ini adalah orang yang paling mampu untuk menahan diri
adalah Rasulullah, dan selain Rasulullah belum dapat dipastikan akan hal
tersebut. Ketika dihadapkan dengan matan-matan hadis lainnya, maka pemahaman
awal secara global tersebut akan tergeserkan.
Maksud perkataan
‘Aisyah bahwa Rasulullah mencium istrinya ketika beliau berpuasa lalu beliau
berkata siapakah di antara kamu yang lebih bisa menahan diri daripada Rasul?
Maka perkataan ini merupakan peringatan bahwasannya ciuman menjadikan orang
yang melakukannya rusak puasanya dikarenakan dia tidak dapat menjaga dirinya
untuk keluarnya mani dan madzi, dan hal tersebut merupakan istimta’ yang dapat
merusak puasa. Adapun Rasulullah mencium istrinya karena beliu dapat menahan
nafsunya dari keluarnya mani dan itu tidak merusak puasa beliu. Maka siapa saja
yang bisa menahan dirinya setelah mencium dua kali, dia tidak dapat hukuman.
Orang yang melakukan ciuman pada saat puasa dan berhasil menahan nafsunya
sehingga tidak keluar mani maka puasanya tidak rusak, karena Rasulullah juga
pernah melakukan demikian dan puasanya tidak rusak.[23]
Maksud dari potongan
lafadz hadis bahwasannya ‘Aisyah tertawa adalah memang ketika beliu
menginformasikan bahwa ketika Rasulullah puasa beliau mencium ‘Aisyah. Hal ini
disebabkan ketika beliau menginformasikan hal ini beliu ta’ajjub melihat
ekspresi dari orang-orang di sekitarnya. Selain itu beliau juga mnegingat cinta
dan kasih sayang Rasul pada beliau karena itu tertawa beliau merupakan tertawa
bahagia. [24]
Maksud perkataan Nabi
ketika beliau ditanya tentang ciuman dan beliau melonggarkan bagi orang tua dan
dan makruh bagi pemuda maka hal ini mempunyai alasan yaitu orang tua bisa
mengekang nafsunya, sudah tidak ada syahwat yang menggebu-gebu bergejolak dalam
dirinya yang hal itu akan mendekati pada jima’, karena itu ia terbebas dari
hukuman sebab ciuman. Juga tidak dapat dipastikan ciuman yang dilakukan orang
tua tersebut yang membatalkan puasa. Adapun pemuda pada umumnya tidak dapat
menahan dirinya untuk melakukan hal yang membatalkan puasa sebab ciuman lalu
keluar maninya. Pemuda sering terjerumus dalam hal tersebut. [25]
Jika mencium istri pada saat puasa lalu
keluar mani atau madzimaka ia harus menqadha puasanya. Jika mencium sekali atau
menyentuh sekali lali keluar mani, maka tidak ada kafarat sehingga ia
mengulangi untuk kedua kalinya dan tetap mengeluarkan mani. [26]
Abu Umar berkata:”Saya tidak pernah
menemukan seseorang meringankan mencium bagi orang yang berpuasa kecuali
disyaratkan aman dari seseuatu yang akan diakibatkan ciuman tersebut. Adapun
orang yang mengetahui bahwa ia akan mengeluarkan mani atau madzi, yang akan
merusak puasanya, maka ia wajib menjauhinya walaupun ketika ia mencium lalu
mengeluarkan madzi tidak ada masalah menurut Syafi’i, Abi Hanifah , ats-Tsauri,
Auza’i dan Ibnu Ulyah.[27]
-
Pertimbangan
matan dengan redaksi yang berbeda
Setelah mengumpulkan
hadis-hadis yang semakna dengan tema pembahasan kali ini, maka dapat ditemukan
beberapa redaksi yang berbeda terkait dengan hal mencium. Hal ini sangat pentng
untuk dianalisis agar penulis dapat membuat kesimpulan dengan obyektif dengan
melakukan pertimbangan beberapa redaksi yang berbeda dan informasi yang didapat
juga akan lebih komprehensif.
No
|
No Hadis
|
Redaksi Matan
|
Keterangan
|
1
|
Ahmad 23769
|
حَدَّثَنَا عَفَّانُ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
دِينَارٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ أَوْسٍ عَنْ مِصْدَعٍ أَبِي يَحْيَى الْأَنْصَارِيِّ
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ
يُقَبِّلُهَا وَهُوَ صَائِمٌ وَيَمُصُّ لِسَانَهَا قُلْتُ سَمِعْتَهُ
مِنْ سَعْدِ بْنِ أَوْسٍ قَالَ نَعَمْ
|
Yang di garis bawahi adalah وَيَمُصُّ لِسَانَهَا
|
2
|
Ahmad 24862
|
حَدَّثَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا عَوْفٌ حَدَّثَنَا
أَوْفَى بْنُ دَلْهَمٍ الْعَدَوِيُّ عَنْ مُعَاذَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنَالُ شَيْئًا مِنْ
وُجُوهِنَا وَهُوَ صَائِمٌ
|
Yang digaris bawahi adalah يَنَالُ شَيْئًا مِنْ وُجُوهِنَا
|
3
|
Ahmad 23178
|
حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ عَنْ طَلْحَةَ بْنِ يَحْيَى
قَالَ حَدَّثَتْنِي عَائِشَةُ بِنْتُ طَلْحَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ
ثُمَّ يَجْعَلُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا ثَوْبًا يَعْنِي الْفَرْجَ
|
Yang digaris bawahi adalah كَانَ يُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ ثُمَّ يَجْعَلُ
بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا ثَوْبًا يَعْنِي الْفَرْجَ
|
4
|
Ahmad 23193
|
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ قَالَ حَدَّثَنَا
الْحَجَّاجُ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ زَيْنَبَ السَّهْمِيَّةِ عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ
ثُمَّ يُقَبِّلُ وَيُصَلِّي وَلَا يَتَوَضَّأ
|
Yang digaris bawahi adalah يَتَوَضَّأُ ثُمَّ يُقَبِّلُ وَيُصَلِّي وَلَا
يَتَوَضَّأ
|
5
|
Ahmad 23558
|
حَدَّثَنَا عَفَّانُ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ
قَالَ حَدَّثَنَا مُطَرِّفٌ عَنْ عَامِرٍ عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَ قَالَتْ
عَائِشَةُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَيَظَلُّ صَائِمًا ثُمَّ يُقَبِّلُ مَا شَاءَ مِنْ وَجْهِي حَتَّى يُفْطِرَ
|
Yang digaris bawahi adalah
يُقَبِّلُ مَا شَاءَ مِنْ وَجْهِي حَتَّى يُفْطِرَ
|
6
|
Ahmad 24600
|
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ زَكَرِيَّا عَنْ الْعَبَّاسِ
بْنِ ذَرِيحٍ عَنِ الشَّعْبِيِّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْأَشْعَثِ عَنْ عَائِشَةَ
قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَمْتَنِعُ
مِنْ شَيْءٍ مِنْ وَجْهِي وَهُوَ صَائِمٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا
بْنِ أَبِي زَائِدَةَ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ صَالِحٍ الْأَسَدِيِّ عَنِ
الشَّعْبِيِّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْأَشْعَثِ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَهُ قَالَ عَبْد اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ
الْأَشْعَثِ يَعْنِي ابْنَ قَيْسٍ
|
Yang digaris bawahi adalah لَا يَمْتَنِعُ مِنْ شَيْءٍ مِنْ وَجْهِي وَهُوَ
صَائِمٌ
|
7
|
Ahmad 25088
|
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ
أَيُّوبَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ عَنْ عَائِشَةَ و قَالَ مَرَّةً أُخْرَى
الْخَفَّافُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ يُصِيبُ مِنْ الرُّءُوسِ وَهُوَ صَائِمٌ و قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ
جَعْفَرٍ يَعْنِي فِي حَدِيثِهِ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ شَقِيقٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَكَذَا قَالَ الْخَفَّافُ مَرَّةً أُخْرَى
|
Yang digaris bawahi adalah كَانَ يُصِيبُ مِنْ الرُّءُوسِ
|
8
|
Ahmad 22981
|
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ قُلْتُ لِعَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ أَسَمِعْتَ أَبَاكَ يُحَدِّثُ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُهَا وَهُوَ
صَائِمٌ فَسَكَتَ عَنِّي هُنَيَّةً ثُمَّ قَالَ نَعَمْ
|
Yang
digaris bawahi adalah فَسَكَتَ عَنِّي هُنَيَّةً ثُمَّ قَالَ نَعَمْ
|
9
|
Abu Daud 2037 Bab الصوم Sub bab القبلة للصائم
|
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ ح و حَدَّثَنَا
عِيسَى بْنُ حَمَّادٍ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ بُكَيْرِ بْنِ
عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ قَالَ قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ هَشَشْتُ فَقَبَّلْتُ وَأَنَا
صَائِمٌ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا
قَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ مَضْمَضْتَ مِنْ الْمَاءِ
وَأَنْتَ صَائِمٌ قَالَ عِيسَى بْنُ حَمَّادٍ فِي حَدِيثِهِ قُلْتُ لَا بَأْسَ
بِهِ ثُمَّ اتَّفَقَا قَالَ فَمَهْ
|
Yang digaris bawahi adalah لَوْ مَضْمَضْتَ مِنْ الْمَاءِ وَأَنْتَ
صَائِمٌ قَالَ عِيسَى بْنُ حَمَّادٍ فِي حَدِيثِهِ قُلْتُ لَا بَأْسَ بِهِ ثُمَّ
اتَّفَقَا قَالَ فَمَهْ
|
-
Membandingkan
dengan dalil lain
Dalam hal
ini, ulama ada yang mengaitkan hukum mencium istri pada saat puasa dengan dalil
al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 187
¨@Ïmé& öNà6s9 s's#øs9 ÏQ$uÅ_Á9$# ß]sù§9$# 4n<Î) öNä3ͬ!$|¡ÎS 4 £`èd Ó¨$t6Ï9 öNä3©9 öNçFRr&ur Ó¨$t6Ï9 £`ßg©9 3 zNÎ=tæ ª!$# öNà6¯Rr& óOçGYä. cqçR$tFørB öNà6|¡àÿRr& z>$tGsù öNä3øn=tæ $xÿtãur öNä3Ytã ( z`»t«ø9$$sù £`èdrçų»t/ (#qäótFö/$#ur $tB |=tF2 ª!$# öNä3s9 4 (#qè=ä.ur (#qç/uõ°$#ur 4Ó®Lym tû¨üt7oKt ãNä3s9 äÝøsø:$# âÙuö/F{$# z`ÏB ÅÝøsø:$# ÏuqóF{$# z`ÏB Ìôfxÿø9$# ( ¢OèO (#qJÏ?r& tP$uÅ_Á9$# n<Î) È@ø©9$# 4 wur Æèdrçų»t7è? óOçFRr&ur tbqàÿÅ3»tã Îû ÏÉf»|¡yJø9$# 3 y7ù=Ï? ßrßãn «!$# xsù $ydqç/tø)s? 3 y7Ï9ºxx. ÚúÎiüt6ã ª!$# ¾ÏmÏG»t#uä Ĩ$¨Y=Ï9 óOßg¯=yès9 cqà)Gt ÇÊÑÐÈ
187. Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan
puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan
kamupun adalah Pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak
dapat menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af
kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang Telah
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih
dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai
(datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu
beri'tikaf[115] dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu
mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia,
supaya mereka bertakwa.
Dalam hal
ini, ulama yang berdalil dengan ayat tersebut menghukumi ciuman haram pada
siang hari, karena disamakan dengan mubasyarah. Tidak ada keterangan yang
detail dari penyamaan al-qublah dan mubasyarah. Berarti ulama yang berpendapat
demikian tidak melihat secara komprehensif dari beberapa hadis yang banyak
menerangkan masalah ciuman pada saat puasa ini.
-
Perbedaan pendapat dikalangan Ulama tentang hukum
mencium istri pada saat berpuasa
Permasalahan
hukum ciuman pada saat puasa memilki berbagai macam versi yang berbeda antara
satu imam dengan imam yang lainnya. Alasan dan dalil yang mereka ambil juga
menjadi pertimbangan kita yang akan mengikuti pendapat beliau. Di antara perbedaan pendapat mengenai hukum
ini adalah[28]
a. Pendapat Imam Malik , bahwasannya ciuman itu makruh secara mutlak. Tidak ada syarat ataupun perbedaan
hokum orang yang melakukannya, pemuda atau orang tua. Tidak
disenangi orang yang melakukan ciuman pada bulan Ramadhan, lalu keluar mani
maka ia wajib menqadha dan membayar kafarat. Apabila mencium dan kelur madzi,
maka ia wajib menqadla dan tidak membayar kafarat.[29]
b. Pendapat kedua bahwa hokum ciuman itu haram
berdasarkan pada al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 187,
ولاتباشوهن
c. Pendapat yang ketiga, bahwasannya hukum
mencium istri pada saat puasa adalah boleh. Ini didasarkan pada pemahaman secara
dhohir dari hadis bahwasanyya Nabi mencium istrinya ketika beliau berpuasa.
Pendapat ini dianut oleh golongan dlohiriyyah yang dicetuskan oleh Abu Daud
adz-Dzohiri.
d.
Pendapat
ketiga, bahwasannya hukum mencium istri pada saat puasa dibedakan berdasarkan
kriteria umur dan kecerdasan sexual yaitu mampu menahan diri dari keluarnya
mani dan madzi. Dalam hal ini maka hukum antara orang tua dan pemuda berbeda.
Hukum boleh untuk orang tua karena umurnya sudah tua dan syhwatnya sudah tidak
bergejolak dan kecerdasan sexualnya sudah matang. Sedangkan hukum bagi orang
yang masih muda adalah makruh karena umurnya masih muda dan syahwatnya masih
tinggi dan kecerdasan sexualnya tidak sematang orang yang sudah tua.
e.
Pendapat
kelima bahwasannya ketika ia mampu menahan dirinya maka boleh, dan ketika tidak
bisa maka tidak boleh. Ini pendapat Syafi’i. Hal ini berdasarkan hadis dari
Umar bin Abi Salamah ketika bertanya kepada Nabi, lalu Umi Salamah memberi tahu
bahwasannya Nabi melakukan ciuman. Dan pada saat itu Nabi tidak membedakan
antara orang tua dan pemuda. Andai saja dibedakan maka dari awal Nabi akan
menjelaskannya.
2.
Analisis realita historis
-
Asbabul
wurud
Ada seorang sahabat
yang yang memandang istrinya dan ia dalam keadaan lalai, lalu ia ingat dan ia
menyangka kalau hal itu dilarang, lalu ia menyuruh istrinya untuk bertanya
kepada Nabi akan hal tersebut. Maka Umi Salamah menjawab dengan
menginformasikan bahwasannya Nabi juga pernah melakukan hal tersebut dan beliau
merupakan imam dan contoh bagi umatnya. Beliau tidak mungkin melakukan hal yang
dilarang. [30]
Secara implisit dapat diketahui bahwasannya masyarakat Arab pada saat itu
merupakan masyarakat yang mayoritas mempunyai istri lebih dari satu, karena
mereka sangat takut untuk berbut zina, maka mereka lebih memilih jalan yang
halal. Tentu saja mereka sangat butuh tata cara dalam bergaul dengan istri dan
sebaliknya. Dalam hal ini, keluarga Nabi menjadi tauladan dalam hal
tersebut.
-
Fungsi
Nabi
Hadis dengan tema
mencium istri pada saat berpuasa berpijak pada hadis Nabi yang menerangkan
bahwasannya beliau pernah mencium istrinya pada saat berpuasa. Sebagisn besar
hadisnya langsung merupakan bentuk pengakuan dari ‘Aisyah bahwasannya beliau
pernah dicium Nabi ketika Nabi sedang berpuasa dan beliau juga berpuasa. Dari
konteks hadis tersebut dapat diketahui bahwasannya hadis ini mucul disaat
status Nabi menjadi seorang suami. Sebagai seorang suami beliu menjalankan
aktifitas pribadi beliau di rumah, dan salah satunya seperti yang dibahas kali
ini adalah ketika beliau mencium istrinya. Tidak dapat dipungkiri bahwasannya
sebagai orang yang mempunyai beberapa status sosial yang penting dalam
kehidupannya, aktivitas pribadi beliu juga sebagai acuan masyarakat dalam
menjalankan kehidupan mereka dalam beberapa ranah dan status sosial juga.
Disaat Nabi berstatus suami dan bergaul dengan istri-istrinya, melekuka hal-hal
layaknya suami istri, maka hal-hal yang beliau lakukan tetap sebagai tauladan
yang akan dianut oleh masyarakat. Ketika beliau mencium istrinya pada saat
puasa juga akan menjadi bahan pertimbangan ulama dalam menentukan hukum dari
hal tersebut.
-
Sejarah
sosio teks hadis
Masyarakat arab pada
waktu merupakan masyarakat yang mayoritas
punya istri lebih dari satu, dan mereka melakukan hubungan suami istri
seperti wajarnya. Ketika itu belum ada penetapan hukum mencium istri pada waktu
berpuasa. Mayoritas mereka belum tahu bagaimana hukum tersebut. Maka sahabat
bertanya beliau bagaimana hukum atas hal tersebut. Dengan adanya keterangan
dari istri Nabi bahwa Nabi sendiri pernah melakukannya, maka masyarakat arab
mulai dapat melakukan hal tersebut
dengan ketentuan yang berlaku.
3.
Penyimpulan
Jika mempertimbangkan
dari analisis matan dan analisis realita historis, maka hadis –hadis yang
menjelaskan bahwa nabi mencium istrinya pada saat puasa tidak dapat dilihat
dari dlohirnya saja bahwa Nabi saja melakukan ciuman pada saat beliau berpuasa
maka selain beliu juga boleh melakukannya. Ketika mempertimbangkan perkataan
‘Aisyah juga bahwa tidak ada orang yang dapat menahan dirinya melebihi nabi,
ini dapat diambil pengertian bahwa kita jangan seenaknya untuk melakukan ciuman
seperti Nabi tanpa ada aturan, terlebih ketika pada saat kita berpuasa. Kita
jauh jika dibandingkan Nabi dalam hal penjagaan diri. Oleh karena itu, dalam
hal ini menggunakan berbagai pertimbangan dalam pengambilan hukumnya. Ulama
juga sudah memberikan pendapat mereka masing-masing untuk menentukan hukum dari
hal tersebut. Setidaknya kita mempunyai pegangan pada mereka ketika akan
melakukan aktifitas terlebih yang berhubungan dengan ibadah seperti puasa.
Sebenarnya secara jelas
Aiisyah sendiri sudah menyetakan bahwasannya dalam hal mencium istri, hukum
antara Nabi dan kita tidak sama. Hal ini dikarenakan Nabi adalah orang yang
dapat menahan dirinya untuk tidak melakukan hal-hal yang akan merusak ibadah
beliau. Sedangkan umatnya tidak dapat
melakukannya karena berbagai faktor.
E.
Problem
realita kekinian dan petimbangan aplikasi hukum
Hadis tentang hukum mencium pada saat
puasa perlu untuk dilakukan kajian lebih dalam agar realita yang ada pada saat
ini bisa sesuai dengan hukum yang berlaku. Realita yang ada pada masyarakat
pada saat ini seperti yang bisa kita lihat bahwasannya masyarakat sekarang sangatmudah
untuk mengkonsumsi tayangan ataupun obat-obat atau semacamya yang adapat
menyebabkan syahwat akan bergejolak. Disamping itu, tontonan adegan ciuman baik
di televisi maupun secara langsung sudah menjadi tontonan yang biasa
merajalela. Hal-hal tersebut lebih mudah menjadikan orang-orang jaman sekarang
terjerumus dalam istimta’ dan sulit sekali untuk menahan diri.
Setelah mempertimbangkan penjelasan dari
data-data yang penulis temukan baik itu syarah hadis dan pendapat para ulama,
maka penulis mempunyai kesimpulan bahwasannya memang hukum mencium yang penulis
ambil adalah yang mengatakan boleh bagi orang yang sudah tua dan makruh bagi
pemuda. Setelah mempertimbangkan lebih dalam lagi, alangkah baiknya ketika
orang yang berpuasa mampu menahan untuk tidak melakukannya selama ia berpuasa.
Adapun ketika sudah berbuka, maka tidak ada masalah. Pertimbangannya, manusia
tidak dapat mengukur dirinya apakah ketika melakukan ciuman pada saat itu, ia
dapat menahan dirinya untuk tidak keluar mani atau madzi. Mungkin suatu saat ia
dapat menahan diri dan tidak keluar mani, tetapi pada saat yang lain belum
tentu ia akan mampu menahannya. Kalau ia kelur mani hukum puasanya akan rusak.
Kalau hanya madzi ia wajib mengganti puasanya. Dan jika itu terjadi maka dapat
dikatakan orang tersebut lengah dan tidak menyempurnakan puasanya.
F.
Penutup
Hadis tentang mencium istri pada saat
berpuasa setelah melalui kajian ma’anil hadis. Hasil yang didapat setelah
melakukan kajian ini sekiranya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang menggunakan
hadis sebagai landasan hukum. Tentu saja harapan setelah melaukan kajian
ma’anil hadis, hadis yang dibahas dalam makalah ini dapat diaplikasikan sesuai
dengan berubahnya zaman dan perbedaan tempat. Sehingga hadis ini dapat selalu
hidup ditengah masyarakat dengan zaman yang selalu berubah untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat atas pemakanaan hadis yang berupa teks belaka. Pemaknaan
hadis yang dilakukan tidak hanya berangkat dari teks hadis yang dari awal wahyu
sampai sekarang tidak berubah, sedangkan berkembangan zaman menuntuk pemaknaan
hadis yang selau sesuai seiring berubahnya tradisi dari zaman ke zaman. Pada
finalnya, masyarakat aka merasakan betapa sempurnanya agama Islam yang tidak
pernah ketinggalan zaman. Justru Islam akan selalu memenuhi kebutuhan umatnya
sepanjang masa.
Daftar Pustaka
Ash-Shana’ani.
Subulus Salam .Thoha Putra:Semarang.
CD
Mausu’ah Hadis asy-Syarif
CD
Room al-Maktabah Asy-Syamilah, Tahdzibul Kamal lil Mizzi
CD
Room al-Maktabah Asy-Syamilah, Kamus
al-Muhith
CD
Room al-Maktabah Asy-Syamilah, Lisanul Arab
CD
Room al-Maktabah Asy-Syamilah, Al-Muntaqa
CD
Room al-Maktabah Asy-Syamilah, al-Istidzkar
Munawwir
Ahmad Warson. Kamus Munawwir Surabaya:Pustaka Progresif, 2002.
[1] CD. Mausu’ah
Hadis asy-Syarif. Penulis malakukan Takhrij dengan metode bahts ash-sharfi
yaitu mentakhrij hadis dengan mencantumkan potongan lafadz hadis yaitu lafadz يُقَبِّلُ
[2] CD. Mausu’ah
Hadis asy-Syarif. Penulis malakukan Takhrij dengan metode bahts ash-sharfi
yaitu mentakhrij hadis dengan mencantumkan potongan lafadz hadis, yaitu lafadz صَائِمٌ
0 komentar:
Posting Komentar