Senin, 19 Agustus 2013

Mencium Istri di Siang Bulan Ramadlan

Abstrak
Dalam tulisan ini penulis akan membahas tentang hukum mencium istri ketika dalam suasana puasa bulan Ramadlan. Objek kajian kami adalah hadis yang berkenaan dengan tema di atas, yang kemudian akan ditelaah dalam bingkai kritik sanad dan kritik matan.
Keyword: Cium istri, Puasa Ramadlan, Kritik sanad, Kritik matan, Hukum
A.    Pendahuluan.
Hadis berkembang begitu pesat. Ia menjadi sumber hadis yang keua. Kebutuhan masyarakat akan hadis pun makin terasa. Realitanya, saat ini sangat banyak muncul pemaknaan orang terhadap hadis dengan berbagai macam variasi pengaplikasiannya. Sayangnya, kebanyakan orang mengaplikasikan hadis tidak melalui kaidah-kaidah ma’anil hadis. Mereka hanya melihat hadis secara dlahir saja dan langsung berani mengaplikasikannya. Hal ini akan mengakibatkan hasil dari pangaplikasikannya tidak sesuai dengan harapan dari ma’na yang sebetulnya tersembunyi dibalik teks hadis. Pengaplikasian hadis harus mempertimbangkan sanad dan matan dan juga setting historis ketika hadis itu muncul. Diharapkan dari pertimbangan tersebut pengaplikasian hadis akan sesui dengan zaman yang selalu berubah dan juga masyarakat yang berbeda dalam sosisl dan budayanya. Itulah alasan mengapa kajian atas ma’anil hadis sangat penting dilakukan dalam memaknai hadis yang selanjutnya akan diaplikasikan.  
B.     Tema hadis
Tema hadis yang dipilih adalah tentang hukum mencium istri pada saat berpuasa. Pembahasan ini berpijak dengan adanya hadis tentang Nabi mencium Istrinya ketika berpusa. Salah satu hadis yang menjelaskan tentang Nabi mencium Istrinya ketika berpuasa adalah hadis yang terdapat dalam kitab Shahih Muslim nomor 1853.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ الْقَاسِمِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُنِي وَهُوَ صَائِمٌ وَأَيُّكُمْ يَمْلِكُ إِرْبَهُ كَمَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْلِكُ إِرْبَهُ
Mencium istri pada saat bulan  memang merupakan masalah yang perlu dibahas. Alasannya adalah hal ini sangat menarik dan penting dibahas karena maslah ini terkait dengan hal ibadah puasa. Tepatnya terkait dengan batalnya puasa yang dikarenakan mencium istri pada saat puas. Yang juga jadi pertimbangan adalah Nabi sendiri pernah mencium istrinya pada saat beliau puasa. Salah satu hadis yang dicantumkan di atas merupakan pernyataan ‘Aisyah sendiri bahwa Nabi pernah menciumnya. Untuk menggali ma’na  apa yang sebenarnya ada di balik teks hadis tersebut tidak bisa secara mudah kita mengambil kesimpulan atas hukum mencium istri pada saat puasa untuk diterapkan secara umum dikalangan orang-orang Islam.
Alasan selanjutnya adalah karena keinginan penulis untuk mengetahui apa yang sebenarnya historisitas ada di balik hadis ini. Bagaimana juga sebenarnya hukum orang lain selain Nabi apabila mencium istrinya pada saat berpuasa, apakah tidak batal puasanya, ataukah batal. Hal-hal yang terkait dengan hadis ini tentu saja sangat banyak. Untuk memaknai hadis ini maka dilakukan penelitian dengan menggunakan metodologi yang berlaku dalam ma’anil hadis. Misalnya menentukan posisi nabi pada saat itu adalah sebagai suami, pemimpin negara, ayah, dsb. Yang perlu diteliti juga bagaimana dasar dari ciuman yang dilakukan Nabi, apakah sama dengan manusia yang lainnya ataukah berbeda. Tidak bisa dengan sederhana kita mema’nai hadis ini bahwasannya diperbolehkan ciuman pada saat puasa secara mutlak bagi setiap orang hanya melihat dari tekstual dari hadis tersebut. Banyak pertimbangan yang dilakukan sehingga pada akhirnya pema’naan hadis ini tidak sama antara satu orang dengan yang lain.
Dari sedikit pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwasannya hadis ini akan menjalani pema’naan hadis yang berangkat suatu kasus yaitu hal yang pernah dilakukan Nabi sendiri yaitu mencium istrinya dan dari beberapa analisis teks dan kontekstual  yang  pada akhirnya  akan diambil kesimpulan dari perbedaan hukum yang diambil dari hadis ini. Diharapkan dari kesimpulan beberapa hukum yang akan diambil akan membawa orang-orang Islam akan  pengetahuan bahwasannya hukum tentang mencium istri pada saat berpuasa mempunyai pengaplikasian  yang berbeda antara satu muslim dengan muslim yang lainnya dengan melihat beberapa pertimbangan yang akan membawa mereka pada tegaknya maqasid syari’ah.  Dan untuk melakukannya secara kongkrit maka akan menjalani beberapa tahapan yang merupakan bagian dari kaidah-kaidah mayor dan minor.
C.    Kritik hadis
1.      Takhrij Hadis
Langkah awal yang akan dilakukan penulis dalam membahas hadis tentang hukum berciuman pada saat puasa adalah melakukan takhrij hadis. Penulis akan mencoba mencari hadis yang satu makna dengan pembahasan ini yang menggunakan rujukan dari kutubut tis’ah. Ketika hadis yang ditemukan penulis mempunyai redaksi matan yang sama, maka penulis akan mencantumkannya satu saja. Pertimbangan pencantuman hadis juga akan dipilih yang sekiranya mempunyai matan berbeda yang redaksinya dapat dijadikan perbandingan dengan matan lain dan dapat memberikan data yang baru yang akan memperkaya pembahasan ini.  Mengingat hadis yang akan ditemukan tentang tema hadis ini dari kutubut tis’ah  jumlahnya sangat banyak. Takhrij hadis juga melalui pencarian dari beberapa lafadz, karena mungkin saja hadis yang ditemukan dari beberapa lafadz berbeda. Jika hanya menggunakan satu lafadz, maka hadis yang ada dalam lafadz lainnya tidak tercover.
-       Takhrij dari lafadz   يُقَبِّلُ[1]
1.                   Muslim 1851
حَدَّثَنِي عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ إِحْدَى نِسَائِهِ وَهُوَ صَائِمٌ ثُمَّ تَضْحَكُ
2.              Bukhori 1792, 1793
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ الْحَكَمِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ وَقَالَ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ مَآرِبُ حَاجَةٌ قَالَ طَاوُسٌ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ الْأَحْمَقُ لَا حَاجَةَ لَهُ فِي النِّسَاءِ
3.      Tirmidzi 659, 660, 661

a.       659
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ وَقُتَيْبَةُ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ عَنْ زِيَادِ بْنِ عِلَاقَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُ فِي شَهْرِ الصَّوْمِ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَحَفْصَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ وَأُمِّ سَلَمَةَ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَأَنَسٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ عَائِشَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ فِي الْقُبْلَةِ لِلصَّائِمِ فَرَخَّصَ بَعْضُ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْقُبْلَةِ لِلشَّيْخِ وَلَمْ يُرَخِّصُوا لِلشَّابِّ مَخَافَةَ أَنْ لَا يَسْلَمَ لَهُ صَوْمُهُ وَالْمُبَاشَرَةُ عِنْدَهُمْ أَشَدُّ وَقَدْ قَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ الْقُبْلَةُ تُنْقِصُ الْأَجْرَ وَلَا تُفْطِرُ الصَّائِمَ وَرَأَوْا أَنَّ لِلصَّائِمِ إِذَا مَلَكَ نَفْسَهُ أَنْ يُقَبِّلَ وَإِذَا لَمْ يَأْمَنْ عَلَى نَفْسِهِ تَرَكَ الْقُبْلَةَ لِيَسْلَمَ لَهُ صَوْمُهُ وَهُوَ قَوْلُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ وَالشَّافِعِيِّ
b.       660
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ أَبِي مَيْسَرَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُبَاشِرُنِي وَهُوَ صَائِمٌ وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ
4.      Abu daud 2034, 2035, 2036
1.      2036
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ يَعْنِي ابْنَ عُثْمَانَ الْقُرَشِيَّ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُنِي وَهُوَ صَائِمٌ وَأَنَا صَائِمَةٌ
5.      Ibnu majah, 1673, 1674, 1677
-         1673
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْجَرَّاحِ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ عَنْ زِيَادِ بْنِ عِلَاقَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ فِي شَهْرِ الصَّوْمِ
6.      Ahmad: 23000, 23025, 23045, 23178, 23193, 23525, 23558, 23769, 23802, 23817, 23840, 23873, 24050, 24071, 24128, 24244, 24259, 24284, 24412, 24435, 24473, 24550, 24584, 24600, 24617, 24631, 24663, 24683, 24742, 24763, 24775, 24852, 24862, 24949, 24975, 24994, 25019, 25068, 25079, 25088, 25096, 25117, 25188, 25208
1.      Ahmad 23178
حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ عَنْ طَلْحَةَ بْنِ يَحْيَى قَالَ حَدَّثَتْنِي عَائِشَةُ بِنْتُ طَلْحَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ ثُمَّ يَجْعَلُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا ثَوْبًا يَعْنِي الْفَرْجَ
2.      Ahmad 23193
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ قَالَ حَدَّثَنَا الْحَجَّاجُ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ زَيْنَبَ السَّهْمِيَّةِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ ثُمَّ يُقَبِّلُ وَيُصَلِّي وَلَا يَتَوَضَّأُ
3.      23558
حَدَّثَنَا عَفَّانُ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ قَالَ حَدَّثَنَا مُطَرِّفٌ عَنْ عَامِرٍ عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَظَلُّ صَائِمًا ثُمَّ يُقَبِّلُ مَا شَاءَ مِنْ وَجْهِي حَتَّى يُفْطِرَ
4.      23769
حَدَّثَنَا عَفَّانُ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ دِينَارٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ أَوْسٍ عَنْ مِصْدَعٍ أَبِي يَحْيَى الْأَنْصَارِيِّ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُهَا وَهُوَ صَائِمٌ وَيَمُصُّ لِسَانَهَا قُلْتُ سَمِعْتَهُ مِنْ سَعْدِ بْنِ أَوْسٍ قَالَ نَعَمْ
5.      24412
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ حَبِيبِ بْنِ شَهِيدٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ وَلَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
6.      24435
حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ هِشَامٍ يَعْنِي الدَّسْتُوَائِيَّ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنِ الْحَكَمِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ هَمَّامِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَ هَذَا يَعْنِي فِي فَرْكِ الْمَنِيِّ
7.      24473
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ
8.      24600
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ زَكَرِيَّا عَنْ الْعَبَّاسِ بْنِ ذَرِيحٍ عَنِ الشَّعْبِيِّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْأَشْعَثِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَمْتَنِعُ مِنْ شَيْءٍ مِنْ وَجْهِي وَهُوَ صَائِمٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا بْنِ أَبِي زَائِدَةَ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ صَالِحٍ الْأَسَدِيِّ عَنِ الشَّعْبِيِّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْأَشْعَثِ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَهُ قَالَ عَبْد اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ الْأَشْعَثِ يَعْنِي ابْنَ قَيْسٍ
9.      24862
حَدَّثَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا عَوْفٌ حَدَّثَنَا أَوْفَى بْنُ دَلْهَمٍ الْعَدَوِيُّ عَنْ مُعَاذَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنَالُ شَيْئًا مِنْ وُجُوهِنَا وَهُوَ صَائِمٌ
10.  24994
حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ خَالِدٍ الْخَيَّاطُ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ النَّهْشَلِيُّ وَأَبُو الْمُنْذِرِ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو بَكْرٍ عَنْ زِيَادِ بْنِ عِلَاقَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ قَالَ أَبُو الْمُنْذِرِ فِي رَمَضَانَ
11.  25088
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ عَنْ عَائِشَةَ و قَالَ مَرَّةً أُخْرَى الْخَفَّافُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصِيبُ مِنْ الرُّءُوسِ وَهُوَ صَائِمٌ و قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ يَعْنِي فِي حَدِيثِهِ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَكَذَا قَالَ الْخَفَّافُ مَرَّةً أُخْرَى
7.      Muwattha malik: 569
و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُقَبِّلُ بَعْضَ أَزْوَاجِهِ وَهُوَ صَائِمٌ ثُمَّ ضَحِكَتْ
8.     Darimi : 632, 762, 763, 1659, 1660
1.     632
أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ قُلْتُ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ أَسَمِعْتَ أَبَاكَ يُحَدِّثُ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُهَا وَهُوَ صَائِمٌ قَالَ نَعَمْ
2.     762
أَخْبَرَنَا أَبُو عَاصِمٍ عَنْ هِشَامٍ صَاحِبِ الدَّسْتَوَائِيِّ عَنْ حَمَّادٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ
3.     1659
حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ فَقَالَ عُرْوَةُ أَمَا إِنَّهَا لَا تَدْعُو إِلَى خَيْرٍ

-         Takhrij hadis dari lafadz صَائِمٌ[2]
1.    Bukhari 1792
2.    Muslim 1851, 1854, 1855, 1856, 1857, 1858, 1859, 1860, 1861.
o  1854
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ وَعَلْقَمَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ح و حَدَّثَنَا شُجَاعُ بْنُ مَخْلَدٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي زَائِدَةَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ مُسْلِمٍ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَلَكِنَّهُ أَمْلَكُكُمْ لِإِرْبِهِ

3.    Darimi 762, 1659
4.    Muwattha’ 569
5.    Ahmad. Hadis-hadis yang ditemukan dalam musnad Ahmad dengan menggunakan lafadz ini sama dengan hadis-hadis yang ditemukan dalam takhrij menggunakan lafadz يُقَبِّلُ
6.    Ibnu Majah. Hadis –hadis yang ditemukan juga sama dengan yang sudah tertera di atas dengan menggunakan lafadz يُقَبِّل
7.    Abu Daud yang berbeda dengan hadis yang sudah tertera menggunakan lafadz يُقَبِّلُ adalah nomor 2037
o   2037
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ ح و حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ حَمَّادٍ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ بُكَيْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ هَشَشْتُ فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا قَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ مَضْمَضْتَ مِنْ الْمَاءِ وَأَنْتَ صَائِمٌ قَالَ عِيسَى بْنُ حَمَّادٍ فِي حَدِيثِهِ قُلْتُ لَا بَأْسَ بِهِ ثُمَّ اتَّفَقَا قَالَ فَمَهْ
8.        Tirmidzi. Hadis-hadis yang ditemukan juga sama dengantakhrij menggunakan lafadz يُقَبِّلُ
-         Takhrij dengan lafadz فِي شَهْرِ الصَّوْمِ
Mayoritas hadis yang ditemukan dengan lafadz ini juga sama dengan hadis-hadis yang didapat dengan menggunakan kedua lafadz di atas. Namun ada beberapa hadis yang belum didapat dengan menggunakan kedua lafadz di atas, yaitu
1.      Bukhari 1852, 1853. Setelah diteliti, ternyata isi hadis kedua nomor ini tidak sesuai dengan tema yang dibahas kali ini.
2.      Ahmad 22981
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ قُلْتُ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ أَسَمِعْتَ أَبَاكَ يُحَدِّثُ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُهَا وَهُوَ صَائِمٌ فَسَكَتَ عَنِّي هُنَيَّةً ثُمَّ قَالَ نَعَمْ
2.      Kualitas hadis
Setelah meneliti sanad-sanad hadis yang sudah tertera di atas, ternyata semuanya sanadnya muttashil, dan tentang bersambungnya sanad, hadis ini termasuk hadis yang muttashil. Hal ini dapat dilihat dalam skema di bawah ini:
Dari tabel nama-nama rawi yang ada dalam hadis Muslim 1851, jika diteliti dari kredebilitas mereka dalam meriwatkan hadis adalah sebagai berikut:
a.       ‘Aisyah
Nama panjang beliau dan julukan beliau adalah ‘Aisyah binti Abi Bakar ash-Shidiq Ummul Mu’minin at-Taimaiyyah al-Faqihiyyah, ar-Rabaniyyah, Habibatu Rasulillah. Diantara murid beliau adalah Masruq, Aswar, Sa’id bin Musayyab, Urwah, Qasim, dll. Nabi menikahi ‘Aisyah di makkah ketika beliau berumur 7 tahun dan beliau ke Madinah pada umur 9 th.[3] Nabi sendiri memberikan penilaian yang sangat menyanjung ‘Aisyah. Musa bin Thalhah berkata: saya tidak melihat orang yang lebih fasih dari ‘Aisyah. Atha bin Abi Rabah berkata: ‘Aisyah adalah orang yang paling faqih paling bagus argumennya.[4] Masih banyak lagi ulama yang memberikan penilaian terhadap beliau, dan intinya semua memberikan ta’dil. Tentang tahun wafatnya, Hisyam bin ‘Urwah berpendapat bahwa beliau wafat pada tahun 57H. Beliau hidup selama 63 tahun.   [5]
b.      Urwah bin Zubair
Nama lengkap beliau adalah Urwah bin Zubair bin ‘awam bin Khuwailid bin asad abdul Ghazi bin Qusha al-Qurasyi al-asadi. [6]Beliau mempunyai laqab Abu Abdillah al-Madani. Diantara guru beloiau adalah Usamah bin yazid bin haritsah al-Kulli, Walid an-Nu’man bin Basyir, Basyir bin Sa’id, dll. Diantara murid beliau adalah Bakr bin Suwadah, al-Jadami, Tamim bin Salamah as-Salmi, dll. [7]
Kahalid bin Nazar berkatadari Sufyan bin ‘Uyainah bahwa orang yang paling alim atas hadis ‘Aisyah ada tiga orang, yaitu al-Qasim bin Muhammad, Urwah bin Zubair, dan Umrah binti Abdur rahman. [8]Jarir bin Abdul Hamid berkata dari Hisyam bin Urwah: Saya tidak mendengar seseorang pun yang memberikan penilaian terhadap Urwah kecuali kebaikan darinya. [9]Menurut Khalifah Ibnu Khiyath, beliau lahir pada tahun 203.[10]
c.       Hisyam bin Urwah
Nama lengkap beliau adalah Hisyam bin Urwah bin Zubair bin Awam al-Qurasyi al-Asadi, laqab beliau Abu Mundzir.[11]
Guru beliau di antaranya adalah Bakr bin Wail, Shalih bin Rabi’ah bin al-Hadir at-Tami, Shalih bin Abi Shalih as-Samani, dll. Di antara murid beliau adalah Aban bin Yazid al-Athar, Ibrahim bin Hamid bin Abdur rahman ar-Ruasi, Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad al-fazari. [12]Abu hatim berkata bahwa Hisyam Tsiqqah, Imam fil hadis. Ibnu Sa’ad berkata bahwa Hisyam adalah Tsabit, banyak hadisnya, hujjah. Beliau meninggal pada tahun 146[13]
d.      Sufyan bin ‘Uyainah
Nama lengkap beliau adalah Sufyan bin ‘Uyainah bin Abi Imran. Diantara murid beliau adalah Aban bin Taghlab, Ibrahin bin Uqbah, Ibrahim bin Muhammad, dll. [14]
Ali bin Madani bependapat bahwa beliau lahir pada tahun 107. Hadisnya ditulis ketika beliau berumur 35 tahun. Ali bin madani juga berkata bahwa tidak ada sahabat dari az-Zuhri yang lebih dipercaya dari pada Sufyan bin Uyainah. Sebagian ahli hadis berkata bahwa Sufyan bin Uyainah Atsbata an-Nas dalam hadis az-Zuhri, Hasanul hadis, diperhitungkan bagi Hukama Ashabul hadis.[15] Hadis yang beliau riwayatkan ada sekitar 1070 hadis. Beliau meninggal pada tanggal 1 rajab tahun 198[16]
e.       ‘Ali bin Hajar
Nama lengkap beliau adalah ‘Ali bin Hajar bin Iyas bin Muqatil bin Mukhadasy bin Musmarij bin Khalid as-Sa’di. Laqab beliau adalah Abu Hasan al-Marwazi. [17]Diantara guru beliau adalah Ishaq bin Iyas, Ayyub bin Mudrak, Baqiyyah bin Walid, dll. Beliau berpindah ke iraq pada saat beliau berumur 33 tahun. Menurut Abu Bakar A’yan beliau termasuk masyayikh Khurasan. Beliau lahir pada tahun 154 dan meninggal pada tahun 244 jumadil Ula.  [18]
Semua rawi yang meriwayatkan hadis Muslim 1853 ini dinilai tsiqqah oleh para ulama, tidak ditemuka satu rawi pun yang dhaif. Hadis ini sanadnya juga sampai kepada Nabi Muhammad yang disebut marfu’ muttashil. Dengan asumsi demikian, maka dapat dikatakan bahwasannya tidak ada masalah dalam hal sanad dalam hadis ini, dan dapat dilakukan penelusuran lebih lanjut dari hadis ini.
D.    Pemaknaan hadis
1.      Analisis matan
-          Arti kata يُقَبِّلُ
Dalam kamus muhith, lafadz ini mempunyai masdar القبلة yang mempunyai arti اللثمة.[19] Sedangkan dalam lisanul arab, kata ini juga mempunyai masdar القبلة yang artinya اللثمة معروفة yang mempunyai jama’ القبل dan pekerjaannya disebut    التقبيل [20]Sedengkan dalam kamus munawwir, lafadz ini juga mempunyai masdar yang sama yaitu القبلة sinonim dengan al-bautsah, yang artinya ciuman.[21] Kecupan. Masdar yang terbentuk dari asal madhi قبل-يقبل kemudian menjadi القبلة merupakan masdar sima’I yang didapat dari perkataan orang arab. Jika diurutkan menurut tashrifan yang mengikuti qaidah, maka bukan القبلة yang akan terbentuk pada masdar.
-          Syarah hadis
Jika mendasarkan pada lafadz hadis yang berkaitan dengan tema ini secara umum dan dilihat dari dhohir lafadznya saja, maka dapat diketahui bahwasannya ciuman bagi orang yang berpuasa itu diperbolehkan, baik dalam bulan ramadhan atau diluar bulan raamadhan, baik orang tua maupun pemuda. Pemahaman ini didapat karena Rasulullah tidak berkata pada istrinya  batasan umur suami yang mencium istrinya, apakah masih muda apakah sudah tua. Adapun hukum syara’ yang membedakan hukum orang tua dan pemuda, maka hal ini didasarkan pada perkataan ‘Aisyah yang artinya siapakah di antara kalian yang mampu menahan dirinya dari pada Rasulullah? [22]Asumsi dari perkataan ‘Aisyah ini adalah orang yang paling mampu untuk menahan diri adalah Rasulullah, dan selain Rasulullah belum dapat dipastikan akan hal tersebut. Ketika dihadapkan dengan matan-matan hadis lainnya, maka pemahaman awal secara global tersebut akan tergeserkan.
Maksud perkataan ‘Aisyah bahwa Rasulullah mencium istrinya ketika beliau berpuasa lalu beliau berkata siapakah di antara kamu yang lebih bisa menahan diri daripada Rasul? Maka perkataan ini merupakan peringatan bahwasannya ciuman menjadikan orang yang melakukannya rusak puasanya dikarenakan dia tidak dapat menjaga dirinya untuk keluarnya mani dan madzi, dan hal tersebut merupakan istimta’ yang dapat merusak puasa. Adapun Rasulullah mencium istrinya karena beliu dapat menahan nafsunya dari keluarnya mani dan itu tidak merusak puasa beliu. Maka siapa saja yang bisa menahan dirinya setelah mencium dua kali, dia tidak dapat hukuman. Orang yang melakukan ciuman pada saat puasa dan berhasil menahan nafsunya sehingga tidak keluar mani maka puasanya tidak rusak, karena Rasulullah juga pernah melakukan demikian dan puasanya tidak rusak.[23]
Maksud dari potongan lafadz hadis bahwasannya ‘Aisyah tertawa adalah memang ketika beliu menginformasikan bahwa ketika Rasulullah puasa beliau mencium ‘Aisyah. Hal ini disebabkan ketika beliau menginformasikan hal ini beliu ta’ajjub melihat ekspresi dari orang-orang di sekitarnya. Selain itu beliau juga mnegingat cinta dan kasih sayang Rasul pada beliau karena itu tertawa beliau merupakan tertawa bahagia. [24]
Maksud perkataan Nabi ketika beliau ditanya tentang ciuman dan beliau melonggarkan bagi orang tua dan dan makruh bagi pemuda maka hal ini mempunyai alasan yaitu orang tua bisa mengekang nafsunya, sudah tidak ada syahwat yang menggebu-gebu bergejolak dalam dirinya yang hal itu akan mendekati pada jima’, karena itu ia terbebas dari hukuman sebab ciuman. Juga tidak dapat dipastikan ciuman yang dilakukan orang tua tersebut yang membatalkan puasa. Adapun pemuda pada umumnya tidak dapat menahan dirinya untuk melakukan hal yang membatalkan puasa sebab ciuman lalu keluar maninya. Pemuda sering terjerumus dalam hal tersebut. [25]
Jika mencium istri pada saat puasa lalu keluar mani atau madzimaka ia harus menqadha puasanya. Jika mencium sekali atau menyentuh sekali lali keluar mani, maka tidak ada kafarat sehingga ia mengulangi untuk kedua kalinya dan tetap mengeluarkan mani.   [26]  
Abu Umar berkata:”Saya tidak pernah menemukan seseorang meringankan mencium bagi orang yang berpuasa kecuali disyaratkan aman dari seseuatu yang akan diakibatkan ciuman tersebut. Adapun orang yang mengetahui bahwa ia akan mengeluarkan mani atau madzi, yang akan merusak puasanya, maka ia wajib menjauhinya walaupun ketika ia mencium lalu mengeluarkan madzi tidak ada masalah menurut Syafi’i, Abi Hanifah , ats-Tsauri, Auza’i dan Ibnu Ulyah.[27]
-          Pertimbangan matan dengan redaksi yang berbeda
Setelah mengumpulkan hadis-hadis yang semakna dengan tema pembahasan kali ini, maka dapat ditemukan beberapa redaksi yang berbeda terkait dengan hal mencium. Hal ini sangat pentng untuk dianalisis agar penulis dapat membuat kesimpulan dengan obyektif dengan melakukan pertimbangan beberapa redaksi yang berbeda dan informasi yang didapat juga akan lebih komprehensif.
No
No Hadis
Redaksi Matan
Keterangan
1
Ahmad 23769
حَدَّثَنَا عَفَّانُ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ دِينَارٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ أَوْسٍ عَنْ مِصْدَعٍ أَبِي يَحْيَى الْأَنْصَارِيِّ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُهَا وَهُوَ صَائِمٌ وَيَمُصُّ لِسَانَهَا قُلْتُ سَمِعْتَهُ مِنْ سَعْدِ بْنِ أَوْسٍ قَالَ نَعَمْ

Yang di garis bawahi adalah  وَيَمُصُّ لِسَانَهَا
2
Ahmad 24862
حَدَّثَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا عَوْفٌ حَدَّثَنَا أَوْفَى بْنُ دَلْهَمٍ الْعَدَوِيُّ عَنْ مُعَاذَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنَالُ شَيْئًا مِنْ وُجُوهِنَا وَهُوَ صَائِمٌ

Yang digaris bawahi adalah يَنَالُ شَيْئًا مِنْ وُجُوهِنَا
3
Ahmad 23178
حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ عَنْ طَلْحَةَ بْنِ يَحْيَى قَالَ حَدَّثَتْنِي عَائِشَةُ بِنْتُ طَلْحَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ ثُمَّ يَجْعَلُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا ثَوْبًا يَعْنِي الْفَرْجَ
Yang digaris bawahi adalah  كَانَ يُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ ثُمَّ يَجْعَلُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا ثَوْبًا يَعْنِي الْفَرْجَ
4
Ahmad 23193
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ قَالَ حَدَّثَنَا الْحَجَّاجُ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ زَيْنَبَ السَّهْمِيَّةِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ ثُمَّ يُقَبِّلُ وَيُصَلِّي وَلَا يَتَوَضَّأ
Yang digaris bawahi adalah  يَتَوَضَّأُ ثُمَّ يُقَبِّلُ وَيُصَلِّي وَلَا يَتَوَضَّأ
5
Ahmad 23558
حَدَّثَنَا عَفَّانُ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ قَالَ حَدَّثَنَا مُطَرِّفٌ عَنْ عَامِرٍ عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَظَلُّ صَائِمًا ثُمَّ يُقَبِّلُ مَا شَاءَ مِنْ وَجْهِي حَتَّى يُفْطِرَ
Yang digaris bawahi adalah
يُقَبِّلُ مَا شَاءَ مِنْ وَجْهِي حَتَّى يُفْطِرَ
6
Ahmad 24600
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ زَكَرِيَّا عَنْ الْعَبَّاسِ بْنِ ذَرِيحٍ عَنِ الشَّعْبِيِّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْأَشْعَثِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَمْتَنِعُ مِنْ شَيْءٍ مِنْ وَجْهِي وَهُوَ صَائِمٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا بْنِ أَبِي زَائِدَةَ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ صَالِحٍ الْأَسَدِيِّ عَنِ الشَّعْبِيِّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْأَشْعَثِ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَهُ قَالَ عَبْد اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ الْأَشْعَثِ يَعْنِي ابْنَ قَيْسٍ
Yang digaris bawahi adalah  لَا يَمْتَنِعُ مِنْ شَيْءٍ مِنْ وَجْهِي وَهُوَ صَائِمٌ
7
Ahmad 25088
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ عَنْ عَائِشَةَ و قَالَ مَرَّةً أُخْرَى الْخَفَّافُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصِيبُ مِنْ الرُّءُوسِ وَهُوَ صَائِمٌ و قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ يَعْنِي فِي حَدِيثِهِ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَكَذَا قَالَ الْخَفَّافُ مَرَّةً أُخْرَى
Yang digaris bawahi adalah كَانَ يُصِيبُ مِنْ الرُّءُوسِ
8
Ahmad 22981
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ قُلْتُ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ أَسَمِعْتَ أَبَاكَ يُحَدِّثُ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُهَا وَهُوَ صَائِمٌ فَسَكَتَ عَنِّي هُنَيَّةً ثُمَّ قَالَ نَعَمْ
Yang digaris bawahi adalah  فَسَكَتَ عَنِّي هُنَيَّةً ثُمَّ قَالَ نَعَمْ
9
Abu Daud 2037 Bab الصوم Sub bab القبلة للصائم
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ ح و حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ حَمَّادٍ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ بُكَيْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ هَشَشْتُ فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا قَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ مَضْمَضْتَ مِنْ الْمَاءِ وَأَنْتَ صَائِمٌ قَالَ عِيسَى بْنُ حَمَّادٍ فِي حَدِيثِهِ قُلْتُ لَا بَأْسَ بِهِ ثُمَّ اتَّفَقَا قَالَ فَمَهْ
Yang digaris bawahi adalah  لَوْ مَضْمَضْتَ مِنْ الْمَاءِ وَأَنْتَ صَائِمٌ قَالَ عِيسَى بْنُ حَمَّادٍ فِي حَدِيثِهِ قُلْتُ لَا بَأْسَ بِهِ ثُمَّ اتَّفَقَا قَالَ فَمَهْ
-          Membandingkan dengan dalil lain
Dalam hal ini, ulama ada yang mengaitkan hukum mencium istri pada saat puasa dengan dalil al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 187
¨@Ïmé& öNà6s9 s's#øs9 ÏQ$uŠÅ_Á9$# ß]sù§9$# 4n<Î) öNä3ͬ!$|¡ÎS 4 £`èd Ó¨$t6Ï9 öNä3©9 öNçFRr&ur Ó¨$t6Ï9 £`ßg©9 3 zNÎ=tæ ª!$# öNà6¯Rr& óOçGYä. šcqçR$tFøƒrB öNà6|¡àÿRr& z>$tGsù öNä3øn=tæ $xÿtãur öNä3Ytã ( z`»t«ø9$$sù £`èdrçŽÅ³»t/ (#qäótFö/$#ur $tB |=tFŸ2 ª!$# öNä3s9 4 (#qè=ä.ur (#qç/uŽõ°$#ur 4Ó®Lym tû¨üt7oKtƒ ãNä3s9 äÝøsƒø:$# âÙuö/F{$# z`ÏB ÅÝøsƒø:$# ÏŠuqóF{$# z`ÏB ̍ôfxÿø9$# ( ¢OèO (#qJÏ?r& tP$uÅ_Á9$# n<Î) È@øŠ©9$# 4 Ÿwur  ÆèdrçŽÅ³»t7è? óOçFRr&ur tbqàÿÅ3»tã Îû ÏÉf»|¡yJø9$# 3 y7ù=Ï? ߊrßãn «!$# Ÿxsù $ydqç/tø)s? 3 y7Ï9ºxx. ÚúÎiüt6ムª!$# ¾ÏmÏG»tƒ#uä Ĩ$¨Y=Ï9 óOßg¯=yès9 šcqà)­Gtƒ ÇÊÑÐÈ

187.  Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang Telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf[115] dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

Dalam hal ini, ulama yang berdalil dengan ayat tersebut menghukumi ciuman haram pada siang hari, karena disamakan dengan mubasyarah. Tidak ada keterangan yang detail dari penyamaan al-qublah dan mubasyarah. Berarti ulama yang berpendapat demikian tidak melihat secara komprehensif dari beberapa hadis yang banyak menerangkan masalah ciuman pada saat puasa ini.
-          Perbedaan pendapat dikalangan Ulama tentang hukum mencium istri pada saat berpuasa
Permasalahan hukum ciuman pada saat puasa memilki berbagai macam versi yang berbeda antara satu imam dengan imam yang lainnya. Alasan dan dalil yang mereka ambil  juga  menjadi pertimbangan kita yang akan mengikuti pendapat beliau.  Di antara perbedaan pendapat mengenai hukum ini adalah[28]
a.       Pendapat Imam Malik , bahwasannya ciuman itu makruh secara mutlak. Tidak ada syarat ataupun perbedaan hokum orang yang melakukannya, pemuda atau orang tua. Tidak disenangi orang yang melakukan ciuman pada bulan Ramadhan, lalu keluar mani maka ia wajib menqadha dan membayar kafarat. Apabila mencium dan kelur madzi, maka ia wajib menqadla dan tidak membayar kafarat.[29]
b.      Pendapat kedua bahwa hokum ciuman itu haram berdasarkan pada al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 187, ولاتباشوهن
c.       Pendapat yang ketiga, bahwasannya hukum mencium istri pada saat puasa adalah boleh. Ini didasarkan pada pemahaman secara dhohir dari hadis bahwasanyya Nabi mencium istrinya ketika beliau berpuasa. Pendapat ini dianut oleh golongan dlohiriyyah yang dicetuskan oleh Abu Daud adz-Dzohiri.
d.      Pendapat ketiga, bahwasannya hukum mencium istri pada saat puasa dibedakan berdasarkan kriteria umur dan kecerdasan sexual yaitu mampu menahan diri dari keluarnya mani dan madzi. Dalam hal ini maka hukum antara orang tua dan pemuda berbeda. Hukum boleh untuk orang tua karena umurnya sudah tua dan syhwatnya sudah tidak bergejolak dan kecerdasan sexualnya sudah matang. Sedangkan hukum bagi orang yang masih muda adalah makruh karena umurnya masih muda dan syahwatnya masih tinggi dan kecerdasan sexualnya tidak sematang orang yang sudah tua.
e.       Pendapat kelima bahwasannya ketika ia mampu menahan dirinya maka boleh, dan ketika tidak bisa maka tidak boleh. Ini pendapat Syafi’i. Hal ini berdasarkan hadis dari Umar bin Abi Salamah ketika bertanya kepada Nabi, lalu Umi Salamah memberi tahu bahwasannya Nabi melakukan ciuman. Dan pada saat itu Nabi tidak membedakan antara orang tua dan pemuda. Andai saja dibedakan maka dari awal Nabi akan menjelaskannya.  
2.      Analisis realita historis
-          Asbabul wurud
Ada seorang sahabat yang yang memandang istrinya dan ia dalam keadaan lalai, lalu ia ingat dan ia menyangka kalau hal itu dilarang, lalu ia menyuruh istrinya untuk bertanya kepada Nabi akan hal tersebut. Maka Umi Salamah menjawab dengan menginformasikan bahwasannya Nabi juga pernah melakukan hal tersebut dan beliau merupakan imam dan contoh bagi umatnya. Beliau tidak mungkin melakukan hal yang dilarang.  [30] Secara implisit dapat diketahui bahwasannya masyarakat Arab pada saat itu merupakan masyarakat yang mayoritas mempunyai istri lebih dari satu, karena mereka sangat takut untuk berbut zina, maka mereka lebih memilih jalan yang halal. Tentu saja mereka sangat butuh tata cara dalam bergaul dengan istri dan sebaliknya. Dalam hal ini, keluarga Nabi menjadi tauladan dalam hal tersebut.  
-          Fungsi Nabi
Hadis dengan tema mencium istri pada saat berpuasa berpijak pada hadis Nabi yang menerangkan bahwasannya beliau pernah mencium istrinya pada saat berpuasa. Sebagisn besar hadisnya langsung merupakan bentuk pengakuan dari ‘Aisyah bahwasannya beliau pernah dicium Nabi ketika Nabi sedang berpuasa dan beliau juga berpuasa. Dari konteks hadis tersebut dapat diketahui bahwasannya hadis ini mucul disaat status Nabi menjadi seorang suami. Sebagai seorang suami beliu menjalankan aktifitas pribadi beliau di rumah, dan salah satunya seperti yang dibahas kali ini adalah ketika beliau mencium istrinya. Tidak dapat dipungkiri bahwasannya sebagai orang yang mempunyai beberapa status sosial yang penting dalam kehidupannya, aktivitas pribadi beliu juga sebagai acuan masyarakat dalam menjalankan kehidupan mereka dalam beberapa ranah dan status sosial juga. Disaat Nabi berstatus suami dan bergaul dengan istri-istrinya, melekuka hal-hal layaknya suami istri, maka hal-hal yang beliau lakukan tetap sebagai tauladan yang akan dianut oleh masyarakat. Ketika beliau mencium istrinya pada saat puasa juga akan menjadi bahan pertimbangan ulama dalam menentukan hukum dari hal tersebut.
-          Sejarah sosio teks hadis
Masyarakat arab pada waktu merupakan masyarakat yang mayoritas  punya istri lebih dari satu, dan mereka melakukan hubungan suami istri seperti wajarnya. Ketika itu belum ada penetapan hukum mencium istri pada waktu berpuasa. Mayoritas mereka belum tahu bagaimana hukum tersebut. Maka sahabat bertanya beliau bagaimana hukum atas hal tersebut. Dengan adanya keterangan dari istri Nabi bahwa Nabi sendiri pernah melakukannya, maka masyarakat arab mulai dapat melakukan hal tersebut  dengan ketentuan yang berlaku.
3.      Penyimpulan
Jika mempertimbangkan dari analisis matan dan analisis realita historis, maka hadis –hadis yang menjelaskan bahwa nabi mencium istrinya pada saat puasa tidak dapat dilihat dari dlohirnya saja bahwa Nabi saja melakukan ciuman pada saat beliau berpuasa maka selain beliu juga boleh melakukannya. Ketika mempertimbangkan perkataan ‘Aisyah juga bahwa tidak ada orang yang dapat menahan dirinya melebihi nabi, ini dapat diambil pengertian bahwa kita jangan seenaknya untuk melakukan ciuman seperti Nabi tanpa ada aturan, terlebih ketika pada saat kita berpuasa. Kita jauh jika dibandingkan Nabi dalam hal penjagaan diri. Oleh karena itu, dalam hal ini menggunakan berbagai pertimbangan dalam pengambilan hukumnya. Ulama juga sudah memberikan pendapat mereka masing-masing untuk menentukan hukum dari hal tersebut. Setidaknya kita mempunyai pegangan pada mereka ketika akan melakukan aktifitas terlebih yang berhubungan dengan ibadah seperti puasa.
Sebenarnya secara jelas Aiisyah sendiri sudah menyetakan bahwasannya dalam hal mencium istri, hukum antara Nabi dan kita tidak sama. Hal ini dikarenakan Nabi adalah orang yang dapat menahan dirinya untuk tidak melakukan hal-hal yang akan merusak ibadah beliau. Sedangkan umatnya tidak dapat  melakukannya karena berbagai faktor.
E.     Problem realita kekinian dan petimbangan aplikasi hukum
Hadis tentang hukum mencium pada saat puasa perlu untuk dilakukan kajian lebih dalam agar realita yang ada pada saat ini bisa sesuai dengan hukum yang berlaku. Realita yang ada pada masyarakat pada saat ini seperti yang bisa kita lihat bahwasannya masyarakat sekarang sangatmudah untuk mengkonsumsi tayangan ataupun obat-obat atau semacamya yang adapat menyebabkan syahwat akan bergejolak. Disamping itu, tontonan adegan ciuman baik di televisi maupun secara langsung sudah menjadi tontonan yang biasa merajalela. Hal-hal tersebut lebih mudah menjadikan orang-orang jaman sekarang terjerumus dalam istimta’ dan sulit sekali untuk menahan diri. 
Setelah mempertimbangkan penjelasan dari data-data yang penulis temukan baik itu syarah hadis dan pendapat para ulama, maka penulis mempunyai kesimpulan bahwasannya memang hukum mencium yang penulis ambil adalah yang mengatakan boleh bagi orang yang sudah tua dan makruh bagi pemuda. Setelah mempertimbangkan lebih dalam lagi, alangkah baiknya ketika orang yang berpuasa mampu menahan untuk tidak melakukannya selama ia berpuasa. Adapun ketika sudah berbuka, maka tidak ada masalah. Pertimbangannya, manusia tidak dapat mengukur dirinya apakah ketika melakukan ciuman pada saat itu, ia dapat menahan dirinya untuk tidak keluar mani atau madzi. Mungkin suatu saat ia dapat menahan diri dan tidak keluar mani, tetapi pada saat yang lain belum tentu ia akan mampu menahannya. Kalau ia kelur mani hukum puasanya akan rusak. Kalau hanya madzi ia wajib mengganti puasanya. Dan jika itu terjadi maka dapat dikatakan orang tersebut lengah dan tidak menyempurnakan puasanya. 
F.     Penutup
Hadis tentang mencium istri pada saat berpuasa setelah melalui kajian ma’anil hadis. Hasil yang didapat setelah melakukan kajian ini sekiranya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang menggunakan hadis sebagai landasan hukum. Tentu saja harapan setelah melaukan kajian ma’anil hadis, hadis yang dibahas dalam makalah ini dapat diaplikasikan sesuai dengan berubahnya zaman dan perbedaan tempat. Sehingga hadis ini dapat selalu hidup ditengah masyarakat dengan zaman yang selalu berubah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas pemakanaan hadis yang berupa teks belaka. Pemaknaan hadis yang dilakukan tidak hanya berangkat dari teks hadis yang dari awal wahyu sampai sekarang tidak berubah, sedangkan berkembangan zaman menuntuk pemaknaan hadis yang selau sesuai seiring berubahnya tradisi dari zaman ke zaman. Pada finalnya, masyarakat aka merasakan betapa sempurnanya agama Islam yang tidak pernah ketinggalan zaman. Justru Islam akan selalu memenuhi kebutuhan umatnya sepanjang masa.














Daftar Pustaka

Ash-Shana’ani. Subulus Salam .Thoha Putra:Semarang.
CD Mausu’ah Hadis asy-Syarif
CD Room al-Maktabah Asy-Syamilah, Tahdzibul Kamal lil Mizzi
CD Room al-Maktabah Asy-Syamilah, Kamus al-Muhith
CD Room al-Maktabah Asy-Syamilah, Lisanul Arab
CD Room al-Maktabah Asy-Syamilah, Al-Muntaqa
CD Room al-Maktabah Asy-Syamilah, al-Istidzkar
Munawwir Ahmad Warson. Kamus Munawwir  Surabaya:Pustaka Progresif, 2002.









[1] CD. Mausu’ah Hadis asy-Syarif. Penulis malakukan Takhrij dengan metode bahts ash-sharfi yaitu mentakhrij hadis dengan mencantumkan potongan lafadz hadis yaitu lafadz يُقَبِّلُ
[2] CD. Mausu’ah Hadis asy-Syarif. Penulis malakukan Takhrij dengan metode bahts ash-sharfi yaitu mentakhrij hadis dengan mencantumkan potongan lafadz hadis, yaitu lafadz صَائِمٌ
[3][3] CD Room al-Maktabah Asy-Syamilah, Tadzhibut Tahdzib, juz 11 hlm. 151.

[4] CD Room al-Maktabah Asy-Syamilah, Tadzhibut Tahdzib,  juz 11 hlm. 153
[5] CD Room al-Maktabah Asy-Syamilah, Tadzhibut Tahdzib, juz 11 hlm.154.
[6] CD Room al-Maktabah Asy-Syamilah, Tahdzibul Kamal lil Mizzi, juz 20 hlm.12
[7] CD Room al-Maktabah Asy-Syamilah, Tahdzibul Kamal lil Mizzi, juz 20 hlm.14
[8] CD Room al-Maktabah Asy-Syamilah, Tahdzibul Kamal lil Mizzi, juz 20 hlm.18
[9] CD Room al-Maktabah Asy-Syamilah, Tahdzibul Kamal lil Mizzi, juz 20 hlm.21
[10] CD Room al-Maktabah Asy-Syamilah, Tahdzibul Kamal lil Mizzi, juz 20 hlm.24
[11] CD Room al-Maktabah Asy-Syamilah, Tahdzibul Kamal lil Mizzi, juz 30hlm. 233
[12] CD Room al-Maktabah Asy-Syamilah, Tahdzibul Kamal lil Mizzi, juz 30 hlm.235
[13] CD Room al-Maktabah Asy-Syamilah, Tahdzibul Kamal lil Mizzi, juz 30 hlm.241
[14] CD Room al-Maktabah Asy-Syamilah, Tahdzibul Kamal lil Mizzi, juz 11 hlm.177
[15] CD Room al-Maktabah Asy-Syamilah, Tahdzibul Kamal lil Mizzi, juz 11 hlm. 180.
[16] CD Room al-Maktabah Asy-Syamilah, Tadzhibut Tahdzib juz 4 hlm. 83.
[17] CD Room al-Maktabah Asy-Syamilah, Tahdzibul Kamal lil Mizzi, juz 20 hlm. 355.
[18] CD Room al-Maktabah Asy-Syamilah, Tahdzibul Kamal lil Mizzi, juz 20 hlm.359
[19] CD Room al-Maktabah Asy-Syamilah, Kamus al-Muhith, juz 3 hlm. 150
[20] CD Room al-Maktabah Asy-Syamilah, Lisanul Arab, juz 11 hlm. 532.
[21] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Munawwir ( Surabaya:Pustaka Progresif, 2002) hlm. 1087.
[22] CD Room al-Maktabah Asy-Syamilah, Al-Istidzkar hlm. 295.
[23] CD Room al-Maktabah Asy-Syamilah, Al-Muntaqa hlm. 168.
[24] CD Room al-Maktabah Asy-Syamilah, Al-Muntaqa hlm. 164
[25] CD Room al-Maktabah Asy-Syamilah, Al-Muntaqa hlm. 169.
[26] CD Room al-Maktabah Asy-Syamilah, Al-Muntaqa hlm. 170.
[27] CD Room al-Maktabah Asy-Syamilah, al-Istidzkar hlm. 296.

[28] Ash-Shana’ani, Subulus Salam (Thoha Putra:Semarang) juz 2, hlm. 155.
[29] CD Room al-Maktabah Asy-Syamilah, al-Istidzkar, hlm 296.
[30] CD Room al-Maktabah Asy-Syamilah, Al-Muntaqa hlm. 162.

0 komentar:

Posting Komentar

Social Icons