HADIS TENTANG LARANGAN MENENTANG PEMIMPIN SELAMA MENEGAKKAN SHALAT
Abstrak
Tulisan ini akan membahas tentang
larangan menentang pemimpin selama menegakkan shalat. Keberadaan pemimpin bagi
rakyatnya adalah untuk memerintah yang sesuai dengan perintah agama. Selain
itu, pemimpin diharapkan bisa menjalankan mobilitas kepemerintahan dengan baik.
Kepatuhan rakyat kepada pemimpinnya merupakan elemen penting dalam menggerakkan
sebuah roda kepemerintahan. Oleh sebab itu, pemimpin posisinya sangat penting.
Shalat merupakan cerminan dari ketaatannya pada agama. Selama ia menegakkan
shalat, maka rakyat harus patuh kepadanya sebagaimana yang telah hadis sebutkan
dalam sebuah riwayat.
Keyword: Pemimpin, Shalat, Hadis,
Larangan menentang.
A. PENDAHULUAN
Ditegakkannya shalat sebagai
syarat larangan untuk menentang seorang pemimpin bahkan yang paling
burukpun, tentu menimbulkan keganjalan
dan pertanyaan: Mengapa hanya karena pemimpin terburuk itu menegakkan shalat, ia tidak boleh ditentang oleh rakyatnya?
Namun itulah yang dinyatakan Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya sebagai jawaban
atas pertanyaan para sahabat tentang sikap terhadap seburuk-buruk pemimpin
tersebut. Padahal seburuk-buruk pemimpin yang dicirikan dalam hadis itu sebagai
pemimpin yang dibenci dan dilaknat oleh rakyatnya serta begitu pula sebaliknya
dengan sikapnya terhadap rakyat yang dipimpinnya, diragukan kemampuannya dalam
menunaikan amanatnya menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyatnya.
حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ يَعْنِي
ابْنَ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ
أَخْبَرَنِي مَوْلَى بَنِي فَزَارَةَ وَهُوَ رُزَيْقُ بْنُ حَيَّانَ أَنَّهُ
سَمِعَ مُسْلِمَ بْنَ قَرَظَةَ ابْنَ عَمِّ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ
يَقُولُ سَمِعْتُ عَوْفَ بْنَ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ
الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ
عَلَيْكُمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ
وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قَالُوا قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا
نُنَابِذُهُمْ عِنْدَ ذَلِكَ قَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ لَا مَا
أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ أَلَا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا
مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَلَا
يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَة.ٍ
Artinya:
Telah bercerita kepada kami Dawud bin Rusyaid bahwa: telah bercerita kepada
kami al-Walid yakni Ibnu Muslim bahwa: telah bercerita kepada kami ‘Abdurrahman
bin Yazid bin Jabir bahwa: seorang budak dari Bani Fazarah yang bernama Ruzaiq
bin Hayyan telah memberitahukan kepadaku bahwasanya ia telah mendengar Muslim
bin Qarazah putra paman ‘Auf bin Malik al-Asyja‘i berkata bahwa ia telah
mendengar ‘Auf bin Malik al-Asyja‘i berkata bahwa ia telah mendengar Rasululluh
SAW bersabda: “Sebaik-baik pemimpinmu adalah pemimpin yang kamu cintai dan
mereka pula mencintai kamu, yang kamu doakan dan mereka pula mendoakanmu.
Sedangkan seburuk-buruk pemimpinmu adalah pemimpin yang kamu benci dan mereka
pun membencimu, yang kamu laknat dan mereka pun melaknatmu.” Mereka (yang hadir
saat itu) berkata: “Wahai Nabi, jika demikian, tidakkah kita menumbangkannya?”
Beliau bersabda: “Tidak, selama mereka menegakkan shalat di tengah-tengah kamu.
Ketahuilah! Barangsiapa di antara kamu mendapatkan seorang penguasa terpilih,
dan melihatnya berbuat pelanggaran
(maksiat) kepada Allah, maka bencilah perbuatan buruknya tersebut saja dan
jangan sekali-kali membangkang terhadapnya.
Hadis ini tentunya tidak bisa ditelan
mentah-mentah (tekstual), tetapi harus diinterpretasi secara seksama untuk mengetahui,
mengapa Nabi mensyaratkan adanya penegakan shalat untuk
larangan menentang kepada seburuk-buruk pemimpin, sehingga diperoleh suatu
pemahaman yang tepat dan akhirnya menghasilkan pengamalan yang tepat pula.
Proses pemahaman hadis tersebut diawali dengan
penelusuran hadis-hadis yang setema melalui metode penelusuran tema hadis atau
lafaz hadis, melalui CD Program Mausu‘ah al-Hadis al-Syarif, yang
menghasilkan hadis tentang larangan menentang pemimpin
selama menegakkan shalat terdapat
dalam kitab Sahih Muslim, Musnad Ahmad bin Hanbal dan Sunan
al-Darimi.
Sebelum metode ma‘ani al-Hadis
diterapkan, hadis tersebut harus diteliti keotentikannya.
Analisis keotentikan hadis dari
segi sanad dan matan, menghasilkan kesimpulan bahwa hadis ini sahih. Penelitian
selanjutnya adalah analisis matan meliputi kajian linguistik berupa kajian
kata-kata kunci dalam matan, dan kajian historis kepemimpinan Nabi supaya dapat
digeneralisasikan kandungan hadisnya. Analisis generalisasi menghasilkan makna
universal bahwa ketaatan kepada penguasa atau pemimpin diharuskan selama mereka
tidak menyimpang dari ajaran Islam.
B. KONSEP KEPEMIMPINAN DAN SHALAT
1. Konsep Kepemimpinan
a)
Pengertian
Kepemimpinan secara Umum
Secara
etimologi, kepemimpinan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata
dasar “pimpin” yang jika mendapat awalan “me” menjadi “memimpin” yang berarti
menuntun, menunjukkan jalan dan membimbing. Adapun pemimpin berarti orang yang
memimpin atau mengetuai atau mengepalai. Sedang kepemimpinan menunjukkan pada
semua perihal dalam memimpin, termasuk kegiatannya.[1]
Kepemimpinan
adalah masalah relasi dan pengaruh antara pemimpin dan yang dipimpin.
Kepemimpinan tersebut muncul dan berkembang sebagai hasil dari interaksi
otomatis di antara pemimpin dan individu-individu yang dipimpin (ada relasi inter-personal).
Kepemimpinan ini bisa berfungsi atas dasar kekuasaan pemimpin untuk mengajak,
mempengaruhi dan menggerakkan orang lain guna melakukan sesuatu demi pencapaian
satu tujuan tertentu. Dengan demikian, pemimpin tersebut ada apabila terdapat
satu kelompok atau satu organisasi.[2]
b)
Konsep
Kepemimpinan dalam Islam
Istilah
Kepemimpinan dalam Islam ada beberapa bentuk, yaitu khilafah, imamah,
imarah, wilayah, sultan, mulk dan ri’asah. Setiap istilah ini
mengandung arti kepemimpinan secara umum. Namun istilah yang sering digunakan
dalam konteks kepemimpinan pemerintahan dan kenegaraan, yaitu Khilafah,
imamah dan imarah. Oleh karena
itu, pembahasan kepemimpinan dalam Islam akan diwakili oleh ketiga istilah ini.
i.
Khilafah
Kata khilafah
berasal dari kata khalafa-yakhlifu-khalfun yang berarti al-‘aud
atau al-balad yakni mengganti, yang pada mulanya berarti belakang.
Adapun pelakunya yaitu orang yang mengganti disebut khalifah dengan bentuk jamak khulafa’ yang
berarti wakil, pengganti dan penguasa.
Kata khalifah
sering diartikan sebagai pengganti, karena orang yang menggantikan datang
sesudah orang yang digantikan dan ia menempati tempat dan kedudukan orang
tersebut. Khalifah juga bisa berarti seseorang yang diberi wewenang
untuk bertindak dan berbuat sesuai dengan ketentuan-ketentuan orang memberi
wewenang. Menurut al-Ragib al-Asfahani, arti “menggantikan yang lain” yang
dikandung kata khalifah berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang
digantikan, baik orang yang digantikannya itu bersamanya atau tidak.
Istilah ini di
satu pihak, dipahami sebagai kepala negara dalam pemerintahan dan kerajaan
Islam di masa lalu, yang dalam konteks kerajaan pengertiannya sama dengan kata
sultan. Di lain pihak, cukup dikenal pula pengertiannya sebagai wakil Tuhan di
muka bumi yang mempunyai dua pengertian. Pertama, wakil Tuhan yang
diwujudkan dalam jabatan sultan atau kepala negara. Kedua, fungsi
manusia itu sendiri di muka bumi, sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna.[3]
ii.
Imamah
Imamah berasal dari akar kata amma-yaummu-ammun yang
berarti al-qasdu yaitu sengaja, al-taqaddum yaitu berada di
depan atau mendahului, juga bisa berarti menjadi imam atau pemimpin (memimpin).
Imamah di sini berarti perihal memimpin. Sedangkan kata imam merupakan
bentuk ism fa’il yang berarti setiap orang yang memimpin suatu kaum
menuju jalan yang lurus ataupun sesat. Bentuk jamak dari kata imam adalah
a’immah.[4]
Imam juga
berarti bangunan benang yang diletakkan di atas bangunan, ketika membangun,
untuk memelihara kelurusannya. Kata ini juga berarti orang yang menggiring unta
walaupun ia berada di belakangnya.[5]
Dalam
al-Qur’an, kata imam dapat berarti orang yang memimpin suatu kaum yang
berada di jalan lurus, seperti dalam surat al-Furqan (25) ayat 74 dan al-Baqarah
(2) ayat 124. Kata ini juga bisa berarti orang yang memimpin di jalan
kesesatan, seperti yang ditunjukkan dalam surat al-Taubah ayat 12 dan al-Qasas
(28) ayat 41. Namun lepas dari semua arti ini, secara umum dapat dikatakan
bahwa imam adalah seorang yang dapat dijadikan teladan yang di atas
pundaknya terletak tanggung jawab untuk meneruskan misi Nabi SAW dalam menjaga
agama dan mengelola serta mengatur urusan negara.[6]
Term imamah
sering dipergunakan dalam menyebutkan negara dalam kajian keislaman.
Al-Mawardi mengatakan bahwa imam adalah khalifah, raja, sultan atau
kepala negara. Ia memberi pengertian imamah sebagai lembaga yang
dibentuk untuk menggantikan Nabi dalam tugasnya menjaga agama dan mengatur
dunia.[7]
Istilah ini
muncul pertama kali dalam pemikiran politik Islam tentang kenegaraan yaitu
setelah Nabi SAW wafat pada tahun 632 M. Konsep ini kemudian berkembang menjadi
pemimpin dalam shalat, dan –setelah
diperluas lingkupnya- berarti pemimpin religio-politik (religious-political
leadership) seluruh komunitas Muslim, dengan tugas yang diembankan Tuhan
kepadanya, yaitu memimpin komunitas tersebut memenuhi perintah-perintah-Nya.
iii.
Imarah
Imarah berakar kata dari amara-ya'muru-amrun yang
berarti memerintah, lawan kata dari melarang. Pelakunya disebut amir yang berarti pangeran, putra mahkota, raja (al-malik),
kepala atau pemimpin (al-ra’is), penguasa (wali). Selain itu juga
bisa berarti penuntun atau penunjuk orang buta, dan tetangga. Adapun bentuk
jamaknya adalah Umara’. [8]
Kata amara muncul
berkali-kali dalam al-Qur’an dan naskah-naskah awal lainnya dalam pengertian
“wewenang” dan “perintah”. Seseorang yang memegang komando atau menduduki suatu
jawaban dengan wewenang tertentu disebut
sahib al-amr, sedangkan pemegang amr tertinggi adalah amir.
2. Konsep Shalat
a)
Pengertian Shalat
Kata shalat adalah bentuk ism
masdar dari shalla - yushalli - shalah. Kata
shalat dari segi bahasa mempunyai arti beragam, yaitu doa,
rahmat, ampunan, sanjungan Allah kepada Rasulullah SAW, dan berarti ibadah yang
di dalamnya terdapat rukuk dan sujud.[9] Keragaman arti shalat di atas adalah berdasarkan dengan fenomena dan konteks yang
ada dalam al-Qur’an, yaitu “doa dan ampunan” dalam Q.S. Al-Taubah (9)
ayat 103, “berkah” dalam Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 157, sedangkan arti shalat sebagai ibadah yang di
dalamnya terdapat rukuk dan sujud banyak sekali ayat al-Qur’an yang
menjelaskannya.
Beragamnya
arti shalat di atas dapat dirumuskan menjadi arti shalat secara
bahasa yaitu suatu doa untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memohon
ampunan-Nya, mensyukuri nikmat, menolak bencana, atau menegakkan suatu ibadah.[10]
Menurut
pandangan Ahli Fiqh, shalat merupakan
ibadah kepada Allah dan pengagungan-Nya dengan bacaan-bacaan dan
tindakan-tindakan tertentu yang dimulai dengan takbir dan ditutup dengan
taslim, dengan runtutan dan tartib tertentu yang ditetapkan oleh agama Islam.
Tujuan ibadah shalat dalam Islam pada prinsipnya
bukan menyembah, melainkan untuk tunduk dan patuh dalam rangka mendekatkan
diri kepada Allah, agar manusia selalu
berada dalam lindungan-Nya, dan jiwanya senantiasa terjaga dari hal-hal yang kotor sehingga menjadi
bersih dan suci. Jiwa yang suci akan memiliki ketajaman untuk membawa kepada
perbuatan yang saleh dan luhur. Dengan demikian, tujuan ibadah shalat semata-mata untuk tunduk dan
patuh serta mendekatkan diri kepada Zat
Yang Maha Suci dan menjauhkan diri dari segala perbuatan maksiat dan
kotor.
b)
Fungsi Shalat
Shalat merupakan aktifitas seorang muslim dalam
rangka menghadapkan wajahnya kepada Allah sebagai Zat Yang Maha Suci. Apabila shalat itu dilakukan secara tekun dan
konsisten, maka dapat menjadi alat pendidikan rohani yang efektif dalam
memperbaharui dan memelihara jiwa manusia serta memupuk pertumbuhan kesadaran.
Makin banyak shalat itu
dilakukan dengan kesadaran dan bukan dengan keterpaksaan, maka semakin banyak
pula rohani itu dilatih menghadap Zat Yang Maha Suci yang efeknya akan membawa
kepada kesucian rohani dan jasmani. Kesucian pada rohani dan jasmani ini akan
memancarkan akhlak yang mulia dan budi pekerti serta sikap hidup yang penuh
dengan amal saleh. Ia akan terhindar dari perbuatan-perbuatan jahat, keji serta
maksiat.[11]
Dimensi lain
dari shalat adalah memiliki
fungsi sebagai sarana memohon pertolongan di kala manusia sedang membutuhkan
pertolongan-Nya. Meskipun Allah adalah
Maha Pengasih dan Penyayang, namun sebagai seorang yang beriman, tentu kita
sadar bahwa kasih dan sayang Allah itu tidak mudah diperoleh begitu saja.
Ketaatan dan ketakwaan manusia turut mempengaruhi mudahnya perolehan sifat
Pengasih dan Penyayang Allah tersebut.
Penjelasan tentang pengertian
tentang kepemimpinan dan shalat di
atas, mengindikasikan adanya hubungan antara keduanya. Kualitas shalat yang dilaksanakan bisa menjadi
ukuran terhadap baik-buruknya seorang pemimpin. Dengan melaksanakan shalat yang benar, pemimpin sebagai
seorang manusia diharapkan selalu
mendapat ketenangan dan petunjuk dari Tuhannya sehingga ia berada di jalan yang
benar dan akan kembali ke jalan yang benar di kala ia melakukan kesalahan
selama menjalankan tugasnya sebagai pemimpin. Shalat juga mengajarkan dan
melatih berdemokrasi dan berorganisasi, jika dilakukan secara berjamaah. Namun
demikian, hal ini belum tentu sesuai dengan kandungan yang dimaksud oleh hadis
tentang seburuk-buruk pemimpin selama
menegakkan shalat yang diteliti ini.
Akan tetapi, pembahasan ini penting untuk mendukung dan membantu dalam
penelitian hadis ini.
C.
INTERPRETASI
TERHADAP HADIS-HADIS TENTANG SEBURUK-BURUK PEMIMPIN SELAMA MENEGAKKAN SHALAT
a)
Redaksi
Hadis-hadis tentang Seburuk-buruk Pemimpin selama menegakkan Shalat
1.
Sahih Muslim
حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْحَنْظَلِيُّ
أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ عَنْ يَزِيدَ بْنِ
يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ عَنْ رُزَيْقِ بْنِ حَيَّانَ عَنْ مُسْلِمِ بْنِ قَرَظَةَ
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ
وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ
الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ
قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا
أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا
تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَة
Artinya: Telah
bercerita kepada kami Ishaq bin Ibrahim al-Hanzali bahwa: telah memberitahukan kepada kami ‘Isa bin
Yunus bahwa: telah bercerita kepada kami al-Auza‘i dari Yazid bin Yazid bin
Jabir dari Ruzaiq bin Hayyan dari Muslim bin Qarazah dari ‘Auf bin Malik dari
Rasulullah SAW telah bersabda: “Sebaik-baik pemimpinmu adalah mereka yang kamu
cintai dan mereka pula mencintai kamu, mereka yang mendoakanmu dan kamu doakan
mereka. Sedangkan seburuk-buruk pemimpinmu adalah mereka yang kamu benci dan
mereka pun membencimu, yang kamu laknat dan mereka melaknatmu pula.” Dikatakan:
“Wahai Rasulullah, jika demikian, tidakkah kita menumbangkannya dengan pedang
?” Beliau bersabda: “Tidak, selama mereka menegakkan shalat di tengah-tengah
kamu. Jika kalian melihat dari penguasa-penguasamu
kejelekan yang kamu benci, maka bencilah perbuatan jeleknya itu saja dan jangan
sekali-kali membangkang terhadapnya.
b.
Kitab
al-Imarah, bab Khiyar al-A’immah wa Syiraruhum
حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ
رُشَيْدٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ يَعْنِي ابْنَ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ أَخْبَرَنِي مَوْلَى بَنِي فَزَارَةَ
وَهُوَ رُزَيْقُ بْنُ حَيَّانَ أَنَّهُ سَمِعَ مُسْلِمَ بْنَ قَرَظَةَ ابْنَ عَمِّ
عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ يَقُولُ سَمِعْتُ عَوْفَ بْنَ
مَالِكٍ الْأَشْجَعِيَّ يَقُولُا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ
وَيُحِبُّونَكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَشِرَارُ
أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ
وَيَلْعَنُونَكُمْ قَالُوا قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ
عِنْدَ ذَلِكَ قَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ لَا مَا أَقَامُوا
فِيكُمْ الصَّلَاةَ أَلَا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا
مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَلَا
يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ قَالَ ابْنُ جَابِرٍ فَقُلْتُ يَعْنِي لِرُزَيْقٍ
حِينَ حَدَّثَنِي بِهَذَا الْحَدِيثِ آللَّهِ يَا أَبَا الْمِقْدَامِ لَحَدَّثَكَ
بِهَذَا أَوْ سَمِعْتَ هَذَا مِنْ مُسْلِمِ بْنِ قَرَظَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ
عَوْفًا يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ فَجَثَا عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ فَقَالَ إِي
وَاللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَسَمِعْتُهُ مِنْ مُسْلِمِ بْنِ
قَرَظَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ عَوْفَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ مُوسَى
الْأَنْصَارِيُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا ابْنُ جَابِرٍ
بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَقَالَ رُزَيْقٌ مَوْلَى بَنِي فَزَارَةَ قَالَ مُسْلِم
وَرَوَاهُ مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ يَزِيدَ عَنْ مُسْلِمِ
بْنِ قَرَظَةَ عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ
Artinya: Telah
bercerita kepada kami Dawud bin Rusyaid bahwa: telah bercerita kepada kami
al-Walid yakni Ibnu Muslim bahwa: telah bercerita kepada kami ‘Abdurrahman bin
Yazid bin Jabir bahwa: seorang budak dari Bani Fazarah yang bernama Ruzaiq bin
Hayyan telah memberitahukan kepadaku bahwasanya ia telah mendengar Muslim bin
Qarazah putra paman ‘Auf bin Malik al-Asyja‘i berkata bahwa ia telah mendengar
‘Auf bin Malik al-Asyja‘i berkata bahwa ia telah mendengar Rasululluh SAW
bersabda: “Sebaik-baik pemimpinmu adalah pemimpin yang kamu cintai dan mereka
pula mencintai kamu, yang kamu doakan dan mereka pula mendoakanmu. Sedangkan
seburuk-buruk pemimpinmu adalah pemimpin yang kamu benci dan mereka pun
membencimu, yang kamu laknat dan mereka pun melaknatmu.” Mereka (yang hadir saat
itu) berkata: “Wahai Nabi, jika demikian, tidakkah kita menumbangkannya?”
Beliau bersabda: “Tidak, selama mereka menegakkan shalat di tengah-tengah kamu.
Tidak, selama mereka menegakkan shalat di tengah-tengah kamu. Ketahuilah!
Barangsiapa di antara kamu mendapatkan seorang penguasa terpilih, dan
melihatnya berbuat pelanggaran (maksiat)
kepada Allah, maka bencilah perbuatan buruknya tersebut saja dan jangan
sekali-kali membangkang terhadapnya. Ibnu Jabir telah berkata: aku telah
bertanya kepada Ruzaiq ketika ia menceritakan hadis ini: " Demi Allah,
wahai Abu al-Miqdam, kamu benar-benar telah diberitahu atau kamu telah
mendengar hadis ini dari Muslim bin Qarazah yang berkata bahwa ia telah
mendengar ‘Auf berkata bahwasanya ia telah mendengar dari Rasulullah SAW?"
Ibnu Jabir kemudian berkata: Ruzaiqpun berlutut dan menghadap ke arah kiblat
sambil berkata: "Ya, demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya, aku
benar-benar telah mendengar hadis ini dari Muslim bin Qarazah yang berkata
bahwa ia telah mendengar ‘Auf bin Malik berkata bahwa ia telah mendengar dari
Rasulullah SAW. Ishaq bin Musa al-Ansari juga telah bercerita kepada kami bahwa
al-Walid bin Muslim telah bercerita kepada kami bahwa telah bercerita kepada
kami Ibnu Jabir dengan isnad ini, dan Ruzaiq, seorang budak dari Bani Fazarah
telah berkata bahwa Muslim telah berkata (tentang hadis ini). Mu‘awiyah bin
Salih juga telah meriwayatkan hadis ini dari Rabi‘ah bin Yazid dari Muslim bin
Qarazah dari ‘Auf bin Malik dari Nabi SAW dengan matan yang sama.
2.
Musnad Ahmad
bin Hanbal
حَدَّثَنَاعَبْد اللة حَدَّثَنَي أبي حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ
إِسْحَاقَ قَالَ أََنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ
يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ قَالَ حَدَّثَنِي زُرَيْقٌ مَوْلَى بَنِي فَزَارَةَ عَنْ
مُسْلِمِ بْنِ قَرَظَةَ وَكَانَ ابْنَ عَمِّ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ سَمِعْتُ
عَوْفَ بْنَ مَالِكٍ يَقولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ مَنْ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ
وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ
الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ
قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ عِنْدَ ذَلِكَ قَالَ لَا مَا
أَقَامُوا لَكُمْ الصَّلَاةَ أَلَا وَمَنْ وُلِّيَ عَلَيْهِ أَمِيرٌ وَالٍ فَرَآهُ
يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَلْيُنْكِرْ مَا يَأْتِي مِنْ
مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
Artinya: Telah bercerita kepada
kami ‘Abdullah bahwa ayahnya telah bercerita kepadanya: telah bercerita kepada
kami ‘Ali bin Ishaq, ia telah berkata: ‘Abdullah telah bercerita kepada kami,
ia telah berkata: telah bercerita kepadaku ‘Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, ia
berkata bahwa Ruzaiq, seorang budak dari
Bani Fazarah dari Muslim bin Qarazah, yaitu putra paman ‘Auf bin Malik, telah
bercerita kepadanya, ia berkata bahwa ia telah mendengar Rasulullah SAW
bersabda: Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik pemimpinmu adalah pemimpin yang kamu cintai dan mereka pula
mencintai kamu, yang kamu doakan dan mereka pula mendoakanmu. Sedangkan
seburuk-buruk pemimpinmu adalah mereka yang kamu benci dan mereka pun
membencimu, yang kamu laknat dan mereka melaknatmu pula.” Kami berkata: “Wahai
Rasulullah, tidakkah kita menumbangkannya jika demikian ?” Beliau menjawab:
“Tidak, selama mereka menegakkan shalat di tengah-tengah kamu. Ketahuilah!
Barangsiapa di antara kamu mendapatkan seorang amir terpilih, dan menemukannya
berbuat pelanggaran (maksiat) kepada Allah, maka ingkarilah (tidak membenarkan)
perbuatan maksiatnya itu, dan jangan kamu membangkang terhadapnya.
b.
Kitab Baqi Musnad al-Ansar, bab Hadis
‘Auf bin Malik al-Asyja‘i al-Ansari
حَدَّثَنَاعَبْد اللة حَدَّثَنَي أبي ثَنَا يَزِيدُ قَالَ أ نَا
فَرَجُ بْنُ فَضَالَةَ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ يَزِيدَ عَنْ مُسْلِمِ بْنِ قَرَظَةَ
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ خِيَارُكُمْ وَخِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَتُصَلُّونَ
عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَشِرَارُكُمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ
الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ
قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا لَكُمْ الْخَمْسَ أَلَا وَمَنْ
عَلَيْهِ وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعَاصِي اللَّهِ فَلْيَكْرَهْ مَا
أَتَى وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَتِهِ
Artinya: Telah bercerita kepada
kami ‘Abdullah bahwa ayahnya telah bercerita kepadanya bahwa Yazid telah
bercerita kepadanya, ia berkata bahwa telah bercerita kepadanya Faraj bin
Fadalah dari Rabi‘ah bin Yazid dari
Muslim bin Qarazah dari ‘Auf bin Malik dari Nabi SAW, beliau telah bersabda:
“Sebaik-baik orang di antaramu dan sebaik-baik pemimpinmu adalah mereka kamu
yang cintai dan mereka mencintaimu, yang kamu doakan dan mereka mendoakanmu.
Sedangkan seburuk-buruk orang di antaramu dan seburuk-buruk pemimpinmu adalah
mereka yang kamu benci dan mereka membencimu, yang kamu laknat dan mereka
melaknatmu.” Mereka (para sahabat) berkata: “wahai Rasulullah, tidakkah kita
memerangi mereka ?” Beliau menjawab: “Tidak, selama mereka mengerjakan shalat
lima waktu di antara kamu. Ketahuilah ! Barangsiapa di antara kamu terdapat
penguasa dan melihatnya berbuat pelanggaran (maksiat) kepada Allah, maka
bencilah perbuatannya itu saja dan jangan sekali-kali kamu membangkang
terhadapnya.
حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ الْمُبَارَكِ أَنَا الْوَلِيدُ بْنُ
مُسْلِمٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ قَالَ أَخْبَرَنِي
زُرَيْقُ بْنُ حَيَّانَ مَوْلَى بَنِي فَزَارَةَ أَنَّهُ سَمِعَ مُسْلِمَ بْنَ
قَرَظَةَ الْأَشْجَعِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عَوْفَ بْنَ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيَّ
يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَتُصَلُّونَ
عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ
وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قُلْنَا أَفَلَا
نُنَابِذُهُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ عِنْدَ ذَلِكَ قَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ
الصَّلَاةَ أَلَا مَنْ وُلِّيَ عَلَيْهِ وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ
مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَلَا
يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ قَالَ ابْنُ جَابِرٍ فَقُلْتُ آللَّهِ يَا أَبَا
الْمِقْدَامِ أَسَمِعْتَ هَذَا مِنْ مُسْلِمِ بْنِ قَرَظَةَ فَاسْتَقْبَلَ
الْقِبْلَةَ وَجَثَا عَلَى رُكْبَتَيْهِ فَقَالَ آللَّهِ لَسَمِعْتُ هَذَا مِنْ
مُسْلِمِ بْنِ قَرَظَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ عَمِّي عَوْفَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُهُ.
Artinya: Telah
bercerita kepadaku al-Hakam bin al-Mubarak bahwa al-Walid bin Muslim telah
bercerita kepada kami dari ‘Abdurrahman bin Yazid bin Jabir bahwa ia telah
berkata bahwa Ruzaiq bin Hayyan, seorang budak dari Bani Fazarah telah
memberitahuku bahwa ia telah mendengar Muslim bin Qarazah al-Asyja‘i berkata
bahwa ia telah mendengar ‘Auf bin Malik al-Asyja‘i berkata bahwa ia telah
mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik pemimpinmu adalah mereka yang
kamu cintai dan mereka mencintaimu, yang kamu doakan dan mereka mendoakanmu.
Sedangkan seburuk-buruk pemimpinmu adalah mereka yang kamu benci dan mereka
membencimu, yang kamu laknat dan mereka melaknatmu.” Kami (para sahabat)
berkata: “Tidakkah kita menumbangkannya, wahai Rasulullah, jika demikian ?”
Beliau menjawab: “Tidak, selama mereka menegakkan shalat di tengah-tengah kamu.
Ketahuilah! Barangsiapa di antara kamu yang mendapatkan seorang penguasa
terpilih, dan melihatnya berbuat pelanggaran (maksiat) kepada Allah, maka
bencilah perbuatan maksiatnya itu saja dan jangan sekali-kali membangkang
terhadapnya. Ibnu Jabir telah berkata: aku telah bertanya: " Demi Allah,
wahai Abu al-Miqdam (Ruzaiq), apakah kamu benar-benar telah mendengar hadis ini
dari Muslim bin Qarazah ? Seketika itu Ruzaiqpun menghadap ke arah kiblat dan
berlutut kemudian berkata: "Demi Allah, aku benar-benar telah mendengar
hadis ini dari Muslim bin Qarazah yang berkata bahwasanya ia telah mendengar
pamannya ‘Auf bin Malik berkata bahwa ia telah mendengar dari Rasulullah SAW
menyabdakan hadis ini.
Penelitian
hadis tentang larangan menentang pemimpin
selama menegakkan shalat ini kemudian
difokuskan kepada hadis riwayat Imam Muslim dari Dawud bin Rusyaid, karena hadis ini telah disahihkan
oleh al-Albani[15],
al-Suyuti[16]
dan al-Bagawi[17].
b)
Kajian
Otentisitas Hadis
Meskipun Imam
Muslim dalam muqaddimah (pendahuluan) kitabnya menyebutkan bahwa
hadis-hadis yang dimasukkan dalam kitab hadisnya adalah hadis-hadis yang
disepakati kesahihannya,[18]
hal ini tidaklah menjamin bahwa semua hadis dalam kitab hadisnya termasuk hadis
tentang seburuk-buruk pemimpin selama menegakkan shalat yang diriwayatkannya adalah berkualitas sahih.
Oleh karena
itu, dalam menilai kualitas hadis yang diteliti ini dari segi sanadnya
menggunakan asumsi ulama hadis lain yang mensahihkannya. Di antara ulama yang
mensahihkan hadis riwayat Imam Muslim dari Dawud bin Rusyaid adalah al-Albani, al-Suyuti dan
al-Bagawi.
2.
Analisis Matan
Jika dilihat
dari sisi susunan lafalnya, terdapat beberapa perbedaan ketika diterapkan
metode perbandingan antara susunan lafal masing-masing redaksi hadis.
Perbandingan ini tidak hanya dimaksudkan untuk upaya konfirmasi atas hasil
penelitian yang telah ada saja, tetapi juga sebagai upaya lebih mencermati
susunan matan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan keorisinalannya berasal
dari Nabi SAW. Kegiatan perbandingan susunan lafal hadis ini, menghasilkan
beberapa hal sebagai berikut.
a)
Pada hadis
riwayat yang diriwayatkan Muslim dari Dawud bin
Rusyaid, Ishaq bin Musa al-Ansari dan Mu‘awiyah bin Salih mempunyai redaksi yang sama, artinya tidak
ada perbedaan lafal.[19]
Hal ini berarti hadis diriwayatkan secara lafzi.
b)
Redaksi hadis lain yang
serupa dengan redaksi yang diriwayatkan Muslim dari Dawud bin Rusyaid adalah hadis riwayat Ahmad bin Hanbal
dari jalur ‘Ali bin Ishaq dan hadis riwayat al-Darimi dari jalur al-Hakam bin
al-Mubarak. Namun
perbedaan susunan lafal di dalamnya tidak mengubah makna, sehingga hal ini
dapat ditoleransi.
c)
Adapun hadis
riwayat Muslim dari Ishaq bin Ibrahim al-Hanzali memang serupa dengan hadis
riwayat Muslim dari Dawud bin Rusyaid,
namun di dalamnya terdapat tambahan kata
bi al-syaif yang tidak
disebutkan dalam riwayat lain. Tambahan (ziyadah)[20]
kata tersebut dapat diartikan sebagai penegas dari kata afala nunabizuhum
dan tidak mengubah makna. Tambahan ini juga bisa disebut idraj [21]
jika tambahan itu merupakan tafsiran dari periwayat, bukan dari Nabi SAW.
d)
Hadis riwayat
Ahmad bin Hanbal dari jalur Yazid menyebutkan redaksi yang berbeda dengan
adanya penambahan lafal khiyarukum.dalam matan hadis. Berikut
redaksinya:
حَدَّثَنَا يَزِيدُ قَالَ
أَنْبَأَنَا فَرَجُ بْنُ فَضَالَةَ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ يَزِيدَ عَنْ مُسْلِمِ
بْنِ قَرَظَةَ عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ خِيَارُكُمْ وَخِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ
تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ
عَلَيْكُمْ وَشِرَارُكُمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ
تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قَالُوا
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا لَكُمْ الْخَمْسَ أَلَا وَمَنْ
عَلَيْهِ وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعَاصِي اللَّهِ فَلْيَكْرَهْ مَا
أَتَى وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَتِهِ.
Redaksi hadis di atas dapat dikatakan sebagai
hadis yang diriwayatkan secara makna (riwayah bi al-ma‘na). Riwayah
bi al-ma‘na ini diperbolehkan sepanjang tidak mengubah artinya. Sedangkan
dalam hadis riwayat Ahmad bin Hanbal ini tidak mengubah arti, hanya saja
menambahkan bahwa kriteria baik dan buruk seorang pemimpin sama dengan kriteria
baik dan buruk orang secara umum. Namun karena hadis ini mempunyai sanad lemah
diakibatkan salah satu rawinya yang bernama Faraj bin Fadalah dinilai daif,[22]
maka dengan sendirinya tambahan (ziyadah) dalam hadis ini tidak
dapat diterima, meskipun tidak bertentangan.
c) Pemaknaan Hadis
A.
Kajian
Konfirmatif
Salah satu ayat al-Qur’an yang berkaitan
dengan tema hadis adalah ayat 59 dari surat al-Nisa’ (4) menyebutkan:
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (-Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul dan (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [23]
Kata "ulil
amri" dalam ayat di atas menunjuk kepada penguasa yang bertanggung jawab
atas wilayahnya (pemerintah). Ayat ini menegaskan bahwa selain umat Islam patuh
dan taat kepada Tuhan dan Rasul-Nya, mereka juga diwajibkan taat kepada
penguasa mereka. Jika dibandingkan dengan hadis tentang seburuk-buruk pemimpin
ini yang juga menyiratkan adanya keharusan taat kepada pemimpinnya yaitu
penguasa, maka ayat ini menguatkannya.
Ayat 55-56 dalam surat al-Maidah (5)
menyebutkan:
Sesungguhnya
penolong hanyalah Allah dan rasul-Nya dan orang-orang yang beriman yang
ciri-cirinya tetap mengerjakan shalat
dan menunaikan zakat lagi pula mereka tunduk kepada Allah. Dan
barangsiapa memilih Allah, rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi
pemimpinnya, maka sesungguhnya pengikut golongan Allah yang menjadi pemenang .
Kata waliyyukum
dalam ayat di atas dapat diartikan sebagai penolong dan pemimpin. Dalam hal ini
pemimpin dapat termasuk di dalam arti penolong, karena pemimpin bertugas melindungi
orang-orang yang dipimpinnya dan berusaha menolong serta menyelamatkan mereka
saat kesulitan dan bencana menimpa, karena pemimpinlah yang bertanggung jawab
atas segala hal yang ada dan yang terjadi dalam wilayahnya serta ihwal
orang-orang yang dipimpinnya. Seorang pemimpin dipilih adalah untuk memimpin
anggota kelompoknya untuk dapat mewujudkan tujuan bersama. Dengan demikian
ciri-ciri yang disebutkan dalam ayat itu termasuk ciri-ciri pemimpin juga. Jika
ditinjau dari ayat tersebut, maka apa yang disampaikan dalam hadis tentang
seburuk-buruk pemimpin selama menegakkan shalat bersesuaian dengannya.
Selain itu, al-Qur'an menyatakan dalam surat Ali
Imran (3) ayat 132: “Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi
rahmat.” Pada ayat 135 surat Ali Imran juga disebutkan: “Dan (juga)
orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan-perbuatan keji atau menganiaya
diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampunan terhadap dosa-dosa
mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah ? Dan
mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” Ayat
ini menyiratkan bahwa orang yang patuh terhadap Tuhannya –yang mengindikasikan
juga kepada patuh kepada Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya- dan senantiasa ingat
kepada-Nya akan lebih diberi kesempatan untuk mendapat petunjuk dari Tuhan,
sehingga ketika melakukan kesalahan, ia seakan ditegur untuk kembali ke jalan
yang benar. Inilah salah satu bentuk rahmat dari Allah. Apabila isi hadis yang
bersangkutan dihadapkan dengan ayat ini, maka tidak bertentangan. Dalam hadis
ini disebut kata shalat, sedangkan shalat adalah sarana untuk mengingat dan
menemui Allah serta memohon petunjuknya.[24]
Dengan demikian pemimpin yang melaksanakan shalat akan mendapat rahmat dan
petunjuk dari Allah.
Ditinjau daripenjelasan di atas, hadis riwayat
Muslim tentang seburuk-buruk pemimpin
selama menegakkan shalat tidak bertentangan dengan al-Qur’an, bahkan sangat
sesuai. Oleh karena itu, hadis ini dapat diterima berdasarkan al-Qur’an bahkan
memperkuat ayat-ayat al-Qur'an dan menjelaskannya (bayan).
B.
Kajian
Tematik-Komprehensif
Nabi SAW telah
menyatakan bahwa ada tujuh macam orang yang bakal bernaung di bawah naungan
Allah di akhirat nanti yang di antaranya adalah imam atau pemimpin yang adil.[25]
Dari hadis ini, seorang pemimpin yang adil pastilah dia memperhatikan dan
mengutamakan kepentingan bersama. Jika ditinjau dari hadis ini, maka
sebaik-baik pemimpin dalam hadis yang diteliti ini berarti pemimpin yang adil.
Karena keadilan merekalah, maka rakyat yang mereka pimpin mencintai dan
mendukung serta mendoakan mereka.
Hadis lain
yang berkaitan dengan hadis tentang
seburuk-buruk pemimpin selama menegakkan shalat adalah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim, al-Turmuzi Abu Dawud dan Ahmad bin Hanbal.
Redaksi hadis yang dimaksud adalah sebagai berikut.[26]
وحَدَّثَنِي أَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ جَمِيعًا
عَنْ مُعَاذٍ وَاللَّفْظُ لِأَبِي غَسَّانَ حَدَّثَنَا مُعَاذٌ وَهُوَ ابْنُ
هِشَامٍ الدَّسْتَوَائِيُّ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ قَتَادَةَ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ
عَنْ ضَبَّةَ بْنِ مِحْصَنٍ الْعَنَزِيِّ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ
وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ
وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا نُقَاتِلُهُمْ
قَالَ لَا مَا صَلَّوْا.
Artinya : Dan
telah bercerita kepada kami Abu Gassan al-Misma‘i dan Muhammad bin Basysyar,
keduanya dari Mu'az dengan lafal Abu Gassan: telah bercerita kepada kami Mu‘az,
yaitu putra Hisyam al-Dastawa’i, bahwa ayahnya telah bercerita kepadanya dari
Qatadah bahwa al-Hasan telah bercerita kepadanya dari Dabbah bin Mihsan
al-‘Anazi dari Ummu Salamah, istri Nabi SAW dari Nabi SAW bahwasanya beliau
telah bersabda : “Akan diangkat di antara kau pemimpin-pemimpin (suatu saat),
dan kamu akan menemukan mereka berlaku baik dan berlaku buruk. Barang siapa
yang membenci (keburukan itu), maka ia akan bebas. Dan barangsiapa
menentangnya, maka akan selamat. Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, tidakkah
kita memerangi mereka? Beliau menjawab: “Tidak, selama mereka shalat .”
Menurut Imam
Nawawi, dalam hadis di atas mengandung petunjuk bahwa tidak boleh melawan para penguasa dan wali semata-mata
karena munculnya kezaliman dan kefasikan, selama mereka tidak merubah
sedikitpun dari prinsip-prinsip Islam.[27]
Menurut al-Maududi, hadis di atas mengandung makna bahwa sekalipun penguasa
(pemimpin) melakukan shalat secara pribadi, maka mereka masih tetap berhak
untuk disetiai atau ditaati.[28]
Dengan demikian, hadis ini tentunya memperkuat hadis tentang seburuk-buruknya
pemimpin tersebut.
Dalam hadis Nabi Muhammad SAW yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dinyatakan: "Barangsiapa mentaati
saya maka dia telah mentaati Allah, dan barangsiapa mendurhakai saya maka dia
telah mendurhakai Allah. Dan barangsiapa mentaati amirku, maka dia telah
mentaati saya, dan barangsiapa mendurhakai amirku, maka ia mendurhakaiku."[29]
Dalam hadis
lain, Nabi menguatkan kewajiban mentaati penguasa sebagai realisasi kesatuan
jamaah kaum Muslimin dan penjagaannya, dan pelestarian hubungan antara
pribadi-pribadi umat dengan pemerintahnya, serta memerintahkan untuk bersabar
ketika menjumpai sesuatu yang tidak disenangi dari pihak penguasa. Dalam sikap
tersebut terkandung pencegahan bahaya dan keburukan yang merajalela dan fitnah
yang menjadi-jadi, agar umat tetap saling berpegangan sekuat tembok bangunan.
Hadis ini menyatakan: "Barang siapa melihat pada Amirnya sesuatu yang
dibencinya, maka hendaklah dia bersabar atasnya, karena barangsiapa memisahkan
diri dari jamaah sejauh sejengkal lalu mati, maka ia mati sebagai orang jahiliyyah."[30]
Hadis ini jika dibandingkan dengan hadis tentang seburuk-buruk pemimpin
tersebut secara implisit sama-sama mengandung pernyataan bahwa ketaatan kepada
penguasa atau pemimpinnya diutamakan.
C.
Kajian
Linguistik
Dalam hadis tentang
seburuk-buruk pemimpin yang diriwayatkan oleh Imam Muslim ini terdapat
kata-kata kunci yang perlu dikaji secara linguistik, karena penggunaan
prosedur-prosedur gramatikal bahasa Arab mutlak diperlukan, mengingat teks
hadis harus ditafsirkan melalui bahasa aslinya, yakni bahasa Arab. Pembahasan kata-kata kunci ini adalah
berdasarkan kitab-kitab syarah yang menjelaskan hadis ini. Kata-kata kunci yang akan dibahas adalah
sebagai berikut.
أئمّّة
A’immah merupakan bentuk jamak dari kata Imam yang
berakar dari kata amma-yaummu-ammun yang berarti al-qasdu yaitu
“sengaja”, al-taqaddum yaitu berada di depan atau mendahului, juga bisa
berarti menjadi imam atau pemimpin (memimpin). Imam yang merupakan
bentuk ism fa‘il di sini berarti perihal memimpin, yaitu berarti setiap
orang yang memimpin suatu kaum menuju jalan yang lurus ataupun sesat.[31]
Imam Muslim
dalam penjelasannya terhadap hadis tersebut, mengarahkan arti kata a’immah
kepada arti penguasa, pemimpin pemerintahan dan sebagainya.[32]
Hal ini juga terlihat pada penempatan hadis ini pada kitab Imarah yang membahas masalah
pemerintahan. Namun dalam penjelasannya, Muslim tidak menunjuk kepada penguasa
atau pemimpin secara khusus, misalnya kepala negara atau gubenur (eksekutf),
pemimpin legislatif, yudikatif atau yang lainnya.
يصلّّون
Kata ini
berasal dari salla - yusalli - salah yang mempunyai beragam
arti, yaitu do’a, rahmat, ampunan, sanjungan Allah kepada Rasulullah SAW,
ibadah yang di dalamnya terdapat rukuk dan sujud.[33]
Menurut Imam Muslim dan Imam al-Nawawi dalam kitab Syarh Sahih Muslim-nya,
kata yusallun berarti mendoakan (al-du‘a’).[34]
ننابذهم
Kata ini
berasal dari nabaza – yanbizu –
nabzun yang berarti al-tarh dan al-ramyu, yaitu membuang (karena
tidak memenuhi hitungan). Nabaza juga berarti mengesampingkan atau
membiarkan, dan melanggar (janji). Sedangkan
nabaza berarti menentang dan berselisih, nabaza al-harb
berarti mengumumkan perang (terhadap).[35]
Kata nunabizuhum di sini berarti menentang pemimpin-pemimpin
yang terburuk yang dimaksud oleh Nabi SAW, atau memusuhi mereka -yang mengarah
kepada memerangi mereka. Adapun kalimat pertanyaan afala nunabizuhum
menurut Imam Muslim, berarti "tidakkah kita (benar-benar) menentangnya dan
melawannya serta menyatakan perang kepada mereka dengan pedang". Dari segi
bahasa Arab (ilmu nahwu), huruf hamzah pada kalimat ini merupakan harf
istifham yang mengandung peniadaan (al-jumlah al-manfiyah).[36]
الصلاة
Kata salah adalah bentuk ism masdar dari salla- yusalli- salah. Dari segi bahasa, salah mempunyai arti beragam, yaitu do’a,
rahmat, ampunan, sanjungan Allah kepada
rasulullah SAW, ibadah yang di dalamnya terdapat ruku’ dan sujud. Arti salah secara bahasa yaitu suatu do’a untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan memohon ampunan-Nya, mensyukuri nikmat,
menolak bencana, atau menegakkan suatu ibadah.[37]
Adapun secara istilah, salah merupakan ibadah kepada Allah
dan pengagungan-Nya dengan bacaan-bacaan dan tindakan-tindakan tertentu yang
dimulai dengan takbir dan ditutup dengan taslim, dengan runtutan dan tartib
tertentu yang ditetapkan oleh agama Islam.
Menurut Imam Muslim dalam
penjelasannya terhadap hadis ini, perkataan Nabi "Lama aqamu fikum
al-salah" mengandung makna ketidakbolehan menentang penguasa selama
mereka masih menegakkan shalat sebagai tanda
ijtima‘al-kalimah –dalam ketaatan kepada Allah dan Rasulnya- dan
tercapainya keluhuran. Al-Tayyibi mengatakan bahwa ditegakkannya shalat
sebagai syarat seorang pemimpin tidak boleh ditentang, menunjukkan pada
pentingnya (ta‘zim ) terhadap masalah shalat dan jika pemimpin tersebut
meninggalkannya –sedang dia melakukan tindakan buruk (maksiat)- maka wajib
untuk tidak ditaati, yaitu dengan membatalkan akad dan pembaiatannya. Tetapi
yang dimaksud shalat dalam hadis ini bukanlah shalat yang merupakan ritual
fisik saja, namun lebih dari itu yang dampak shalat itu akan terlihat pada
perilaku sehari-harinya, di antaranya pada aspek kebijaksanaan dan keadilannya.
Dengan demikian yang ditekankan di
sini adalah keadilan dan sebagainya dari seorang pemimpin.
D.
Kajian
Realitas Historis
Setelah
pemahaman tekstual terhadap hadis diperoleh melalui isi (matan), selanjutnya dilakukan upaya
untuk menemukan konteks sosio-historis hadis. Dalam tahapan ini, makna atau
arti suatu pernyataan dipahami dengan melakukan kajian atas realitas, situasi
atau problem historis pada saat pernyataan sebuah hadis tersebut muncul. Dengan
kata lain, memahami hadis sebagai responsi terhadap situasi umum masyarakat
periode Nabi maupun situasi-situasi khususnya.
Dalam
memperoleh makna teks hadis ini, analisa hanya dilakukan pada historis secara
makro, karena tidak ditemukannya keterangan asbab al-wurud (historis
secara mikro) untuk hadis ini. Oleh karena itu,
kajian historis yang dibahas adalah mengenai hal dan ihwal mengenai
kepemimpinan pada masa Nabi SAW.
Selama menjadi Rasul, Nabi Muhammad tidak
hanya berperan sebagai rasul (pemimpin agama) yang bertugas untuk memberi
penjelasan dan memberi peringatan agar umat manusia kembali ke jalan yang
benar, tetapi juga berperan sebagai pemimpin negara. Kepemimpinan Nabi pada
periode Makkah (sebelum Hijrah), lebih ditekankan pada pembinaan aqidah (iman)
umat Islam, mengajak kaum kafir Quraisy untuk masuk Islam dan pertahanan
terhadap serangan kaum kafir Quraisy. Adapun pada periode Madinah (pasca
Hijrah), kepemimpinan Nabi Muhammad difokuskan kepada pembangunan masyarakat
Islam, yaitu meliputi pembenahan administrasi kenegaraan (politik), hukum,
ekonomi dan lain-lain.
Kredibilitas Nabi Muhammad sebagai seorang
pemimpin tidak saja diakui oleh para sahabatnya, bahkan para musuh umat Islam
pada masa itu pun mengakui kepiawaiannya dalam berpolitik dan berperang (militer).
Sebenarnya semua ini tidak terlepas dari hubungan dengan Allah yang telah
memberi bimbingan dan petunjuk kepada beliau.
Di Madinah,
Islam tampil sebagai kekuatan politik di mana konsepsi tentang negara mulai digagas di atas pondasi
kebersamaan dan integritas berbagai golongan. Pada periode Madinah inilah
muncul kontitusi kenegaraan pertama di dunia yang dikenal dengan “Piagam
Madinah”. Dokumen ini memuat undang-undang untuk mengatur kehidupan sosial
politik bersama kaum Muslim dan bukan Muslim, serta menerima dan mengakui Nabi
sebagai pemimpin mereka.
Tahapan-tahapan
politik yang dilakukan Nabi untuk korvergensi sosial di Madinah pada awal
Hijrah adalah pertama, pembangunan masjid sebagai sarana ibadah dan
media audensi umat Islam. Kedua, mempersaudarakan dua kelompok Muslim,
yaitu Muhajirun dan Ansar. Ketiga,
meletakkan dasar-dasar tatanan masyarakat baru yang bersifat terbuka, plural
dan netral dengan mengakomodasi kepentingan kelompok-kelompok etnis yang ada di
Madinah.
Nabi selalu
bermusyawarah dengan para sahabat yang biasanya dilakukan setelah shalat
berjamaah di masjid untuk membicarakan dan menyelesaikan berbagai permasalahan
umat dari politik hingga kehidupan sehari-hari. Pembangunan masjid di Quba ini,
selain berfungsi tempat beribadat kepada Allah SWT. dari segi agama, juga
berfungsi sebagai tempat mempererat hubungan dan ikatan jamaah Islam dari segi
sosial, karena di samping tempat melaksanakan ibadah shalat, masjid digunakan
pula sebagai tempat untuk mendalami Islam, pusat pengembangan kegiatan
sosial-budaya, pendidikan, tempat musyawarah (majlis), markas tentara dan
sebagainya.[38]
Umat Islam
kala itu sangat patuh dan taat terhadap kepemimpinan Nabi SAW. Kondisi ini
sangat potensial sekali dalam menggalang persatuan dan kesatuan umat yang
menjadi kekuatan luar biasa umat Islam yang menjadikan mereka selalu lebih
unggul dan mampu menang di medan pertempuran dibandingkan dengan musuh-musuh
mereka. Hasilnya, umat Islam pada masa Nabi selalu keluar sebagai pemenang dalam
setiap peperangan melawan kafir Quraisy, kecuali pada perang Uhud akibat
keteledoran dan ketidakpatuhan beberapa sahabat terhadap perintah Nabi. Mereka
juga akhirnya berhasil menguasai Makkah (Fath al-Makkah) dan berhasil
menancapkan Kalimah al-Haq (Islam) di Jazirah Arab.
Dalam
melaksanakan kepemimpinannya juga, Nabi Muhammad sepenuhnya berpegang pada tali
Allah SWT dalam menghadapi suasana genting pun -termasuk peperangan- beliau
hanya meminta pertolongan Allah. Sehingga dari sini, kepemimpinan Nabi selalu
menampilkan ketergantungan yang dominan pada Allah SWT. Tidak hanya itu, Nabi
senantiasa mengajak dan mendorong umatnya kala itu untuk selalu dekat dengan
Allah, karena hanya Dialah yang memberi pertolongan, kemampuan dan kekuatan
kepada manusia dalam menghadapi segala ujian dan tantangan kehidupan.
Selama masa
hidup Nabi Muhammad SAW, beliau tidak pernah meniggalkan shalat berjamaah,
kecuali pernah satu kali karena sakit. Nabi sangat menganjurkan dan
mengutamakan shalat jamaah. Ketika melakukan shalat berjamaah, Nabi selalu
memeriksa saf-saf yang ada di belakangnya dan mengaturnya supaya tertib dan
rapi.
Uraian di atas, sebenarnya telah menunjukkan bahawa Nabi menjalankan
kepemimpinan dengan penuh tanggung jawab, baik itu terhadap masyarakat yang
dipimpinnya maupun terhadap Allah SWT. Beliau juga
meneladani umat Islam yang dipimpinnya pada masa itu untuk menjalankan segala
tugas sehari-harinya dengan penuh tanggung jawab dan adil. Memang seharusnya
seorang pemimpin bisa menjadi contoh yang baik bagi yang dipimpinnya. Jika
seorang pemimpin itu berlaku baik, maka rakyat yang dipimpinnya harus
mematuhinya.
Selain itu,
perbincangan yang dilakukan Nabi dengan para sahabat setelah shalat berjamaah di masjid tentang berbagai macam
persoalan dari politik hingga kehidupan sehari-hari, menunjukkan antara
kegiatan habl min Allah (ukhrawi) dan habl min al-nas (duniawi)
saling terkait dan mempengaruhi.
E.
Generalisasi
Kandungan Hadis
Setelah
melalui beberapa tahapan pemahaman hadis tentang seburuk-buruk pemimpin selama
menegakkan shalat melalui metode maan al-hadis di atas, maka
dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1.
Pemimpin yang dimaksud
dalam hadis adalah pemimpin secara umum, tidak hanya kepala negara atau
presiden dan sebagainya, tetapi juga termasuk pemimpin pada lembaga legislatif,
yudikatif dan eksekutif (pemerintah) dan sebagainya.
2.
Pemimpin yang baik adalah
pemimpin berlaku adil dan berusaha mengupayakan kesejahteraan dan kebahagiaan
kehidupan mereka dengan penuh tanggung jawab. Sebaliknya, pemimpin yang buruk adalah pemimpin tidak menjalankan
amanatnya dengan baik (tidak adil).
3.
Kepemimpinan Nabi dalam berbagai situasi menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan dan dilakukan atas kepentingan bersama, bukan
kepentingan pribadi atau golongan. Kepemimpinan beliau juga tidak terlepas dari
adanya komunikasi dengan Tuhannya yaitu melalui shalat. Dengan demikian, kepemimpinan
Nabi menunjukkan keterkaitan dan hubungan saling mempengaruhi antara habl
min Allah (ukhrawi) dan habl min al-nas (duniawi).
4.
Hubungan antara kepemimpinan dan shalat adalah bahwa tegaknya shalat
merupakan tanda adanya ijtima‘ al-kalimah dalam ketaatan kepada Allah
dan Rasul-Nya dan kesejahteraan dalam suatu kelompok atau wilayah. Shalat dalam
hal ini bukanlah shalat dalam arti lahiriyah saja, tetapi shalat yang membekas
pada perilaku yang baik, adil dan bertanggung jawab. Dengan demikian, ketaatan
kepada pemimpin yang adil diharuskan.
Dari beberapa kesimpulan di atas, maka
kandungan hadis tentang seburuk-buruk pemimpin selama menegakkan shalat dapat
digeneralisasikan bahwa ketaatan kepada
penguasa atau pemimpin diharuskan selama mereka tidak menyimpang dari ajaran
Islam, yaitu mereka masih menegakkan keadilan dalam masyarakat.
D. PENUTUP
Setelah
melalui proses penelitian ma'ani al-hadis, hadis tentang larangan
menentang pemimpin selama menegakkan shalat ini mengandung makna: ketaatan
kepada penguasa atau pemimpin diharuskan selama mereka tidak menyimpang dari
ajaran Islam, yaitu mereka masih menegakkan keadilan dalam masyarakat.
Kemudian, hubungan antara kepemimpinan (Imamah) dengan salat adalah
tegaknya salat merupakan tanda adanya ijtima‘ al-kalimah yaitu ketaatan
kepada Allah dan Rasul-Nya dan kesejahteraan dalam suatu kelompok atau wilayah.
Salat dalam hal ini bukanlah salat dalam arti lahiriyah saja, tetapi salat yang
membekas pada perilaku yang baik, adil dan bertanggung jawab. Dengan demikian,
ketaatan kepada pemimpin yang adil diharuskan.
Dan akhirnya
demikianlah makalah ini dibuat. Pastilah sedikit banyak terdapat kekhilafan dan
kekurangan disana sini yang masih sangat perlu untuk dibenahi.
[1] Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1999),
hlm. 769.
[2] Kartini Kartono, Pemimpin dan
Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan Abnormal itu ? (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1998), hlm. 5.
[3] M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an:
Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996),
hlm. 346.
[4] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus
Arab-Indonesia (Yogyakarta: 1984),
hlm. 42-44.
[5] Ahmad Warson Munawwir, hlm. 42-44.
[6] Taufiq Rahman, Moralitas Pemimpin dalam
Perspektif al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 42.
[7] Al-Mawardi, al-Ahkam
al-Sultaniyyah (Beirut: Dar al-Fikr,), hlm. 3.
[8] Ahmad Warson Munawwir, hlm. 41-42.
[9] Majduddin Muhammad
Ya‘qub Al-Fairuz Abadi, Al-Qamus Al-Muhit
(Beirut: Maktabah al-Buhus wa al-Dirasah, 1995), hlm. 173.
[10] Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Islam
(Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 59.
[11] Casmini, "Keistimewaan Salat Ditinjau
dari Aspek Psikologi dan Agama", Hisbah, Vol. 1/ No. 1,
Januari-Desember 2002, hlm 84.
[12]Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj ibn Muslim
al-Qusyairi Al-Naisaburi, al-Jami‘ al-Sahih, jilid VI (Beirut:
Dar al-Fikr, [t.t.]), hlm. 24.
[13] Ahmad bin Hanbal, Musnad li al-Imam
Ahmad bin Hanbal wa bihamisyihi Muntakhab Kanz al-‘Ummal fi sunan al-Aqwal wa
al-Af‘al, jilid VI (Beirut:
Dar al-Fikr,), hlm. 24.
[14] ‘Abdullah bin ‘Abd al-Samad al-Samarqandi
al-Darimi, Sunan al-Darimi, jilid II (Beirut: Dar
al-Fikr,), hlm. 324.
[15] Muhammad Nasir al-Din al-Albani, Sahih
al-Jami‘ al-Sagir wa Ziyadah al-Fath al-Kabir, jilid II (Beirut: al-Maktab
al-Islami), hlm. 619.
[16] Jalal al-Din ‘Abdurrahman bin Abi Bakr
al-Suyuti, al-Jami‘ al-Sagir
fi Ahadis al-Basyir al-Nazir , jilid II: Dar al-Fikr), hlm. 8.
[17] Abu Muhammad al-Husain bin Mas‘ud al-Bagawi,
Syarh al-Sunnah, jilid V (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992),
hlm. 302-303.
[18] Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Sahih Muslim:
Syarh al-Imam al-Nawawi, jilid I (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), hlm. 16.
Menurut Ibnu Salah perkataan Muslim dalam Muqaddimah kitabnya memiliki
dua makna. Pertama, ia tidak memasukkan di dalam kitabnya hadis-hadis yang
menurutnya telah memenuhi syarat-syarat hadis sahih yang disepakati, walaupun
terpenuhinya syarat-syarat ini hanya pada sebagian ulama, tidak jelas pada
sebagian ulama yang lain. Kedua, ia tidak memasukkan tidak memasukkan ke dalam
kitab hadisnya, hadis-hadis yang didebatkan oleh ulama siqah secara
keseluruhan meliputi matan dan sanad, tetapi ia hanya memasukkan hadis yang
tidak didebatkan rawinya saja. Ibnu Salah juga mengatakan bahwa semua hadis
yang dihukumkan sahih menurut Imam Muslim dalam kitabnya dapat dipastikan
kesahihannya.
[19] Sebenarnya perbedaan lafal dalam matan dapat terjadi karena telah
terjadi periwayatan secara makna dalam periwayatan hadis, di samping ada
kemungkinan periwayat hadis yang bersangkutan telah mengalami kesalahan.
Menurut ulama hadis, perbedaan lafal yang tidak mengakibatkan perbedaan makan,
asalkan sanadnya sama-sama sahih, maka hal itu dapat ditoleransi. Lihat: M.
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan
Bintang, 1992), hlm. 131.
[20] Arti bahasa kata ziyadah adalah
“tambahan”. Menurut istilah ilmu hadis, ziyadah pada matan adalah tambahan lafal ataupun
kalimat (pernyataan) yang terdapat dalam matan,
tambahan itu dikemukakan oleh periwayat tertentu, sedang periwayat
yang lainnya tidak mengemukakannya. Menurut Ibnu Salah, ziyadah ada tiga
macam, yakni : (a) ziyadah yang berasal dari periwayat yang siqah
yang isinya bertentangan dengan yang dikemukakan oleh banyak periwayat yang
bersifat siqah juga; ziyadah ini ditolak dan ziyadah ini
termasuk hadis syaz.(b) ziyadah yang berasal dari periwayat yang siqah
yang isinya tidak bertentangan dengan yang dikemukakan oleh banyak
periwayat yang bersifat siqah juga; ziyadah ini dapat diterima.
(c) ziyadah yang berasal dari periwayat siqah berupa sebuah lafal
yang mengandung arti tertentu, sedang para periwayat lain yang bersifat siqah
tidak mengemukakannya.
[21] Idraj secara bahasa berarti memasukkan
atau menghimpunkan. Menurut pengertian ilmu hadis, idraj berarti
memasukkan pernyataan yang berasal dari periwayat ke dalam suatu matan hadis yang diriwayatkannya
sehingga menimbulkan dugaan bahwa pernyataan itu berasal dari Nabi karena tidak
adanya penjelasan dalam matan hadis
itu.
[22] Mengenai silsilah rawi hadis dan statusnya
dapat dilihat dalam: CD Mausu‘ah al-Hadis al-Syarif al-Kutub
al-Tis‘ah.
[23] Tim Penterjemah al-Quran, al-Qur'an dan
Terjemahnya (Madinah: Mujamma‘ Khadim al-Haramain al-Syarifain al-Malik
Fahd li al-Taba‘ah al-Mushaf al-Syarif, 1412 H.), hlm. 128.
[24] Sentot Haryanto, Psikologi Shalat: Kajian
Aspek-aspek Psikologis Ibadah Shalat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002),
hlm. 163-164.
[25] Muhammad bin Isma‘il Abu ‘Abdullah al-Bukhari
al-Ju‘fi, Sahih al-Bukhari, jilid VI (Beirut: Dar Ibnu Kasir, 1987),
hlm. 2496.
[26] Redaksi hadis yang tercantum ini adalah
riwayat Imam Muslim. Lihat : Muslim, op.cit., hlm. 23-24. Al-Bagawi
dalam kitabnya Syarh al-Sunnah menyatakan sahih-nya hadis ini. Lihat:
Al-Bagawi, op.cit., hlm. 302-303. Pada riwayat lain, baik yang
diriwayatkan oleh Muslim maupun Al-Tirmizi, Abu Dawud dan Ahmad, terdapat
perbedaan lafal, di antaranya adalah fa man kariha faqad bari’a wa man
ankara faqad salima, atau dengan redaksi fa man ankara faqad bari’a wa
man kariha faqad salima. Lihat: Muhammad bin ‘Isa Abu ‘Isa al-Tirmizi
al-Salami, Sunan al-Tirmizi, jilid
IV (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turas al-‘Arabi,), hlm. 529; Sulaiman bin
al-‘Asy‘as Abu Dawud al-Sijistani al-Azdi, Sunan Abu Dawud, jilid
IV (Dar al-Fikr), hlm. 242; Ahmad bin
Hanbal Abu ‘Abdullah al-Syaibani, Musnad Ahmad, jilidVI (Mesir:
Mu’assasah Qurtubah), hlm. 305.
[27] Umar Abdurrahman, Tipe-tipe Penguasa dan
Status Hukumnya dalam Islam (Solo: Pustaka Mantiq, 1995), hlm. 31.
[28]Abul A’la al-Maududi, Hukum dan Konstitusi
Sistem Politik Islam, terj. Asep Hikmat. (Bandung: Mizan, 1995),
hlm. 168-173.
[29] Al-Bukhari, jilid III, hlm. 1080;
Muslim, jilid III, hlm. 1466.
[30] Al-Bukhari, jilid VI, hlm. 2588;
Muslim, jilid III, hlm. 1477.
[31] Al-Imam al-Allamah Abi Fadl Jamal al-Din
Muhammad bin Mukram ibn Manzur al-Afriqi al-Misri (selanjutnya disebut al-Misri),
Lisan al-‘Arab, jilid XII (Beirut: Dar al-Sadir, 1992), hlm. 22-26;
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta:
[t.p.], 1984), hlm. 42-44.
[32]
Muslim,, jilid VI, hlm. 24.
[33] Majduddin Muhammad Ya‘qub al-Fairuz Abadi, al-Qamus
al-Muhit (Beirut: Maktabah al-Buhus wa al-Dirasah, 1995), hlm. 173.
[34] Sahih Muslim: Syarh al-Imam al-Nawawi,
jilid VI (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), hlm. 245.
[35] Ahmad Warson Munawwir, hlm. 42-44.
[36] Huruf hamzah mempunyai dua fungsi
yaitu sebagai harf nida’ dan harf istifham. Sebagai harf
istifham, huruf hamzah mempunyai dua makna, yaitu mempertanyakan
tentang satu hal di antara dua hal dan mempertanyakan sesuatu untuk meyakinkan
atau meniadakan (sesuatu itu). Lihat: Fu’ad Ni‘mah, Mulakhkhas Qawa‘id
al-Lugah al-‘Arabiyyah (Surabaya: al-Hidayah, ), hlm. 152.
[37] Hasbie Ash-Shiddieqy, al-Islam
(Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 59.
[38] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran,
Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hlm.
80.
0 komentar:
Posting Komentar