Senin, 19 Agustus 2013

Hadis Tentang Kepemimpinan



HADIS TENTANG LARANGAN MENENTANG PEMIMPIN SELAMA MENEGAKKAN SHALAT
Abstrak
Tulisan ini akan membahas tentang larangan menentang pemimpin selama menegakkan shalat. Keberadaan pemimpin bagi rakyatnya adalah untuk memerintah yang sesuai dengan perintah agama. Selain itu, pemimpin diharapkan bisa menjalankan mobilitas kepemerintahan dengan baik. Kepatuhan rakyat kepada pemimpinnya merupakan elemen penting dalam menggerakkan sebuah roda kepemerintahan. Oleh sebab itu, pemimpin posisinya sangat penting. Shalat merupakan cerminan dari ketaatannya pada agama. Selama ia menegakkan shalat, maka rakyat harus patuh kepadanya sebagaimana yang telah hadis sebutkan dalam sebuah riwayat.
Keyword: Pemimpin, Shalat, Hadis, Larangan menentang.
A.    PENDAHULUAN
Ditegakkannya shalat sebagai syarat larangan untuk menentang seorang pemimpin bahkan yang paling burukpun, tentu menimbulkan keganjalan dan pertanyaan: Mengapa hanya karena pemimpin terburuk itu menegakkan shalat, ia tidak boleh ditentang oleh rakyatnya? Namun itulah yang dinyatakan Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya sebagai jawaban atas pertanyaan para sahabat tentang sikap terhadap seburuk-buruk pemimpin tersebut. Padahal seburuk-buruk pemimpin yang dicirikan dalam hadis itu sebagai pemimpin yang dibenci dan dilaknat oleh rakyatnya serta begitu pula sebaliknya dengan sikapnya terhadap rakyat yang dipimpinnya, diragukan kemampuannya dalam menunaikan amanatnya menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyatnya.
حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ يَعْنِي ابْنَ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ أَخْبَرَنِي مَوْلَى بَنِي فَزَارَةَ وَهُوَ رُزَيْقُ بْنُ حَيَّانَ أَنَّهُ سَمِعَ مُسْلِمَ بْنَ قَرَظَةَ ابْنَ عَمِّ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ يَقُولُ سَمِعْتُ عَوْفَ بْنَ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قَالُوا قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ عِنْدَ ذَلِكَ قَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ أَلَا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَة.ٍ
Artinya: Telah bercerita kepada kami Dawud bin Rusyaid bahwa: telah bercerita kepada kami al-Walid yakni Ibnu Muslim bahwa: telah bercerita kepada kami ‘Abdurrahman bin Yazid bin Jabir bahwa: seorang budak dari Bani Fazarah yang bernama Ruzaiq bin Hayyan telah memberitahukan kepadaku bahwasanya ia telah mendengar Muslim bin Qarazah putra paman ‘Auf bin Malik al-Asyja‘i berkata bahwa ia telah mendengar ‘Auf bin Malik al-Asyja‘i berkata bahwa ia telah mendengar Rasululluh SAW bersabda: “Sebaik-baik pemimpinmu adalah pemimpin yang kamu cintai dan mereka pula mencintai kamu, yang kamu doakan dan mereka pula mendoakanmu. Sedangkan seburuk-buruk pemimpinmu adalah pemimpin yang kamu benci dan mereka pun membencimu, yang kamu laknat dan mereka pun melaknatmu.” Mereka (yang hadir saat itu) berkata: “Wahai Nabi, jika demikian, tidakkah kita menumbangkannya?” Beliau bersabda: “Tidak, selama mereka menegakkan shalat di tengah-tengah kamu. Ketahuilah! Barangsiapa di antara kamu mendapatkan seorang penguasa terpilih, dan melihatnya  berbuat pelanggaran (maksiat) kepada Allah, maka bencilah perbuatan buruknya tersebut saja dan jangan sekali-kali membangkang terhadapnya.
Hadis ini tentunya tidak bisa ditelan mentah-mentah (tekstual), tetapi harus diinterpretasi secara seksama untuk mengetahui, mengapa Nabi mensyaratkan adanya penegakan shalat untuk larangan menentang kepada seburuk-buruk pemimpin, sehingga diperoleh suatu pemahaman yang tepat dan akhirnya menghasilkan pengamalan yang tepat pula.
Proses pemahaman hadis tersebut diawali dengan penelusuran hadis-hadis yang setema melalui metode penelusuran tema hadis atau lafaz hadis, melalui CD Program Mausu‘ah al-Hadis al-Syarif, yang menghasilkan hadis tentang larangan menentang pemimpin selama menegakkan shalat terdapat dalam kitab Sahih Muslim, Musnad Ahmad bin Hanbal dan Sunan al-Darimi.
Sebelum metode ma‘ani al-Hadis diterapkan, hadis tersebut harus diteliti keotentikannya. Analisis keotentikan hadis dari segi sanad dan matan, menghasilkan kesimpulan bahwa hadis ini sahih. Penelitian selanjutnya adalah analisis matan meliputi kajian linguistik berupa kajian kata-kata kunci dalam matan, dan kajian historis kepemimpinan Nabi supaya dapat digeneralisasikan kandungan hadisnya. Analisis generalisasi menghasilkan makna universal bahwa ketaatan kepada penguasa atau pemimpin diharuskan selama mereka tidak menyimpang dari ajaran Islam.
B.     KONSEP KEPEMIMPINAN  DAN SHALAT

1.      Konsep Kepemimpinan

a)      Pengertian Kepemimpinan secara Umum
Secara etimologi, kepemimpinan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata dasar “pimpin” yang jika mendapat awalan “me” menjadi “memimpin” yang berarti menuntun, menunjukkan jalan dan membimbing. Adapun pemimpin berarti orang yang memimpin atau mengetuai atau mengepalai. Sedang kepemimpinan menunjukkan pada semua perihal dalam memimpin, termasuk kegiatannya.[1] 
Kepemimpinan adalah masalah relasi dan pengaruh antara pemimpin dan yang dipimpin. Kepemimpinan tersebut muncul dan berkembang sebagai hasil dari interaksi otomatis di antara pemimpin dan individu-individu yang dipimpin (ada relasi inter-personal). Kepemimpinan ini bisa berfungsi atas dasar kekuasaan pemimpin untuk mengajak, mempengaruhi dan menggerakkan orang lain guna melakukan sesuatu demi pencapaian satu tujuan tertentu. Dengan demikian, pemimpin tersebut ada apabila terdapat satu kelompok atau satu organisasi.[2]
b)     Konsep Kepemimpinan dalam Islam
Istilah Kepemimpinan dalam Islam ada beberapa bentuk, yaitu khilafah, imamah, imarah, wilayah, sultan, mulk dan ri’asah. Setiap istilah ini mengandung arti kepemimpinan secara umum. Namun istilah yang sering digunakan dalam konteks kepemimpinan pemerintahan dan kenegaraan, yaitu Khilafah, imamah dan imarah. Oleh karena itu, pembahasan kepemimpinan dalam Islam akan diwakili oleh ketiga istilah ini.
        i.            Khilafah
Kata khilafah berasal dari kata khalafa-yakhlifu-khalfun yang berarti al-‘aud atau al-balad yakni mengganti, yang pada mulanya berarti belakang. Adapun pelakunya yaitu orang yang mengganti disebut khalifah  dengan bentuk jamak khulafa’ yang berarti wakil, pengganti dan penguasa.
Kata khalifah sering diartikan sebagai pengganti, karena orang yang menggantikan datang sesudah orang yang digantikan dan ia menempati tempat dan kedudukan orang tersebut. Khalifah juga bisa berarti seseorang yang diberi wewenang untuk bertindak dan berbuat sesuai dengan ketentuan-ketentuan orang memberi wewenang. Menurut al-Ragib al-Asfahani, arti “menggantikan yang lain” yang dikandung kata khalifah berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan, baik orang yang digantikannya itu bersamanya atau tidak.   
Istilah ini di satu pihak, dipahami sebagai kepala negara dalam pemerintahan dan kerajaan Islam di masa lalu, yang dalam konteks kerajaan pengertiannya sama dengan kata sultan. Di lain pihak, cukup dikenal pula pengertiannya sebagai wakil Tuhan di muka bumi yang mempunyai dua pengertian. Pertama, wakil Tuhan yang diwujudkan dalam jabatan sultan atau kepala negara. Kedua, fungsi manusia itu sendiri di muka bumi, sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna.[3]
      ii.            Imamah
Imamah berasal dari akar kata amma-yaummu-ammun yang berarti ­al-qasdu yaitu sengaja, al-taqaddum yaitu berada di depan atau mendahului, juga bisa berarti menjadi imam atau pemimpin (memimpin). Imamah di sini berarti perihal memimpin. Sedangkan kata imam merupakan bentuk ism fa’il yang berarti setiap orang yang memimpin suatu kaum menuju jalan yang lurus ataupun sesat. Bentuk jamak dari kata imam adalah a’immah.[4]
Imam  juga berarti bangunan benang yang diletakkan di atas bangunan, ketika membangun, untuk memelihara kelurusannya. Kata ini juga berarti orang yang menggiring unta walaupun ia berada di belakangnya.[5]
Dalam al-Qur’an, kata imam dapat berarti orang yang memimpin suatu kaum yang berada di jalan lurus, seperti dalam surat al-Furqan (25) ayat 74 dan al-Baqarah (2) ayat 124. Kata ini juga bisa berarti orang yang memimpin di jalan kesesatan, seperti yang ditunjukkan dalam surat al-Taubah ayat 12 dan al-Qasas (28) ayat 41. Namun lepas dari semua arti ini, secara umum dapat dikatakan bahwa imam adalah seorang yang dapat dijadikan teladan yang di atas pundaknya terletak tanggung jawab untuk meneruskan misi Nabi SAW dalam menjaga agama dan mengelola serta mengatur urusan negara.[6]
Term imamah sering dipergunakan dalam menyebutkan negara dalam kajian keislaman. Al-Mawardi mengatakan bahwa imam adalah khalifah, raja, sultan atau kepala negara. Ia memberi pengertian imamah sebagai lembaga yang dibentuk untuk menggantikan Nabi dalam tugasnya menjaga agama dan mengatur dunia.[7]
Istilah ini muncul pertama kali dalam pemikiran politik Islam tentang kenegaraan yaitu setelah Nabi SAW wafat pada tahun 632 M. Konsep ini kemudian berkembang menjadi pemimpin dalam shalat, dan –setelah diperluas lingkupnya- berarti pemimpin religio-politik (religious-political leadership) seluruh komunitas Muslim, dengan tugas yang diembankan Tuhan kepadanya, yaitu memimpin komunitas tersebut memenuhi perintah-perintah-Nya.
    iii.            Imarah
Imarah berakar kata dari amara-ya'muru-amrun yang berarti memerintah, lawan kata dari melarang. Pelakunya disebut amir  yang berarti pangeran, putra mahkota, raja (al-malik), kepala atau pemimpin (al-ra’is), penguasa (wali). Selain itu juga bisa berarti penuntun atau penunjuk orang buta, dan tetangga. Adapun bentuk jamaknya adalah Umara’. [8]
Kata amara muncul berkali-kali dalam al-Qur’an dan naskah-naskah awal lainnya dalam pengertian “wewenang” dan “perintah”. Seseorang yang memegang komando atau menduduki suatu jawaban dengan wewenang  tertentu disebut sahib al-amr, sedangkan pemegang amr tertinggi adalah amir. 

2.      Konsep Shalat

a)      Pengertian Shalat
Kata shalat adalah bentuk ism masdar  dari shalla - yushalli - shalah.  Kata shalat dari segi bahasa mempunyai arti beragam, yaitu doa, rahmat, ampunan, sanjungan Allah kepada Rasulullah SAW, dan berarti ibadah yang di dalamnya terdapat rukuk dan sujud.[9]  Keragaman arti shalat di atas adalah berdasarkan dengan fenomena dan konteks yang ada dalam al-Qur’an, yaitu “doa dan ampunan” dalam Q.S. Al-Taubah (9) ayat 103, “berkah” dalam Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 157, sedangkan arti shalat sebagai ibadah yang di dalamnya terdapat rukuk dan sujud banyak sekali ayat al-Qur’an yang menjelaskannya.
Beragamnya arti shalat di atas dapat dirumuskan menjadi arti shalat secara bahasa yaitu suatu doa untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memohon ampunan-Nya, mensyukuri nikmat, menolak bencana, atau menegakkan suatu ibadah.[10]
Menurut pandangan Ahli Fiqh, shalat merupakan ibadah kepada Allah dan pengagungan-Nya dengan bacaan-bacaan dan tindakan-tindakan tertentu yang dimulai dengan takbir dan ditutup dengan taslim, dengan runtutan dan tartib tertentu yang ditetapkan oleh agama Islam.
Tujuan ibadah shalat dalam Islam pada prinsipnya bukan menyembah, melainkan untuk tunduk dan patuh dalam rangka mendekatkan diri  kepada Allah, agar manusia selalu berada dalam lindungan-Nya, dan jiwanya senantiasa terjaga  dari hal-hal yang kotor sehingga menjadi bersih dan suci. Jiwa yang suci akan memiliki ketajaman untuk membawa kepada perbuatan yang saleh dan luhur. Dengan demikian, tujuan ibadah shalat semata-mata untuk tunduk dan patuh serta  mendekatkan diri kepada Zat Yang Maha Suci dan menjauhkan diri dari segala perbuatan maksiat dan kotor.   
b)     Fungsi Shalat
Shalat merupakan aktifitas seorang muslim dalam rangka menghadapkan wajahnya kepada Allah sebagai Zat Yang Maha Suci. Apabila shalat itu dilakukan secara tekun dan konsisten, maka dapat menjadi alat pendidikan rohani yang efektif dalam memperbaharui dan memelihara jiwa manusia serta memupuk pertumbuhan kesadaran. Makin banyak shalat itu dilakukan dengan kesadaran dan bukan dengan keterpaksaan, maka semakin banyak pula rohani itu dilatih menghadap Zat Yang Maha Suci yang efeknya akan membawa kepada kesucian rohani dan jasmani. Kesucian pada rohani dan jasmani ini akan memancarkan akhlak yang mulia dan budi pekerti serta sikap hidup yang penuh dengan amal saleh. Ia akan terhindar dari perbuatan-perbuatan jahat, keji serta maksiat.[11]
Dimensi lain dari shalat adalah memiliki fungsi sebagai sarana memohon pertolongan di kala manusia sedang membutuhkan pertolongan-Nya. Meskipun  Allah adalah Maha Pengasih dan Penyayang, namun sebagai seorang yang beriman, tentu kita sadar bahwa kasih dan sayang Allah itu tidak mudah diperoleh begitu saja. Ketaatan dan ketakwaan manusia turut mempengaruhi mudahnya perolehan sifat Pengasih dan Penyayang Allah tersebut.
Penjelasan tentang pengertian tentang kepemimpinan dan shalat di atas, mengindikasikan adanya hubungan antara keduanya. Kualitas shalat yang dilaksanakan bisa menjadi ukuran terhadap baik-buruknya seorang pemimpin. Dengan melaksanakan shalat yang benar, pemimpin sebagai seorang manusia  diharapkan selalu mendapat ketenangan dan petunjuk dari Tuhannya sehingga ia berada di jalan yang benar dan akan kembali ke jalan yang benar di kala ia melakukan kesalahan selama menjalankan tugasnya sebagai pemimpin. Shalat juga mengajarkan dan melatih berdemokrasi dan berorganisasi, jika dilakukan secara berjamaah. Namun demikian, hal ini belum tentu sesuai dengan kandungan yang dimaksud oleh hadis tentang  seburuk-buruk pemimpin selama menegakkan shalat yang diteliti ini. Akan tetapi, pembahasan ini penting untuk mendukung dan membantu dalam penelitian hadis ini.

C.     INTERPRETASI TERHADAP HADIS-HADIS TENTANG SEBURUK-BURUK PEMIMPIN SELAMA MENEGAKKAN SHALAT

a)      Redaksi Hadis-hadis tentang Seburuk-buruk Pemimpin selama menegakkan Shalat
1.      Sahih Muslim
a.       Kitab al-Imarah, bab Khiyar al-A’immah wa Syiraruhum [12]
حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْحَنْظَلِيُّ أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ عَنْ يَزِيدَ بْنِ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ عَنْ رُزَيْقِ بْنِ حَيَّانَ عَنْ مُسْلِمِ بْنِ قَرَظَةَ عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَة
Artinya: Telah bercerita kepada kami Ishaq bin Ibrahim al-Hanzali bahwa:  telah memberitahukan kepada kami ‘Isa bin Yunus bahwa: telah bercerita kepada kami al-Auza‘i dari Yazid bin Yazid bin Jabir dari Ruzaiq bin Hayyan dari Muslim bin Qarazah dari ‘Auf bin Malik dari Rasulullah SAW telah bersabda: “Sebaik-baik pemimpinmu adalah mereka yang kamu cintai dan mereka pula mencintai kamu, mereka yang mendoakanmu dan kamu doakan mereka. Sedangkan seburuk-buruk pemimpinmu adalah mereka yang kamu benci dan mereka pun membencimu, yang kamu laknat dan mereka melaknatmu pula.” Dikatakan: “Wahai Rasulullah, jika demikian, tidakkah kita menumbangkannya dengan pedang ?” Beliau bersabda: “Tidak, selama mereka menegakkan shalat di tengah-tengah kamu. Jika kalian melihat  dari penguasa-penguasamu kejelekan yang kamu benci, maka bencilah perbuatan jeleknya itu saja dan jangan sekali-kali membangkang terhadapnya.
b.      Kitab al-Imarah, bab Khiyar al-A’immah wa Syiraruhum
حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ يَعْنِي ابْنَ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ أَخْبَرَنِي مَوْلَى بَنِي فَزَارَةَ وَهُوَ رُزَيْقُ بْنُ حَيَّانَ أَنَّهُ سَمِعَ مُسْلِمَ بْنَ قَرَظَةَ ابْنَ عَمِّ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ يَقُولُ سَمِعْتُ عَوْفَ بْنَ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيَّ يَقُولُا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قَالُوا قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ عِنْدَ ذَلِكَ قَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ أَلَا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ قَالَ ابْنُ جَابِرٍ فَقُلْتُ يَعْنِي لِرُزَيْقٍ حِينَ حَدَّثَنِي بِهَذَا الْحَدِيثِ آللَّهِ يَا أَبَا الْمِقْدَامِ لَحَدَّثَكَ بِهَذَا أَوْ سَمِعْتَ هَذَا مِنْ مُسْلِمِ بْنِ قَرَظَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ عَوْفًا يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَجَثَا عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ فَقَالَ إِي وَاللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَسَمِعْتُهُ مِنْ مُسْلِمِ بْنِ قَرَظَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ عَوْفَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ مُوسَى الْأَنْصَارِيُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا ابْنُ جَابِرٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَقَالَ رُزَيْقٌ مَوْلَى بَنِي فَزَارَةَ قَالَ مُسْلِم وَرَوَاهُ مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ يَزِيدَ عَنْ مُسْلِمِ بْنِ قَرَظَةَ عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ
Artinya: Telah bercerita kepada kami Dawud bin Rusyaid bahwa: telah bercerita kepada kami al-Walid yakni Ibnu Muslim bahwa: telah bercerita kepada kami ‘Abdurrahman bin Yazid bin Jabir bahwa: seorang budak dari Bani Fazarah yang bernama Ruzaiq bin Hayyan telah memberitahukan kepadaku bahwasanya ia telah mendengar Muslim bin Qarazah putra paman ‘Auf bin Malik al-Asyja‘i berkata bahwa ia telah mendengar ‘Auf bin Malik al-Asyja‘i berkata bahwa ia telah mendengar Rasululluh SAW bersabda: “Sebaik-baik pemimpinmu adalah pemimpin yang kamu cintai dan mereka pula mencintai kamu, yang kamu doakan dan mereka pula mendoakanmu. Sedangkan seburuk-buruk pemimpinmu adalah pemimpin yang kamu benci dan mereka pun membencimu, yang kamu laknat dan mereka pun melaknatmu.” Mereka (yang hadir saat itu) berkata: “Wahai Nabi, jika demikian, tidakkah kita menumbangkannya?” Beliau bersabda: “Tidak, selama mereka menegakkan shalat di tengah-tengah kamu. Tidak, selama mereka menegakkan shalat di tengah-tengah kamu. Ketahuilah! Barangsiapa di antara kamu mendapatkan seorang penguasa terpilih, dan melihatnya  berbuat pelanggaran (maksiat) kepada Allah, maka bencilah perbuatan buruknya tersebut saja dan jangan sekali-kali membangkang terhadapnya. Ibnu Jabir telah berkata: aku telah bertanya kepada Ruzaiq ketika ia menceritakan hadis ini: " Demi Allah, wahai Abu al-Miqdam, kamu benar-benar telah diberitahu atau kamu telah mendengar hadis ini dari Muslim bin Qarazah yang berkata bahwa ia telah mendengar ‘Auf berkata bahwasanya ia telah mendengar dari Rasulullah SAW?" Ibnu Jabir kemudian berkata: Ruzaiqpun berlutut dan menghadap ke arah kiblat sambil berkata: "Ya, demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya, aku benar-benar telah mendengar hadis ini dari Muslim bin Qarazah yang berkata bahwa ia telah mendengar ‘Auf bin Malik berkata bahwa ia telah mendengar dari Rasulullah SAW. Ishaq bin Musa al-Ansari juga telah bercerita kepada kami bahwa al-Walid bin Muslim telah bercerita kepada kami bahwa telah bercerita kepada kami Ibnu Jabir dengan isnad ini, dan Ruzaiq, seorang budak dari Bani Fazarah telah berkata bahwa Muslim telah berkata (tentang hadis ini). Mu‘awiyah bin Salih juga telah meriwayatkan hadis ini dari Rabi‘ah bin Yazid dari Muslim bin Qarazah dari ‘Auf bin Malik dari Nabi SAW dengan matan yang sama.
2.      Musnad Ahmad bin Hanbal
a.     Kitab Baqi Musnad al-Ansar, bab Hadis ‘Auf bin Malik al-Asyja‘i al-Ansari [13]
حَدَّثَنَاعَبْد اللة حَدَّثَنَي أبي حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ إِسْحَاقَ قَالَ أََنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ قَالَ حَدَّثَنِي زُرَيْقٌ مَوْلَى بَنِي فَزَارَةَ عَنْ مُسْلِمِ بْنِ قَرَظَةَ وَكَانَ ابْنَ عَمِّ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ سَمِعْتُ عَوْفَ بْنَ مَالِكٍ يَقولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ مَنْ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ عِنْدَ ذَلِكَ قَالَ لَا مَا أَقَامُوا لَكُمْ الصَّلَاةَ أَلَا وَمَنْ وُلِّيَ عَلَيْهِ أَمِيرٌ وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَلْيُنْكِرْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
Artinya: Telah bercerita kepada kami ‘Abdullah bahwa ayahnya telah bercerita kepadanya: telah bercerita kepada kami ‘Ali bin Ishaq, ia telah berkata: ‘Abdullah telah bercerita kepada kami, ia telah berkata: telah bercerita kepadaku ‘Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, ia berkata bahwa  Ruzaiq, seorang budak dari Bani Fazarah dari Muslim bin Qarazah, yaitu putra paman ‘Auf bin Malik, telah bercerita kepadanya, ia berkata bahwa ia telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik pemimpinmu adalah  pemimpin yang kamu cintai dan mereka pula mencintai kamu, yang kamu doakan dan mereka pula mendoakanmu. Sedangkan seburuk-buruk pemimpinmu adalah mereka yang kamu benci dan mereka pun membencimu, yang kamu laknat dan mereka melaknatmu pula.” Kami berkata: “Wahai Rasulullah, tidakkah kita menumbangkannya jika demikian ?” Beliau menjawab: “Tidak, selama mereka menegakkan shalat di tengah-tengah kamu. Ketahuilah! Barangsiapa di antara kamu mendapatkan seorang amir terpilih, dan menemukannya berbuat pelanggaran (maksiat) kepada Allah, maka ingkarilah (tidak membenarkan) perbuatan maksiatnya itu, dan jangan kamu membangkang terhadapnya.
b.      Kitab Baqi Musnad al-Ansar, bab Hadis ‘Auf bin Malik al-Asyja‘i al-Ansari
حَدَّثَنَاعَبْد اللة حَدَّثَنَي أبي ثَنَا يَزِيدُ قَالَ أ نَا فَرَجُ بْنُ فَضَالَةَ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ يَزِيدَ عَنْ مُسْلِمِ بْنِ قَرَظَةَ عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خِيَارُكُمْ وَخِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَشِرَارُكُمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا لَكُمْ الْخَمْسَ أَلَا وَمَنْ عَلَيْهِ وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعَاصِي اللَّهِ فَلْيَكْرَهْ مَا أَتَى وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَتِهِ
Artinya: Telah bercerita kepada kami ‘Abdullah bahwa ayahnya telah bercerita kepadanya bahwa Yazid telah bercerita kepadanya, ia berkata bahwa telah bercerita kepadanya Faraj bin Fadalah dari Rabi‘ah bin  Yazid dari Muslim bin Qarazah dari ‘Auf bin Malik dari Nabi SAW, beliau telah bersabda: “Sebaik-baik orang di antaramu dan sebaik-baik pemimpinmu adalah mereka kamu yang cintai dan mereka mencintaimu, yang kamu doakan dan mereka mendoakanmu. Sedangkan seburuk-buruk orang di antaramu dan seburuk-buruk pemimpinmu adalah mereka yang kamu benci dan mereka membencimu, yang kamu laknat dan mereka melaknatmu.” Mereka (para sahabat) berkata: “wahai Rasulullah, tidakkah kita memerangi mereka ?” Beliau menjawab: “Tidak, selama mereka mengerjakan shalat lima waktu di antara kamu. Ketahuilah ! Barangsiapa di antara kamu terdapat penguasa dan melihatnya berbuat pelanggaran (maksiat) kepada Allah, maka bencilah perbuatannya itu saja dan jangan sekali-kali kamu membangkang terhadapnya.
3.      Sunan al-Darimi Kitab al-Riqaq, Bab Fi Ta‘ah wa Luzum al-Jama‘ah [14]
حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ الْمُبَارَكِ أَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ قَالَ أَخْبَرَنِي زُرَيْقُ بْنُ حَيَّانَ مَوْلَى بَنِي فَزَارَةَ أَنَّهُ سَمِعَ مُسْلِمَ بْنَ قَرَظَةَ الْأَشْجَعِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عَوْفَ بْنَ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قُلْنَا أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ عِنْدَ ذَلِكَ قَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ أَلَا مَنْ وُلِّيَ عَلَيْهِ وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ قَالَ ابْنُ جَابِرٍ فَقُلْتُ آللَّهِ يَا أَبَا الْمِقْدَامِ أَسَمِعْتَ هَذَا مِنْ مُسْلِمِ بْنِ قَرَظَةَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ وَجَثَا عَلَى رُكْبَتَيْهِ فَقَالَ آللَّهِ لَسَمِعْتُ هَذَا مِنْ مُسْلِمِ بْنِ قَرَظَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ عَمِّي عَوْفَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُهُ.
Artinya: Telah bercerita kepadaku al-Hakam bin al-Mubarak bahwa al-Walid bin Muslim telah bercerita kepada kami dari ‘Abdurrahman bin Yazid bin Jabir bahwa ia telah berkata bahwa Ruzaiq bin Hayyan, seorang budak dari Bani Fazarah telah memberitahuku bahwa ia telah mendengar Muslim bin Qarazah al-Asyja‘i berkata bahwa ia telah mendengar ‘Auf bin Malik al-Asyja‘i berkata bahwa ia telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik pemimpinmu adalah mereka yang kamu cintai dan mereka mencintaimu, yang kamu doakan dan mereka mendoakanmu. Sedangkan seburuk-buruk pemimpinmu adalah mereka yang kamu benci dan mereka membencimu, yang kamu laknat dan mereka melaknatmu.” Kami (para sahabat) berkata: “Tidakkah kita menumbangkannya, wahai Rasulullah, jika demikian ?” Beliau menjawab: “Tidak, selama mereka menegakkan shalat di tengah-tengah kamu. Ketahuilah! Barangsiapa di antara kamu yang mendapatkan seorang penguasa terpilih, dan melihatnya berbuat pelanggaran (maksiat) kepada Allah, maka bencilah perbuatan maksiatnya itu saja dan jangan sekali-kali membangkang terhadapnya. Ibnu Jabir telah berkata: aku telah bertanya: " Demi Allah, wahai Abu al-Miqdam (Ruzaiq), apakah kamu benar-benar telah mendengar hadis ini dari Muslim bin Qarazah ? Seketika itu Ruzaiqpun menghadap ke arah kiblat dan berlutut kemudian berkata: "Demi Allah, aku benar-benar telah mendengar hadis ini dari Muslim bin Qarazah yang berkata bahwasanya ia telah mendengar pamannya ‘Auf bin Malik berkata bahwa ia telah mendengar dari Rasulullah SAW menyabdakan hadis ini.
Penelitian hadis tentang  larangan menentang pemimpin selama menegakkan shalat ini kemudian difokuskan kepada hadis riwayat Imam Muslim dari Dawud bin  Rusyaid, karena hadis ini telah disahihkan oleh al-Albani[15], al-Suyuti[16] dan al-Bagawi[17].
b)     Kajian Otentisitas Hadis
1.      Analisis Sanad
Meskipun Imam Muslim dalam muqaddimah (pendahuluan) kitabnya menyebutkan bahwa hadis-hadis yang dimasukkan dalam kitab hadisnya adalah hadis-hadis yang disepakati kesahihannya,[18] hal ini tidaklah menjamin bahwa semua hadis dalam kitab hadisnya termasuk hadis tentang seburuk-buruk pemimpin selama menegakkan shalat yang diriwayatkannya adalah berkualitas sahih.
Oleh karena itu, dalam menilai kualitas hadis yang diteliti ini dari segi sanadnya menggunakan asumsi ulama hadis lain yang mensahihkannya. Di antara ulama yang mensahihkan hadis riwayat Imam Muslim dari Dawud bin  Rusyaid adalah al-Albani, al-Suyuti dan al-Bagawi.
2.      Analisis Matan
Jika dilihat dari sisi susunan lafalnya, terdapat beberapa perbedaan ketika diterapkan metode perbandingan antara susunan lafal masing-masing redaksi hadis. Perbandingan ini tidak hanya dimaksudkan untuk upaya konfirmasi atas hasil penelitian yang telah ada saja, tetapi juga sebagai upaya lebih mencermati susunan matan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan keorisinalannya berasal dari Nabi SAW. Kegiatan perbandingan susunan lafal hadis ini, menghasilkan beberapa hal sebagai berikut.
a)      Pada hadis riwayat yang diriwayatkan Muslim dari Dawud bin  Rusyaid, Ishaq bin Musa al-Ansari dan Mu‘awiyah bin Salih  mempunyai redaksi yang sama, artinya tidak ada perbedaan lafal.[19] Hal ini berarti hadis diriwayatkan secara lafzi.
b)      Redaksi hadis lain yang serupa dengan redaksi yang diriwayatkan Muslim dari Dawud bin  Rusyaid adalah hadis riwayat Ahmad bin Hanbal dari jalur ‘Ali bin Ishaq dan hadis riwayat al-Darimi dari jalur al-Hakam bin al-Mubarak. Namun perbedaan susunan lafal di dalamnya tidak mengubah makna, sehingga hal ini dapat ditoleransi.
c)      Adapun hadis riwayat Muslim dari Ishaq bin Ibrahim al-Hanzali memang serupa dengan hadis riwayat Muslim dari Dawud bin  Rusyaid, namun di dalamnya terdapat tambahan kata bi al-syaif  yang tidak disebutkan dalam riwayat lain. Tambahan (ziyadah)[20] kata tersebut dapat diartikan sebagai penegas dari kata afala nunabizuhum dan tidak mengubah makna. Tambahan ini juga bisa disebut idraj [21] jika tambahan itu merupakan tafsiran dari periwayat, bukan dari Nabi SAW.
d)     Hadis riwayat Ahmad bin Hanbal dari jalur Yazid menyebutkan redaksi yang berbeda dengan adanya penambahan lafal khiyarukum.dalam matan hadis. Berikut redaksinya:
حَدَّثَنَا يَزِيدُ قَالَ أَنْبَأَنَا فَرَجُ بْنُ فَضَالَةَ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ يَزِيدَ عَنْ مُسْلِمِ بْنِ قَرَظَةَ عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خِيَارُكُمْ وَخِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَشِرَارُكُمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا لَكُمْ الْخَمْسَ أَلَا وَمَنْ عَلَيْهِ وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعَاصِي اللَّهِ فَلْيَكْرَهْ مَا أَتَى وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَتِهِ.
Redaksi hadis di atas dapat dikatakan sebagai hadis yang diriwayatkan secara makna (riwayah bi al-ma‘na). Riwayah bi al-ma‘na ini diperbolehkan sepanjang tidak mengubah artinya. Sedangkan dalam hadis riwayat Ahmad bin Hanbal ini tidak mengubah arti, hanya saja menambahkan bahwa kriteria baik dan buruk seorang pemimpin sama dengan kriteria baik dan buruk orang secara umum. Namun karena hadis ini mempunyai sanad lemah diakibatkan salah satu rawinya yang bernama Faraj bin Fadalah dinilai daif,[22] maka dengan sendirinya tambahan (ziyadah) dalam hadis ini tidak dapat diterima, meskipun tidak bertentangan.

c)      Pemaknaan Hadis

A.    Kajian Konfirmatif
Salah satu ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan tema hadis adalah ayat 59 dari surat al-Nisa’ (4) menyebutkan:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul dan (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [23]
Kata "ulil amri" dalam ayat di atas menunjuk kepada penguasa yang bertanggung jawab atas wilayahnya (pemerintah). Ayat ini menegaskan bahwa selain umat Islam patuh dan taat kepada Tuhan dan Rasul-Nya, mereka juga diwajibkan taat kepada penguasa mereka. Jika dibandingkan dengan hadis tentang seburuk-buruk pemimpin ini yang juga menyiratkan adanya keharusan taat kepada pemimpinnya yaitu penguasa, maka ayat ini menguatkannya.
Ayat 55-56 dalam surat al-Maidah (5) menyebutkan:
Sesungguhnya penolong hanyalah Allah dan rasul-Nya dan orang-orang yang beriman yang ciri-cirinya tetap mengerjakan shalat  dan menunaikan zakat lagi pula mereka tunduk kepada Allah. Dan barangsiapa memilih Allah, rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi pemimpinnya, maka sesungguhnya pengikut golongan Allah yang menjadi pemenang .
Kata waliyyukum dalam ayat di atas dapat diartikan sebagai penolong dan pemimpin. Dalam hal ini pemimpin dapat termasuk di dalam arti penolong, karena pemimpin bertugas melindungi orang-orang yang dipimpinnya dan berusaha menolong serta menyelamatkan mereka saat kesulitan dan bencana menimpa, karena pemimpinlah yang bertanggung jawab atas segala hal yang ada dan yang terjadi dalam wilayahnya serta ihwal orang-orang yang dipimpinnya. Seorang pemimpin dipilih adalah untuk memimpin anggota kelompoknya untuk dapat mewujudkan tujuan bersama. Dengan demikian ciri-ciri yang disebutkan dalam ayat itu termasuk ciri-ciri pemimpin juga. Jika ditinjau dari ayat tersebut, maka apa yang disampaikan dalam hadis tentang seburuk-buruk pemimpin selama menegakkan shalat bersesuaian dengannya. 
Selain itu, al-Qur'an menyatakan dalam surat Ali Imran (3) ayat 132: “Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat.” Pada ayat 135 surat Ali Imran juga disebutkan: “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan-perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampunan terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah ? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” Ayat ini menyiratkan bahwa orang yang patuh terhadap Tuhannya –yang mengindikasikan juga kepada patuh kepada Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya- dan senantiasa ingat kepada-Nya akan lebih diberi kesempatan untuk mendapat petunjuk dari Tuhan, sehingga ketika melakukan kesalahan, ia seakan ditegur untuk kembali ke jalan yang benar. Inilah salah satu bentuk rahmat dari Allah. Apabila isi hadis yang bersangkutan dihadapkan dengan ayat ini, maka tidak bertentangan. Dalam hadis ini disebut kata shalat, sedangkan shalat adalah sarana untuk mengingat dan menemui Allah serta memohon petunjuknya.[24] Dengan demikian pemimpin yang melaksanakan shalat akan mendapat rahmat dan petunjuk dari Allah. 
Ditinjau daripenjelasan di atas, hadis riwayat Muslim tentang  seburuk-buruk pemimpin selama menegakkan shalat tidak bertentangan dengan al-Qur’an, bahkan sangat sesuai. Oleh karena itu, hadis ini dapat diterima berdasarkan al-Qur’an bahkan memperkuat ayat-ayat al-Qur'an dan menjelaskannya (bayan).        
B.     Kajian Tematik-Komprehensif 
Nabi SAW telah menyatakan bahwa ada tujuh macam orang yang bakal bernaung di bawah naungan Allah di akhirat nanti yang di antaranya adalah imam atau pemimpin yang adil.[25] Dari hadis ini, seorang pemimpin yang adil pastilah dia memperhatikan dan mengutamakan kepentingan bersama. Jika ditinjau dari hadis ini, maka sebaik-baik pemimpin dalam hadis yang diteliti ini berarti pemimpin yang adil. Karena keadilan merekalah, maka rakyat yang mereka pimpin mencintai dan mendukung serta mendoakan mereka.
Hadis lain yang berkaitan dengan hadis tentang  seburuk-buruk pemimpin selama menegakkan shalat adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, al-Turmuzi Abu Dawud dan Ahmad bin Hanbal. Redaksi hadis yang dimaksud adalah sebagai berikut.[26]
وحَدَّثَنِي أَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ جَمِيعًا عَنْ مُعَاذٍ وَاللَّفْظُ لِأَبِي غَسَّانَ حَدَّثَنَا مُعَاذٌ وَهُوَ ابْنُ هِشَامٍ الدَّسْتَوَائِيُّ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ قَتَادَةَ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ عَنْ ضَبَّةَ بْنِ مِحْصَنٍ الْعَنَزِيِّ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا.
Artinya : Dan telah bercerita kepada kami Abu Gassan al-Misma‘i dan Muhammad bin Basysyar, keduanya dari Mu'az dengan lafal Abu Gassan: telah bercerita kepada kami Mu‘az, yaitu putra Hisyam al-Dastawa’i, bahwa ayahnya telah bercerita kepadanya dari Qatadah bahwa al-Hasan telah bercerita kepadanya dari Dabbah bin Mihsan al-‘Anazi dari Ummu Salamah, istri Nabi SAW dari Nabi SAW bahwasanya beliau telah bersabda : “Akan diangkat di antara kau pemimpin-pemimpin (suatu saat), dan kamu akan menemukan mereka berlaku baik dan berlaku buruk. Barang siapa yang membenci (keburukan itu), maka ia akan bebas. Dan barangsiapa menentangnya, maka akan selamat. Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, tidakkah kita memerangi mereka? Beliau menjawab: “Tidak, selama mereka shalat .” 
Menurut Imam Nawawi, dalam hadis di atas mengandung petunjuk bahwa tidak boleh  melawan para penguasa dan wali semata-mata karena munculnya kezaliman dan kefasikan, selama mereka tidak merubah sedikitpun dari prinsip-prinsip Islam.[27] Menurut al-Maududi, hadis di atas mengandung makna bahwa sekalipun penguasa (pemimpin) melakukan shalat secara pribadi, maka mereka masih tetap berhak untuk disetiai atau ditaati.[28] Dengan demikian, hadis ini tentunya memperkuat hadis tentang seburuk-buruknya pemimpin tersebut. 
Dalam hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dinyatakan: "Barangsiapa mentaati saya maka dia telah mentaati Allah, dan barangsiapa mendurhakai saya maka dia telah mendurhakai Allah. Dan barangsiapa mentaati amirku, maka dia telah mentaati saya, dan barangsiapa mendurhakai amirku, maka ia mendurhakaiku."[29]
Dalam hadis lain, Nabi menguatkan kewajiban mentaati penguasa sebagai realisasi kesatuan jamaah kaum Muslimin dan penjagaannya, dan pelestarian hubungan antara pribadi-pribadi umat dengan pemerintahnya, serta memerintahkan untuk bersabar ketika menjumpai sesuatu yang tidak disenangi dari pihak penguasa. Dalam sikap tersebut terkandung pencegahan bahaya dan keburukan yang merajalela dan fitnah yang menjadi-jadi, agar umat tetap saling berpegangan sekuat tembok bangunan. Hadis ini menyatakan: "Barang siapa melihat pada Amirnya sesuatu yang dibencinya, maka hendaklah dia bersabar atasnya, karena barangsiapa memisahkan diri dari jamaah sejauh sejengkal lalu mati, maka ia mati sebagai orang jahiliyyah."[30] Hadis ini jika dibandingkan dengan hadis tentang seburuk-buruk pemimpin tersebut secara implisit sama-sama mengandung pernyataan bahwa ketaatan kepada penguasa atau pemimpinnya diutamakan.
C.    Kajian Linguistik
Dalam hadis tentang seburuk-buruk pemimpin yang diriwayatkan oleh Imam Muslim ini terdapat kata-kata kunci yang perlu dikaji secara linguistik, karena penggunaan prosedur-prosedur gramatikal bahasa Arab mutlak diperlukan, mengingat teks hadis harus ditafsirkan melalui bahasa aslinya, yakni bahasa Arab. Pembahasan kata-kata kunci ini adalah berdasarkan kitab-kitab syarah yang menjelaskan hadis ini.  Kata-kata kunci yang akan dibahas adalah sebagai berikut.
أئمّّة
A’immah merupakan bentuk jamak dari kata Imam yang berakar dari kata amma-yaummu-ammun yang berarti ­al-qasdu yaitu “sengaja”, al-taqaddum yaitu berada di depan atau mendahului, juga bisa berarti menjadi imam atau pemimpin (memimpin). Imam yang merupakan bentuk ism fa‘il di sini berarti perihal memimpin, yaitu berarti setiap orang yang memimpin suatu kaum menuju jalan yang lurus ataupun sesat.[31]
Imam Muslim dalam penjelasannya terhadap hadis tersebut, mengarahkan arti kata a’immah kepada arti penguasa, pemimpin pemerintahan dan sebagainya.[32] Hal ini juga terlihat pada penempatan hadis ini pada kitab  Imarah yang membahas masalah pemerintahan. Namun dalam penjelasannya, Muslim tidak menunjuk kepada penguasa atau pemimpin secara khusus, misalnya kepala negara atau gubenur (eksekutf), pemimpin legislatif, yudikatif atau yang lainnya.
يصلّّون
Kata ini berasal dari salla - yusalli - salah  yang mempunyai beragam arti, yaitu do’a, rahmat, ampunan, sanjungan Allah kepada Rasulullah SAW, ibadah yang di dalamnya terdapat rukuk dan sujud.[33] Menurut Imam Muslim dan Imam al-Nawawi dalam kitab Syarh Sahih Muslim­-nya, kata yusallun berarti mendoakan (al-dua’).[34]
 ننابذهم
Kata ini berasal dari  nabaza – yanbizu – nabzun  yang berarti  al-tarh  dan al-ramyu, yaitu membuang (karena tidak memenuhi hitungan). Nabaza juga berarti mengesampingkan atau membiarkan, dan melanggar (janji). Sedangkan  nabaza berarti menentang dan berselisih, nabaza al-harb berarti mengumumkan perang (terhadap).[35]
Kata nunabizuhum  di sini berarti menentang pemimpin-pemimpin yang terburuk yang dimaksud oleh Nabi SAW, atau memusuhi mereka -yang mengarah kepada memerangi mereka. Adapun kalimat pertanyaan afala nunabizuhum menurut Imam Muslim, berarti "tidakkah kita (benar-benar) menentangnya dan melawannya serta menyatakan perang kepada mereka dengan pedang". Dari segi bahasa Arab (ilmu nahwu), huruf hamzah pada kalimat ini merupakan harf istifham yang mengandung peniadaan (al-jumlah al-manfiyah).[36]
 الصلاة
Kata salah adalah bentuk ism masdar  dari salla- yusalli- salah.  Dari segi bahasa, salah mempunyai arti beragam, yaitu do’a, rahmat, ampunan, sanjungan  Allah kepada rasulullah SAW, ibadah yang di dalamnya terdapat ruku’ dan sujud. Arti salah secara bahasa yaitu suatu do’a untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memohon ampunan-Nya, mensyukuri nikmat, menolak bencana, atau menegakkan suatu ibadah.[37] Adapun secara istilah, salah merupakan ibadah kepada Allah dan pengagungan-Nya dengan bacaan-bacaan dan tindakan-tindakan tertentu yang dimulai dengan takbir dan ditutup dengan taslim, dengan runtutan dan tartib tertentu yang ditetapkan oleh agama Islam.
Menurut Imam Muslim dalam penjelasannya terhadap hadis ini, perkataan Nabi "Lama aqamu fikum al-salah" mengandung makna ketidakbolehan menentang penguasa selama mereka masih menegakkan shalat sebagai tanda  ijtima‘al-kalimah –dalam ketaatan kepada Allah dan Rasulnya- dan tercapainya keluhuran. Al-Tayyibi mengatakan bahwa ditegakkannya shalat sebagai syarat seorang pemimpin tidak boleh ditentang, menunjukkan pada pentingnya (ta‘zim ) terhadap masalah shalat dan jika pemimpin tersebut meninggalkannya –sedang dia melakukan tindakan buruk (maksiat)- maka wajib untuk tidak ditaati, yaitu dengan membatalkan akad dan pembaiatannya. Tetapi yang dimaksud shalat dalam hadis ini bukanlah shalat yang merupakan ritual fisik saja, namun lebih dari itu yang dampak shalat itu akan terlihat pada perilaku sehari-harinya, di antaranya pada aspek kebijaksanaan dan keadilannya. Dengan demikian yang ditekankan di sini adalah keadilan dan sebagainya dari seorang pemimpin.   
D.    Kajian Realitas Historis
Setelah pemahaman tekstual terhadap hadis diperoleh melalui isi (matan), selanjutnya dilakukan upaya untuk menemukan konteks sosio-historis hadis. Dalam tahapan ini, makna atau arti suatu pernyataan dipahami dengan melakukan kajian atas realitas, situasi atau problem historis pada saat pernyataan sebuah hadis tersebut muncul. Dengan kata lain, memahami hadis sebagai responsi terhadap situasi umum masyarakat periode Nabi maupun situasi-situasi khususnya.
Dalam memperoleh makna teks hadis ini, analisa hanya dilakukan pada historis secara makro, karena tidak ditemukannya keterangan asbab al-wurud (historis secara mikro) untuk hadis ini. Oleh karena itu,  kajian historis yang dibahas adalah mengenai hal dan ihwal mengenai kepemimpinan pada masa Nabi SAW.
Selama menjadi Rasul, Nabi Muhammad tidak hanya berperan sebagai rasul (pemimpin agama) yang bertugas untuk memberi penjelasan dan memberi peringatan agar umat manusia kembali ke jalan yang benar, tetapi juga berperan sebagai pemimpin negara. Kepemimpinan Nabi pada periode Makkah (sebelum Hijrah), lebih ditekankan pada pembinaan aqidah (iman) umat Islam, mengajak kaum kafir Quraisy untuk masuk Islam dan pertahanan terhadap serangan kaum kafir Quraisy. Adapun pada periode Madinah (pasca Hijrah), kepemimpinan Nabi Muhammad difokuskan kepada pembangunan masyarakat Islam, yaitu meliputi pembenahan administrasi kenegaraan (politik), hukum, ekonomi dan lain-lain.
Kredibilitas Nabi Muhammad sebagai seorang pemimpin tidak saja diakui oleh para sahabatnya, bahkan para musuh umat Islam pada masa itu pun mengakui kepiawaiannya dalam berpolitik dan berperang (militer). Sebenarnya semua ini tidak terlepas dari hubungan dengan Allah yang telah memberi bimbingan dan petunjuk kepada beliau.
Di Madinah, Islam tampil sebagai kekuatan politik di mana konsepsi  tentang negara mulai digagas di atas pondasi kebersamaan dan integritas berbagai golongan. Pada periode Madinah inilah muncul kontitusi kenegaraan pertama di dunia yang dikenal dengan “Piagam Madinah”. Dokumen ini memuat undang-undang untuk mengatur kehidupan sosial politik bersama kaum Muslim dan bukan Muslim, serta menerima dan mengakui Nabi sebagai pemimpin mereka.
Tahapan-tahapan politik yang dilakukan Nabi untuk korvergensi sosial di Madinah pada awal Hijrah adalah pertama, pembangunan masjid sebagai sarana ibadah dan media audensi umat Islam. Kedua, mempersaudarakan dua kelompok Muslim, yaitu Muhajirun  dan Ansar. Ketiga, meletakkan dasar-dasar tatanan masyarakat baru yang bersifat terbuka, plural dan netral dengan mengakomodasi kepentingan kelompok-kelompok etnis yang ada di Madinah.
Nabi selalu bermusyawarah dengan para sahabat yang biasanya dilakukan setelah shalat berjamaah di masjid untuk membicarakan dan menyelesaikan berbagai permasalahan umat dari politik hingga kehidupan sehari-hari. Pembangunan masjid di Quba ini, selain berfungsi tempat beribadat kepada Allah SWT. dari segi agama, juga berfungsi sebagai tempat mempererat hubungan dan ikatan jamaah Islam dari segi sosial, karena di samping tempat melaksanakan ibadah shalat, masjid digunakan pula sebagai tempat untuk mendalami Islam, pusat pengembangan kegiatan sosial-budaya, pendidikan, tempat musyawarah (majlis), markas tentara dan sebagainya.[38]
Umat Islam kala itu sangat patuh dan taat terhadap kepemimpinan Nabi SAW. Kondisi ini sangat potensial sekali dalam menggalang persatuan dan kesatuan umat yang menjadi kekuatan luar biasa umat Islam yang menjadikan mereka selalu lebih unggul dan mampu menang di medan pertempuran dibandingkan dengan musuh-musuh mereka. Hasilnya, umat Islam pada masa Nabi selalu keluar sebagai pemenang dalam setiap peperangan melawan kafir Quraisy, kecuali pada perang Uhud akibat keteledoran dan ketidakpatuhan beberapa sahabat terhadap perintah Nabi. Mereka juga akhirnya berhasil menguasai Makkah (Fath al-Makkah) dan berhasil menancapkan Kalimah al-Haq (Islam) di Jazirah Arab.
Dalam melaksanakan kepemimpinannya juga, Nabi Muhammad sepenuhnya berpegang pada tali Allah SWT dalam menghadapi suasana genting pun -termasuk peperangan- beliau hanya meminta pertolongan Allah. Sehingga dari sini, kepemimpinan Nabi selalu menampilkan ketergantungan yang dominan pada Allah SWT. Tidak hanya itu, Nabi senantiasa mengajak dan mendorong umatnya kala itu untuk selalu dekat dengan Allah, karena hanya Dialah yang memberi pertolongan, kemampuan dan kekuatan kepada manusia dalam menghadapi segala ujian dan tantangan kehidupan. 
Selama masa hidup Nabi Muhammad SAW, beliau tidak pernah meniggalkan shalat berjamaah, kecuali pernah satu kali karena sakit. Nabi sangat menganjurkan dan mengutamakan shalat jamaah. Ketika melakukan shalat berjamaah, Nabi selalu memeriksa saf-saf yang ada di belakangnya dan mengaturnya supaya tertib dan rapi.
Uraian di atas, sebenarnya telah menunjukkan bahawa Nabi menjalankan kepemimpinan dengan penuh tanggung jawab, baik itu terhadap masyarakat yang dipimpinnya maupun terhadap Allah SWT. Beliau juga meneladani umat Islam yang dipimpinnya pada masa itu untuk menjalankan segala tugas sehari-harinya dengan penuh tanggung jawab dan adil. Memang seharusnya seorang pemimpin bisa menjadi contoh yang baik bagi yang dipimpinnya. Jika seorang pemimpin itu berlaku baik, maka rakyat yang dipimpinnya harus mematuhinya.
Selain itu, perbincangan yang dilakukan Nabi dengan para sahabat setelah shalat  berjamaah di masjid tentang berbagai macam persoalan dari politik hingga kehidupan sehari-hari, menunjukkan antara kegiatan habl min Allah (ukhrawi) dan habl min al-nas (duniawi) saling terkait dan mempengaruhi.
E.     Generalisasi Kandungan Hadis
Setelah melalui beberapa tahapan pemahaman hadis tentang seburuk-buruk pemimpin selama menegakkan shalat melalui metode maan al-hadis di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1.      Pemimpin yang dimaksud dalam hadis adalah pemimpin secara umum, tidak hanya kepala negara atau presiden dan sebagainya, tetapi juga termasuk pemimpin pada lembaga legislatif, yudikatif dan eksekutif (pemerintah) dan sebagainya.
2.      Pemimpin yang baik adalah pemimpin berlaku adil dan berusaha mengupayakan kesejahteraan dan kebahagiaan kehidupan mereka dengan penuh tanggung jawab. Sebaliknya, pemimpin yang buruk adalah pemimpin tidak menjalankan amanatnya dengan baik (tidak adil).
3.      Kepemimpinan Nabi dalam berbagai situasi menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan dilakukan atas kepentingan bersama, bukan kepentingan pribadi atau golongan. Kepemimpinan beliau juga tidak terlepas dari adanya komunikasi dengan Tuhannya yaitu melalui shalat. Dengan demikian, kepemimpinan Nabi menunjukkan keterkaitan dan hubungan saling mempengaruhi antara habl min Allah (ukhrawi) dan habl min al-nas (duniawi).
4.      Hubungan antara kepemimpinan dan shalat adalah bahwa tegaknya shalat merupakan tanda adanya ijtima‘ al-kalimah dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya dan kesejahteraan dalam suatu kelompok atau wilayah. Shalat dalam hal ini bukanlah shalat dalam arti lahiriyah saja, tetapi shalat yang membekas pada perilaku yang baik, adil dan bertanggung jawab. Dengan demikian, ketaatan kepada pemimpin yang adil diharuskan.
Dari beberapa kesimpulan di atas, maka kandungan hadis tentang seburuk-buruk pemimpin selama menegakkan shalat dapat digeneralisasikan bahwa  ketaatan kepada penguasa atau pemimpin diharuskan selama mereka tidak menyimpang dari ajaran Islam, yaitu mereka masih menegakkan keadilan dalam masyarakat.



D.    PENUTUP
Setelah melalui proses penelitian ma'ani al-hadis, hadis tentang larangan menentang pemimpin selama menegakkan shalat ini mengandung makna: ketaatan kepada penguasa atau pemimpin diharuskan selama mereka tidak menyimpang dari ajaran Islam, yaitu mereka masih menegakkan keadilan dalam masyarakat. Kemudian, hubungan antara kepemimpinan (Imamah) dengan salat adalah tegaknya salat merupakan tanda adanya ijtima‘ al-kalimah yaitu ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya dan kesejahteraan dalam suatu kelompok atau wilayah. Salat dalam hal ini bukanlah salat dalam arti lahiriyah saja, tetapi salat yang membekas pada perilaku yang baik, adil dan bertanggung jawab. Dengan demikian, ketaatan kepada pemimpin yang adil diharuskan.
Dan akhirnya demikianlah makalah ini dibuat. Pastilah sedikit banyak terdapat kekhilafan dan kekurangan disana sini yang masih sangat perlu untuk dibenahi.



[1] Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hlm. 769.
[2] Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan Abnormal itu ? (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 5.
[3] M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 346.
[4] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: 1984),  hlm. 42-44.
[5] Ahmad Warson Munawwir, hlm. 42-44.
[6] Taufiq Rahman, Moralitas Pemimpin dalam Perspektif al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 42.
[7] Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah (Beirut: Dar al-Fikr,), hlm. 3.
[8] Ahmad Warson Munawwir, hlm. 41-42.
[9] Majduddin Muhammad Ya‘qub Al-Fairuz Abadi, Al-Qamus Al-Muhit  (Beirut: Maktabah al-Buhus wa al-Dirasah, 1995), hlm. 173.
[10] Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 59.
[11] Casmini, "Keistimewaan Salat Ditinjau dari Aspek Psikologi dan Agama", Hisbah, Vol. 1/ No. 1, Januari-Desember 2002, hlm 84.
[12]Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairi Al-Naisaburi, al-Jami‘ al-Sahih, jilid VI (Beirut: Dar al-Fikr, [t.t.]), hlm. 24.
[13] Ahmad bin Hanbal, Musnad li al-Imam Ahmad bin Hanbal wa bihamisyihi Muntakhab Kanz al-‘Ummal fi sunan al-Aqwal wa al-Af‘al, jilid VI (Beirut: Dar al-Fikr,), hlm. 24.
[14] ‘Abdullah bin ‘Abd al-Samad al-Samarqandi al-Darimi, Sunan al-Darimi, jilid II (Beirut: Dar al-Fikr,), hlm. 324.
[15] Muhammad Nasir al-Din al-Albani, Sahih al-Jami‘ al-Sagir wa Ziyadah al-Fath al-Kabir, jilid II (Beirut: al-Maktab al-Islami), hlm. 619.
[16] Jalal al-Din ‘Abdurrahman bin Abi Bakr al-Suyuti,  al-Jami‘ al-Sagir fi Ahadis al-Basyir al-Nazir , jilid II: Dar al-Fikr), hlm. 8.
[17] Abu Muhammad al-Husain bin Mas‘ud al-Bagawi, Syarh al-Sunnah, jilid V (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), hlm. 302-303.
[18] Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Sahih Muslim: Syarh al-Imam al-Nawawi, jilid I (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), hlm. 16. Menurut Ibnu Salah perkataan Muslim dalam Muqaddimah kitabnya memiliki dua makna. Pertama, ia tidak memasukkan di dalam kitabnya hadis-hadis yang menurutnya telah memenuhi syarat-syarat hadis sahih yang disepakati, walaupun terpenuhinya syarat-syarat ini hanya pada sebagian ulama, tidak jelas pada sebagian ulama yang lain. Kedua, ia tidak memasukkan tidak memasukkan ke dalam kitab hadisnya, hadis-hadis yang didebatkan oleh ulama siqah secara keseluruhan meliputi matan dan sanad, tetapi ia hanya memasukkan hadis yang tidak didebatkan rawinya saja. Ibnu Salah juga mengatakan bahwa semua hadis yang dihukumkan sahih menurut Imam Muslim dalam kitabnya dapat dipastikan kesahihannya.
[19] Sebenarnya perbedaan lafal dalam matan dapat terjadi karena telah terjadi periwayatan secara makna dalam periwayatan hadis, di samping ada kemungkinan periwayat hadis yang bersangkutan telah mengalami kesalahan. Menurut ulama hadis, perbedaan lafal yang tidak mengakibatkan perbedaan makan, asalkan sanadnya sama-sama sahih, maka hal itu dapat ditoleransi. Lihat: M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 131.
[20] Arti bahasa kata ziyadah adalah “tambahan”. Menurut istilah ilmu hadis, ziyadah pada matan adalah tambahan lafal ataupun kalimat (pernyataan) yang terdapat dalam matan, tambahan itu dikemukakan oleh periwayat tertentu, sedang periwayat yang lainnya tidak mengemukakannya. Menurut Ibnu Salah, ziyadah ada tiga macam, yakni : (a) ziyadah yang berasal dari periwayat yang siqah yang isinya bertentangan dengan yang dikemukakan oleh banyak periwayat yang bersifat siqah juga; ziyadah ini ditolak dan ziyadah ini termasuk hadis syaz.(b) ziyadah yang berasal dari periwayat yang siqah yang isinya tidak bertentangan dengan yang dikemukakan oleh banyak periwayat yang bersifat siqah juga; ziyadah ini dapat diterima. (c) ziyadah yang berasal dari periwayat siqah berupa sebuah lafal yang mengandung arti tertentu, sedang para periwayat lain yang bersifat siqah tidak mengemukakannya.
[21] Idraj secara bahasa berarti memasukkan atau menghimpunkan. Menurut pengertian ilmu hadis, idraj berarti memasukkan pernyataan yang berasal dari periwayat ke dalam suatu matan hadis yang diriwayatkannya sehingga menimbulkan dugaan bahwa pernyataan itu berasal dari Nabi karena tidak adanya penjelasan dalam matan hadis itu. 
[22] Mengenai silsilah rawi hadis dan statusnya dapat dilihat dalam: CD Mausu‘ah al-Hadis al-Syarif al-Kutub al-Tis‘ah.
[23] Tim Penterjemah al-Quran, al-Qur'an dan Terjemahnya (Madinah: Mujamma‘ Khadim al-Haramain al-Syarifain al-Malik Fahd li al-Taba‘ah al-Mushaf al-Syarif, 1412 H.), hlm. 128.
[24] Sentot Haryanto, Psikologi Shalat: Kajian Aspek-aspek Psikologis Ibadah Shalat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 163-164.
[25] Muhammad bin Isma‘il Abu ‘Abdullah al-Bukhari al-Ju‘fi, Sahih al-Bukhari, jilid VI (Beirut: Dar Ibnu Kasir, 1987), hlm. 2496.
[26] Redaksi hadis yang tercantum ini adalah riwayat Imam Muslim. Lihat : Muslim, op.cit., hlm. 23-24. Al-Bagawi dalam kitabnya Syarh al-Sunnah menyatakan sahih-nya hadis ini. Lihat: Al-Bagawi, op.cit., hlm. 302-303. Pada riwayat lain, baik yang diriwayatkan oleh Muslim maupun Al-Tirmizi, Abu Dawud dan Ahmad, terdapat perbedaan lafal, di antaranya adalah fa man kariha faqad bari’a wa man ankara faqad salima, atau dengan redaksi fa man ankara faqad bari’a wa man kariha faqad salima. Lihat: Muhammad bin ‘Isa Abu ‘Isa al-Tirmizi al-Salami, Sunan al-Tirmizi,  jilid IV (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turas al-‘Arabi,), hlm. 529; Sulaiman bin al-‘Asy‘as­­­­ Abu Dawud al-Sijistani al-Azdi, Sunan Abu Dawud, jilid IV  (Dar al-Fikr), hlm. 242; Ahmad bin Hanbal Abu ‘Abdullah al-Syaibani, Musnad Ahmad, jilidVI (Mesir: Mu’assasah Qurtubah), hlm. 305.
[27] Umar Abdurrahman, Tipe-tipe Penguasa dan Status Hukumnya dalam Islam (Solo: Pustaka Mantiq, 1995), hlm. 31.
[28]Abul A’la al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, terj. Asep Hikmat. (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 168-173.
[29] Al-Bukhari, jilid III, hlm. 1080; Muslim, jilid III, hlm. 1466.
[30] Al-Bukhari, jilid VI, hlm. 2588; Muslim, jilid III, hlm. 1477.
[31] Al-Imam al-Allamah Abi Fadl Jamal al-Din Muhammad bin Mukram ibn Manzur al-Afriqi al-Misri (selanjutnya disebut al-Misri), Lisan al-‘Arab, jilid XII (Beirut: Dar al-Sadir, 1992), hlm. 22-26; Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: [t.p.], 1984), hlm. 42-44.
[32]  Muslim,, jilid VI, hlm. 24.
[33] Majduddin Muhammad Ya‘qub al-Fairuz Abadi, al-Qamus al-Muhit (Beirut: Maktabah al-Buhus wa al-Dirasah, 1995), hlm. 173.
[34] Sahih Muslim: Syarh al-Imam al-Nawawi, jilid VI (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), hlm. 245.
[35] Ahmad Warson Munawwir, hlm. 42-44.
[36] Huruf hamzah mempunyai dua fungsi yaitu sebagai harf nida’ dan harf istifham. Sebagai harf istifham, huruf hamzah mempunyai dua makna, yaitu mempertanyakan tentang satu hal di antara dua hal dan mempertanyakan sesuatu untuk meyakinkan atau meniadakan (sesuatu itu). Lihat: Fu’ad Ni‘mah, Mulakhkhas Qawa‘id al-Lugah al-‘Arabiyyah (Surabaya: al-Hidayah, ), hlm. 152.
[37] Hasbie Ash-Shiddieqy, al-Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 59.
[38] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 80.

0 komentar:

Posting Komentar

Social Icons