Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thusi asy-Syafi’i (1058 -1111)
menulis sejumlah karya yang ditujukan tidak hanya untuk memberi respon terhadap
perdebatan pemikiran, melainkan juga jawaban langsung terhadap persoalan sosial
yang ia hadapi. Dengan keterlibatan semacam itu, al-Ghazali tampak menyadari
pluralitas sosial yang tidak mungkin direduksi dalam sikap dan perilaku
absolutis.
Pengajian
kedua mengenai pemikiran Hujjat al-Islãm al-Ghazali yang diasuh oleh
Ulil Abshar-Abdalla (cendekiawan NU) di Yayasan Wakaf Paramadina membahas kitab
Qãnūn al-Ta’wîl. Kitab ini, menurut Ulil, memuat sejumlah argumentasi
yang bisa dijadikan pedoman dasar dalam setiap bentuk upaya pembacaan Kitab
Suci. Qãnūn al-Ta’wîl adalah buku yang berisi gagasan-gagasan orisinal
al-Ghazali mengenai cara membaca dan menafsirkan Kitab Suci atau kita bisa
menyebutnya sebagai hermeneutika Ghazalian.
Ulil
Abshar-Abdalla memulai pemaparannya dengan menyodorkan cara baca al-Ghazali
terhadap situasi sosial di mana ia hidup. Dalam kitab al-Mustasyfã,
al-Ghazali mengurai fakta pluralitas sosial yang disikapi secara beragam. Ada
dua kelompok besar yang memberi sikap berbeda terhadap pluralitas pemikiran: mushawwibah
dan mukhaththi’ah. Kelompok pertama (mushawwibah) adalah
mereka yang menyatakan bahwa jika terjadi pluralitas pendapat, maka semuanya
benar. Kalaupun hanya ada satu yang benar, namun yang benar itu kita tidak
tahu. Kelompok pertama ini mewakili kelompok toleran yang cenderung diamini
oleh al-Ghazali sendiri. Kelompok kedua (mukhaththi’ah) justru datang
dengan argumen bahwa jika ada pluralitas pemikiran, maka semuanya salah,
kecuali satu. Kelompok ini mewakili kelompok absolutis.
Menurut
Ulil, perdebatan-perdebatan di masa al-Ghazali memiliki ciri khas yang berbeda
dengan masa sekarang. Di masa itu, perdebatannya adalah di seputar metafisika.
Hal ini adalah kelanjutan semata dari debat-debat teologis antara Islam dan
Kristen sejak awal kemunculan Islam. “Orang Islam mengajukan kritik terhadap
keyakinan Kristen yang dinilai tidak murni monoteis (tauhîd) karena
mengandaikan ada tri-tunggal ketuhanan,” kata Ulil. “Tapi,” lanjut Ulil
“kelompok Kristen balik mengajukan gugatan dengan mengatakan bahwa justru
Islamlah yang tidak murni monoteis karena mengandaikan sifat Tuhan yang begitu
banyak, sedikitnya ada dua puluh sifat Tuhan.” Serangan dari kelompok Kristen
inilah yang memaksa para filsuf dan teolog Islam masuk ke dalam perdebatan
metafisika.
Isu
utama yang berkembang saat itu adalah mengenai bagaimana menjembatani antara
akal dan wahyu. Ulil mengurai lima kelompok yang dikemukakan al-Ghazali dalam Qãnūn
al-Ta’wîl. Pertama, kelompok yang menempatkan wahyu di atas akal (tajrîd
al-nadzãr ilã al-manqūl). Kelompok ini adalah kelompok tekstualis yang
sebenarnya sangat aman dalam beragama, sebab mereka bisa langsung menerapkan
seluruh ajaran agama sesuai dengan teksnya. Tetapi, menurut al-Ghazali,
kelompok ini tidak ideal.
Kedua,
kelompok yang menempatkan akal di
atas wahyu (tajrîd al-nadzãr ilã al-ma’qūl). Kelompok ini, menurut Ulil,
berisi para filsuf dan pemikir spekulatif. Para filsuf yang dimaksud oleh
al-Ghazali terutama adalah al-Farabi dan Ibn Sina. Ibn Sina, misalnya,
menyatakan bahwa sangat tidak mungkin diterima konsep mengenai kebangkitan
jasad, yang ada adalah kebangkitan ruhani. Adapun gambaran tentang surga dan
neraka yang tampak sangat terkait dengan dunia materi itu hanya cara al-Qur’an
untuk berbicara kepada kelompok sosial kebanyakan. Pandangan para filsuf ini
ditentang keras oleh al-Ghazali. Al-Ghazali menyatakan bahwa implikasi
pemikiran orang seperti al-Farabi dan Ibn Sina adalah meragukan kebenaran dan
kejujuran Nabi. Jika perkataan Nabi bisa ditafsirkan tidak sesuai dengan apa
adanya, maka Nabi potensial tidak berkata jujur.
Kritikan
keras al-Ghazali terhadap kelompok filsuf ini tampak kurang konsisten dengan
konsep lima wujud kebenaran yang ia kemukakan dalam Faishãl al-Tafriqah.
Seratus tahun kemudian, Ibn Rusyd, menurut Ulil, menggugat al-Ghazali persis
karena al-Ghazali menggunakan cara pandang orang awam untuk mengkritik para
filsuf. Al-Ghazali abai terhadap kebenaran para filsuf dan melakukan
penghakiman dengan standar kebenaran awam.
Ketiga, kelompok yang berada di tengah tetapi cenderung dekat
kepada kelompok yang mengagungkan akal. Menurut Ulil, kalangan rasional
Mu’tazilah bisa masuk dalam kelompok ini.
Keempat, kelompok yang berada di tengah tetapi cenderung dekat
dengan kelompok yang mengagungkan wahyu. Sunni secara umum bisa dimasukkan ke
dalam kelompok ini.
Kelima, kelompok yang berada di tengah-tengah. Al-Ghazali
menganggap kelompok kelima ini adalah kelompok yang paling ideal dan berusaha
ia capai. Kelompok inilah yang disebut sebagai kelompok terbaik. Al-Qur’an
menyatakan kuntum khaira ummah ukhrijat li al-nãs (kalian adalah ummat
terbaik yang hadir di tengah-tengah manusia). Kelompok tengah ini juga
disetujui oleh al-Qur’an: wa kadzãlika ja’alnãkum ummatan wasatan (dan
demikianlah kami menciptakan kalian sebagai ummat moderat).
Namun
begitu, menurut al-Ghazali, justru kelompok kelima inilah yang paling susah.
Al-Ghazali sendiri mengklaim berada pada kelompok ini. Namun, menurut Ulil,
al-Ghazali justru lebih tepat ditempatkan pada kelompok keempat bersama
kelompok al-Asy’ari dan Sunni secara umum. NU di Indonesia, bagi Ulil, juga
cenderung berada di kelompok keempat, yakni tengah kanan.
Posisi
tengah yang dipilih oleh al-Ghazali bisa ditemukan dalam fakta gugatan dia
terhadap para filsuf. Namun pada saat yang sama dia juga mengkritik para
fatalis dan tekstualis. Meski wahyu dinggap sebagai sumber kebenaran, namun
bukan berarti akal diabaikan. Al-Ghazali justru menganggap bahwa akal adalah
pihak yang merekomendasikan agama. Akal memiliki posisi penting, karena hanya
akallah yang bisa memberi justifikasi kebenaran agama dan wahyu. Al-Ghazali
menyatakan wa man kadzdzaba al-aqla fa qad kadzdzaba al-syar’a (siapa
yang mendustakan akal maka sebenarnya ia mendustakan agama).
Hermeneutika
al-Qur’an
al-Ghazali
Oleh
Dede Rodin*
Kajian
al-Ghazali atas al-Quran merupakan titik tolak pemahamannya terhadap berbagai
cabang pengetahuan keislaman. Hermeneutika al-Quran yang dibangunnya merupakan
upayanya dalam “menghidupkan” (ihyâ’) ilmu-ilmu keagamaan, di samping
untuk memproyeksikan peran dan nilai al-Quran di tengah-tengah masyarakat.
Konsepsi al-Ghazali tentang al-Quran berangkat dari dua pijakan dasar; sebagai
seorang teolog Asy’ari dan sebagai sufi gnostik. Al-Ghazali berusaha memahami
al-Quran dari berbagai dimensinya sesuai dengan karakteristik ayat dan surat.
Metodologi penafsirannya menggabungkan keserasian metode riwayat (bi
al-ma’tsûr) dengan metode rasional (bi al-ra’y), serta makna lahir
(eksoterik) dengan makna batin (esoterik). Hasil penyilangan berbagai metode
itu membawa implikasi pengembangan dan pengayaan khazanah penafsiran al-Quran.
Kata
Kunci: hermeneutika, ma’tsûr, ra’yu,
eksoterik, esoterik, jawâhir, durar
Pendahuluan
Semua
agama pada hakikatnya terbentuk berdasarkan wahyu dan tafsir terhadap wahyu
itu.1 Dalam Islam, wahyu terhimpun dalam al-Quran sebagai manifestasinya yang
terpenting, yang memperkenalkan dirinya sebagai petunjuk (hudan) untuk
menjadi pedoman hidup manusia dalam menata kehidupannya (Qs. al-Baqarah
[2]:185). Dalam Islam, al-Quran menempati posisi sentral dalam membentuk
ajaran, pemikiran dan peradaban. Oleh karena itu, sejarah Islam tidak dapat
dilepaskan dari keberadaan al-Quran. Penelitian tentang Islam yang mengabaikan
factor al-Quran akan sulit dipertanggungjawabkan validitasnya kecuali
hanya menyentuh kulit luarnya saja.2
Dalam
kenyataan empirik, tak dapat dipungkiri, bahwa ketika ajaran al-Quran hendak
dipahami dan dikomunikasikan dengan kehidupan manusia yang pluralistik,
diperlukan keterlibatan pemikiran yang merupakan kreatifitas manusia dalam
bentuk penafsiran. Perlunya pemahaman yang tepat terhadap al-Quran menjadikan
kedudukan tafsir semakin penting, karena penafsiran merupakan cara untuk menjembatani
kesenjangan antara perkembangan kehidupan yang progresif dengan tulisan (Kitab
Suci) yang sudah baku. Sejarah agama-agama adalah juga sejarah penafsiran Kitab
Suci.3
Selama
rentang waktu yang cukup panjang, khazanah intelektual Islam diperkaya oleh
berbagai macam perspektif dan metode penafsiran Al-Quran.4 Lahirnya berbagai
metode dan pendekatan tafsir itu lebih banyak disebabkan oleh tuntutan
perkembangan masyarakat yang selalu dinamis. Abu Hamid al-Ghazali (450-505
H./1058-1111 M.) adalah intelektual Muslim yang pikiran-pikirannya banyak
mempengaruhi umat Islam. Meski ia merupakan tokoh pemikir produk abad
pertengahan, namun buah pikirannya sampai saat ini masih hidup subur, bahkan
tertancap kuat dalam masyarakat Sunni Muslim.5 Ia adalah seorang pemikir yang
tidak saja mendalam, tapi juga sangat produktif dengan karya-karyanya yang
meliputi bidang kalam, filsafat, tasawuf, fiqh dan politik.6
Dalam
peta pemikiran Islam, al-Ghazali adalah salah seorang yang dikenal ahli dalam
bidang fiqh, teologi, filsafat dan tasawuf.7 Dengan karya monumentalnya, Tahâfut
al-Falâsifah ia berhak menyandang gelar filsuf. Sebagai seorang teolog
hampir semua ahli sepakat memasukkan al-Ghazali ke dalam barisan para teolog
pendukung Asy’ariyah, meskipun sebagian mereka memberikan penilaian khusus
terhadap kerja al-Ghazali sebagai teolog yang unik.8 Dalam bidang tasawuf,
al-Ghazali mendapat perhatian yang luar biasa dari berbagai ahli.9
Sedangkan
ketokohannya dalam bidang tafsir belum banyak dikenal. Padahal ia telah memberikan
kontribusi yang cukup besar dalam diskursus kajian tafsir al-Quran. Ia
mempunyai gagasan cerdas dan liberal dalam memahami dan menafsirkan al-Quran.
Bahkan, berdasarkan beberapa catatan ia pernah menulis karya tafsir, Yâqût
al-Ta’wîl fî Tafsîr al-Tanzîl yang mencapai 40 jilid. Sayangnya, karya yang
sangat berharga ini tidak dapat kita warisi.10
Disamping
itu, al-Ghazali juga menulis sebuah kitab mengenai studi al-Quran, Jawâhir
al-Qur’ân dan Qânûn al-Ta’wîl11 dan satu bab khusus, Fahm
al-Qur’ân wa Tafsîruhu bi al-Ra’y min Ghair al-naql yang tertuang dalam Ihyâ’
Ulûm al-Dîn. Dalam bidang tafsir al-Quran, al-Ghazali mendapat penilaian
yang beragam dari para ahli. Al-Dzahabi memandang al-Ghazali sebagai orang yang
paling banyak berbicara tentang tafsir ilmiah (al-tafsîr al-ilmy) dan
mempopulerkannya di kalangan intelektual Islam.12
Adapun
Ignaz Goldziher cenderung memasukkan al-Ghazali ke dalam kelompok tafsir
sufi.13 Dengan latar belakang inilah, tulisan ini akan mengkaji tentang
hermeneutika al-Quran al-Ghazali.
BiografiIntelektualAl-Ghazali
Al-Ghazali
yang bernama lengkap Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali al-Thusi adalah
seorang Persia asli yang lahir pada 450 H./1058 M, di Gazaleh,14 sebuah kota
kecil dekat Thus di Khurasan (Iran).15 Ia dilahirkan di tengah keluarga miskin.
Ayahnya seorang pemintal wol (al-ghazzâl) yang saleh. Kehidupannya yang
sederhana mengantarkan sang ayah untuk menjalani kehidupan sufi. Ketika
ajalnya mendekat, ia berwasiat kepada sahabat karibnya, seorang sufi,
untuk memelihara dua orang puteranya yang masih kecil dengan sedikit bekal
warisan yang ditinggalkannya. Sang sufi pun menerimanya. Namun karena
warisannya tidak mencukupi, al-Ghazali dan adiknya pada 1072 M. diserahkan ke
sebuah madrasah16 di Thus yang menyediakan beasiswa. Di sinilah awal
perkembangan intelektual dan spiritual al-Ghazali yang mempengaruhi perjalanan
hidup selanjutnya.17
Pada
masa mudanya, al-Ghazali belajar di Khurasan yang ketika itu merupakan pusat
ilmu pengetahuan. Ia juga belajar kepada Imam Haramain al-Juwaini, salah
seorang guru besar di al-Nidzamiyah. Di madrasah itu ia menekuni ilmu kalam,
fiqh, filsafat, tasawuf, logika dan ilmu-ilmu lainnya.18 Berkat al-Juwaini,
al-Ghazali kemudian diangkat menjadi guru besar di Universitas Nidzamiyah pada
484 H dan mencapai kemasyhuran.
Dari
segi politik, pada tahun 1055 M, tiga tahun sebelum al-Ghazali lahir, dominasi
dinasti Buwaihi Syi’ah atas kekhalifahan Sunni di Bagdad berakhir. Saat itu,
orang-orang Saljuk Turki di bawah pimpinan Thugril Bek menyingkirkan rezim
Buwaihi dengan Baghdad –yang masih merupakan pusat dunia Islam- kini berada di
bawah kendali politik dan militernya.
Cabang
lain dinasti Saljuk juga berkuasa di Syiria sejak 1075 M. Karena letaknya yang
strategis, wilayah ini selalu menjadi rebutan para penguasa. Ketika al-Ghazali
datang ke tempat itu, pemerintahan dipegang Daqqaq Abu Nashr yang memerintah
sejak 488 H. Ia berhasil mendirikan beberapa kerajaan Kristen di wilayah itu.
Bangsa Saljuk juga merebut beberapa propinsi bagian timur ke dalam kekuasaan
Sunni setelah lebih satu abad berada dalam dominasi Syi’ah. Satu-satunya
tantangan serius bangsa Saljuk adalah dinasti Fatimiyyah di Mesir. Tetapi Alp
Arslan terus mengkoordinasikan diri dan memperluas dominasinya. Dia merampas
beberapa wilayah baru di Asia Kecil dari tangan Bizantium dan memaksa penguasa
Aleppo melepaskan pengaruhnya. Namun baru pada masa Malik Syah (1072-1092 M),
dinasti Saljuk mencapai puncaknya dengan kekuasaannya yang merentang dari Asia
Tengah dan perbatasan India hingga Laut Tengah; dari Kaukasus dan Laut Aral
sampai Laut Persia dengan sedikit pengecualian atas Makkah dan Madinah. Setelah
itu dinasti Saljuk mengalami kemunduran, karena terjadinya perebutan tahta dan
gangguan stabilitas keamanan dalam negeri yang dilancarkan kaum Batiniyah.
Al-Ghazali hidup dan berprestasi pada kedua fase tersebut, baik pada masa
kejayaan maupun kemundurannya menyusul pembunuhan atas Malik Syah pada 1092 M.
Pada
masa al-Ghazali terjadi disintegrasi politik dan sosial keagamaan. Umat Islam
terpecah ke dalam beberapa mazhab fiqh dan kalam, yang dengan sadar menanamkan
fanatisme kelompok kepada pengikutnya.19 Penanaman fanatisme mazhab itu banyak
melibatkan para ulama. Ini berkaitan dengan status ulama yang memiliki posisi
tinggi dalam stratifikasi sosial, di bawah status para penguasa. Dengan peran
ulama, penguasa dapat memperoleh legitimasi atas kekuasaannya di mata umat.
Sebaliknya, dengan para penguasa, para ulama dapat memperoleh jabatan dan
kemuliaan disamping kemewahan hidup.20
Di
sisi lain, interdependensi ulama dan penguasa pada masa itu membawa dampak
positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Para ulama berkompetisi dalam
mempelajari berbagai ilmu. Peranan Nizham al-Mulk dalam hal ini sangat besar.
Ia mengeluarkan anggaran yang besar dari perbendaharaan negara untuk
kepentingan pengembangan ilmu. Meskipun, dalam beberapa hal, pengembangan ini
banyak diarahkan untuk mengantisipasi pengaruh filsafat dan kalam Mu’tazilah.21
Di
samping itu ada kelompok sufi yang hidup eksklusif di zâwiyah (asrama
sufi) dengan kehidupannya yang khas. Mereka dipandang kelompok yang tidak
menghiraukan dunia.22 Status ini, oleh sebagian sufi digunakan untuk
mendapatkan kemudahan hidup dan status social dengan sarana kehidupan sufi yang
mereka tonjolkan.23 Konflik sosial yang terjadi di kalangan umat Islam pada
masa al-Ghazali yang bersumber dari perbedaan persepsi terhadap ajaran agama,
sebenarnya berpangkal dari adanya pelbagai pengaruh kultural terhadap Islam,
seperti unsur-unsur non Islami yang masuk ke dalam pemikiran Islam. Diantara
unsur kultural yang paling berpengaruh pada waktu itu adalah filsafat. Filsafat
Yunani banyak diserap para teolog, filsafat India diadaptasi kaum sufi, dan
filsafat Persia banyak mempengaruhi doktrin Syi’ah dalam konsep imâmah.24
Tetapi yang lebih penting lagi, pada masa itu dalam mempropagandakan pahamnya,
setiap aliran menggunakan filsafat –terutama logika- sebagai alatnya, sehingga
semua intelektual harus mempelajari filsafat terlebih dahulu.25 Dalam situasi
dan masa seperti itulah, al-Ghazali lahir dan berkembang menjadi seorang
pemikir terkemuka dalam sejarah.
Sebagaimana
diakui dalam otobiografinya, banyak peristiwa dan pengalaman pribadi Al-Ghazali
yang mengakibatkan krisis kepribadiannya. Perkenalan al-Ghazali dengan klaim-klaim
metodologis mutakallimun, filsuf, Batiniyah dan Sufi memberikan andil
terhadap krisis pribadinya yang pertama. Krisis ini tampaknya bersifat
metodologis karena pada dasarnya merupakan krisis dalam menemukan tempat yang
tepat bagi daya-daya kognitif dalam skema total pengetahuan. Secara khusus,
krisis ini berkaitan dengan krisis menetapkan hubungan yang tepat antara akal
dan intuisi intelektual. Al-Ghazali telah dibingungkan oleh pertentangan antara
kehandalan akal sebagaimana dalam kasus mutakallimûn dan para filsuf, di
satu pihak, dengan kehandalan Pengalaman spiritual sebagaimana kasus para sufi
dan Batiniyah, di lain pihak.
Al-Ghazali
telah mencoba berbagai sumber pengetahuan yang dipergunakan para intelektual
waktu itu. Hasilnya, semua itu diragukan kredibilitasnya sebagai sumber
pengetahuan yang meyakinkan, termasuk teks-teks al-Quran dan hadis yang diambil
pengertian lahirnya, karena masih adanya pertentangan pendapat dengan dalil
yang sama.26 Namun, kedua sumber pengetahuan yang masih dipegangnya, yaitu
inderawi dan pikiran dharûry (aksiomatis) setelah diuji lagi
kredibilitasnya, keduanya pun meragukannya. Dengan tertolaknya kedua sumber
pengetahuan tersebut, al-Ghazali merasa tak punya pegangan lagi. Jadilah
ia seorang sopist.
Krisis
spiritual ini berlangsung selama dua bulan. Dalam pengakuannya ia baru terbebas
dari krisis tersebut karena nûr yang diberikan Tuhan secara langsung
untuk tetap meyakini kebenaran dharûry sebagai dasar pengetahuan yang
meyakinkan.27 Dengan berpegang pada kredibilitas pikiran dharûry,
al-Ghazali mulai meneliti secara partisipan terhadap empat golongan –mutakallimûn
(teolog), filsuf, Batiniyah dan Sufi- dengan metodenya masing-masing
untuk memperoleh pengetahuan hakikat segala sesuatu. Selama di Bagdad,
al-Ghazali menuntaskan studi mendalamnya mengenai empat kelompok tersebut. Masa
ini adalah periode produktif penulisannya.
Pada
bulan Rajab 488 H./Juli 1095 M, sekitar enam bulan setelah diselesaikannya Tahâfut
al-Falâsifah, al-Ghazali mengalami krisis pribadi kedua karena sufismenya.
Krisis ini jauh lebih parah daripada yang pertama karena menuntut keputusan
untuk melepaskan kehidupan menuju kehidupan lain yang secara esensial
bertentangan dengan sebelumnya. Krisis ini mempengaruhi kesehatan emosional dan
fisiknya. Kondisi fisiknya begitu lemah sampai para dokter putus asa untuk
menyembuhkannya. Di saat kemampuannya untuk membuat pilihan hilang, dia
menyerahkan segala persoalannya kepada Tuhan dan mohon petunjuk-Nya. Tuhan
mengabulkan do’anya. Al-Ghazali sembuh dan merasa mendapat kemudahan untuk
dapat meninggalkan jabatan ketinggian status dan kemewahan hidup sebagai hasil
karir intelektualnya. Dia merasa mudah untuk memulai kehidupan sebagai seorang
sufi guna memenuhi tuntutan jiwanya agar dapat memperoleh pengetahuan yang
meyakinkan.28
Pada
bulan Dzulqa’dah 1095 M. al-Ghazali meninggalkan Bagdad. Ia meninggalkan
keluarga, jabatan serta kemewahan hidup untuk menjalani kehidupan sufi yang
fakir dan zuhud. Setelah 11 tahun menempuh kehidupan asketik, ia telah
merasakan apa yang ditawarkan sufisme berupa pengetahuan langsung yang diterima
dari Allah.29
Di
Bagdad, al-Ghazali tidak dapat sepenuhnya menjalankan kehidupan sufi karena
masalah keluarga dan gangguan lain. Ketidakpuasan itu mendorongnya meninggalkan
Bagdad untuk kembali ke kota asalnya, Thus, sekitar 1099 M. Periode 11 tahun
spiritual al-Ghazali meyakinkan dirinya bahwa kaum sufi adalah orang-orang yang
secara unik menempuh jalan menuju Tuhan; cara hidup mereka adalah cara hidup
yang terbaik, jalan mereka adalah jalan yang tercepat, dan etika mereka adalah
yang termurni, bahkan metode mereka adalah yang paling tepat untuk memperoleh
pengetahuan yang meyakinkan sampai ke tingkat matematis.30 Meskipun demikian,
dia tetap selektif terhadap pelbagai aliran atau konsepsi sufisme. Al-Ghazali
menolak paham hulûl dari al-Hallaj dan ittihâd dari al-Bisthami
dengan dalil-dalil rasional.31
Setelah
mencapai tingkat spiritualisme yang tinggi, pada 1106 M timbul kesadaran baru
untuk keluar dari ‘uzlah dan zâwiyah, karena terjadinya dekadensi
moral-religius pada kaum Muslimin, bahkan sampai ke kalangan ulama sehingga
diperlukan penanganan serius untuk mengobatinya. Dorongan ini diperkuat
oleh permintaan Fakhr al-Muluk (putera Nidzam al-Mulk) untuk kembali mengajar
di Nizhamiyah.32
Pada
1110 M al-Ghazali kembali ke Thus. Di sana dia mendirikan sebuah madrasah bagi
para pengkaji ilmu-ilmu keagamaan dan tempat khalwat para sufi di
samping rumahnya. Dia tempat itu pula, dia menghabiskan sisa umurnya sebagai
pengajar agama dan guru sufi dan banyak mencurahkan diri pada pendalaman ilmu
hadis hingga wafat pada 18 Desember 1111 M pada usia 53 tahun.
Hermeneutikaal-Quran
Sebagai
seorang pemikir Islam, al-Ghazali menjadikan al-Quran sebagai dasar pemikiran
dan sumber utama inspirasinya. Kepercayaan kepada kemampuannya untuk mencapai
sasaran yang terjauh dan betapa pentingnya pengetahuan serta fungsinya;
kesemuanya itu bersumber dari al-Quran. Pandangan al-Ghazali tentang al-Quran
sepenuhnya menyatu dengan pribadinya; dengan perkembangan intelektual dan
spiritualnya sejak muda sampai akhir hayatnya.
Dalam
bidang studi al-Quran, al-Ghazali menulis beberapa karya, seperti Kitâb Âdâb
al-Tilâwah al-Qur’ân yang dimuat dalam karya besarnya, Ihyâ’ ‘Ulûm
al-Dîn,33 Jawâhir al-Qur’ân yang ditulis sekitar tahun 495 H, pada
saat al-Ghazali telah mencapai kematangan intelektual dan spiritual.34 Dalam Jawâhir,
al-Ghazali membagi inti al-Quran ke dalam ilmu dan amal. Amal mengandung
dua sisi; sisi positif yang harus diterapkan dan sisi negatif yang harus ditinggalkan.
Dari sini lahir empat puluh prinsip yang disebut dengan Kitâb al-Arbaîn fî
Ushûl al-Dîn. Menurut beberapa penelitian, al-Ghazali pernah menulis tafsir
al-Quran, Yâqût al-Ta’wîl fî Tafsîr al-Tanzîl yang mencapai 40 jilid.
Sayangnya, kitab tafsir yang sangat penting ini tidak dapat kita warisi,
sehingga karenanya beberapa orientalis meragukan keberadaannya. Metode sufistik
ayat cahaya (Qs. al-Nûr [24]:35) ditulis dalam karya khusus yang ditujukan
untuk para sufi, Misykât al-Anwâr.
Konsepsi
al-Ghazali tentang al-Quran dan tujuan-tujuannya berangkat dari dua pijakan
dasar; sebagai teolog Asy’ari dan sebagai sufi gnostik. Pijakan yang pertama
berangkat dari konsepsi Asy’ariyah atas teks al-Quran sebagai “sifat” dari
sifat-sifat dzat Tuhan, sedangkan yang kedua tampak pada tujuan eksistensi
manusia di bumi untuk merealisasikan kebahagiaan di akhirat. Kedua pijakan ini
tidak saja merumuskan konsepsi al-Ghazali atas al-Quran, tetapi juga
menggambarkan proyek pemikiran yang ditawarkannya seperti terlihat dalam
berbagai karyanya untuk “menghidupkan” ilmu-ilmu keagamaan.35
Menurut
al-Ghazali, al-Quran adalah sumber kebenaran yang berasal dari sumber segala
kebenaran. Karena itu, al-Quran dilihat dari sisi mana pun mengandung nilai
kebenaran substansial. Kisah-kisahnya memberikan inspirasi para cendekiawan,
hukum-hukum di dalamnya memuat kebijakan tertinggi bagi nilai-nilai kehidupan.
Ia laksana cahaya yang menyinari setiap orang dari kesesatan. Ia adalah obat
bagi kepuasan dan kedamaian jiwa. Sebaliknya, siapa saja yang mengganti isinya
atau mengabaikannya, bencana Allah di dunia dan akhirat akan ditimpakan
kepadanya. Karenanya, siapa pun yang mencari pengetahuan di luar al-Quran akan
tersesat.36
Di
sisi lain, al-Ghazali menekankan esensi al-Quran sebagai Kalam Allah dan
ilmu-Nya. Sebagai Kalam Allah, al-Quran memuat seluruh makna kalam-Nya, dan
Kalam Allah juga berarti ilmu-Nya, “Kalam Allah adalah tunggal; ketunggalannya
meliputi seluruh makna kalam. Sebagaimana ilmu-Nya juga tunggal; ketunggalannya
meliputi seluruh pengetahuan; tak terlepas dari pengetahuan-Nya sedikit pun apa
yang ada di langit dan di bumi.”37
1.
Klasifikasi Ilmu dan Ayat al-Quran
Konsep
ihyâ’ al-Ghazali atas ilmu-ilmu agama mengasumsikan adanya dikotomi
pengetahuan menjadi dua; ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu dunia. Pada sisi lain,
hal itu menggambarkan bahwa kecenderungan, paling tidak pada masa al-Ghazali,
lebih memihak kepada ilmu-ilmu dunia dan kurang memperhatikan ilmu-ilmu agama.
Klasifikasi ilmu pengetahuan menurut al-Ghazali berasal dari dualitas yang
tajam mengenai hubungan dunia akhirat, bahkan ia menjadikan konsepsi ini
sebagai batas minimal ilmu pengetahuan yang sepatutnya diketahui oleh “ulama
akhirat”. Meski demikian, namun tidak ada salahnya menerima batas minimal
kehidupan duniawi selama menjadi jalan menuju akhirat.38
Jika
dikotomi dunia-akhirat ini berangkat dari pandangan sufistik, maka menurut
al-Ghazali, konsep teks mengandung dikotomi lain yang berangkat dari konsep
Asy’ari mengenai kalam Tuhan sebagai sifat dzâtiyyah, bukan sebagai
perbuatan. Karena itu, pemisahan antara “sifat qadîmah” yang inheren
dengan dzat Tuhan dengan tajalli di dunia dalam bentuk teks al-Quran
yang dibaca, menjadi sesuatu yang niscaya. Teks yang dibaca dan ditulis dalam
mushaf hanyalah “imitasi” bagi sifat kalam yang qadîm. Ini berarti bahwa
bahasa dalam teks tersebut merupakan kulit yang di dalamnya tersimpan kandungan
yang imanen dan qadîm.
Jika
pemikiran Asy’ari sebelum al-Ghazali mengenai konsep kalam Ilahi terbatas pada
pembedaan antarsifat yang qadîm dan imitasi pada bacaannya, maka dimensi
sufistik pada pemikiran al-Ghazali dapat membantunya dalam mengembangkan konsep
tersebut melalui dikotomi zahir-batin. Melalui dikotomi ini dimungkinkan
bagi al-Quran adanya zahir dan batin, bukan saja pada sisi makna dan tanda,
seperti yang tersebar pada pemikiran sufi, tetapi juga pada sisi struktur dalam
narasi dan susunan teks. Yang batin merupakan rahasia, mutiara-mutiara dan
hakikat-hakikat yang dikandung teks, sementara yang zahir merupakan kulit dan
bahasa yang menampilkan teks pada pemahaman kita.
Berdasarkan
pesan dan tujuan al-Quran, al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu-ilmu al-Quran ke
dalam dua kategori; ilmu kulit dan ilmu isi. Untuk lebih memperjelas tentang
persoalan ini, perhatikan diagram berikut ini: Bahasa, menurut al-Ghazali,
adalah medium yang dapat mengungkapkan kulit luar teks. Efektifitas bahasa
mulai dari tingkat bunyi dan berakhir pada dataran semantik. Antara keduanya
terdapat beberapa tingkatan lain. Kesemuanya membentuk ilmu-ilmu yang
dikategorikan ilmu-ilmu kulit. Ilmu-ilmu ini diperoleh berdasarkan fenomena
al-Quran berupa huruf-huruf dan bunyi yang terdiri dari lima ilmu. Pertama, ilmu
makhârij al-hurûf (fonologi); ilmu yang berkaitan dengan cara membaca
teks. Kedua, ilmu bahasa al-Quran (filologi); ilmu yang mengkaji
katakata dari segala aspeknya. Ketiga, ilmu i‘râb al-Qur’ân. Dari
sini muncul ilmu yang keempat, yaitu ilmu qirâ’at dan berakhir
pada ilmu tafsir zahir.39
Sistematika
ini selain merupakan sistematika menaik dari particular ke universal dan dari
bunyi ke makna, juga merupakan sistematika nilai dari yang terendah menuju ke
yang tertinggi. Suatu ilmu semakin dekat ke kulit nilainya semakin kecil,
sementara nilainya akan bertambah jika menjauhi kulit dan mendekati isi. Karena
itu, ilmu-ilmu ini, meskipun semuanya termasuk dalam dataran kulit, nilainya
bertingkat-tingkat. Pada bagian ini, ilmu tafsir zahir adalah yang paling dekat
ke isi, sehingga menyebabkan banyak orang mengira ilmu ini merupakan puncak
ilmu al-Quran dan merasa puas dengannya.40
Bila
bahasa adalah baju (kulit) yang di baliknya terkandung makna batin, maka ilmu
bahasa hanya sekedar sarana dan perangkat untuk menembus makna yang lebih
dalam. Tujuan keberadaan manusia adalah Sumber: al-Ghazali, Jawâhir
al-Qur’ân, hal. 12-22
ILMU-ILMU
AL-QURAN
ILMU
KULIT (Secara Fenomenologis)
- Ilmu Makhârij al-Hurûf (fonologi)
- Ilmu Bahasa (filologi)
- Ilmu I`râb
- Ilmu Qira’at
- Ilmu Tafsir Zahir
ILMU
ISI (Secara Substansial)
- ILMU INTI
1)
Ilmu Tauhid
2)
Ilmu Eskatologi
3)
Ilmu Tasawuf
- ILMU PELENGKAP
1)
Ilmu sejarah
2)
lmu Kalam
3)
Ilmu Fiqh
merangkul
Yang Mutlak dan mengalami fanâ’ dengan-Nya. Fungsi teks berubah menjadi
sarana mengungkapkan Yang Mutlak dan sifat-sifat-Nya. Atas dasar ini, maka makna
atau pengertian bukanlah tujuan, tetapi Pengirim Yang Qadim itulah yang
merupakan tujuan yang dicapai dengan menguraikan teks. Dengan demikian, kelima
ilmu di atas berubah menjadi sarana bagi tujuan-tujuan yang lain. Ulama-ulama
bahasa dan ahli qiraat hanya berfungsi sebagai pemelihara dan pentransfer
hasil-hasil ilmu mereka pada yang lainnya. Hanya ahli tarekat yang berjalan
menuju Allahlah yang mampu menembus penutup dan kulit mutiara dan mengeluarkan
mutiara yang tersimpan di baliknya. Merekalah yang mampu mencapai hakekat dan
menyelam ke dalam lautan teks untuk mengeluarkan hakekat tersebut.
Adapun
ilmu isi dibagi dua; ilmu inti (tingkat atas) dan ilmu pelengkap (tingkat
bawah). Ilmu inti yang merupakan esensi al-Quran meliputi tiga bagian; ilmu ma’rifatullâh
(tauhid), ilmu tharîq al-sulûk ila al-Lâh (tasawuf), dan ilmu ta‘rîf
al-Hâl ‘ind al-Wushûl (eskatologi). Sedangkan ilmu pelengkap (tingkat
bawah) berada pada lapisan bawah dari ilmu isi al-Quran. Tetapi, ilmu-ilmu ini
dalam kaitannya dengan ilmu-ilmu dunia berada pada tingkat paling atas. Yang
tergolong ke dalam kelompok ini adalah cerita-cerita dalam al-Quran (ilmu
sejarah), ilmu kalam dan ilmu fiqh.
Pandangannya
bahwa al-Quran telah mengisyaratkan kepada berbagai ilmu pengetahuan telah
memberi semangat baru bagi penafsiran ilmiah (al-tafsîr al-ilmy). Karena
itu banyak pakar yang memandang al-Ghazali sebagai penggagas al-tafsîr
al-’ilmy.41 Konsepsi ini tentu perlu dikembangkan lebih lanjut untuk
menjadikan al-Quran sebagai pijakan dan landasan baik pengembangan ilmu
pengetahuan, baik ilmu kemanusiaan, sosial maupun kealaman.
Dari
klasifikasi ilmu pengetahuan dalam al-Quran, al-Ghazali membagi ayat-ayat dan
surat-surat al-Quran ke dalam enam kelompok,42 yaitu: (1) Ayat-ayat yang
berkarakter tauhid, (2) Ayat-ayat yang berkarakter tasawuf, (3) Ayat-ayat yang
berkarakter eskatologis, (4) Ayat-ayat yang berkarakter historis, (5) Ayat-ayat
yang berkarakter kalam, dan (6) Ayatayat yang berkarakter fiqh. Keenam kelompok
ayat tersebut jika dirinci menjadi sepuluh kelompok, yaitu: (1) Penjelasan dzat
Allah, (2) Penjelasan sifat-sifat Allah, (3) Penjelasan perbuatan-perbuatan
Allah, (4) Penjelasan hari akhir (eskatologis), (5) Penjelasan jalan lurus (al-shirâth
al-mustaqîm) melalui penyucian jiwa, (6) Penjelasan jalan lurus melalui
penghiasan diri dengan akhlak baik, (7) Penjelasan kisah kekasih Allah, (8)
Penjelasan kisah musuh Allah, (9) Penjelasan argumentasi Allah terhadap orang
kafir, dan (10) Penjelasan ketentuan-ketentuan hukum.43
Dengan
demikian, klasifikasi ayat-ayat al-Quran menurut al-Ghazali didasarkan pada
pembagian terhadap ilmu-ilmu yang di-istinbath-kan dari ayat-ayat
tersebut. Klasifikasi ini nampaknya didasarkan pada urutan hirarkis, dimana
ayat-ayat yang nilainya tertinggi adalah ayat-ayat yang menunjukkan tentang ma‘rifatullâh,
ayat-ayat jawâhir, kemudian diikuti oleh ayat-ayat yang menunjukkan
jalan lurus (tasawuf), ayat-ayat durar.
Al-Ghazali
mempunyai kepentingan yang kuat untuk menjelaskan ayatayat jawâhir dan durar.
Hal ini mengingat ayat-ayat tersebut yang muncul dari signifikansinya
lantaran dilâlah-nya yang mengacu pada prinsip-prinsip penting dalam
sistem epistemologi al-Ghazali.
Dalam
mengklasifikasikan ayat-ayat al-Quran dan ilmu yang dihasilkan darinya,
al-Ghazali menggunakan bahasa yang mempunyai sifat
metaforis-personifikatif seperti ketika ia berbicara ilmu-ilmu kulit dan
ilmu-ilmu isi. Terhadap ayat-ayat al-Quran, ia menggunakan tamsil kibrit
ahmar (belerang merah), yâqût, durar (mutiara), zabarjud (batu
permata), anbar (minyak wangi), ‘ûd (kayu gaharu), tiryaq (obat
penawar racun), dan misk. Semua tamsil dan konsepsi ini menunjuk secara
langsung kepada hakikat-hakikat al-Quran, sementara isyaratnya pada kandungan
duniawi-materinya merupakan isyarat representatif yang tidak langsung, yaitu
isyarat-isyarat alegoris dan-metaforis.
Al-Ghazali
melihat bahwa ayat-ayat al-Quran lebih berhak dengan sebutan-sebutan tersebut
daripada benda-benda aktual di alam. Dalam hal ini, norma yang menjadi
sandarannya adalah bahwa ruh dan makna hakiki dari kata-kata tersebut
teraplikasikan pada ayat-ayat al-Quran dan ilmu yang dihasilkannya. Di sini
al-Ghazali berinteraksi dengan bahasa sebagai simbol, bukan sebagai sistem
simbol. Maksudnya sebagai sekumpulan kata yang memiliki dua dimensi; dimesi yang
hakiki, yaitu makna rûhî malakûti (signified, penanda) dan
dimensi luar atau simbol (signifier, yang ditandai), yaitu makna bahasa
yang berlaku.44 Dalam konsep ini, yang penting bukan watak teks, karena teks
apa pun dapat dita’wil secara simbolik. Sebaliknya, katakata dapat dipergunakan
bukan untuk menunjuk pada makna malakûtnya secara langsung. Inilah yang
dilakukan al-Ghazali tatkala mengklasifikasikan ayat-ayat al-Quran ke dalam jawâhir,
durar, zamrud, dan yang lainnya.
Jika
pengunggulan sebagian teks ayat atas yang lainnya merupakan hal yang tidak
diterima secara umum, maka al-Ghazali memiliki konsep yang berbeda. Ia
berpendapat bahwa ayat-ayat dan surat-surat al-Quran bertingkat-tingkat
berdasarkan isinya (kandungannya). Jika para ulama Islam, meskipun berbeda
aliran, tidak mampu menggoyahkan dualitas kata dan makna dalam perdebatan
mereka mengenai kemu’jizatan al-Quran, maka dualitas kulit-inti (kata-makna)
dalam konsep al-Ghazali tidak menghalanginya untuk menjalankan efektifitasnya.
Mungkin
Anda mengatakan, dalam beberapa catatan ini Anda (al-Ghazali)
mengkonsentrasikan sasaran pada upaya mengunggulkan sebagian al-Quran atas
sebagian lainnya, padahal semuanya adalah firman Allah. Bagaimana mungkin
sebagiannya berbeda dengan yang lainnya, dan bagaimana mungkin sebagiannya
lebih utama dari yang lainnya?
Ketahuilah
bahwa cahaya hati nurani bila tidak dapat memberi petunjuk kepada Anda dalam
membedakan antara ayat kursi dengan ayat mudâyanah (Qs. Al-Baqarah
[[2]:282), antara surat al-Ikhlas dengan surat al-Lahab, dan jiwamu yang
menyimpang dan hanya taklid semata, maka taklidlah pada sang pembawa risalah,
Muhammad saw. Sebab kepadanyalah al-Quran diturunkan. Banyak hadis yang
menunjukkan keutamaan beberapa ayat dan pahala yang berlipat ganda dalam membaca
surat. Nabi saw bersabda, “Fâtihah al-Kitab merupakan ayat yang paling utama”,
“Ayat kursi adalah penghulu al-Quran”, “Yâsîn merupakan jantung
al-Quran dan Qul Huwa Allâh Ahad sebanding dengan sepertiga al-Quran”.
Hadis-hadis
yang berkenaan dengan keutamaan ayat-ayat al-Quran yang secara khusus
mengunggulkan beberapa ayat dan surat serta banyaknya pahala bila dibaca tidak
terhitung jumlahnya.45
Bagi
al-Ghazali dualitas kulit-inti tidak saja diterapkan pada teks dari segi
klasifikasi makna-kata, tetapi juga pada klasifikasi internal teks, sebab
alasannya bukan panjang pendeknya ayat atau surat, tetapi kandungan yang
diekspresikannya. Ayat atau surat yang pendek bisa jadi lebih bernilai dari
segi kandungannya daripada ayat atau surat yang panjang. Kandungan yang menjadi
tolok ukur itu tidak lain adalah ilmuilmu yang sudah dipaparkan di atas. Atas
dasar ini, maka surat al-Ikhlas sebanding dengan sepertiga al-Quran secara
hakiki bukan metaforis, karena memuat prinsip-prinsip pokok al-Quran, yaitu
pengetahuan mengenai Allah, akhirat dan jalan lurus.46
Pandangan
al-Ghazali yang bersikukuh mengunggulkan sebagian ayat dan surat atas yang
lainnya, berkaitan dengan konsep al-Ghazali tentang wujud (being),
kehidupan, tujuan agama, teks dan fungsinya. Konsepsi al-Ghazali tentang teks
menjadikan teks berubah menjadi kode khusus yang hanya kaum ârif dan
ahli tahqiq yang dapat mengurai simbolsimbolnya (kode). Konsekuensinya,
manusia awam hanya puas dengan membaca dan memahami tingkatan lahiriah makna
teks. Dan tugas ârif adalah membekali orang awam dengan beberapa mutiara
teks yang sedikit. Oleh karena itu, setelah al-Ghazali menjelaskan beberapa
ayat dan surat yang memiliki kedudukan khusus dalam teks, berusaha memaparkan
ayat-ayat permata (jawâhir) yang menunjuk ma’rifat kepada Allah
dalam satu untaian, kemudian terkumpul dalam satu untaian lain ayat-ayat
mutiara (durar) yang menunjuk kepada jalan lurus.
Sisi
kelemahan konsepsi ini terletak pada agenda pembalikan segalasesuatu, dimulai
dari wujud (being) dan berakhir pada teks. Agenda tersebut mengubah teks
menjadi sejumlah misteri yang amat sukar, yang signifikansi dan nilainya
bertingkatan. Kemasyhuran dan sambutan penuh generasi setelahnya atas pemikiran
al-Ghazali yang mendominasi wacana agama, merupakan persoalan yang perlu
dianalisa. Hemat penulis, kemasyhuran ini dapat ditafsirkan melalui dualitas
sistem pemikiran yang dilontarkan al-Ghazali, dimana ia menyuguhkan kepada
masyarakat awam sarana keselamatan melalui perjalanan menuju akhirat, dan
kepada kelompok dominan (para penguasa dan raja) menyuguhkan ideology
Asy’ariyah dengan segala pembenaran dan eklektisisme.
Penggunaan
kata-kata jawâhir, durar, yâqût untuk menunjukkan bagian-bagian
al-Quran, dari sisi ini, dapat dianggap sebagai sarana substitusi (pengganti)
bagi ahli ma’rifat di satu pihak, dan bagi kaum awam di lain pihak. Ini
merupakan pengantar untuk berinteraksi dengan teks tertulis (mushaf)
sebagai “sesuatu” yang berharga dalam dirinya sendiri tanpa mempertimbangkan
kemampuan untuk melakukan pembacaan.
2.
Sumber-sumber Penafsiran
Dalam
memformulasikan sumber-sumber penafsiran al-Quran, al-Ghazali tidak menyebut
urutannya secara eksplisit. Namun dari beberapa pernyataannya, secara implisit
ia menyebutkan empat sumber; yakni ma’tsur, akal, kasyf dan isrâiliyyat.
Yang termasuk ke dalam sumber ma’tsûr adalah al-Quran, Hadis, dan
perkataan sahabat.47 Bagi al-Ghazali, al-Quran adalah sumber penafsiran yang
sangat penting. Dia memandang al-Quran dengan ke-mutawâtirannya diterima
secara dharûri yang menjamin kebenarannya sebagai sumber penafsiran.
Tetapi dari segi dilâlah (informasi yang dibawakan) belum tentu bisa
diterima secara dharûri sehingga juga member pengetahuan yang pasti (qath‘i).
Bila informasinya tidak mengisyaratkan adanya pengertian alternatif, misalnya
lafadznya khusus (khâs), maka dilâlah-nya bisa diterima secara
pasti. Tetapi bila mempunyai banyak alternatif, misalnya pernyataannya bersifat
umum (‘âm), maka harus diterima dulu kebenaran sementara (zhanni).
Bila argumen tersebut dibahas secara rasional baru dapat diterima secara qath‘i.
Begitu pula hadis,48 perkataan sahabat dan tabi’in49 bersama-sama dengan
al-Quran dipegangi sebagai sumber penafsiran Adapun kredibilitas akal sebagai
sumber penafsiran, dibedakan antara akal (1) sebagai potensi berpikir dan
pemikiran dharûri yang dekat dengan gharîzah, dan (2) akal dalam
pengertian pengetahuan yang dibina oleh potensi berpikir tersebut, yang disebut
dengan ilmu muktasabah. Akal dalam pengertian pertama sama sekali tidak
diragukan kredibilitasnya.
Sedangkan
pada pengertian yang kedua diragukan sehingga perlu diseleksi kebenarannya
dengan menggunakan tolok ukur pemikiran dharûri. Suatu sumber yang cukup
unik dalam penafsiran al-Ghazali adalah kasyf, yaitu mengetahui secara
nyata apa yang ada di balik tabir yang berupa konsep-konsep immaterial dan
hakikat segala sesuatu. Sumber ini diterima secara dharûri karena
pengalaman orang yang memperoleh mimpi yang benar dan pengalaman batin
seseorang yang mendapat tambahan ilmu tidak melalui proses belajar dan menalar
merupakan contoh manusia yang memperoleh pengetahuan dengan kekuatan al-nubuwwah.
Begitu
pula, pengalaman batin seorang sufi yang dapat memperoleh kasyf, sehingga
dapat menyaksikan hakikat segala sesuatu di lawh mahfûz, juga semacam al-nubuwwah.
Semua itu diperoleh dengan penyaksian (musyâhadah) di dalam batin,
sedangkan musyâhadah seperti itu termasuk pengetahuan “sensual” internal
yang dapat menghasilkan pengetahuan dharûri bagi yang mengalaminya.50
Al-Ghazali
juga sering mengutip riwayat-riwayat isrâiliyyat, yaitu sumber-sumber
Yahudi dan kristen. Ia mengutip tradisi-tradisi tokoh Ibrahim, Musa, Dawud,
Sulaiman, dan tokoh-tokoh lain dalam Perjanjian Lama. Dia sering menunjuk
kepada sejarah atau hikayat tentang Dawud yang menyerupai karya sendiri yang sering
dirujuknya.
3.
MetodologiPenafsiran
Bagi
al-Ghazali, al-Quran adalah sumber kebenaran dalam berbagai hal. Maka al-Quran
harus dipandang dari berbagai sisi, karena ia mempunyai banyak dimensi dan
dapat dipahami melalui berbagai bidang.51
Karena
itu, ia tidak puas dengan metode penafsiran yang ada. Sebagian orang
mengabaikan sisi lahir ayat dan sumber-sumber yang diperoleh secara naql, sehingga
penafsiran mereka tidak terkendalikan. Di lain pihak, ada yang berpegang kuat
pada sisi lahir dan sumber-sumber naql sehingga al-Quran nampak sebagai
dogma-dogma hukum dan agama yang statis.52 Konflik antara keduanya mencuat,
bahkan sampai pada taraf saling mengkafirkan. Kondisi inilah yang memunculkan
kritik al-Ghazali atas metode tafsir yang berkembang pada masanya. Para
mufassir tradisional dalam mempertahankan tafsir bi al-ma’tsûr selalu
merujuk kepada hadis, Man fassara al-Qur’ân bira’yihi falyatabawwa’
maq‘adahu min al-nâr, “Barangsiapa yang menafsirkan al-Quran dengan ra’yu-nya,
maka hendaklah dia menempati tempat di neraka”.53
Hadis
ini kerap kali dipahami bahwa al-Quran hanya boleh dipahami dengan periwayatan
(ma’tsûr). Menurut al-Ghazali, pandangan tersebut sangat fatal karena
dalam realitas sejarah penerapan prinsip tersebut sangat sulit dipertahankan.
Hadis tersebut bukan berarti melarang seseorang untuk menafsirkan al-Quran
dengan akal pikiran (ijtihad).
Yang
dimaksud adalah menafsirkan al-Quran dengan semata-mata mengikuti hawa nafsu (al-ra’y
al-fâsid al-muwâfiq li al-hawâ). Dengan demikian, menafsirkan
al-Quran dengan ra’yu yang sahih dan tidak semata-mata mengikuti hawa
nafsu adalah sah-sah saja.54 Sebab dengan akal itulah –meski bukan
satu-satunya- wahyu al-Quran dapat dipahami.
Sanggahan
al-Ghazali itu didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, bila tafsir
harus diperoleh melalui periwayatan dari Nabi saw saja, maka akan didapati
sebagian kecil saja dari ayat al-Quran. Para pendukung pendapat ini seharusnya
menolak penafsiran Ibn Abbas, Ibn Mas’ud dan yang lainnya, karena sebagian
ucapan itu termasuk penafsiran yang dengan ra’yu yang tidak pernah didengar
dari Nabi. Kedua, para sahabat seringkali berbeda pendapat dalam
menafsirkan sebagian ayat satu dengan yang lainnya, sehingga tidak logis jika
semua penafsiran itu berasal dari Nabi. Ketiga, Nabi saw pernah berdoa
untuk Ibn Abbas agar ia diberi pemahaman dan pengetahuan tentang agama dan ta’wil.55
Jika ta’wîl dimaksudkan berasal dari Nabi sebagaimana tanzîl,
maka apa makna keistimewaan itu? Keempat, di dalam al-Quran sendiri
pemikiran (istinbâth) dipuji Allah (Qs. al-Nisâ’ [4]:83). Maka setiap
orang boleh mengambil ketetapan hukum (ijtihad) sesuai dengan kemampuan
intelektualitasnya.56
Menurut
al-Ghazali tafsîr bi al-ma’tsûr bukan satu-satunya penafsiran yang sah,
tetapi merupakan salahsatu metode yang penting dalam memahami al-Quran, karena
tafsir ini dapat dijadikan penjaga kekeliruan sebagaimana halnya
kedudukan bahasa yang menjadi alat pemahaman.
Setelah
melihat tafsir sisi lahir, maka terbuka wilayah untuk pemahaman dan istinbâth.
Di sini tampak sekali perhatian tafsir batin (esoterik), dimana menurutnya,
hakikat-hakikat makna al-Quran hanya akan dicapai oleh mereka yang menempuh
perjalanan menuju ma‘rifatullâh sehingga akan tersingkap rahasia-rahasia
makna al-Quran melalui penyingkapan tabir (kasyf). Makna batin, menurut
al-Ghazali, adalah pemikiran yang mendalam yang dicapai seseorang melalui
perenungan, kontemplasi dan kajian mendalam yang tidak bertentangan dengan
makna lahir, tetapi merupakan bagian dari tamtsîl dan isyârat.
Karena itu, ada ulama yang keberatan dengan metode esoterik al-Ghazali. Ibn
Taimiyyah, misalnya, menganggap metode intuitif yang dikembangkan al-Ghazali
tidak sesuai dengan petunjuk-petunjuk dan hadis-hadis Nabi, bukan karena
kelemahannya di bidang ini, tetapi karena terpengaruh oleh pemikiran filsafat
dan teologi.57 Ibn al-Jawzi termasuk ulama yang sangat keras menentang
penafsiran-penafsiran sufistik al-Ghazali meskipun tidak bertentangan dengan
aspek lahir.58
Di
lain pihak, para filsuf dan mutakallim cenderung menggunakan ra’yu dengan
sangat bebas. Akibatnya, mereka seringkali mengabaikan sumber-sumber naqli.
Sikap tersebut, menurut al-Ghazali, telah membuka peluang bagi pemahaman yang
bebas terhadap al-Quran, disamping subyektifitas pribadi.59
Menurutnya
pengertian ra’y pada hadis tersebut bukan dalam arti akal pikiran atau
ijtihad, melainkan hawa nafsu yang menjadikan mufassir memaksakan pra
konsepsinya untuk menafsirkan ayat sesuai dengan kepentingannya (vested
interest) tanpa didasarkan metodologi yang jelas dan dapat diverifikasi
kebenarannya secara metodologis. Menurutnya, tidak semua penafsiran bi
al-ra’y dilarang. Yang tidak diperkenankan adalah al-ra’y al-fâsid (pikiran
yang rusak), yakni menafsirkan al-Quran berdasarkan hawa nafsu semata.60 Karena
itu, meski al-Ghazali member peluang bagi setiap orang untuk menafsirkan
al-Quran sesuai kemampuannya, namun ia juga mensyaratkan beberapa hal bagi
mufassir.
Dengan
demikian, al-Ghazali tampaknya berusaha untuk menggabungkan kedua metode
tersebut dalam memahami al-Quran. Baginya, penafsiran al-Quran tidak cukup
mengandalkan akal saja dan mengabaikan periwayatan atau sebaliknya.
Masing-masing metode tersebut perlu mendapat tempat sesuai dengan porsinya
masing-masing. Dalam konteks inilah, al-Ghazali mengkritik dua kelompok yang
dianggapnya ekstrem; Hasyawiyah yang berpegang ketat kepada teks dan tidak mau
mempergunakan akal dan Mu’tazilah ekstrem serta para filsuf yang sangat ketat
berpegang pada akal dan kurang menghargai periwayatan.
Sementara
itu, ada juga kelompok yang berpandangan bahwa al-Quran hanya bisa dipahami
dari sisi zahirnya. Metode eksoterik ini banyak dianut para fuqaha. Pandangan
tersebut, menurut al-Ghazali, terlalu picik dan sempit, padahal kemampuan orang
dalam memahami al-Quran bertingkat-tingkat.61
Bagi
al-Ghazali, al-Quran mengandung makna yang sangat luas bagi mereka yang
memiliki kecerdasan khusus (arbâb al-fahm).62 Asumsi ini didasarkan pada
sebuah hadis riwayat Ibn Hibban: Inna li al-Qur’ân dzâhiran wa bâthinan wa
haddan wa mathla‘an, “Sesungguhnya al-Quran itu mempunyai sisi zahir,
batin, hadd dan mathla‘“.63 Dalam riwayat lain disebutkan,
“Setiap ayat ada zahir dan batinnya, setiap huruf ada hadd-nya dan setiap
hadd ada mathla-nya”. Menurut al-Ghazali, makna zahir berkaitan dengan ‘ilm
al-mu‘âmalah (syari’at) dan makna batin berhubungan dengan ‘ilm
al-mukâsyafah (hakikat).64
Di
pihak lain, ada kelompok yang banyak menggunakan metode esoterik dalam
menafsirkan al-Quran, seperti kaum Ta’limiyah (Batiniyah). Al-Ghazali
melukiskan mereka sebagai orang-orang yang “mengklaim diri sebagai satu-satunya
pemilik al-ta`lîmi dan penerima hak istimewa pengetahuan yang diperoleh
dari imam yang ma’shûm”.65 Ia juga mengkritik para sufi dan Ikhwan
al-Shafa yang cenderung menafsirkan al-Quran dengan metode esoterik saja dan
mengabaikan makna lahiriahnya. Lewat penafsiran tersebut, kerapkali mereka
membuat kekacauan, kegelisahan dan kerusakan iman serta intelektual umat Islam.
Dampak inilah yang dikecam al-Ghazali.66 Untuk itu, ia mengemukakan syarat lain
bagi seorang mufassir, yaitu penafsirannya harus sesuai dengan makna lahiriah,
tidak boleh menyimpang darinya karena penafsiran isyâri-shûfi hanya
sebagai pelengkap dan kesempurnaan pemahaman atas al-Quran, bukan makna
satu-satunya dan bukan makna independen.67
Hermeneutika
dan metodologi al-Ghazali dalam menafsirkan al-Quran didasarkan pada
pemahamannya atas tujuan dan maksud al-Quran dan perjalanannya yang panjang
dalam mencari kebenaran hakiki. Metode penafsirannya merupakan salah satu upaya
al-Ghazali dalam memproyeksikan peran dan nilai al-Quran di tengah-tengah
masyarakat dalam rangka menempatkan al-Quran sebagai sumber pengetahuan dan
kebenaran tertinggi. Oleh karena itu upayanya melibatkan berbagai disiplin yang
dimilikinya, baik sebagai filsuf, teolog, faqih maupun sufi.
Al-Ghazali
berupaya meramu berbagai metode yang berkembang ke dalam corak penafsirannya.
Meski ia memberi tempat dan menekankan metode penafsiran rasional (bi
al-ra’y), ia juga menekankan dan memperhatikan penafsiran secara riwayat (bi
al-ma’tsûr). Demikian halnya, meski ia sangat mengedepankan penafsiran sisi
batin (esoterik), dia tidak mengabaikan makna lahirnya (eksoterik).
Integralisasi berbagai metode penafsiran tersebut disamping penekanan syarat
dan prinsipnya adalah upayanya untuk membuka dinamisasi metode penafsiran yang
prospektif, disamping mempertahankan otentisitas nilai al-Quran.
4.
Urgensi Tafsir Al-Ghazali dalam Diskursus Tafsir al-Quran
Urgensi
tafsir al-Ghazali dapat dilihat dari pengaruhnya terhadap ulama setelahnya.
Imam al-Nawawi adalah ulama yang banyak mengutip perkataan al-Ghazali dalam Ihyâ’,
bahkan kerapkali dia mengutipnya secara langsung. Dalam al-Tibyân, dia
mengutip dari al-Ghazali Sembilan masalah dan kajiannya tentang tafsir
merupakan ringkasan dari al-Ghazali.68 Al-Qurthubi juga banyak mengutip dari
al-Ghazali –tanpa menyebutkan namanya- dalam penafsiran rasional.69 Mafâtih
al-Ghaib –yang dikenal dengan al-Tafsîr al-Kabîr- juga banyak
menanggapi dan mengaplikasikan asas penafsiran yang diaktualkan al-Ghazali.70
Meski karya besar yang ditulis al-Fakhr al-Razi (w. 606 H./1209 M.) ini tidak
sepenuhnya sependapat dengan al-Ghazali, namun karya ini dipenuhi pembahasan
rasional menyangkut filsafat, teologi, ilmu fisika, astronomi dan sebagainya
sehingga sebagian ulama menilainya sebagai karya yang memuat berbagai hal
kecuali tafsir.71
Jalaluddin
al-Suyuthi (849-911 H), dalam al-Itqân dan mukaddimah al-Iklîl fî
Istinbâth al-Tanzîl juga menanggapi secara positif, bahkan memperkuat
gagasan al-Ghazali dalam upaya penggalian ilmu-ilmu dari kandungan al-Quran
seperti Qs. Al-An‘âm [6]:38, al-Nahl [16]:86, dan hadis serta atsar sahabat.72
Dalam al-Itqân ia mengutip dua teks yang dinisbatkan kepada al-Nawawi,
padahal al-Nawawi mengutipnya dari al-Ghazali.73 Al-Suyuthi juga mendukung al-Ghazali
tentang tafsir esoterik. Menurutnya, makna batin suatu ayat diperoleh melalui
ilham yang diberikan Allah kepada para sufi. Mereka sebenarnya tidak menyatakan
bahwa makna esoterik itu satu-satunya makna yang paling benar.74
Diantara
mufassir modern yang terpengaruh oleh al-Ghazali adalah Muhammad Abduh
(1839-1905 M.).75 Abduh sependapat dengan al-Ghazali bahwa al-Quran adalah
sumber segala ilmu pengetahuan dan tafsir naqli saja tidak cukup untuk
memahami Kitabullah. Karenanya, setiap orang boleh memahami al-Quran sesuai
dengan intelektualitasnya.
Pendapat
ini sejalan dengan usaha Abduh untuk membebaskan umat dari taklid. Tetapi dia
melarang tafsir bi al-ra’y yang didasarkan pada kepentingan dan tujuan
pribadi. Sebagaimana al-Ghazali, Abduh menolak tafsir yang hanya berlandaskan
makna lahiriah bahasa tanpa memperhatikan periwayatan (manqûl). Dengan
demikian, akal dan naql harus disertakan secara bersama-sama dalam
memahami al-Quran dengan tidak mengenyampingkan petunjuk kebahasaan.76 Pengaruh
al-Ghazali terlihat dalam masalah-masalah akidah, kalam dan filsafat seperti
pada tafsir Qs. al-Lail [92]:17.77 Ketika menafsirkan Qs. al-Baqarah [2]:121,
Abduh mengutip pendapat al-Ghazali dalam Ihyâ’ tentang hal-hal yang
menghalangi pemahaman al-Quran ketika membacanya.78
Demikian
juga usaha al-Ghazali untuk menjaga al-Quran dari serangan berbagai
kelompok, seperti kaum Batiniyah, dalam rangka menjaga otentisitas bahasa dan
penafsirannya sebagaimana dipahami pada masa turunnya, menelusuri periwayatan
untuk mengetahui maknanya. Dengan demikian, al-Ghazali telah bersaham dalam
perumusan metode pemahaman al-Quran melalui pemahaman kosa kata al-Quran yang
kemudian menjadi ciri analisis semiotik pada masa modern.
Hemat
penulis, metode penafsiran al-Quran yang dikembangkan al-Ghazali erat kaitannya
dengan program “pengayaan” (enrichment) khazanah metode tafsir al-Quran.
Hasil penyilangan berbagai metode mau tidak mau membawa implikasi pemekaran,
pengembangan, dan pengayaan khazanah penafsiran al-Quran. Bercermin pada sejarah
masa lampau, sebenarnya al-Ghazali telah memiliki program pengayaan metode
dengan keberaniannya mengakomodasi metode esoterik (tasawuf) ke dalam wilayah
syari’ah. Aturan-aturan syari’ah kemudian dapat dipahami oleh para pendukung
spiritualitas, meskipun untuk ke sana, al-Ghazali terlalu berani menggunakan
hadis-hadis dha`îf. Sejatinya, tanpa menggunakan hadis-hadis lemah,
kekuatan akal pikiran manusia dapat merekonstruksi makna kedalaman spiritual
keagamaan manusia. Tetapi, di sanalah terletak dilema al-Ghazali. Karena dia
sudah terlebih dahulu mengambil sikap anti intelektualitas Mu’tazilah dan juga
karena khawatir kalau terpeleset ke pangkuan filsafat spekulatif yang pernah
dikritiknya, maka dia lebih senang memilih hadis-hadis lemah untuk dijadikan sandaran
berpikirnya. Inilah sebabnya mengapa al-Ghazali tidak dikenal sebagai pencetus
ijtihad, meskipun dalam merumuskan pemikirannya dia banyak menggunakan ijtihad.
Kesimpulan
Penelaahan
secara serius terhadap pemikiran al-Ghazali akan mengarahkan kepada suatu
kesimpulan bahwa gagasan untuk “menghidupkan” (ihyâ’) ilmu-ilmu
keagamaan menampakkan pembaruan yang cukup signifikan dalam berbagai aspek.
Untuk menangkap aspekaspek itu, pertama kali dapat ditelusuri dari posisi
al-Quran dalam pemikiran al-Ghazali. Dalam membangun dan mengembangkan
pembaruannya, Kitab Suci tersebut dijadikan sebagai rujukan utama.
Dalam
hal ini, al-Ghazali bersaham dalam memberikan kontribusi dalam diskursus
studi al-Quran. Hermeneutika al-Quran yang dibangun al-Ghazali merupakan salah
satu upayanya dalam memproyeksikan peran dan nilai al-Quran di tengah-tengah
masyarakat dalam rangka menempatkan al-Quran sebagai sumber pengetahuan dan
kebenaran tertinggi. Oleh karena itu upayanya melibatkan berbagai disiplin yang
dimilikinya, baik sebagai filsuf, teolog, faqih maupun sufi.
Karena
al-Quran memiliki dimensi penafsiran yang sangat luas, al-Ghazali berupaya
meramu berbagai metode yang berkembang ke dalam metodologi penafsirannya.
Penafsiran itu dapat dilakukan dari dimensi eksoterik (makna lahir) melalui
pendekatan bi al-riwâyah (ma’tsûr) dan bi al-ra’y (ijtihad
rasional) maupun dari dimensi esoterik (makna batin) melalui pendekatan irfâni,
yaitu dengan menggunakan pendekatan psikognosis melalui intuisi (kasyf).
Dengan
demikian, ia menggabungkan keserasian makna lahir (eksoterik) dan makna batin
(esoterik) serta penafsiran rasional (bi alra’y) yang memperhatikan
periwayatan (bi al-ma’tsûr). Ia juga berusaha memahami al-Quran dari
berbagai dimensinya sesuai dengan karakteristik ayat dan surat. Karena tidak
menggunakan satu metode dalam menafsirkan al-Quran, tampak bahwa al-Ghazali
adalah mufassir yang sintesis-kreatif. Sintesis, karena al-Ghazali menggunakan
dan meramu pelbagai metode penafsiran al-Quran yang muncul pada masanya.
Kreatifitas
al-Ghazali tampak dalam kemampuannya menggunakan dan meletakkan metode-metode
tersebut pada proporsinya. Namun, karena pengetahuan dan pengalaman al-Ghazali
yang luas dalam bidang tasawuf yang menjadi piilihan terakhirnya, maka corak
sufistik (esoterik) sangat menonjol dalam penafsirannya.[]
Catatan
Akhir:
*Penulis
adalah dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.
1G.C.
Anawati, “Peninggalan Islam: Filsafat, Teologi dan Tasawuf” dalam H.L. Beck dan
N.J.S. Kaptein (ed.), Pandangan Barat terhadap Literatur: Hukum Filosofi,
Teologi dan Mistik Tradisi Islam, (Jakarta: INIS, 1989), h. 45
2Muhammad
Nur Ikhwan, Hermeneutika Al-Quran: Analisis Peta Perkembangan Tafsir
Al-Quran Kontemporer, (Yogyakarta, IAIN, 1995), h. 2
3Joachim
Wach, The Comparative Study of Religions, (New York: Columbia University
Press, 1958), h. 73
4Ignaz
Goldziher mengasumsikan lima richtungen (kecenderungan/ aliran) dalam
penafsiran al-Quran di kalangan umat Islam; (1) Penafsiran tradisi (bi
al-ma’tsûr), (2) Penafsiran dogmatis (al-aqîdat), (3) Penafsiran
mistis (tashawwuf), (4) Penafsiran sektarian (al-firaq al-dîniyyah),
dan (5) Penafsiran modenis (al-tamaddun al-islâmy). Lihat Ignaz
Goldziher, Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmiy, (Lebanon: Dâr Iqra’, 1985)
5Fazlur
Rahman, Islam, (Chicago: The University of Chicago Press, 1979,
ndedition), h. 245. Philip K. Hitti menggolongkan al-Ghazali sebagai salah
seorang yang paling menentukan jalannya sejarah Islam dan bangsabangsa Muslim.
Bahkan dalam bidang pemikiran dan peletakan dasardasar ajaran Islam,
al-Ghazali ditempatkan pada urutan kedua setelah Rasulullah saw (Nurcholis
Madjid, Islam, Kemoderenan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1991), h.
282.
6Untuk
mengetahui karya-karya yang ditulis al-Ghazali, lihat ‘Abd al-Rahman al-Badawi,
Mu’allafât al-Ghazâli, (Mesir: al-Majlis al-A`lâ li Ri`âyat al-Funûn wa
al-Adâb wa al-`Ulûm al-Ijtimâ`iyyah, 1961)
7Cryl
Glasse, Ensiklopedi Islam, terj. Ghufran A. Mas’udi, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1996), h. 106
8Harun
Nasution menganggapnya sebagai tokoh yang mengembalikan beberapa doktrin
tertentu kepada ajaran sang pendiri Asy’ariyah, al-Baqilani dan al-Juwaini yang
lebih dekat kepada Mu’tazilah. Lihat Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta:
(Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1972), h. 69). Ibn Khaldun (w. 808
H./1406 M.) menganggap al-Ghazali sebagai teolog pertama yang menggunakan apa
yang disebutnya al-tharîqah al-muta’akhkhirîn (metode para teolog
mutaakhir) sebagai reaksi atas tharîqah al-mutaqaddimîn (metode para
teolog klasik) dalam Asy’ariyah (Ibn Khaldun, Muqaddimah, Beirut: Dâr
al-Fikr, t.t., h. 446). Syed Ameer Ali, seorang modernis India, menilai
al-Ghazali telah memberikan idealisme kepada Asy’ariyah yang sebelumnya hanya
merupakan semacam teolog formalitas. Lihat Syed Ameer Ali, The Spirit of
Islam, (Delhi: Idarahi Adabiyyat-i Delli, 1978), h. 469
9Ibrahim
Madkur memuji al-Ghazali sebagai pahlawan yang berjasa besar bagi pembentukan
dan pengembangan tasawuf sunni. Lihat Ibrahim Madkur, Fî al-Falsafah
al-Islâmiyyah: Manhajuhu wa Tathbîquhu, juz 1, (Kairo: Dâr al-Ma’arif,
1976), h. 66). Fazlur Rahman menggambarkan bahwa al-Ghazali tidak hanya
membangun Islam ortodoks yang membuat tasawuf sebagai bagian integralnya,
tetapi juga adalah seorang pembaru besar tasawuf, yang memurnikan tasawuf dari
unsur-unsur non Islami dan menempatkannya untuk melayani agama (Islam)
ortodoks. Dengan demikian, ia melambangkan suatu langkah final dalam sejarah
perkembangan yang panjang. Melalui pengaruhnya, tasawuf menerima pengakuan
konsensus umat Islam (Lihat Fazlur Rahman, Islam, h. 140). Harun
Nasution mengakui bahwa al-Ghazalilah yang membuat tasawuf menjadi halal bagi
kaum syari’ah, setelah kaum ulama memandangnya sebagai hal yang
menyeleweng dari Islam karena membawa konsep ittihâdal-Bisthami dan hulûl
al-Hallaj (Lihat Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta;
Bulan Bintang, 1978), h. 78).
10Abdul
Qadir bin Syaikh bin Abdullah al-Idrus, “Kitâb Ta`rîf al-Ahyâ Bifadhâil
al-Ihyâ’” dalam Ihyâ `Ulûm al-Dîn, (Beirut: Dâr al-Fikr,
t.t.), h. 11. Bdk. Abdurahman Badawi, Muallafât…, h. 199. Menurut Syed
Nawab Ali, karya tersebut tidak dapat diselamatkan dari tragedi pembakaran
perpustakaan Baghdad oleh tentara Mongol-Tartar pada abad ke-6 H./13 M. (Lihat
Syed Nawab Ali, Some Morals and Religious Teachings of al- Ghazali, (Lahore:
SH. M. Ashraf, 1946), h. 26)
11Dalam
Qânûn al-Ta’wîl, al-Ghazali lebih banyak berbicara tentang kedudukan
akal dan naql sebagai sumber pengetahuan. Nampaknya ia lebih cenderung
menggunakan keduanya sebagai sumber pengetahuan secara fungsional daripada
struktural. Lihat al-Ghazali, Qânûl al-Ta’wîl dalam Majmû‘ât Rasâil, (Beirut:
Dâr al-Fikr, 1996), h. 583
12al-Dzahabi,
al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz 2, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah,
1976), h. 476
13Ignaz
Goldziher, Madzâhib…, h. 218-222
14Menurut
sumber yang otentik, sebutan al-Ghazali dinisbatkan kepada kota kelahirannya
tersebut . Lihat Paul Edward (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, vol.
3, (New York: Macmillan Publishing Co., 1967), h. 326
15Abdul
Halim Mahmud, Qadiyyat al-Tashawwuf, (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, t.t.), h.
269.
16Mungkin
madrasah yang dimaksud adalah madrasah Nizhamiyyah, karena madrasah tersebut
banyak tersebar di berbagai kota (Lihat Kamaluddin Hilmi, al-Salâjiqah fî
al-Târîkh wa al-Hadhârah, (Kuwait: Dâr al-Buhûts al-Ilmiyyah, t.t.), h.
375)
17al-Subki,
Thabaqât al-Syâfi‘iyyah al-Kubrâ, juz 6, (Mesir: Isâ al-Bâb al-Halabi,
t.t.), h. 191
18al-Ghazali,
Ihyâ’…, juz 1, h. 7. Bdk. Harun Nasution, Falsafah…, h. 42
19Mustahafa
Jawwad, “`Ashr al-Ghazâli” dalam Mahrajân al-Ghazali bi Dimasq, Abû Hâmid
al-Ghazâli fî Dzikrâ al-Mi’awiyyah al-Tâsi`ah li Mîlâdihi, (Kairo:
al-Majlis al-A`lâ li Ri`âyah al-Funûn wa al-Adâb wa l-`Ulûm al-Ijtimâ`iyyah,
1962), h. 495
20Sulaiman
Dunya, al-Haqîqah fi Nadzr al-Ghazâli, (Mesir: Dâr al-Ma‘ârif, 1971), h.
15
21Ibid,
h. 15-17
22Khalid
Muadz, “Dimasyq Ayyâm al-Ghazâli” dalam Abû Hâmid…, h. 473-474, 488
23Zaki
Mubarak, al-Akhlâq ‘Ind al-Ghazâli, (Kairo: Dâr al-Kâtib al-‘Arabi,
1924), h. 19
24Abd
al-Karim Utsman, Sîrah al-Ghazâli, (Damaskus: Dâr al-Fikr, t.t), h. 29
25Ibrahim
Madkur, “al-Ghazâli al-Faylasûf” dalam Abû Hâmid…, h. 213
26Sulaiman
Dunya, al-Haqîqah…, h. 25
27Ibid,
h. 333-334
28Ibid,
h. 371-376
29Ibid,
h. 371
30Ibid,
h. 377-378
31al-Ghazali,
al-Maqshad al-Asnâ fî Syarh Asmâ’ al-Husnâ, (Mesir: Maktabah al-Jundi,
1970), h. 147-148
32al-Ghazali,
al-Maqshad…, h. 386-392
33Inti
pembahasannya dalam rangka menjaga dan mengaktualkan Islam dalam situasi dan
kondisi apa pun sepanjang zaman. Karena itu, al-Ghazali membagi pembahasannya
ke dalam empat bab; (1) keutamaan al-Quran dan ahlinya, (2) Etika lahir dalam
pembacaan al-Quran, (3) Etika batin dalam pembacaan al-Quran, dan (4) Pemahaman
dan penafsiran al-Quran.
34Latar
belakang penulisannya dalam dilihat dari dua segi; eksternal dan internal. Segi
eksternal berkaitan dengan situasi dan zaman yang melingkupinya; kejayaan
negara-negara Muslim yang saling memperebutkan dukungan teologis dari publik.
Persaingan itu didasari oleh pemahaman yang berbeda terhadap dogma agama dan
pemikirannya. Karena itu setiap ulama berusaha menafsirkan al-Quran sesuai
dengan kecenderungannya untuk memperkokoh prinsip-prinsip ideologi yang
dianutnya. Segi internal erat kaitannya dengan kondisi al-Ghazali ketika
menulis karya tersebut, sebagaimana diungkapkan dalam pengantar karyanya,
“Sungguh aku ingin membangunkan Anda dari tidur, wahai orang yang banyak
membaca al-Quran, yang menyibukkan diri untuk mengkajinya sebagai sikap hidup,
yang mereguk makna-maknanya yang zahir dan ringkas… Nah, saya ingin memberi
petunjuk kepada Anda untuk mempelajari metode mereka yang telah berhasil
menjelajahi, menyelami dan mengarungi samudera al-Quran, demi menjalin
persaudaraan sambil mengharap berkah do’a Anda.” (Lihat al-Ghazali,
Jawâhir
al-Qur’ân wa Duraruhu, (Beirut:
Dâr al-Fikr, 1997), h. 11)
35Nashr
Hamid Abu Zeid, Mafhûm al-Nash: Dirâsah fî‘Ulûm al-Qur’ân, (Mesir:
al-Ha’iah al-‘Ammah al-Mishriyyah li al-Kitâb, 1993), h. 278
36al-Ghazali,
Jawâhir…, h. 11
37al-Ghazali,
al-Mustasfâ min ‘Ilm al-Ushûl, jilid 1, (Mesir: Dâr al-Fikr, 1322 H), h.
101
38al-Ghazali,
Ihyâ’, juz 1, h. 60, Bdk. al-Ghazali, Jawâhir…, h. 16
39Ibid,
h. 18
40Ibid,
h. 19
41al-Dzahabi,
al-Tafsîr…, juz 2, h. 474
42Tiga
yang pertama merupakan asas pokok al-Quran yang disebut al-Ghazali sebagai Jawâhir
al-Qur’ân (Permata al-Quran), berupa ilmu-ilmu al-Quran. Dan tiga
berikutnya merupakan pengembangan dan pelengkap yang diistilahkan dengan Durar
al-Qur’ân (Mutiara al-Quran), berupa media amaliahnya. (Lihat al-Ghazali, Jawâhir,
h. 11-12)
43Ibid,
h. 17
44Dalam
perspektif semiotik, bahasa adalah penanda (signified) yang terkait
dengan yang ditandai (signifier). Bagi Ferdinand de Saussure, seorang
ahli linguistik, bahasa sebagai sistem tanda (sign) itu hanya dapat
dikatakan sebagai bahasa atau berfungsi sebagai bahasa, bila mengekspresikan
atau menyampaikan ide-ide atau pengertian-pengertian tertentu. (Lihat Heddy
Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi Strauss, Mitos dan Karya Sastra, (Yoyakarta:
Galangpress, 2001), h. 36)
45Ibid,
h. 29
46Ibid,
h. 35
47Selain
terminologi al-Quran dan Hadis secara langsung, al-Ghazali juga menggunakan
terminologi al-sam‘ ketika menyebut Kitab Suci dan Hadis ini. Dalam
terminologi al-Ghazali, kata ini berarti wahyu yang diterima Nabi saw dari
Allah, baik berupa al-Quran maupun Hadis. Dalam berbagai karyanya, al-Ghazali
juga menggunakan terminologi al-Syar‘, al-Naql, dan al-Ahbâr untuk
al-Quran dan Hadis.
48Kredibilitas
al-Quran dan hadis sebagai sumber penafsiran berpangkal dari kredibilitas
Muhammad sebagai Nabi dan Rasul yang diterima secara dharûri (aksiomatis).
Tetapi, karena Nabi Muhammad adalah seorang tokoh historis yang sudah berlalu
beberapa abad sebelumnya masanya, maka al-Ghazali menggunakan kriteria “berita
mutawatir”. Karena itu, al-Quran dan hadis yang diriwayatkan secara mutawatir
tidak diragukan sama sekali kredibilitasnya. Adapun hadishadis yang tidak
sampai ke derajat mutâwatir diragukan kredibilitasnya.
49Dalam
Ihyâ’, al-Ghazali seringkali mengutip perkataan sahabatsahabat
terkemuka, seperti Ibn Abbas, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah dan para
tabi’in. Tetapi dia seringkali tidak menyebutkan namanya.
50Al-Ghazali,
al-Risâlah al-Laduniyyah…, h. 64
51al-Ghazali,
Ihyâ’…, juz 3, h. 130-135
52Ibid,
juz 3, h. 134
53Dalam
riwayat al-Turmudzi, redaksinya berbunyi, man qâla fi al-Qur’ân
bighairi‘ilminfalyatabawwa’maq‘adahûminal-nâr. Lihatal-Turmudzi, Shahîh
al-Turmudzi, kitab “Tafsîr al-Qur’ân, hadis no. 2874 dalam CD Room, Mausû‘ât
al-Hadîts:Kutub al-Tis‘ah, (Jeddah: Sakhr, 1995)
54Ibid,
juz 1, h. 292
55Redaksi
doa tersebut adalah Allâhumma faqqihhu fi al-dîn wa ‘allimhu al-ta’wîl. Lihat
Musnad Ahmad bin Hanbal, hadis no. 2274 dalam CD Room, Mausû‘ât
al-Hadîts:Kutub al-Tis‘ah, (Jeddah: Sakhr, 1995)
56al-Ghazali,
, Ihyâ’…, juz 1, h. 342-343
57Ibn
Taimiyyah, Naqd al-Mantiq, (Kairo: Mathba‘ah al-Sunnah al-Muhammadiyah,
1951), h. 54
58Ibn
Jawzi, Talbîs Iblîs, (Kairo: Maktabah al-Mutanabbi, t.t.), h. 166,
323,
dan 333
59Ibid,
h. 342-343
60Ibid,
h. 343
61al-Ghazali,
, Ihyâ’…, juz 1, h. 343. Bdk, Jawâhir…, h. 13
62
al-Ghazali, , Ihyâ’…, juz 1, h. 346
63Hadis
ini dikeluarkan oleh Ibn Hibban dalam Shahîh-nya dari Ibn Mas’ud dan
juga diriwayatkan oleh perawi lain dengan redaksi yang berbeda dan sanad yang
berlainan. Menurut al-Tustari, makna zhâhir dari segi bacaannya, makna bâthîn
dari segi pemahamannya, makna hadd dari segi hukumnya (halal haram),
dan makna mathla‘ dari segi perolehan hati yang menangkap maksudnya,
yakni pemahaman yang diperoleh dari Allah. Karena itu, makna zhâhir adalah
pengetahuan bagi umum, dan makna bâthîn ditujukan kepada kalangan
khusus. Lihat al-Tustari…, h.3.
64al-Ghazali,
, Ihyâ’…, juz 1, h. 120
65al-Ghazali,
al-Munqidz…, h. 65
66al-Ghazali,
Jawâhir…, h. 13
67Ibid,
h. 13
68al-Nawawi,
al-Tibyân fî Adâb Hamalat al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Nafâis, 1987), h.
57-58, 62, 68, 72, 75, 109
69al-Qurthubi,
Fadhâil al-Qur’ân wa Adâb Tilâwatihi, (Kairo: al-Maktabah
al-Tsaqafiyyah, 1989), h. 44-46. Sikap al-Qurthubi yang tidak mau menyebut nama
al-Ghazali –dia hanya menyebut 1 kali nama al-Ghazali dengan jelas- karena
al-Qurthubi memiliki sikap negatif dan keras terhadap al-Ghazali, sampai-sampai
dia menyebut beberapa penafsirannya sebagai ilhâd dan membahayakan
akidah kaum Muslimin. Lihat al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, juz
4, (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, 1976), h. 196-197
70Abd
al-Majid Abd al-Salam al-Muhtasibi, al-Ittijâhât fî al-Tafsîr al-Hadîts, (Beirut:
Dâr al-Fikr, 1973), h. 251
71al-Dzahabi,
al-Tafsîr…, juz 1, h. 296
72Ibid,
juz 2, h. 477-478
73Dua
masalah itu adalah “berusaha untuk sedih dan menangis” dan “penggabungan antara
jahr dan isrâr”. Lihat al-Suyuthi, al-Itqân fî `Ulûm
al-Qur’ân, juz 1, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1979) h. 7 dan 108. Dia juga
mengutip dari al-Ghazali yang berkaitan dengan tafsîr bi al-ra’y tanpa
menyebutkan namanya. Ibid, juz 2, h.185.
74Ibid,
juz 2, h. 197
75‘Abd
al-Ghaffâr, al-Imâm Muhammad Abduh wa Manhajuhu fî al-Tafsîr, (Kairo:
Dâr al-Anshâr, t.t.), h. 28
76Ibid,
h. 42-43
77Muhammad
Abduh, Tafsîr Juz ‘Amma, (Mesir: al-Manar, t.t.), h. 104-108
78Rasyîd
Ridha, Tafsîr al-Manâr, juz 1, (Beirut, Dâr al-Ma’rifah, t.t.), h. 448
DAFTAR
PUSTAKA
Abd
al-Ghaffâr, al-Imâm Muhammad Abduh wa Manhajuhu fî al-Tafsîr, Kairo: Dâr
al-Anshâr, t.t.
Abdul
Halim Mahmud, Qadiyyat al-Tashawwuf, Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, t.t.
Abd
al-Karim Utsman, Sîrah al-Ghazâli, Damaskus: Dâr al-Fikr, t.t.
Abd
al-Rahman al-Badawi, Mu’allafât al-Ghazâli, Mesir: al-Majlis al-A‘lâ li
Ri‘âyat al-Funûn wa al-Adâb wa al-‘Ulûm al-Ijtimâ‘iyyah, 1961
CD
Room, Mausû‘ât al-Hadîts:Kutub al-Tis‘ah, Jeddah: Sakhr, 1995
al-Dzahabi,
al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz 2, Beirut: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah,
1976
Fahd
‘Abd al-Rahmân, Ittijâh al-Tafsîr fî al-Qarn al-Râbi’ al-Asyr, Mamlakah
al-‘Arabiyyah al-Su‘ûdiyyah, 1986
Fazlur
Rahman, Islam, Chicago: The University of Chicago Press, 1979
al-Ghazali,
al-Iqtishâd fî al-I‘tiqâd, Mesir: Maktabah Muhammad Shâbih, 1962
———,
al-Maqshad al-Asnâ fî Syarh Asmâ’ al-Husnâ, Mesir: Maktabah
al-Jundi,
1970
———,
Majmû‘at Rasâil, Beirut: Dâr al-Fikr, 1996
———,
al-Munqidz min al-Dhalâl, Beirut: Dâr al-Fikr, 1996
———,
Jawâhir al-Qur’ân wa Duraruhu, Beirut: Dâr al-Fikr, 1997
———,
Iljâm al-‘Awwâm ‘an ‘Ilm al-Kalâm, Beirut: Dâr al-Fikr, 1996
———,
al-Mustashfâ min ‘Ilm al-Ushûl, jilid 1, Mesir: Dâr al-Fikr, 1322 H
———,
Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.
Goldziher,
Ignaz, Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmiy, Lebanon: Dâr Iqra’, 1985
Harun
Nasution, Teologi Islam, Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas
Indonesia, 1972
———,
Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978 H.L.
Beck dan N.J.S. Kaptein (ed.), Pandangan Barat terhadap Literatur:Hukum
Filosofi, Teologi dan Mistik Tradisi Islam, Jakarta: INIS, 1989
Ibn
Khaldun, Muqaddimah, Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.
Ibn
Taimiyyah, Naqd al-Mantiq, Kairo: Mathba‘ah al-Sunnah al-Muhammadiyah,
1951
Ibrahim
Madkur, Fî al-Falsafah al-Islâmiyyah: Manhajuhu wa Tathbîquhu, Kairo:
Dâr al-Ma’arif, 1976
Joachim
Wach, The Comparative Study of Religions, New York: Columbia University
Preess, 1958
Kamaluddin
Hilmi, al-Salâjiqah fî al-Târîkh wa al-Hadhârah, Kuwait: Dâr al-Buhûts
al-Ilmiyyah, t.t.
Mahrajân
al-Ghazali bi Dimasq, Abû Hâmid al-Ghazâli fî Dzikrâ al-Mi’awiyyah
al-Tâsi‘ah li Mîlâdihi, Kairo: al-Majlis al-A‘lâ li Ri‘âyah al-Funûn wa
al-Adâb wa l-‘Ulûm al-Ijtimâ‘iyyah, 1962
Muhammad
Nur Ikhwan, Hermeneutika Al-Quran: Analisis Peta Perkembangan Tafsir
Al-Quran Kontemporer, Yogyakarta, IAIN Sunan Kalijaga, 1995
Nashr
Hamid Abu Zeid, Mafhûm al-Nash: Dirâsah fî‘Ulûm al-Qur’ân, Mesir:
al-Ha’iah al-‘Ammah al-Mishriyyah li al-Kitâb, 1993
al-Nawawi,
al-Tibyân fî Adâb Hamalat al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Nafâis, 1987
Nurcholis
Madjid, Islam, Kemoderenan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1991
al-Qurthubi,
Fadhâil al-Qur’ân wa Adâb Tilâwatihi, Kairo: al-Maktabah al-Tsaqafiyyah,
1989
Rasyîd
Ridha, Tafsîr al-Manâr, Beirut, Dâr al-Ma’rifah, t.t.
al-Subki,
Thabaqât al-Syâfi‘iyyah al-Kubrâ, juz 6, Mesir: Isâ al-Bâb al-Halabi,
t.t.
Sulaiman
Dunya, al-Haqîqah fi Nadzr al-Ghazâli, Mesir: Dâr al-Ma‘ârif, 1971
al-Suyuthi,
al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Fikr, 1979
Syed
Ameer Ali, The Spirit of Islam, Delhi: Idarah-i Adabiyyat-i Delli, 1978
Syed
Nawab Ali, Some Morals and Religious Teachings of al-Ghazali, Lahore:
SH. M. Ashraf, 1946
Zaki
Mubarak, al-Akhlâq ‘Ind al-Ghazâli, Kairo: Dâr al-Kâtib al-‘Arabi, 1924
Hermeneutika
al-Qur’an al-Ghazali…Dede Rodin
Teologia,
Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
http://saidiman.wordpress.com/2009/09/02/hermeneutika-ghazalian-mengaji-kitab-qanun-al-ta%E2%80%99wil/
(http://tafsirhadis.blog.iainlampung.ac.id/?p=146)
0 komentar:
Posting Komentar