Senin, 19 Agustus 2013

Diskursus Seputar Tafsir Pluralis



A.    Pendahuluan
Di antara isu yang mendapat perhatian cukup besar dan dominan sepanjang zaman adalah isu keberagaman atau pluralitas agama. Isu ini merupakan fenomena yang hadir di tengah keanekaragaman klai kebenaran absolut (absolute truth-claims) antar agama yang saling berseberangan. Klaim ini kemudian melahirkan keyakinan yang biasa disebut “doctrin of salvation”, bahwa keselamatan/surga hanya hak bagi para pengikut agama tertentu saja, sedang pemeluk agama lain akan celaka. Realitas tersebut telah mengantarkan Pluralisme kepada diskursus yang semakin luas dan amat komplek.
Terlepas dari semua itu, fenomena pluralitas agama telah menjadi fakta sosial nyata yang harus dihadapi masyarakat modern. Untuk pertama kali dalam sejarahnya, manusia menyaksikan dirinya secara global hidup berdampingan (koeksistensi) dengan berbagai penganut agama yang berbeda dalam satu negara. Kenyataan demikian bagi masyarakat yang belum terbiasa dan belum memiliki pengalaman dalam berkoeksistensi damai, tentu akan menimbulkan problematika tersendiri, sehingga memaksa para ahli dari berbagai disiplin ilmu untuk memformulasikan suatu solusi maupun pendekatan dalam merespon permasalahan tersebut.
Dari sinilah muncul sejumlah tafsir pluralisme agama, sebagaimana dapat disimak dalam kajian ini, ujung-ujungnya berakhir pada muara yang sama. Yaitu memberikan legitimasi yang setara kepada semua agama (semua aliran dan ideologi) yang ada, agar dapat hidup berdampingan bersama secara damai, aman, penuh tenggang rasa, toleransi, dan saling menghargai. Serta dengan tanpa adanya perasaan superioritas dari salah satu agama di atas yang lain. Setidaknya inilah nilai-nilai yang ingin diwujudkan oleh tren-tren tersebut, dan inilah yang kini dikenal luas dengan istilah “Tafsir Pluralis”.





B.     Pengertian
Secara etimologi, kata “pluralis” berasal dari bahasa Latin “plures” yang berarti “beberapa” dengan implikasi perbedaan.[1] Sedangkan secara terminologi,  secara sederhana, dapat didefinisikan sebagai paham yang memandang bahwa tidak ada satu fakta kemanusiaan kecuali beragam, yakni keberagaman, heterogenitas dan kemajemukan itu sendiri. Oleh karena itu, ketika istilah itu disebut, maka secara otomatis di dalamnya mengimplikasikan adanya penerimaan dan pengakuan wacana kelompok, individu, sekte, komunitas dan segala bentuk perbedaan sebagai fakta yang harus diterima dan dipelihara.[2]
Alwi Shihab memberikan beberapa pengertian dan catatan mengenai pluralism, yaitu: Pertama, pluralisme tidak semata-mata merujuk pada kenyataan adanya kemajemukan, tetapi juga keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari seseorang baik di tempat kerja, di kampus, maupun di tempat berbelanja. Akan tetapi dengan melihat pengertian yang pertama ini, orang tersebut baru dapat dikatakan menyandang sifat “pluralis” apabila dapat berinteraksi secara positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, dengan pluralisme tiap pemeluk agama tidak hanya dituntut untuk mengakui keberadaan hak agama lain, tetapi ikut terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan. Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realitas, yang di dalamnya berbagai ragam agama, ras, dan bangsa, hidup secara berdampingan di sebuah lokasi. Namun demikian tidak terjadi interaksi positif antar penduduk lokasi tersebut, khususnya di bidang agama. Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Seorang relativis akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut “kebenaran” atau “nilai” ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakatnya. Implikasi dari paham relativisme agama adalah bahwa doktrin agama apapun harus dinyatakan benar dan semua agama adalah sama. Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yaitu menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur-unsur tertentu dari berbagai ajaran agama.[3]
Dapat ditarik kesimpulan bahwa tafsir pluralis adalah suatu tafsir yang memandang adanya norma kemajemukan, heterogenitas dan keragaman dalam kehidupan, baik di bidang agama, etika, pemikiran, sosial, politik, budaya, dll, dengan tetap menjunjung tinggi asas-asas perbedaan karakteristik dan pandangan di antara satu sama lain.
C.     Latar Belakang
Pemikiran pluralisme agama muncul pada masa yang disebut Pencerahan (Enlightenment) Eropa, tepatnya pada abad ke-18 Masehi, masa yang sering disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan modern. Yaitu masa yang diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan agama. Di tengah hiruk-piruk pemikiran di Eropa, muncullah suatu paham yang timbul sebagai konsekuensi logis yang dikenal dengan “Liberalisme”, yang komposisi utamanya adalah kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme.[4]
Sebenarnya kalau ditelusuri lebih jauh dalam peta sejarah peradaban agama-agama dunia, kecenderungan sikap beragama yang pluralistik, dengan pemahaman yang dikenal sekarang, sejatinya sama sekali bukan barang baru. Ketika arus globalisasi telah semakin menipiskan pagar-pagar kultural Barat-Timur dan mulai maraknya interaksi kultural antar kebudayaan dan agama dunia, kemudian di lain pihak timbulnya kegairahan baru dalam meneliti dan mengkaji agama-agama Timur, khususnya Islam, yang disertai dengan berkembangnya pendekatan-pendekatan baru kajian agama (scientific study of religion), mulailah gagasan pluralisme agama berkembang secara pelan tapi pasti, dan mendapat tempat di hati para intelektual hampir secara universal.
Meskipun hembusan angin pluralisme telah mulai mewarnai pemikiran Eropa pada saat itu, namun masih belum secara kuat mengakar dalam kultur masyarakatnya. Ketika memasuki abad ke-20, gagasan pluralisme agama telah semakin kokoh dalam wacana pemikiran fisafat dan teologi Barat. Fenomena sosial-politik akhir abad 20 ini juga mengetengahkan realitas baru kehidupan antar agama yang lebih nampak sebagai penjabaran, dampak dari teori pluralisme. Dalam rangka teoritis, pluralisme agama, pada masa ini telah dimatangkan oleh pemikir-pemikir teolog modern dengan konsep yang lebih bisa diterima di kalangan antar agama.[5]
Sementara itu, dalam diskursus pemikiran Islam, pluralisme agama masih merupakan hal yang baru dan tidak mempunyai akar ideologis atau bahkan ideologis yang kuat. Gagasan pluralisme agama yang muncul lebih merupakan perspektif baru yang ditimbulkan oleh proses penetrasi kultural Barat modern dalam dunia Islam. Pendapat ini diperkuat oleh realitas bahwa gagasan pluralisme dalam pemikiran Islam baru muncul pada masa-masa pasca-Perang Dunia II, yaitu ketika mulai terbuka kesempatan besar bagi generasi muda Muslim untuk mengeyam pendidikan di universitas-universitas Barat, sehingga mereka dapat berkenalan dan bergesekan langsung dengan budaya Barat.[6]
Latar belakang sebab lahirnya teori pluralisme agama banyak dan beragama, sekaligus kompleks. Namun, secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua faktor, yaitu internal (ideologis) dan eksternal, yang mana saling berhubungan erat. Faktor internal timbul akibat tuntutan akan kebenaran yang mutlak (absolute truth-claims) dari agama-agama itu sendiri, baik dalam masalah aqīdah, sejarah maupun dalam masalah keyakinan atau doktrin “keterpilihan” (aqīdat al-ikhtiyār / the doctrine of chosenness). Adapun faktor yang timbul dari luar, dapat berupa sosio-politis dan ilmiah.[7]
D.    Sumber dan Metodologi
Secara khusus, penulis tidak menemukan sumber yang digunakan kaum pluralis dalam menafsirkan Alqur’an. Akan tetapi menurut hemat penulis, yang menjadi rujukan utama mereka adalah akal (rasio).
Metode yang dipakai oleh kaum pluralis salah satunya, adalah ‘Tafsir Maudhu’i’. Tafsir model ini mendekati Al-Qur’an secara tuntas dengan mengambil salah satu kata kunci konseptual atau gagasan-gagasan dasar Al-Qur’an yang merespon sejumlah tema yang menjadi perhatian umat manusia. Namun dalam prakteknya mereka tak mengikuti tahapan-tahapan dan langkah yang harus ditempuh mufassir maudhu’i seperti penjelasan dari sunnah Rasulullah saw dan menghindari dan berusaha adil dalam mengkompromikan ayat-ayat Al-Qur’an yang terkesan kontradiksi (muhim al-ikhtilaf wa al-tanaqudh) .

E.     Karakteristik
Menurut hemat penulis, metode yang digunakan dalam penafsiran ini adalah maudhū’i (tematik). Dalam studi al-Qur’an, metode ini dirasa memiliki posisi yang sangat penting dalam perkembangan penafsiran di era sekarang. model semacam ini sering dinilai lebih sesuai dengan konteks kekinian, bukan saja karena lebih praktis melainkan juga dianggap sebagai upaya memahami pokok kandungan al-Qur’an secara komprehensif.
Secara global, langkah-langkah yang ditempuh dalam memaparkan model penafsiran seperti ini adalah sebagai berikut:
a)      Menentukan tema terkait dengan isu kontemporer, khususnya pluralisme.
b)      Mengumpulkan ayat-ayat yang berbicara dengan masalah terkait.
c)      Menjelaskan dan me-reinterpretasi makna kosa kata (mufradāt) yang masih menjadi perdebatan pendapat.
d)     Mengaitkan dengan konflik yang pernah terjadi (realitas sosial).
e)      Konteksualisasi pemaknaan ayat, terlebih untuk masyarakat yang penuh multi-cultural dan multi-religion.
*      Karakteristik:
-          Respontif terhadap problematika umat sekarang.
-          Berusaha agar teks al-Qur’an relevan realitas dan konteks yang tengah berlaku.
-          Bersifat kritik-analitik.

F.      Penafsir dan contoh penafsirannya.
Ulil Abshar Abdalla mengatakan bahwa Alquran mengandung banyak ambiguitas pemaknaan sehingga saking teramat kayanya satu ayat dapat membuat berbagai pemaknaan yang banyak. Sehingga tidak heran jika dijumpai banyak sekte yang berbeda aliran bahkan yang saling bertentangan banyak menjustifikasi pemahaman mereka dari Alqur’an. Hal ini semakin memperkuat asumsi bahwa sebenarnya sebuah teks itu diam, namun orang-oranglah yang menghidupkannya.

a.       Q.S Ali Imran : 19

19. Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.
Ulil Abshar Abdalla menafsirkan bahwa “Islam” diartikan dengan ketundukan. Islam bukanlah salah satu nama dari agama atau keyakinan. Konsekuensi logis dari penafsiran Ulil Abshar Abdalla atas Islam sebagai “ketundukan” ini berarti mengandaikan adanya penerimaan logis atas kebenaran agama-agama. Ulil Abshar Abdalla tanpa ragu dan kikuk menyatakan bahwa semua agama benar.[8]
Sebagaimana dalam tafsir al-Zamakhsyari bahwa “al-Islam” adalah ‘al-’Adlu wa al-Tauhid’ (Keadilan dan Tauhid)[9]. Juga al-Qurthubi al-Islam bi Ma’na al-Iman wa al-Tha’at’ (Keimanan dan Ketaatan)[10]. Berbekal kutipan di atas, “al-Islam tidak diartikan sebagai agama yang dibawa Nabi Muhammad saw”.
b.      QS al-Baqarah : 256  
256. tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Menurut Nurcholis Madjid, pada dasarnya ajaran seperti ini (yang tidak dipaksakan) merupakan pemenuhan alam manusia yang secara pasti telah diberi kebebasan oleh Allah; sehingga pertumbuhan perwujudannya selalu bersifat dari dalam, tidak tumbuh –apalagi dipaksakan- dari luar. Sikap keagamaan hasil paksaan dari luar tidak otentik karena kahilangan dimensinya yang paling mendasar dan mendalam, yaitu kemurnian atau keikhlasan.[11]
Dalam hal ini Alqur’an menganjurkan agar dalam interaksi sosial, bila tidak ditemukan persamaan hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain, dan tidak perlu saling menyalahkan apalagi memaksakan satu sama lain. Jalinan persaudaraan antara seorang muslim dengan non-muslim sama sekali tidak dilarang oleh Islam, selama pihak lain menghormati hak-hak muslim, begitu juga sebaliknya.[12]



Daftar Pustaka
A.Ghani, Islam dan Pluralisme di Indonesia,dalam pdf jurnal Pengembangan Masyarakat Islam vol 1 no.2, juni 2005.
Khalik Ridwan, Nur, Pluralisme Borjuis: Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur Yogyakarta: Galang press, 2002.
Shihab, Alwi, Islam Inklusif, (Jakarta : Mizan, 1999).
Malik Thoha, Anis, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis Jakarta: Perspektif Gema Insani, 2005.
Saifuddin Zuhri, Dekonstruksi Konsep Islamdan Implikasinya Terhadap Pluralisme Beragama (Studi Penafsiran ULil Abshar Abdalla atas QS. Ali Imran : 19). Skripsi diajukan kepada Jurusan TH, Fakultas Ushuluddin, 2003.
Al-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf , dalam CD. ROM al-Maktabah al-Syamilah.
Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi (Al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an), dalam CD. ROM al-Maktabah al-Syamilah.
Madjid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban, Cet. IV Jakarta: Paramadina, 2008.
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an tentang Kebebasan Beragama,(Bandung: MIZAN, 2002).



[1] A.Ghani, Islam dan Pluralisme di Indonesia,dalam pdf jurnal Pengembangan Masyarakat Islam vol 1 no.2, juni 2005.
[2] Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis: Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur (Yogyakarta: Galang press, 2002), hlm. 77.
[3] Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Jakarta : Mizan, 1999), hlm. 41-42
[4]Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis…, hlm. 16.
[5]Salah seorang tokoh Barat yang merumuskan konsep Religious Pluralism adalah John Hick. Ia lahir di Yorkshire, pernah melakukan muhibah ke negara-negara Islam, seperti Mesir, dll. Nampaknya John Hick merupakan satu-satunya teolog modern yang memberikan perhatian terhadap masalah pluralisme agama sedemikian dalam. Ia telah menuangkan pemikirannya tentang masalah ini ke dalam karya-karyanya yang mencapai lebih 30 buku/makalah yang kesemuanya membahas masalah ini secara teliti. Seperti An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent yang diangkat dari serial kuliahnya, yaitu Gifford Lecture pada tahun 1986-1987. Juga buku The Fifth Dimension (Oxford: One-world, 1999). Pluralisme, menurut John Hick, adalah pandangan bahwa agama-agama besar memilki persepsi dan konsep tentang, dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap Sang Wujud atau Sang Paripurna dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan-diri menuju pemusatan-Hakikat terjadi secara nyata hingga pada batas yang sama.
[6]Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis…, hlm. 23.
[7]Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis…, hlm. 24.
[8] Saifuddin Zuhri, Dekonstruksi Konsep Islamdan Implikasinya Terhadap Pluralisme Beragama (Studi Penafsiran ULil Abshar Abdalla atas QS. Ali Imran : 19). Skripsi diajukan kepada Jurusan TH, Fakultas Ushuluddin, 2003. hlm.30
[9] Al-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf , dalam CD. ROM al-Maktabah al-Syamilah, , juz 1 hlm 260
[10] Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi (Al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an), dalam CD. ROM al-Maktabah al-Syamilah, juz 4 hlm.47
[11]Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Cet. IV (Jakarta: Paramadina, 2008), hlm. 427.
[12] Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an tentang Kebebasan Beragama,(Bandung: MIZAN, 2002) hlm. 194.

0 komentar:

Posting Komentar

Social Icons