A.
Pendahuluan
Di
antara isu yang mendapat perhatian cukup besar dan dominan sepanjang zaman
adalah isu keberagaman atau pluralitas agama. Isu ini merupakan fenomena yang hadir
di tengah keanekaragaman klai kebenaran absolut (absolute truth-claims)
antar agama yang saling berseberangan. Klaim ini kemudian melahirkan keyakinan
yang biasa disebut “doctrin of salvation”, bahwa keselamatan/surga hanya
hak bagi para pengikut agama tertentu saja, sedang pemeluk agama lain akan
celaka. Realitas tersebut telah mengantarkan Pluralisme kepada diskursus yang
semakin luas dan amat komplek.
Terlepas
dari semua itu, fenomena pluralitas agama telah menjadi fakta sosial nyata yang
harus dihadapi masyarakat modern. Untuk pertama kali dalam sejarahnya, manusia
menyaksikan dirinya secara global hidup berdampingan (koeksistensi) dengan
berbagai penganut agama yang berbeda dalam satu negara. Kenyataan demikian bagi
masyarakat yang belum terbiasa dan belum memiliki pengalaman dalam
berkoeksistensi damai, tentu akan menimbulkan problematika tersendiri, sehingga
memaksa para ahli dari berbagai disiplin ilmu untuk memformulasikan suatu solusi
maupun pendekatan dalam merespon permasalahan tersebut.
Dari
sinilah muncul sejumlah tafsir pluralisme agama, sebagaimana dapat disimak
dalam kajian ini, ujung-ujungnya berakhir pada muara yang sama. Yaitu
memberikan legitimasi yang setara kepada semua agama (semua aliran dan
ideologi) yang ada, agar dapat hidup berdampingan bersama secara damai, aman,
penuh tenggang rasa, toleransi, dan saling menghargai. Serta dengan tanpa
adanya perasaan superioritas dari salah satu agama di atas yang lain.
Setidaknya inilah nilai-nilai yang ingin diwujudkan oleh tren-tren tersebut,
dan inilah yang kini dikenal luas dengan istilah “Tafsir Pluralis”.
B.
Pengertian
Secara etimologi, kata “pluralis” berasal dari bahasa Latin
“plures” yang berarti “beberapa” dengan implikasi perbedaan.[1]
Sedangkan secara terminologi, secara sederhana, dapat didefinisikan sebagai
paham yang memandang bahwa tidak ada satu fakta kemanusiaan kecuali beragam,
yakni keberagaman, heterogenitas dan kemajemukan itu sendiri. Oleh karena itu,
ketika istilah itu disebut, maka secara otomatis di dalamnya mengimplikasikan
adanya penerimaan dan pengakuan wacana kelompok, individu, sekte, komunitas dan
segala bentuk perbedaan sebagai fakta yang harus diterima dan dipelihara.[2]
Alwi Shihab memberikan beberapa pengertian dan catatan mengenai
pluralism, yaitu: Pertama, pluralisme tidak semata-mata merujuk pada
kenyataan adanya kemajemukan, tetapi juga keterlibatan aktif terhadap kenyataan
kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari seseorang baik di tempat kerja, di kampus, maupun di tempat
berbelanja. Akan tetapi dengan melihat pengertian yang pertama ini, orang
tersebut baru dapat dikatakan menyandang sifat “pluralis” apabila dapat
berinteraksi secara positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata
lain, dengan pluralisme tiap pemeluk agama tidak hanya dituntut untuk mengakui
keberadaan hak agama lain, tetapi ikut terlibat dalam usaha memahami perbedaan
dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan. Kedua,
pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk
kepada suatu realitas, yang di dalamnya berbagai ragam agama, ras, dan bangsa,
hidup secara berdampingan di sebuah lokasi. Namun demikian tidak terjadi
interaksi positif antar penduduk lokasi tersebut, khususnya di bidang agama. Ketiga,
konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Seorang relativis
akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut “kebenaran” atau “nilai”
ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau
masyarakatnya. Implikasi dari paham relativisme agama adalah bahwa doktrin
agama apapun harus dinyatakan benar dan semua agama adalah sama. Keempat,
pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yaitu menciptakan suatu agama baru
dengan memadukan unsur-unsur tertentu dari berbagai ajaran agama.[3]
Dapat
ditarik kesimpulan bahwa tafsir
pluralis adalah suatu tafsir yang memandang adanya norma kemajemukan,
heterogenitas dan keragaman dalam kehidupan, baik di bidang agama, etika, pemikiran,
sosial, politik, budaya, dll, dengan tetap menjunjung tinggi asas-asas
perbedaan karakteristik dan pandangan di antara satu sama lain.
C.
Latar
Belakang
Pemikiran
pluralisme agama muncul pada masa yang disebut Pencerahan (Enlightenment)
Eropa, tepatnya pada abad ke-18 Masehi, masa yang sering disebut sebagai titik
permulaan bangkitnya gerakan modern. Yaitu masa yang diwarnai dengan
wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada
superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan agama. Di
tengah hiruk-piruk pemikiran di Eropa, muncullah suatu paham yang timbul
sebagai konsekuensi logis yang dikenal dengan “Liberalisme”, yang komposisi
utamanya adalah kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme.[4]
Sebenarnya kalau
ditelusuri lebih jauh dalam peta sejarah peradaban agama-agama dunia,
kecenderungan sikap beragama yang pluralistik, dengan pemahaman yang dikenal
sekarang, sejatinya sama sekali bukan barang baru. Ketika arus globalisasi
telah semakin menipiskan pagar-pagar kultural Barat-Timur dan mulai maraknya
interaksi kultural antar kebudayaan dan agama dunia, kemudian di lain pihak
timbulnya kegairahan baru dalam meneliti dan mengkaji agama-agama Timur,
khususnya Islam, yang disertai dengan berkembangnya pendekatan-pendekatan baru
kajian agama (scientific study of religion), mulailah gagasan pluralisme
agama berkembang secara pelan tapi pasti, dan mendapat tempat di hati para
intelektual hampir secara universal.
Meskipun
hembusan angin pluralisme telah mulai mewarnai pemikiran Eropa pada saat itu,
namun masih belum secara kuat mengakar dalam kultur masyarakatnya. Ketika
memasuki abad ke-20, gagasan pluralisme agama telah semakin kokoh dalam wacana
pemikiran fisafat dan teologi Barat. Fenomena sosial-politik akhir abad 20 ini
juga mengetengahkan realitas baru kehidupan antar agama yang lebih nampak
sebagai penjabaran, dampak dari teori pluralisme. Dalam rangka teoritis,
pluralisme agama, pada masa ini telah dimatangkan oleh pemikir-pemikir teolog
modern dengan konsep yang lebih bisa diterima di kalangan antar agama.[5]
Sementara
itu, dalam diskursus pemikiran Islam, pluralisme agama masih merupakan hal yang
baru dan tidak mempunyai akar ideologis atau bahkan ideologis yang kuat.
Gagasan pluralisme agama yang muncul lebih merupakan perspektif baru yang
ditimbulkan oleh proses penetrasi kultural Barat modern dalam dunia Islam.
Pendapat ini diperkuat oleh realitas bahwa gagasan pluralisme dalam pemikiran
Islam baru muncul pada masa-masa pasca-Perang Dunia II, yaitu ketika mulai
terbuka kesempatan besar bagi generasi muda Muslim untuk mengeyam pendidikan di
universitas-universitas Barat, sehingga mereka dapat berkenalan dan bergesekan
langsung dengan budaya Barat.[6]
Latar
belakang sebab lahirnya teori pluralisme agama banyak dan beragama, sekaligus
kompleks. Namun, secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua faktor, yaitu
internal (ideologis) dan eksternal, yang mana saling berhubungan erat. Faktor
internal timbul akibat tuntutan akan kebenaran yang mutlak (absolute
truth-claims) dari agama-agama itu sendiri, baik dalam masalah aqīdah,
sejarah maupun dalam masalah keyakinan atau doktrin “keterpilihan” (aqīdat
al-ikhtiyār / the doctrine
of chosenness). Adapun faktor yang timbul dari luar,
dapat berupa sosio-politis dan ilmiah.[7]
D.
Sumber
dan Metodologi
Secara khusus, penulis tidak menemukan sumber yang digunakan kaum
pluralis dalam menafsirkan Alqur’an. Akan tetapi menurut hemat penulis, yang
menjadi rujukan utama mereka adalah akal (rasio).
Metode yang dipakai
oleh kaum pluralis salah satunya, adalah ‘Tafsir Maudhu’i’. Tafsir model ini
mendekati Al-Qur’an secara tuntas dengan mengambil salah satu kata kunci
konseptual atau gagasan-gagasan dasar Al-Qur’an yang merespon sejumlah tema
yang menjadi perhatian umat manusia. Namun dalam prakteknya mereka tak
mengikuti tahapan-tahapan dan langkah yang harus ditempuh mufassir maudhu’i
seperti penjelasan dari sunnah Rasulullah saw dan menghindari dan berusaha adil
dalam mengkompromikan ayat-ayat Al-Qur’an yang terkesan kontradiksi (muhim
al-ikhtilaf wa al-tanaqudh) .
E.
Karakteristik
Menurut
hemat penulis, metode yang digunakan dalam penafsiran ini adalah maudhū’i
(tematik).
Dalam studi al-Qur’an, metode ini dirasa memiliki posisi yang sangat penting
dalam perkembangan penafsiran di era sekarang. model semacam ini sering dinilai
lebih sesuai dengan konteks kekinian, bukan saja karena lebih praktis melainkan
juga dianggap sebagai upaya memahami pokok kandungan al-Qur’an secara
komprehensif.
Secara
global, langkah-langkah yang ditempuh dalam memaparkan model penafsiran seperti
ini adalah sebagai berikut:
a) Menentukan
tema terkait dengan isu kontemporer, khususnya pluralisme.
b) Mengumpulkan
ayat-ayat yang berbicara dengan masalah terkait.
c) Menjelaskan
dan me-reinterpretasi makna kosa kata (mufradāt)
yang masih menjadi perdebatan pendapat.
d) Mengaitkan
dengan konflik yang pernah terjadi (realitas sosial).
e) Konteksualisasi
pemaknaan ayat, terlebih untuk masyarakat yang penuh multi-cultural dan
multi-religion.
Karakteristik:
-
Respontif
terhadap problematika umat sekarang.
-
Berusaha agar teks al-Qur’an relevan realitas dan konteks yang tengah
berlaku.
-
Bersifat kritik-analitik.
F.
Penafsir
dan contoh penafsirannya.
Ulil Abshar
Abdalla mengatakan bahwa Alquran mengandung banyak ambiguitas pemaknaan
sehingga saking teramat kayanya satu ayat dapat membuat berbagai pemaknaan yang
banyak. Sehingga tidak heran jika dijumpai banyak sekte yang berbeda aliran
bahkan yang saling bertentangan banyak menjustifikasi pemahaman mereka dari
Alqur’an. Hal ini semakin memperkuat asumsi bahwa sebenarnya sebuah teks itu
diam, namun orang-oranglah yang menghidupkannya.
a.
Q.S
Ali Imran : 19
19. Sesungguhnya agama
(yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang
telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena
kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap
ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.
Ulil Abshar Abdalla menafsirkan bahwa “Islam” diartikan dengan ketundukan.
Islam bukanlah salah satu nama dari agama atau keyakinan. Konsekuensi logis
dari penafsiran Ulil Abshar Abdalla atas Islam sebagai “ketundukan” ini berarti
mengandaikan adanya penerimaan logis atas kebenaran agama-agama. Ulil Abshar Abdalla
tanpa ragu dan kikuk menyatakan bahwa semua agama benar.[8]
Sebagaimana
dalam tafsir al-Zamakhsyari bahwa “al-Islam” adalah ‘al-’Adlu wa al-Tauhid’
(Keadilan dan Tauhid)[9].
Juga al-Qurthubi al-Islam bi Ma’na al-Iman wa al-Tha’at’ (Keimanan dan
Ketaatan)[10].
Berbekal kutipan di atas, “al-Islam tidak diartikan sebagai agama yang dibawa
Nabi Muhammad saw”.
b.
QS
al-Baqarah : 256
256.
tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar
kepada Thaghut] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha
mendengar lagi Maha mengetahui.
Menurut Nurcholis Madjid, pada dasarnya ajaran
seperti ini (yang tidak dipaksakan) merupakan pemenuhan alam manusia yang
secara pasti telah diberi kebebasan oleh Allah; sehingga pertumbuhan
perwujudannya selalu bersifat dari dalam, tidak tumbuh –apalagi dipaksakan-
dari luar. Sikap keagamaan hasil paksaan dari luar tidak otentik karena
kahilangan dimensinya yang paling mendasar dan mendalam, yaitu kemurnian atau
keikhlasan.[11]
Dalam hal ini Alqur’an menganjurkan agar dalam interaksi sosial, bila
tidak ditemukan persamaan hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak
lain, dan tidak perlu saling menyalahkan apalagi memaksakan satu sama lain.
Jalinan persaudaraan antara seorang muslim dengan non-muslim sama sekali tidak
dilarang oleh Islam, selama pihak lain menghormati hak-hak muslim, begitu juga
sebaliknya.[12]
Daftar Pustaka
A.Ghani,
Islam dan Pluralisme di Indonesia,dalam pdf jurnal Pengembangan
Masyarakat Islam vol 1 no.2, juni 2005.
Khalik
Ridwan, Nur, Pluralisme Borjuis: Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur Yogyakarta:
Galang press, 2002.
Shihab,
Alwi, Islam Inklusif, (Jakarta : Mizan, 1999).
Malik
Thoha, Anis, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis Jakarta: Perspektif
Gema Insani, 2005.
Saifuddin
Zuhri, Dekonstruksi Konsep Islamdan Implikasinya Terhadap Pluralisme
Beragama (Studi Penafsiran ULil Abshar Abdalla atas QS. Ali Imran : 19). Skripsi
diajukan kepada Jurusan TH, Fakultas Ushuluddin, 2003.
Al-Zamakhsyari,
Al-Kasysyaf , dalam CD. ROM al-Maktabah al-Syamilah.
Al-Qurthubi,
Tafsir Al-Qurthubi (Al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an), dalam CD. ROM al-Maktabah
al-Syamilah.
Madjid,
Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban, Cet. IV Jakarta:
Paramadina, 2008.
Quraish
Shihab, Wawasan al-Qur’an tentang Kebebasan
Beragama,(Bandung: MIZAN, 2002).
[1] A.Ghani, Islam
dan Pluralisme di Indonesia,dalam pdf jurnal Pengembangan Masyarakat
Islam vol 1 no.2, juni 2005.
[2] Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis: Kritik atas Nalar
Pluralisme Cak Nur (Yogyakarta: Galang press, 2002), hlm. 77.
[3] Alwi Shihab, Islam
Inklusif, (Jakarta : Mizan, 1999), hlm. 41-42
[4]Anis Malik
Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis…, hlm. 16.
[5]Salah
seorang tokoh Barat yang merumuskan konsep Religious Pluralism adalah
John Hick. Ia lahir di Yorkshire, pernah melakukan muhibah ke negara-negara
Islam, seperti Mesir, dll. Nampaknya John Hick merupakan satu-satunya teolog
modern yang memberikan perhatian terhadap masalah pluralisme agama sedemikian
dalam. Ia telah menuangkan pemikirannya tentang masalah ini ke dalam
karya-karyanya yang mencapai lebih 30 buku/makalah yang kesemuanya membahas
masalah ini secara teliti. Seperti An Interpretation of Religion: Human
Responses to the Transcendent yang diangkat dari serial kuliahnya,
yaitu Gifford Lecture pada tahun 1986-1987. Juga buku The Fifth
Dimension (Oxford: One-world, 1999). Pluralisme, menurut John Hick, adalah pandangan bahwa agama-agama
besar memilki persepsi dan konsep tentang, dan secara bertepatan merupakan
respon yang beragam terhadap Sang Wujud atau Sang Paripurna dari dalam pranata
kultural manusia yang bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari
pemusatan-diri menuju pemusatan-Hakikat terjadi secara nyata hingga pada batas
yang sama.
[6]Anis Malik
Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis…, hlm. 23.
[7]Anis Malik
Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis…, hlm. 24.
[8] Saifuddin
Zuhri, Dekonstruksi Konsep Islamdan Implikasinya Terhadap Pluralisme
Beragama (Studi Penafsiran ULil Abshar Abdalla atas QS. Ali Imran : 19). Skripsi
diajukan kepada Jurusan TH, Fakultas Ushuluddin, 2003. hlm.30
[10] Al-Qurthubi, Tafsir
Al-Qurthubi (Al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an), dalam CD.
ROM al-Maktabah al-Syamilah, juz 4 hlm.47
[11]Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Cet. IV (Jakarta:
Paramadina, 2008), hlm. 427.
0 komentar:
Posting Komentar