Senin, 19 Agustus 2013

Kajian Hadis Seputar Jilbab atau Hijab

Abstrak
Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai hadis yang berkenaan dengan jilbab. Seringkali jilbab diidentikkan dengan agama islam. Padahal, pada sejarahnya jilbab telah ada pada zaman yunani kuno. Jilbab yang biasanya dipakai oleh seorang perempuan. Untuk itu, di sini akan dibahas tentang hadis-hadis yang berkenaan dengan jilbab dan diuraikan secara kritis. Baik dari segi pemaknaan dan jalur periwayatannya.
Keyword:Jilbab, Hadis, Perempuan
A.     PENDAHULUAN

Setiap agama yang hadir di muka bumi selalu membuka harapan hidup yang lebih baik bagi setiap umat. Jatuh bangunnya suatu agama sangat tergantung pada seberapa besar umatnya meyakini dan mengakui kedigdayaan harapan hidup yang lebih baik tersebut. Harapan yang terpenuhi akan semakin mengokohkan keyakinannya pada agama yang dipeluknya. Sebaliknya, harapan yang terbuang akan merontokkan panji-panji keyakinannya.
Islam misalnya, misi yang ditawarkan adalah rahmatan lil ‘alamin. Para mufassir tidak ada yang memiliki pemahaman yang berbeda tentang ini. Tetapi, problem muncul ketika para mufasir memahami ayat-ayat dalam al-Qur’an dan hadis-hadis. Seperti dalam kasus perempuan. Dalam persoalan inilah Islam menjadi bencana bagi perempuan karena mayoritas mufasir memahami ayat-ayat tentang perempuan dengan menggunakan perspektifkelelakiannyasehingga perempuan berada dalam kelompok second class.
Di antara ayat-ayat tentang perempuan yang menjadi bahan perdebatan adalah masalah jilbab. Akhir-akhir ini, masalah hijab atau jilbab sering dimunculkan kembali ke permukaan. Terjadi polemik antara yang polemik antara yang pro dan yang kontra tentang status hukum jilbab dan batasan-batasan menutup aurat itu sendiri.
B.     KAJIAN HADIS
Ø  Redaksi Hadis
Dalam berbagai kitab hadis banyak yang membicarakan tentang jilbab dengan menggunakan banyak redaksi. Di antara salah satunya yaitu:
ü     بخارى 4387
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ نَافِعٍ عَنْ الْحَسَنِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا كَانَتْ تَقُولُ لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ أَخَذْنَ أُزْرَهُنَّ فَشَقَّقْنَهَا مِنْ قِبَلِ الْحَوَاشِي فَاخْتَمَرْنَ بِهَا

Lihat Bukhori 4880, 4881, 4758 4759, Abu Daud 3579, 4102, 4104, an-Nasa’i 11363. Hasil takhrij dengan menggunakan lafadz walyadhribanna bi khumurihinna dan data yang dipaparkan merupakan hasil kompilasi data CD ROM Mausu’ah dan CD ROM al-Maktabah al-Syamilah.
Berangkat dari hadis di atas penulis mencoba menakhrij kembali dengan menggunakan kata syaqqa dan  juyub. Hasilnya ialah:
ü     بخارى 1212
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا زُبَيْدٌ الْيَامِيُّ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ.

Hasil yang ditemukan dalam CD ROM Mausu’ah di antaranya: Bukhori 1214, 1215, 3258, Muslim 148, Tirmidzi 920, Nasa’i 1837, 1839, 1841, Ibnu Majah 1573, Ahmad 3476, 3902, 3997, 4131, 4198.

ü  KRITIK SANAD

Setelah dilihat seluruh variasi hadis, hadis yang pertama merupakan hadis mauquf dari Aisyah r.a. Untuk jalur-jalur sanadnya tidak ada perawi yang ‘bermasalah’. Sedangkan untuk hadis yang kedua merupakan hadis marfu’ yang diriwayatkan oleh Abdullah. Di sini penulis tidak mendapatkan data tentang Abdullah siapa yang dimaksud karena semua jalur sanad yang ada hanya menyebutkan Abdullah. Untuk perawi-perawi yang lain statusnya sama dengan hadis yang pertama.

ü  KRITIK MATAN

Kedua hadis di atas mempunyai beberapa variasi matan. Akan tetapi, variasi tersebut tidak sampai menyebabkan perbedaan pemahama di antaranya: pada hadis yang pertama perbedaannya ada yang menggunakan kata yarhamu Allah al-muhajirat al-ula ada yang tidak. Hal ini merupakan implikasi dari kebolehan meriwayatkan hadis secara bi al-ma’na. Ada dan tidaknya kata yarhamu Allah al-muhajirat al-ula tidak sampai merubah maksud inti hadis karena keduanya berbicara dalam koridor yang sama. Sedangkan hadis yang kedua variasi matannya terletak pada pembolak-balikan antara kalimat lathama al-khudud dan syaqqa al-juyub yang lagi-lagi perbedaan ini tidak terlalu ‘penting’ untuk diteliti lebih lanjut karena tidak mempengaruhi makna dasar. Variasi matan lain yang terdapat pada hadis kedua ini perbedaan diksi yang digunakan yaitu lathama dan  dharaba.
Dari dua hadis di atas ada beberapa kata yang bisa dijadikan kata kunci yaitu jayb, syaqqa, dan khimar. Dalam kamus al-Bisri kata juyub disebutkan mempunyai bentuk dasar  jaaba yajiibu yang mempunyai arti memberi saku dan arti lainnya ialah al-qalbu.[1] Dalam al-Mu’jam al-Wasith kata jayb diartikan baju atau sesuatu yang kepala bisa masuk ketika dipakai.[2] Sedangkan Ibnu Mandzur menjelaskan dalam lisan al-‘arab kata jayb mempunyai lubang baju gamis dan baju besi.[3] Selain itu, dalam kitab al-Misbah al-Munir disebutkan kata jayb mempunyai arti baju yang tubuh bagian atas terbuka.[4]
Kata syaqqa dalam kamus al-Bisri  diartikan dengan membelah, merobek, dll.[5] Sedangkan dalam kitab fath al-Barri disebutkan berarti menyempurnakan yang sudah terbuka sampai habis.[6]
Dalam kitab fath al-Barri diterangkan bahwa terdapat redaksi lain dengan mukharrij an-Nasa’i yang diriwayatkan dari Ibrahim ibn Nafi’ yang menyebutkan bahwa obyek hadis –yang pertama—adalah perempuan Ansar bukan Muhajirin. Akan tetapi hal ini bisa dikompromikan karena perempuan Ansar juga mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki perempuan Muhajir. Sedangkan hadis yang kedua di dalam fath al-Barri dijelaskan arti kata laisa minna bukan murtad atau keluar dari agama akan tetapi termasuk yang tidak melaksnakan sunah Nabi Muhammad SAW.[7]
Asbabul wurud dari hadis di atas adalah ayat al-Qur’an surat an-Nur:31. Dengan kata lain hadis ini juga bisa disebut sebagai penjelas dari ayat al-Qur’an. Sebelum turunnya ayat dan hadis ini cara berpakaian wanita merdeka dan hamba sahaya, yang baik-baik dan yang kurang sopan hampir dikatakan sama. Karena itu, para lelaki usil sering mengganggu wanita, khususnya yang mereka ketahui atau mereka duga sebagai budak. wanita muslimah, maka Allah SWT menurunkan ayat tersebut.

C.      KAJIAN TEMA
Ø  SEJARAH JILBAB
Secara historis, jilbab telah dikenal sejak lama misalnya di Yunani dan Persia sebelum Islam datang. Motivasi yang melandasi tumbuhnya tradisi berjilbab beragam. Bagi masyarakat Persia, Jilbab digunakan untuk membedakan perempuan bangsawan dengan perempuan biasa dan Perempuan yang sudah menikah (masih bersuami atau janda). Seorang perempuan yang diperistri oleh seorang laki-laki dan perempuan tersebut belum dijilbabkan maka statusnya adalah gundik bukan istri sah. Jadi jilbab bagi masyarakat Persia dulu digunakan untuk menunjukan eksklusifitas kelas. Sementara bagi masyarakat Yunani, Jilbab berkaitan erat dengan teologi atau mitologi menstruasi. Perempuan yang sedang menstruasi harus diasingkan secara sosial karena diyakini dalam kondisi “kotor” sehingga mudah dirasuki Iblis. Untuk menghalangi masuknya Iblis ke diri perempuan tersebut maka harus ditutupi jilbab sehingga iblis tidak bisa masuk. Dan, bisa jadi dalam kultur masyarakat tertentu memiliki fungsi yang berbeda.[8]
Kalangan antropolog berpendapat bahwa yang menjadi asal usul penggunaan kerudung, jibab, dan semacamnya bukan berawal dari ajaran kitab suci tetapi dari suatu kepercayaan menstrual taboo yaitu kepercayaan bahwa bagi perempuan yang sedang menstruasi disediakan pondok haid (menstrual hut), yakni pondok khusus yang jauh dari perkampungan. Selain itu, sebagai upaya lain dalam mengamankan pancaran dan tatapan mata si iblis.[9] Penggunaan kerudung pertama kali dikenal sebagai pakaian yang digunakan bagi perempuan yang menstruasi guna menutupi pancaran mata terhadap sinar matahari dan sinar bulan. Pancaran mata tersebut diyakini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan bencana di dalam lingkungan alam dan lingkungan masyarakat. Penggunaan kerudung tersebut dimaksudkan sebagai pengganti gubuk pengasingan bagi keluarga raja dan bangsawan. Di kalangan masyarakat dahulu pun sudah pernah terjadi perdebatan yang seru tentang jilbab yaitu apakah boleh perempuan yang bukan bangsawan mengenakan kerudung sebagai pengganti pengasingan.
Konsep Jilbab dan semacamnya sudah ada jauh sebelum adanya ayat-ayat jilbab dalam al-Qur’an dan Hadis yang berbicara tentang hal itu. Misalnya, dalam kitab Taurat ada istilah yang semakna dengan jilbab yaitu  tif’eret, dan dalam kitab Injil terdapat beberapa istilah yang semakna, seperti zammah, re’alah, zaif dan mitpahat.  Dalam Vocabulary Arab Islam juga dikenal beberapa istilah, seperti pakaian yang menutup seluruh anggota badan dsebut dengan jilbab, lihaf, milhafah, idzr, dir’, dan pakaian yang khusus menutup bagian leher ke atas dengan sebutan khimar, niqab, burqu’, dan qina’a. Bahkan dalam literatur Yahudi ditemukan bahwa penggunaan jilbab berawal dari dosa asal. Yaitu dosa Hawa yang menggoda suaminya, Adam. Dosa itu adalah membujuk Adam untuk memakan buah terlarang. Akibatnya, Hawa beserta kaumnya mendapat kutukan. Tidak hanya kutukan untuk memakai hijab tetapi juga mendapat siklus menstruasi dengan segala macam aturannya.[10]
Sebagaimana yang dikutip Sriharini dari Eipsten bahwa terlepas dari istilah yang dipakai, sebenarnya konsep jilbab bukanlah ‘milik’ Islam. Seorang antropolog yang bernama Eipsten menjelaskan bahwa perdebatan tentang pakaian penutup kepala lebih tua dari agama-agama samawi. Tradisi penggunaan jilbab sudah dikenal dalam hukum kekeluargaan Asyiria (Assyrian Code), hukum ini mengatur bahwa istri, anak perempuan, dan janda ketika bepergian ke tempat umum harus menggunakan jilbab. Bahkan lebih jauh lagi, ketika Adam dan Hawa diturunkan ke bumi persoalan pertama yang mereka hadapi adalah bagaimana menutupi aurat. Jadi persoalan jilbab ini adalah persoalan yang umurnya setua dengan umat manusia.[11]

Ø  PENGERTIAN JILBAB

Ada dua kosa kata yang dewasa ini dipakai banyak orang untuk makna yang sama yaitu hijab dan jilbab. Secara umum keduanya menunjuk kepada pakaian perempuan yang menutup kepala dan tubuhnya. Hijab memberi makna penutup karena menunjuk kepada suatu alat penutup. Penutup yang dirujuk sebagai hijab muncul di balik kata tabir. Diafragma yang memisahkan jantung dari perut juga bisa disebut hijab.[12] Al-Qur’an sendiri menyebut kata hijab bukan untuk suatu bentuk pakaian yang dikenakan perempuan akan tetapi untuk arti tirai, pembatas, penghalang, penyekat antara dua bagian atau dua pihak yang berhadapan sehingga satu sama lain tidak saling melihat atau memandang.[13] Akan tetapi kata hijab apabila diartikan dengan penutup, maka aplikasi maknanya adalah seorang wanita yang ditempatkan di belakang tabir. Hal inilah yang menyebabkan banyak orang berpikir bahwa Islam menghendaki wanita untuk selalu berada di belakang tabir, harus dipingit dan tidak boleh meninggalkan rumah.
Sedangkan jilbab berasal dari kata jalaba yang berarti menarik. Oleh karena badan wanita menarik, maka harus ditutup. Yang ditutup itu adalah badan yakni tempat bersemayamnya ruh atau jiwa. Jilbab bukan hanya menutup badan semata, tapi juga jilbab dapat menghilangkan rasa birahi yang menimbulkan syahwat.[14]
Ibnu Taimiyah mendefinisikan jilbab adalah baju wanita yang berukuran panjang. Ibnu Mas’ud menyebut pakaian itu dengan al-Rida’ yang berarti mantel atau jubah. Sedangkan orang awam menyebutnya al-Izar, yaitu sejenis busana longgar yang menutup seluruh tubuh dari ujung kepala hingga semua badan tanpa terkecuali.[15] Ibnu Abbas dan Abidah al Salmani merumuskan jilbab sebagai pakaian perempuan yang menutupi wajah dan seluruh tubuh kecuali satu mata.[16] Al-Zamakhsyari dalam al-Kasyaf mendefinisikan jilbab sebagai jenis pakaian yang lebih besar daripada kerudung dan lebih kecil dari selendang yang biasa dipakai perempuan sebagai penutup kepala dan dada mereka. Ibnu Katsir mengemukakan bahwa jilbab adalah selendang di atas kerudung.[17] Menurut Mulhandy dalam buku Enam Puluh Satu Tanya Jawab Tentang Jilbab-nya jilbab merupakan pakaian yang lapang dan dapat menutup aurat wanita kecuali muka dan telapak tangan.[18] Sedangkan Quraish Shihab mengartikan jilbab sebagai baju kurung yang longgar dilengkapi dengan kerudung penutup kepala.[19] Para ulama tafsir tidak sepakat mengenai pengertian jilbab secara rinci, akan tetapi mereka sepakat bahwa jilbab mempunyai arti pakaian yang luas, longgar, dan menutupi leher dan dada.
Di beberapa negara Islam, pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah, seperti chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, hijâb di beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman. Hanya saja pergeseran makna hijâb dari semula berarti tabir, berubah makna menjadi pakaian penutup aurat perempuan semenjak abad ke-4 H.[20]
Filsafat di balik hijab bagi wanita dalam Islam adalah bahwa wanita harus menutup tubuhnya di dalam pergaulannya dengan laki-laki yang menurut hukum agama bukan muhrim-nya dan bahwa dia tidak boleh memamerkan dirinya.[21] Hijab yang berkaitan dengan persoalan wanita adalah sekat yang menjadi penghalang wanita agar auratnya tidak tampak oleh laki-laki. Hijab bagi wanita memiliki bentuk yang bermacam-macam, sesuai dengan adat dan tradisi masyarakat. Bentuk-bentuk hijab seperti, sarung, selimut, baju besi, jilbab, serta sekedup yang yang dipakai untuk membawa wanita yang diletakkan di atas punggung unta.[22] Dengan demikian jilbab merupakan salah satu dari bentuk hijab yang dewasa ini khususnya di Indonesia dikenakan oleh para muslimah. Hijab dalam bentuk apapun yan penting berfungsi sebagai penutup tubuh wanita yang dapat membangkitkan syahwat.

Ø  PEMAKNAAN
Pokok pangkal perkara hijab sebenarnya bukan apakah sebaiknya wanita berhijab dalam pergaulannya dengan masyarakat, melainkan apakah laki-laki bebas mencari kelezatan dan kepuasan dalam memandang wanita. Menurut Islam, laki-laki hanya diijinkan mencari kelezatan dan kepuasan memandang dalam batas-batas keluarga dan pernikahan saja, dan dilarang keras mendapatkannya di luar wilayah ini. Tujuan pembatasan ini adalah terciptanya keluarga yang sehat, harmonis, dan saling mempercayai. Sebagai sendi terwujudnya masyarakat yang sehat, damai, berwibawa, dan menjunjung tinggi harkat wanita.
Hijab –dalam ajaran Islam—menanamkan suatu tradisi yang universal dan fundamental untuk mencabut akar-akar kemerosotan moral, dengan menutup pergaulan bebas. Sesuai dengan makna harfiyahnya, hijab merupakan pemisah dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Tanpa pemisah ini, akan sangat sulit mengendalikan luapan nafsu syahwat yang merupakan naluri yang sangat kuat dan dominan.[23] Selain itu, hijab juga bertujuan untuk membatasi seluruh bentuk pemuasan seksual hanya pada lingkungan keluarga dan pernikahan.[24]
Seruan untuk memakai jilbab dimaksudkan untuk memperlihatkan identitas perempuan merdeka dari perempuan merdeka karena pada masa itu budak perempuan tidak berharga sama sekali. Mereka menjadi sasaran pelecehan kaum laki-laki. Bahkan status sosial mereka juga direndahkan dan dihinakan. Hal ini sangat berbeda terhadap perempuan merdeka, meskipun tetap dipandang sebagai makhluk kedua, tetapi perlakuannya tetap jauh lebih terhormat. Dengan begitu identifikasi diri pada perempuan merdeka perlu dibuat agar tidak terjadi perlakuan yang sama seperti terhadap budak.[25]
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh Muthahhari mengenai awal mula penggunaan jilbab di antaranya, alasan filosofis yang cenderung kepada kerahiban dan perjuangan melawan kenikmatan dalam rangka melawan nafsu manusiawi. Alasan sosial atas anjuran mengenakan jilbab adalah kurangnya atau bahkan tidak adanya rasa aman di kalangan masyarakat luas. Pada masa lampau keamanan sangat kurang. Hal ini tidak hanya berlaku bagi harta kekayaan saja, tetapi juga perempuan. Sehingga setiap perempuan harus bisa menjaga diri. Muthahhari juga mempunyai filsafat khusus yang didukung oleh penelitian secara rasional yang mencakup aspek pribadi, keluarga, sosial dan mengangkat kedudukan wanita serta menghindarkan dari perilaku murahan. Tiga makna filosofisnya di antaranya, pertama menumbuhkan ketenangan jiwa. Kedua, mempererat hubungan keluarga. Ketiga, mengeluarkan kesenangan seksual dari lingkungan rumah tangga ke lingkungan masyarakat.
Sedangkan alasan ekonomi dari penggunaan jilbab yaitu pengksploitasian wanita dengan cara menugaskan mereka untuk mengerjakan segala aktifitas untuk kepentingan laki-laki yang menyebabkan wanita juga tidak boleh keluar rumah.[26] Selain alasan-alasan di atas, masih ada alasan lain yang menjadikan perempuan dianjurkan menggunakan jilbab yaitu alasan etis, dimana seorang laki-laki ingin memiliki dan menikmati seorang perempuan secara utuh, lahir dan batin, tanpa ada laki-laki lain yang‘ikut serta’ di dalamnya. Alasan yang terakhir yaitu alasan psikologi yaitu bahwa pada dasarnya wanita telah memiliki perasaan rendah diri terhadap perempuan. Perasaan ini didasarkan kepada dua hal yaitu, sebagian perempuan berfikir bahwa di dalam tubuh mereka terdapat yang kurang bila dibandingkan dengan kaum pria dan pendarahan sepanjang masa.[27]
Mengenai masalah jilbab ini Sayyid Quthb mempunyai pandangan bahwa menggunakan jilbab untuk perempuan muslimah adalah wajib hukumnya. Menurut beliau untuk membuat masyarakat yang bersih dari setiap potensi chaos dan instabilitas, urusan pakaian ini menjadi salah satu hal yang harus ditegakkan.[28]
Orang-orang arab sebelum datangnya Islam, juga pada masa kenabian Muhammad SAW, membedakan pakaian perempuan merdeka dan hamba sahaya. Pakaian perempuan merdeka adalah penutup kepala yang dapat menampik sengatan panas matahari dan menghimpun rambut agar tidak berantakan, serta pakaian panjang yang menutupi bagian bawah badan dan bentuknya longgar sehingga memungkinkan mereka untuk bebas bergerak dalam menjalankan aktifitasnya baik di dalam maupun di luar rumah. Pakaian itu tidak memiliki bagian terbuka kecuali tempat memasukkan kepala. Sehingga apabila mereka sedikit menunduk maka buah dadanya akan terlihat. Bagian inilah yang diperintahkan ditutup oleh al-Qur’an.[29]
Ketika jilbab dihukumi wajib, maka persoalan lain yang muncul adalah sebatas mana berbusana dengan jilbab itu harus dipakai? Hal ini berkaitan erat dengan penafsiran ayat illa ma dzahara minha. Term tersebut menjadi kontroversial di kalangan mufasir karena al-Qur’an sendiri tidak memberikan batasan yang jelas bagian tubuh mana yang boleh idak ditutup.
Dalam pandangan Engineer –sebagaimana yang dikutip Sriharini—bahwa untuk menentukan bagian mana dari perempuan yang boleh terlihat tergantung kepada konteks sosiokultural individu itu sendiri karena penafsiran teks tidak bisa terlepas dari pemahaman terhadap konteksnya. Meskipun begitu, Engineer berpendapat bahwa hampir semua ilmuwan klasik mempunyai pendapat yang sama bahwa kalimat tersebut merujuk kepada wajah dan kedua telapak tangan. Bolehnya perempuan membuka wajah dan telapak tangan mendukung bahwa Islam tidak memingit perempuan dan membelenggunya dari aktifitas di luar rumah.[30]
D.    PENUTUP
Jilbab yang diperintahkan kepada kaum perempuan bukan berarti memingit, memasung, dan mengurung perempuan untuk selalu tinggal dalam rumah dan tidak boleh keluar untuk berkiprah dalam kehidupan masyarakat luas. Jilbab sesungguhnya bermaksud menata hubungan inter personal di dalam suatu masyarakat dan menjaga kesucian laki-laki dan perempuan agar mereka dapat dapat mencapai kesempurnaan demi terwujudnya masyarakat yang sehat yang dibangun atas akhlak yang mulia dan nilai-nilai moralitas yang tinggi serta jiwa yang suci.
Menutup seluruh anggota tubuh selain muka dan telapak tangan dengan mengenakan jilbab bagi kaum perempuan tidak akan pernah menjadi batu sandungan dalam menjalankan aktifitasnya di luar rumah. Fakta maupun sejarah telah membuktikan bahwa banyak sekali kaum perempuan berjibab sukses dalam beraktifitas di masyarakat luas atau di ruang publik, baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun ilmu pengetahuan. Perempuan berjilbab dapat berperan sama dan sejajar dengan perempuan lain yang tidak berjilbab. Perempuan dengan pakaian jilbabnya dapat sejajar bahkan bisa lebih dari laki-laki. Dengan demikian tidak ada bias jender dalam perempuan berjilbab.




DAFTAR PUSTAKA

“Jilbab dan Aurat dalam Hukum Islam dalam www.dunia.pelajar-islam.or.id diakses pada tanggal 28 Oktober 2009.
Al-‘Asqalani, Ibnu Hajar. Fath al-Barri.  CD ROM al-Mausu’ah.
Al-Ghaffar, Abdur-Rasul Abdul Hasan Wanita islam dan Gaya Hidup Modern, terj: Bahruddin Fanani. Bandung: Pustaka Hidayah, 1995.
Bisri, Adib dan Munawwir Fattah. Kamus al-Bisri. Surabaya: Pustaka Progresif, 1999.
Fachrudin, Fuad Mohd. Aurat dan Jilbab dalam Pandangan Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991.
Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan Pembelaan Kiai Pesantren. Yogyakarta: LKiS, 2004.
Mandzur, Ibnu. Lisan al-‘Arab. CD ROM al-Maktabah al-Syamilah. Ulum al-Lughah wa al-Ma’ajim,
Mustafa, Ibrahim. al-Mu’jam al-Wasith. CD ROM al-Maktabah al-Syamilah. Ulum al-Lughah wa al-Ma’ajim,
Muthahhari, Murthadha. Hijab Gaya Hidup Wanita Islam, terj: Agus Efendi dan Alwiyah Abdurrahman. Bandung: MIZAN, 1994.
Shahab, Husein Jilbab Menurut al-Qur’an dan al-Sunnah. Bandung: MIZAN, 1986.
Shihab, M. Quraish. Jilbab Pakaian Wanita Muslimah Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer. Jakarta: Lentera Hati, 2004.
Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1996.
Sriharini. Jilbab dan Kiprah Perempuan dalam Sektor Publik dalam Jurnal PMI Vol. VI. No. 1, September 2008.
Taufik, Mulhandy Ibn. Haj. Kusumayadi, Amir. Enam Puluh Satu Tanya Jawab Tentang Jilbab. Bandung: EsPe Press, 1986.
Umar, Nasarudin. Konstruksi Sosial: Menstrual Taboo Dalam Kajian Kultural dan Islam. Yogyakarta: Makalah Seminar Nasional tentang Islam, Seksualitas dan Kekerasan Terhadap Perempuan, 2000.


[1] Adib Bisri dan Munawwir Fattah, Kamus al-Bisri (Surabaya: Pustaka Progresif, 1999), hlm. 93.
[2] Ibrahim Mustafa, al-Mu’jam al-Wasith, CD ROM al-Maktabah al-Syamilah, Ulum al-Lughah wa al-Ma’ajim, Vol 1 hlm. 313.
[3] Ibnu Mandzur, Lisan al-‘Arab, CD ROM al-Maktabah al-Syamilah, Ulum al-Lughah wa al-Ma’ajim, vol. 1, hlm. 288.
[4] Al-Fayumi, al-Misbah al-Munir, CD ROM al-Maktabah al-Syamilah, Ulum al-Lughah wa al-Ma’ajim, Vol. 1, hlm. 115.
[5] Adib Bisri dan Munawwir Fattah, Kamus al-Bisri, hlm. 383.
[6] Al-‘Asqalani, Fath al-Barri, CD ROM al-Mausu’ah
[7] Al-‘Asqalani, Fath al-Barri, CD ROM al-Mausu’ah
[8] “Jilbab dan Aurat dalam Hukum Islam” dalam www.dunia.pelajar-islam.or.id diakses pada tanggal 28 Oktober 2009.
[9] Nasarudin Umar, Konstruksi Sosial: Menstrual Taboo Dalam Kajian Kultural dan Islam (Yogyakarta: Makalah Seminar Nasional tentang Islam, Seksualitas dan Kekerasan Terhadap Perempuan, 2000), hlm. 10.
[10] Nasarudin Umar, Konstruksi Sosial: Menstrual Taboo Dalam Kajian Kultural dan Islam, hlm. 11.
[11] Sriharini, “Jilbab dan Kiprah Perempuan dalam Sektor Publik” dalam Jurnal PMI Vol. VI. No. 1, September 2008, hlm. 26.
[12] Murthadha Muthahhari, Hijab Gaya Hidup Wanita Islam, terj: Agus Efendi dan Alwiyah Abdurrahman (Bandung: MIZAN, 1994), hlm. 11.
[13] Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan Pembelaan Kiai Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 207.
[14] Fuad Mohd. Fachrudin, Aurat dan Jilbab dalam Pandangan Islam (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991), hlm. 33.
[15] Syaikh Ibnu Taimiyah dkk, Jibab dan Cadar dalam al-Qur’an dan al-Sunah, terj: Abu Said al-Anshary  (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994), hlm. 5
[16] Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan Pembelaan Kiai Pesantren, hlm. 209.
[17] Husein Shahab, Jilbab Menurut al-Qur’an dan al-Sunnah (Bandung: MIZAN, 1986), hlm. 60.
[18] Mulhandy Ibn. Haj. Kusumayadi, Amir Taufik, Enam Puluh Satu Tanya Jawab Tentang Jilbab (Bandung: EsPe Press, 1986), hlm. 5.
[19] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 172.
[20] Ibid, hlm. 22.
[21] Murthadha Muthahhari, Hijab Gaya Hidup Wanita Islam, hlm. 14.
[22] Abdur-Rasul Abdul Hasan al-Ghaffar, Wanita islam dan Gaya Hidup Modern, terj: Bahruddin Fanani (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), hlm. 35.
[23] Husein Shahab, Jilbab Menurut al-Qur’an dan al-Sunnah, hlm. 18.
[24] Murthadha Muthahhari, Hijab Gaya Hidup Wanita Islam, hlm. 19.
[25] Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan Pembelaan Kiai Pesantren, hlm. 212.
[26] Murthadha Muthahhari, Hijab Gaya Hidup Wanita Islam, hlm. 36-55
[27] Ibid, hlm. 60-65.
[28] Sriharini, “Jilbab dan Kiprah Perempuan dalam Sektor Publik” dalam Jurnal PMI Vol. VI. No. 1, September 2008, hlm. 29.
[29] Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer (Jakarta: Lentera Hati, 2004), hlm. 129.
[30] Sriharini, “Jilbab dan Kiprah Perempuan dalam Sektor Publik” dalam Jurnal PMI Vol. VI. No. 1, September 2008, hlm. 30.

0 komentar:

Posting Komentar

Social Icons