Abstrak
Dalam
tulisan ini akan dibahas mengenai hadis yang berkenaan dengan jilbab.
Seringkali jilbab diidentikkan dengan agama islam. Padahal, pada sejarahnya
jilbab telah ada pada zaman yunani kuno. Jilbab yang biasanya dipakai oleh
seorang perempuan. Untuk itu, di sini akan dibahas tentang hadis-hadis yang
berkenaan dengan jilbab dan diuraikan secara kritis. Baik dari segi pemaknaan
dan jalur periwayatannya.
Keyword:Jilbab,
Hadis, Perempuan
A. PENDAHULUAN
Setiap agama yang
hadir di muka bumi selalu membuka harapan hidup yang lebih baik bagi setiap
umat. Jatuh bangunnya suatu agama sangat tergantung pada seberapa besar umatnya
meyakini dan mengakui kedigdayaan harapan hidup yang lebih baik tersebut.
Harapan yang terpenuhi akan semakin mengokohkan keyakinannya pada agama yang
dipeluknya. Sebaliknya, harapan yang “terbuang” akan merontokkan panji-panji
keyakinannya.
Islam misalnya, misi
yang ditawarkan adalah rahmatan lil ‘alamin. Para mufassir tidak ada
yang memiliki pemahaman yang berbeda tentang ini. Tetapi, problem muncul ketika
para mufasir memahami ayat-ayat dalam al-Qur’an dan hadis-hadis. Seperti dalam
kasus perempuan. Dalam persoalan inilah “Islam menjadi bencana bagi perempuan” karena
mayoritas mufasir memahami ayat-ayat tentang perempuan dengan menggunakan
perspektif“kelelakiannya”sehingga
perempuan berada dalam kelompok second class.
Di antara ayat-ayat
tentang perempuan yang menjadi bahan perdebatan adalah masalah jilbab.
Akhir-akhir ini, masalah hijab atau jilbab sering dimunculkan kembali ke
permukaan. Terjadi polemik antara yang polemik antara yang pro dan yang kontra
tentang status hukum jilbab dan batasan-batasan menutup aurat itu sendiri.
B. KAJIAN HADIS
Ø Redaksi Hadis
Dalam berbagai kitab
hadis banyak yang membicarakan tentang jilbab dengan menggunakan banyak
redaksi. Di antara salah satunya yaitu:
ü
بخارى 4387
حَدَّثَنَا
أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ نَافِعٍ عَنْ الْحَسَنِ بْنِ
مُسْلِمٍ عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
كَانَتْ تَقُولُ لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ
عَلَى جُيُوبِهِنَّ أَخَذْنَ أُزْرَهُنَّ فَشَقَّقْنَهَا مِنْ قِبَلِ الْحَوَاشِي
فَاخْتَمَرْنَ بِهَا
Lihat Bukhori 4880, 4881,
4758 4759, Abu Daud 3579, 4102, 4104, an-Nasa’i 11363. Hasil takhrij dengan
menggunakan lafadz walyadhribanna bi khumurihinna dan data yang
dipaparkan merupakan hasil kompilasi data CD ROM Mausu’ah dan CD ROM
al-Maktabah al-Syamilah.
Berangkat dari hadis di atas penulis
mencoba menakhrij kembali dengan menggunakan kata syaqqa dan juyub. Hasilnya ialah:
ü
بخارى 1212
حَدَّثَنَا أَبُو
نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا زُبَيْدٌ الْيَامِيُّ عَنْ إِبْرَاهِيمَ
عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ
الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ.
Hasil yang ditemukan dalam CD ROM Mausu’ah di antaranya:
Bukhori 1214, 1215, 3258, Muslim 148, Tirmidzi 920, Nasa’i 1837, 1839, 1841,
Ibnu Majah 1573, Ahmad 3476, 3902, 3997, 4131, 4198.
ü KRITIK SANAD
Setelah dilihat seluruh variasi hadis, hadis yang pertama
merupakan hadis mauquf dari Aisyah r.a. Untuk jalur-jalur sanadnya tidak ada
perawi yang ‘bermasalah’. Sedangkan untuk hadis yang kedua merupakan hadis
marfu’ yang diriwayatkan oleh Abdullah. Di sini penulis tidak mendapatkan data
tentang Abdullah siapa yang dimaksud karena semua jalur sanad yang ada hanya
menyebutkan Abdullah. Untuk perawi-perawi yang lain statusnya sama dengan hadis
yang pertama.
ü KRITIK MATAN
Kedua hadis di atas mempunyai beberapa variasi matan.
Akan tetapi, variasi tersebut tidak sampai menyebabkan perbedaan pemahama di
antaranya: pada hadis yang pertama perbedaannya ada yang menggunakan kata yarhamu
Allah al-muhajirat al-ula ada yang tidak. Hal ini merupakan implikasi dari
kebolehan meriwayatkan hadis secara bi al-ma’na. Ada dan tidaknya kata yarhamu
Allah al-muhajirat al-ula tidak sampai merubah maksud inti hadis karena
keduanya berbicara dalam koridor yang sama. Sedangkan hadis yang kedua variasi
matannya terletak pada pembolak-balikan antara kalimat lathama al-khudud dan
syaqqa al-juyub yang lagi-lagi perbedaan ini tidak terlalu ‘penting’
untuk diteliti lebih lanjut karena tidak mempengaruhi makna dasar. Variasi
matan lain yang terdapat pada hadis kedua ini perbedaan diksi yang digunakan
yaitu lathama dan dharaba.
Dari dua hadis di atas ada beberapa kata yang bisa
dijadikan kata kunci yaitu jayb, syaqqa, dan khimar. Dalam kamus
al-Bisri kata juyub disebutkan mempunyai bentuk dasar jaaba yajiibu yang mempunyai arti memberi
saku dan arti lainnya ialah al-qalbu.[1]
Dalam al-Mu’jam al-Wasith kata jayb diartikan baju atau sesuatu
yang kepala bisa masuk ketika dipakai.[2]
Sedangkan Ibnu Mandzur menjelaskan dalam lisan al-‘arab kata jayb mempunyai
lubang baju gamis dan baju besi.[3]
Selain itu, dalam kitab al-Misbah al-Munir disebutkan kata jayb mempunyai
arti baju yang tubuh bagian atas terbuka.[4]
Kata syaqqa dalam kamus al-Bisri diartikan dengan membelah, merobek, dll.[5]
Sedangkan dalam kitab fath al-Barri disebutkan berarti menyempurnakan
yang sudah terbuka sampai habis.[6]
Dalam kitab fath al-Barri diterangkan
bahwa terdapat redaksi lain dengan mukharrij an-Nasa’i yang diriwayatkan
dari Ibrahim ibn Nafi’ yang menyebutkan bahwa obyek hadis –yang pertama—adalah
perempuan Ansar bukan Muhajirin. Akan tetapi hal ini bisa dikompromikan karena
perempuan Ansar juga mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki perempuan Muhajir.
Sedangkan hadis yang kedua di dalam fath al-Barri dijelaskan arti kata laisa
minna bukan murtad atau keluar dari agama akan tetapi termasuk yang tidak
melaksnakan sunah Nabi Muhammad SAW.[7]
Asbabul wurud dari hadis di atas adalah
ayat al-Qur’an surat an-Nur:31. Dengan kata lain hadis ini juga bisa disebut
sebagai penjelas dari ayat al-Qur’an. Sebelum turunnya ayat dan hadis ini cara
berpakaian wanita merdeka dan hamba sahaya, yang baik-baik dan yang kurang
sopan hampir dikatakan sama. Karena itu, para lelaki usil sering mengganggu
wanita, khususnya yang mereka ketahui atau mereka duga sebagai budak. wanita
muslimah, maka Allah SWT menurunkan ayat tersebut.
C. KAJIAN TEMA
Ø
SEJARAH JILBAB
Secara
historis, jilbab telah dikenal sejak lama misalnya di Yunani dan Persia sebelum
Islam datang. Motivasi yang melandasi tumbuhnya tradisi berjilbab beragam. Bagi
masyarakat Persia, Jilbab digunakan untuk membedakan perempuan bangsawan dengan
perempuan biasa dan Perempuan yang sudah menikah (masih bersuami atau janda).
Seorang perempuan yang diperistri oleh seorang laki-laki dan perempuan tersebut
belum dijilbabkan maka statusnya adalah gundik bukan istri sah. Jadi jilbab
bagi masyarakat Persia dulu digunakan untuk menunjukan eksklusifitas kelas.
Sementara bagi masyarakat Yunani, Jilbab berkaitan erat dengan teologi atau
mitologi menstruasi. Perempuan yang sedang menstruasi harus diasingkan secara
sosial karena diyakini dalam kondisi “kotor” sehingga mudah dirasuki Iblis.
Untuk menghalangi masuknya Iblis ke diri perempuan tersebut maka harus ditutupi
jilbab sehingga iblis tidak bisa masuk. Dan, bisa jadi dalam kultur masyarakat
tertentu memiliki fungsi yang berbeda.[8]
Kalangan antropolog
berpendapat bahwa yang menjadi asal usul penggunaan kerudung, jibab, dan
semacamnya bukan berawal dari ajaran kitab suci tetapi dari suatu kepercayaan menstrual
taboo yaitu kepercayaan bahwa bagi perempuan yang sedang menstruasi
disediakan pondok haid (menstrual hut), yakni pondok khusus yang jauh dari
perkampungan. Selain itu, sebagai upaya lain dalam mengamankan pancaran dan
tatapan mata si iblis.[9] Penggunaan kerudung pertama kali dikenal sebagai pakaian
yang digunakan bagi perempuan yang menstruasi guna menutupi pancaran mata
terhadap sinar matahari dan sinar bulan. Pancaran mata tersebut diyakini sangat
berbahaya karena dapat menimbulkan bencana di dalam lingkungan alam dan lingkungan
masyarakat. Penggunaan kerudung tersebut dimaksudkan sebagai pengganti “gubuk pengasingan”
bagi keluarga raja dan bangsawan. Di kalangan masyarakat dahulu pun sudah
pernah terjadi perdebatan yang seru tentang jilbab yaitu apakah boleh perempuan
yang bukan bangsawan mengenakan kerudung sebagai pengganti pengasingan.
Konsep Jilbab dan semacamnya sudah ada jauh sebelum
adanya “ayat-ayat jilbab” dalam al-Qur’an dan
Hadis yang berbicara tentang hal itu. Misalnya, dalam kitab Taurat ada istilah
yang semakna dengan jilbab yaitu tif’eret, dan dalam kitab Injil
terdapat beberapa istilah yang semakna, seperti zammah, re’alah, zaif
dan mitpahat. Dalam Vocabulary
Arab Islam juga dikenal beberapa istilah, seperti pakaian yang menutup
seluruh anggota badan dsebut dengan jilbab, lihaf, milhafah, idzr, dir’,
dan pakaian yang khusus menutup bagian leher ke atas dengan sebutan khimar,
niqab, burqu’, dan qina’a. Bahkan dalam literatur Yahudi ditemukan bahwa penggunaan jilbab berawal
dari dosa asal. Yaitu dosa Hawa yang menggoda suaminya, Adam. Dosa itu adalah membujuk
Adam untuk memakan buah terlarang. Akibatnya, Hawa beserta kaumnya mendapat
kutukan. Tidak hanya kutukan untuk memakai hijab tetapi juga mendapat siklus
menstruasi dengan segala macam aturannya.[10]
Sebagaimana
yang dikutip Sriharini dari Eipsten bahwa terlepas dari istilah yang dipakai,
sebenarnya konsep jilbab bukanlah ‘milik’ Islam. Seorang antropolog yang
bernama Eipsten menjelaskan bahwa perdebatan tentang pakaian penutup kepala
lebih tua dari agama-agama samawi. Tradisi penggunaan jilbab sudah dikenal
dalam hukum kekeluargaan Asyiria (Assyrian Code), hukum ini mengatur
bahwa istri, anak perempuan, dan janda ketika bepergian ke tempat umum harus
menggunakan jilbab. Bahkan lebih jauh lagi, ketika Adam dan Hawa diturunkan ke
bumi persoalan pertama yang mereka hadapi adalah bagaimana menutupi aurat. Jadi
persoalan jilbab ini adalah persoalan yang umurnya setua dengan umat manusia.[11]
Ø PENGERTIAN JILBAB
Ada dua kosa kata yang dewasa ini
dipakai banyak orang untuk makna yang sama yaitu hijab dan jilbab. Secara umum
keduanya menunjuk kepada pakaian perempuan yang menutup kepala dan tubuhnya.
Hijab memberi makna penutup karena menunjuk kepada suatu alat penutup. Penutup
yang dirujuk sebagai hijab muncul di balik kata tabir. Diafragma yang
memisahkan jantung dari perut juga bisa disebut hijab.[12]
Al-Qur’an sendiri menyebut kata hijab bukan untuk suatu bentuk pakaian yang
dikenakan perempuan akan tetapi untuk arti tirai, pembatas, penghalang,
penyekat antara dua bagian atau dua pihak yang berhadapan sehingga satu sama
lain tidak saling melihat atau memandang.[13]
Akan tetapi kata hijab apabila diartikan dengan penutup, maka aplikasi maknanya
adalah seorang wanita yang ditempatkan di belakang tabir. Hal inilah yang
menyebabkan banyak orang berpikir bahwa Islam menghendaki wanita untuk selalu
berada di belakang tabir, harus dipingit dan tidak boleh meninggalkan rumah.
Sedangkan jilbab berasal dari kata jalaba
yang berarti menarik. Oleh karena badan wanita menarik, maka harus ditutup.
Yang ditutup itu adalah badan yakni tempat bersemayamnya ruh atau jiwa. Jilbab
bukan hanya menutup badan semata, tapi juga jilbab dapat menghilangkan rasa
birahi yang menimbulkan syahwat.[14]
Ibnu
Taimiyah mendefinisikan jilbab adalah baju wanita yang berukuran panjang. Ibnu
Mas’ud menyebut pakaian itu dengan al-Rida’ yang berarti mantel atau jubah.
Sedangkan orang awam menyebutnya al-Izar, yaitu sejenis busana longgar yang
menutup seluruh tubuh dari ujung kepala hingga semua badan tanpa terkecuali.[15] Ibnu Abbas dan Abidah al Salmani merumuskan jilbab
sebagai pakaian perempuan yang menutupi wajah dan seluruh tubuh kecuali satu
mata.[16] Al-Zamakhsyari dalam al-Kasyaf mendefinisikan
jilbab sebagai jenis pakaian yang lebih besar daripada kerudung dan lebih kecil
dari selendang yang biasa dipakai perempuan sebagai penutup kepala dan dada
mereka. Ibnu Katsir mengemukakan bahwa jilbab adalah selendang di atas
kerudung.[17] Menurut Mulhandy dalam buku Enam Puluh Satu Tanya
Jawab Tentang Jilbab-nya jilbab merupakan pakaian yang lapang dan dapat
menutup aurat wanita kecuali muka dan telapak tangan.[18] Sedangkan Quraish Shihab mengartikan jilbab sebagai baju
kurung yang longgar dilengkapi dengan kerudung penutup kepala.[19] Para ulama tafsir tidak sepakat mengenai pengertian
jilbab secara rinci, akan tetapi mereka sepakat bahwa jilbab mempunyai arti
pakaian yang luas, longgar, dan menutupi leher dan dada.
Di
beberapa negara Islam, pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah,
seperti chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat
di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, hijâb
di beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman. Hanya
saja pergeseran makna hijâb dari semula berarti tabir, berubah
makna menjadi pakaian penutup aurat perempuan semenjak abad ke-4 H.[20]
Filsafat di balik hijab bagi
wanita dalam Islam adalah bahwa wanita harus menutup tubuhnya di dalam
pergaulannya dengan laki-laki yang menurut hukum agama bukan muhrim-nya
dan bahwa dia tidak boleh memamerkan dirinya.[21]
Hijab yang berkaitan dengan persoalan wanita adalah sekat yang menjadi
penghalang wanita agar auratnya tidak tampak oleh laki-laki. Hijab bagi wanita
memiliki bentuk yang bermacam-macam, sesuai dengan adat dan tradisi masyarakat.
Bentuk-bentuk hijab seperti, sarung, selimut, baju besi, jilbab, serta sekedup
yang yang dipakai untuk membawa wanita yang diletakkan di atas punggung unta.[22]
Dengan demikian jilbab merupakan salah satu dari bentuk hijab yang dewasa ini
khususnya di Indonesia dikenakan oleh para muslimah. Hijab dalam bentuk apapun
yan penting berfungsi sebagai penutup tubuh wanita yang dapat membangkitkan
syahwat.
Ø PEMAKNAAN
Pokok pangkal perkara hijab
sebenarnya bukan apakah sebaiknya wanita berhijab dalam pergaulannya dengan
masyarakat, melainkan apakah laki-laki bebas mencari kelezatan dan kepuasan
dalam memandang wanita. Menurut Islam, laki-laki hanya diijinkan mencari
kelezatan dan kepuasan memandang dalam batas-batas keluarga dan pernikahan
saja, dan dilarang keras mendapatkannya di luar wilayah ini. Tujuan pembatasan
ini adalah terciptanya keluarga yang sehat, harmonis, dan saling mempercayai.
Sebagai sendi terwujudnya masyarakat yang sehat, damai, berwibawa, dan
menjunjung tinggi harkat wanita.
Hijab –dalam ajaran
Islam—menanamkan suatu tradisi yang universal dan fundamental untuk mencabut
akar-akar kemerosotan moral, dengan menutup pergaulan bebas. Sesuai dengan
makna harfiyahnya, hijab merupakan pemisah dalam pergaulan antara laki-laki dan
perempuan. Tanpa pemisah ini, akan sangat sulit mengendalikan luapan nafsu
syahwat yang merupakan naluri yang sangat kuat dan dominan.[23] Selain itu, hijab juga bertujuan untuk membatasi seluruh
bentuk pemuasan seksual hanya pada lingkungan keluarga dan pernikahan.[24]
Seruan untuk memakai jilbab
dimaksudkan untuk memperlihatkan identitas perempuan merdeka dari perempuan merdeka
karena pada masa itu budak perempuan tidak berharga sama sekali. Mereka menjadi
sasaran pelecehan kaum laki-laki. Bahkan status sosial mereka juga direndahkan
dan dihinakan. Hal ini sangat berbeda terhadap perempuan merdeka, meskipun
tetap dipandang sebagai makhluk kedua, tetapi perlakuannya tetap jauh lebih
terhormat. Dengan begitu identifikasi diri pada perempuan merdeka perlu dibuat
agar tidak terjadi perlakuan yang sama seperti terhadap budak.[25]
Alasan-alasan yang dikemukakan
oleh Muthahhari mengenai awal mula penggunaan jilbab di antaranya, alasan
filosofis yang cenderung kepada kerahiban dan perjuangan melawan kenikmatan
dalam rangka melawan nafsu manusiawi. Alasan sosial atas anjuran mengenakan
jilbab adalah kurangnya atau bahkan tidak adanya rasa aman di kalangan
masyarakat luas. Pada masa lampau keamanan sangat kurang. Hal ini tidak hanya
berlaku bagi harta kekayaan saja, tetapi juga perempuan. Sehingga setiap
perempuan harus bisa menjaga diri. Muthahhari juga mempunyai filsafat khusus
yang didukung oleh penelitian secara rasional yang mencakup aspek pribadi,
keluarga, sosial dan mengangkat kedudukan wanita serta menghindarkan dari
perilaku murahan. Tiga makna filosofisnya di antaranya, pertama menumbuhkan
ketenangan jiwa. Kedua, mempererat hubungan keluarga. Ketiga, mengeluarkan
kesenangan seksual dari lingkungan rumah tangga ke lingkungan masyarakat.
Sedangkan alasan ekonomi dari
penggunaan jilbab yaitu pengksploitasian wanita dengan cara menugaskan mereka
untuk mengerjakan segala aktifitas untuk kepentingan laki-laki yang menyebabkan
wanita juga tidak boleh keluar rumah.[26] Selain alasan-alasan di atas, masih ada alasan lain yang
menjadikan perempuan dianjurkan menggunakan jilbab yaitu alasan etis, dimana
seorang laki-laki ingin memiliki dan menikmati seorang perempuan secara utuh,
lahir dan batin, tanpa ada laki-laki lain yang‘ikut serta’ di dalamnya. Alasan
yang terakhir yaitu alasan psikologi yaitu bahwa pada dasarnya wanita telah
memiliki perasaan rendah diri terhadap perempuan. Perasaan ini didasarkan
kepada dua hal yaitu, sebagian perempuan berfikir bahwa di dalam tubuh mereka
terdapat yang kurang bila dibandingkan dengan kaum pria dan pendarahan
sepanjang masa.[27]
Mengenai masalah jilbab ini
Sayyid Quthb mempunyai pandangan bahwa menggunakan jilbab untuk perempuan
muslimah adalah wajib hukumnya. Menurut beliau untuk membuat masyarakat yang
bersih dari setiap potensi chaos dan instabilitas, urusan pakaian ini menjadi
salah satu hal yang harus ditegakkan.[28]
Orang-orang arab sebelum datangnya Islam, juga pada masa
kenabian Muhammad SAW, membedakan pakaian perempuan merdeka dan hamba sahaya.
Pakaian perempuan merdeka adalah penutup kepala yang dapat menampik sengatan
panas matahari dan menghimpun rambut agar tidak berantakan, serta pakaian
panjang yang menutupi bagian bawah badan dan bentuknya longgar sehingga
memungkinkan mereka untuk bebas bergerak dalam menjalankan aktifitasnya baik di
dalam maupun di luar rumah. Pakaian itu tidak memiliki bagian terbuka kecuali
tempat memasukkan kepala. Sehingga apabila mereka sedikit menunduk maka buah
dadanya akan terlihat. Bagian inilah yang diperintahkan ditutup oleh al-Qur’an.[29]
Ketika jilbab dihukumi wajib, maka persoalan lain yang
muncul adalah sebatas mana berbusana dengan jilbab itu harus dipakai? Hal ini
berkaitan erat dengan penafsiran ayat illa ma dzahara minha. Term
tersebut menjadi kontroversial di kalangan mufasir karena al-Qur’an sendiri
tidak memberikan batasan yang jelas bagian tubuh mana yang boleh idak ditutup.
Dalam pandangan Engineer –sebagaimana yang dikutip
Sriharini—bahwa untuk menentukan bagian mana dari perempuan yang boleh terlihat
tergantung kepada konteks sosiokultural individu itu sendiri karena penafsiran
teks tidak bisa terlepas dari pemahaman terhadap konteksnya. Meskipun begitu,
Engineer berpendapat bahwa hampir semua ilmuwan klasik mempunyai pendapat yang
sama bahwa kalimat tersebut merujuk kepada wajah dan kedua telapak tangan.
Bolehnya perempuan membuka wajah dan telapak tangan mendukung bahwa Islam tidak
memingit perempuan dan membelenggunya dari aktifitas di luar rumah.[30]
D. PENUTUP
Jilbab yang diperintahkan
kepada kaum perempuan bukan berarti memingit, memasung, dan mengurung perempuan
untuk selalu tinggal dalam rumah dan tidak boleh keluar untuk berkiprah dalam
kehidupan masyarakat luas. Jilbab sesungguhnya bermaksud menata hubungan inter
personal di dalam suatu masyarakat dan menjaga kesucian laki-laki dan perempuan
agar mereka dapat dapat mencapai kesempurnaan demi terwujudnya masyarakat yang
sehat yang dibangun atas akhlak yang mulia dan nilai-nilai moralitas yang
tinggi serta jiwa yang suci.
Menutup seluruh anggota tubuh
selain muka dan telapak tangan dengan mengenakan jilbab bagi kaum perempuan
tidak akan pernah menjadi batu sandungan dalam menjalankan aktifitasnya di luar
rumah. Fakta maupun sejarah telah membuktikan bahwa banyak sekali kaum
perempuan berjibab sukses dalam beraktifitas di masyarakat luas atau di ruang
publik, baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun ilmu pengetahuan. Perempuan
berjilbab dapat berperan sama dan sejajar dengan perempuan lain yang tidak
berjilbab. Perempuan dengan pakaian jilbabnya dapat sejajar bahkan bisa lebih
dari laki-laki. Dengan demikian tidak ada bias jender dalam perempuan
berjilbab.
DAFTAR PUSTAKA
“Jilbab dan Aurat dalam Hukum Islam” dalam www.dunia.pelajar-islam.or.id diakses pada tanggal 28 Oktober 2009.
Al-‘Asqalani,
Ibnu Hajar. Fath al-Barri. CD ROM
al-Mausu’ah.
Al-Ghaffar, Abdur-Rasul Abdul Hasan Wanita islam dan
Gaya Hidup Modern, terj: Bahruddin Fanani. Bandung: Pustaka Hidayah, 1995.
Bisri, Adib dan
Munawwir Fattah. Kamus al-Bisri. Surabaya: Pustaka Progresif, 1999.
Fachrudin, Fuad Mohd. Aurat dan Jilbab dalam Pandangan
Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991.
Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan Pembelaan
Kiai Pesantren. Yogyakarta: LKiS, 2004.
Mandzur, Ibnu. Lisan al-‘Arab. CD ROM al-Maktabah
al-Syamilah. Ulum al-Lughah wa al-Ma’ajim,
Mustafa, Ibrahim. al-Mu’jam al-Wasith. CD ROM
al-Maktabah al-Syamilah. Ulum al-Lughah wa al-Ma’ajim,
Muthahhari, Murthadha. Hijab Gaya Hidup Wanita Islam, terj:
Agus Efendi dan Alwiyah Abdurrahman. Bandung: MIZAN, 1994.
Shahab, Husein Jilbab
Menurut al-Qur’an dan al-Sunnah. Bandung: MIZAN, 1986.
Shihab, M. Quraish.
Jilbab Pakaian Wanita Muslimah Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan
Kontemporer. Jakarta: Lentera Hati, 2004.
Shihab, M. Quraish.
Wawasan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1996.
Sriharini. “Jilbab dan Kiprah Perempuan dalam Sektor
Publik” dalam Jurnal PMI Vol. VI. No. 1, September 2008.
Taufik, Mulhandy Ibn. Haj. Kusumayadi, Amir. Enam
Puluh Satu Tanya Jawab Tentang Jilbab. Bandung: EsPe Press, 1986.
Umar, Nasarudin. Konstruksi Sosial: Menstrual Taboo
Dalam Kajian Kultural dan Islam. Yogyakarta: Makalah Seminar Nasional
tentang Islam, Seksualitas dan Kekerasan Terhadap Perempuan, 2000.
[1]
Adib Bisri dan Munawwir Fattah, Kamus
al-Bisri (Surabaya: Pustaka Progresif, 1999), hlm. 93.
[2]
Ibrahim Mustafa, al-Mu’jam
al-Wasith, CD ROM al-Maktabah al-Syamilah, Ulum al-Lughah wa al-Ma’ajim,
Vol 1 hlm. 313.
[3]
Ibnu Mandzur, Lisan al-‘Arab, CD
ROM al-Maktabah al-Syamilah, Ulum al-Lughah wa al-Ma’ajim, vol. 1, hlm. 288.
[4] Al-Fayumi, al-Misbah al-Munir, CD
ROM al-Maktabah al-Syamilah, Ulum al-Lughah wa al-Ma’ajim, Vol. 1, hlm. 115.
[5]
Adib Bisri dan Munawwir Fattah, Kamus
al-Bisri, hlm. 383.
[6]
Al-‘Asqalani, Fath al-Barri, CD
ROM al-Mausu’ah
[7]
Al-‘Asqalani, Fath al-Barri, CD
ROM al-Mausu’ah
[8]
“Jilbab dan Aurat dalam Hukum Islam”
dalam www.dunia.pelajar-islam.or.id diakses pada tanggal 28 Oktober 2009.
[9]
Nasarudin Umar, Konstruksi
Sosial: Menstrual Taboo Dalam Kajian Kultural dan Islam (Yogyakarta:
Makalah Seminar Nasional tentang Islam, Seksualitas dan Kekerasan Terhadap
Perempuan, 2000), hlm. 10.
[10]
Nasarudin Umar, Konstruksi
Sosial: Menstrual Taboo Dalam Kajian Kultural dan Islam, hlm. 11.
[11]
Sriharini, “Jilbab dan Kiprah
Perempuan dalam Sektor Publik” dalam Jurnal PMI Vol. VI. No. 1, September 2008,
hlm. 26.
[12]
Murthadha Muthahhari, Hijab Gaya
Hidup Wanita Islam, terj: Agus Efendi dan Alwiyah Abdurrahman (Bandung: MIZAN, 1994), hlm. 11.
[13]
Husein Muhammad, Islam Agama
Ramah Perempuan Pembelaan Kiai Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm.
207.
[14]
Fuad Mohd. Fachrudin, Aurat dan
Jilbab dalam Pandangan Islam (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991), hlm. 33.
[15]
Syaikh Ibnu Taimiyah dkk, Jibab
dan Cadar dalam al-Qur’an dan al-Sunah, terj: Abu Said al-Anshary (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994), hlm. 5
[16]
Husein Muhammad, Islam Agama
Ramah Perempuan Pembelaan Kiai Pesantren, hlm. 209.
[17]
Husein Shahab, Jilbab Menurut
al-Qur’an dan al-Sunnah (Bandung: MIZAN, 1986), hlm. 60.
[18]
Mulhandy Ibn. Haj. Kusumayadi, Amir
Taufik, Enam Puluh Satu Tanya Jawab Tentang Jilbab (Bandung: EsPe Press,
1986), hlm. 5.
[19]
M. Quraish Shihab, Wawasan
al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 172.
[21]
Murthadha Muthahhari, Hijab Gaya
Hidup Wanita Islam, hlm. 14.
[22]
Abdur-Rasul Abdul Hasan al-Ghaffar, Wanita
islam dan Gaya Hidup Modern, terj: Bahruddin Fanani (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1995), hlm. 35.
[23]
Husein Shahab, Jilbab Menurut
al-Qur’an dan al-Sunnah, hlm. 18.
[24]
Murthadha Muthahhari, Hijab Gaya
Hidup Wanita Islam, hlm. 19.
[25]
Husein Muhammad, Islam Agama
Ramah Perempuan Pembelaan Kiai Pesantren, hlm. 212.
[26]
Murthadha Muthahhari, Hijab Gaya
Hidup Wanita Islam, hlm. 36-55
[27] Ibid, hlm.
60-65.
[28]
Sriharini, “Jilbab dan Kiprah
Perempuan dalam Sektor Publik” dalam Jurnal PMI Vol. VI. No. 1, September 2008,
hlm. 29.
[29]
Quraish Shihab, Jilbab Pakaian
Wanita Muslimah Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer (Jakarta:
Lentera Hati, 2004), hlm. 129.
[30]
Sriharini, “Jilbab dan Kiprah
Perempuan dalam Sektor Publik” dalam Jurnal PMI Vol. VI. No. 1, September 2008,
hlm. 30.
0 komentar:
Posting Komentar