Senin, 19 Agustus 2013

Ustad Artis dan Dilema Dunia Dakwah Islam



Meninjau Kembali Profesionalisme Ustad Artis
Baru-baru ini tersebar isu panas yang menyeret seorang Ustad kondang yang sering mengisi acara-acara di televisi, sebut saja ustad SM. Kabar yang menggelinding panas adalah tentang dirinya yang memasang tarif dalam jumlah tertentu dalam acara yang diadakan oleh Majelis Thariqah Jannah di Hongkong. Hal ini memicu amarah pihak EO yang bertugas sebagai panitia dalam acara tersebut. Semula polemik seputar pasang-harga hanya terjadi antara pihak SM dengan EO. Akan tetapi, kasus ini semakin panas saat muncul argument-argumen pembelaan dari kedua pihak. Saat menyampaikan pembelaan inilah muncul kata-kata yang kurang enak didengar dari pihak SM.  Kata-kata yang menuduh bahwa TKI di Hongkong sudah dipengaruhi oleh ajaran komunisme. Hal ini tentu memicu amarah para TKI yang merasa dituduh yang bukan-bukan oleh SM. Untuk menanggapi tuduhan tersebut, maka kemudian salah satu TKI di sana melayangkan surat terbuka melalui jejaring maya kepadanya. Untuk mengetahui isi surat terbuka tersebut. Silahkan baca postingannya di sini. Kasus yang mulanya hanya antara pihak SM dan EO acara pun berkembang menjadi isu besar seputar profesionalisme Ustad. Hal ini tentu mengusik pikiran kita akan keberadaan ustad artis. Satu sisi kita kembali diingatkan dengan cerita-cerita yang sering kita dengar tentang Kyai-kyai tradisional.
***
Profesionalisme Kyai-Kyai Tradisional
Saya berasal dari situbondo yang masyarakatnya sangat menjunjung sosok Kyai, ustad dan praktisi keagamaan. Biasanya dalam acara apa saja kita mengundang mereka untuk sekedar berceramah atau memimpin doa.Hal ini bisa dilihat dari tataran masyarakat bawah hingga kelas pengusaha. Keberadaan Kyai sangat dihormati bukan karena ketampanan dan ketegasan dalam berdakwah semata, akan tetapi masyarakat melihat dari ilmunya. Meskipun masyarakat desa tidak semuanya pernah mengenyam pendidikan, namun mereka tahu siapa yang layak dia undang.
Masyarakat desa tidak peduli dengan profesionalisme, managerial atau apa saja yang sifatnya formal. Acara-acara dilaksanakan secara kultural dan kekerabatan. Begitupun dengan Kyai-kyai, mereka sangat menjunjung nilai-nilai kultural dalam kehidupan sehari-harinya. Masyarakat dan kyai sama-sama mengerti. Saat Kyai diundang pada sebuah acara, mereka tidak pernah memasang tarif dan minta fasilitas yang lebih mewah dibandingkan undangan lainnya. Mereka duduk lesehan bersama atau berdiri di atas panggung, dan apa yang disediakan oleh tuan rumah mereka terima apa adanya. Hanyasaja, Masyarakat tahu dan mengerti bagaimana menghormati mereka. Sepertinya mereka secara tidak sadar telah menerapkan nilai yang terkandung dalam ajaran islam yang mengajarkan akan pentingnya menghormati orang berilmu dan paham agama.
Begitu juga dengan Kyai. Karena mereka diperlakukan istimewa tidak lantas mereka berbicara dengan jumawa. Jika diundang dalam acara pernikahan, apa yang mereka jelaskan adalah esensi-esensi ajaran agama yang disertai dengan penjelasan yang merujuk pada kitab-kitab jumhur. Tidak hanya mengandalkan ketegasan kata-kata.
Kemudian, ketika usai acara sang Shohibul hajah(penyelenggara acara) menyalaminya dengan amplop yang isinya tidak tahu berapa. Kyai pun menerimanya tanpa melihat dahulu isinya berapa. Dari sini dapat diambil intinya bahwa professional itu adalah ketika nilai-nilai keikhlasan diterapkan dalam dunia dakwah, maka maslahat yang akan didapat. Bukan sibuk berdebat.

Dengan adanya kasus Ustad SM ini kita seakan disadarkan bahwa dakwah islam kini sudah dicemari oleh nilai-nilai kapitalisme yang dibungkus dengan profesionalisme kerja. Seakan menjadi dilema sendiri ketika masyarakat menginginkan   sebuah pencerahan dari sosok yang dipercayai paham agama malah mereka dilimpahi sebuah kenyataan buram yang harus mereka terima. Sudah selayaknya masyarakat membuka mata untuk selektif dalam mengundang penceramah. Sudah sepatutnya kita pahami nilai-nilai keikhlasan yang harus kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.

2 komentar:

  1. nah ini ni saya setuju sama apa yang sampean tulis kang..

    BalasHapus
  2. sementara ini baru ini yang bisa dikritisi. nanti akan ditindaklanjuti. catatanmu jg informatif dib.:) thanks

    BalasHapus

Social Icons