Tidak ada yang kekal
selain sebuah kebohongan yang dipertontonkan. Sesuatu yang buruk menjadi baik,
yang fana tampak abadi pada kebodohan yang membabi buta. Ini dunia, sebuah ruang yang menampung sejuta
harapan dan kemunafikan. Sebuah ruang yang sekarang tinggal menunggu
detik-detik kehancuran. Ini dunia, sebuah ruang dengan sebuah ketiadaan yang
diada-adakan. Ini perkataanku, perkataan manusia yang dewasa dalam pelukan
dosa-dosa. Teguklah seperti kau meneguk segelas anggur menuju ruang hampa yang
akan memabukkanmu dalam puncak kesenangan.
*
Juli yang lesi. Siang
dengan wajah yang pasi. Udara menguap, mengepul, memuai setiap jejak langkah
pada bumi yang setia mengekalkannya sebagai kenangan. Duduklah seorang kakek
tua dengan kantong-kantong plastik di tangannya. Dari matanya, tertanam sebutir
matahari yang menyala-nyala, membiarkan tenggorokan terbakar dahaga. Sungguh
siang yang malang. Katanya. Di saat orang lain begitu antusias dengan
kesibukannya masing-masing, Ia malah duduk termangu di pinggir trotoar. Kadang
ia berpikir, apa yang ingin diharapkan oleh orang-orang itu, dari kesibukan
yang tak kenal waktu, dari kemacetan hidup yang akhirnya berakhir di jalan
buntu. Jalan kematian.
Dia sangat akrab dengan
jalanan, dengan segala keriuhannya saat siang, dengan kesunyiaannya yang
mencekam ketika malam. Jangan pernah kau tanyakan, telah berapa peristiwa
kecelakaan yang ia lihat, telah berapa kejahatan yang ia saksikan di tengah
malam saat jalan begitu lengang. Bahkan ia sendiri tak mampu menghitungnya.
Hidup adalah perjalanan. Katanya. Karena itu, Ia tak bosan-bosannya berjalan.
Jika kalian bertemu
dengannya, satu hal yang harus diingat, jangan pernah kau tanyakan asalnya dari
mana. Jangan tanyakan nama. Ia akan marah dan mungkin, kalian akan mendapatkan
pukulan dari tangannya yang penuh keriput namun berotot kekar. Bukan apa, sebab
baginya itu sama saja dengan memulangkannya ke masa lalu. Sedangkan, baginya
masa lalu adalah pisau.
Pernah suatu kali kakek
tua itu ditanya oleh seseorang saat ia sedang duduk di bibir trotoar. Ia
bertanya nama, bertanya asal dari mana dengan nada sopan, tapi yang diterimanya bukan sebuah
jawaban melainkan pukulan yang melayang ke wajahnya. Sontak orang-orang di sekitar
trotoar itu menghampirinya, mengira kalau telah ada perkelahian. Orang-orang
pun berkerumun mengelilinginya. Entah ingin menghakiminya atau apa, tapi yang
pasti setelah kerumunan orang bubar, sang kakek sudah tidak ada. Entah kemana.
Dari sela kerumunan itu seseorang keluar dengan wajah penuh darah. Tapi bukan
kakek itu. Bukan. Orang-orang itu salah sasaran.
Tidak ada yang mengenalnya. Sebab ia pun tak
mau dikenal. Ia hanya ingin berjalan dan terus berjalan meski tanpa sedikitpun
rencana untuk sampai pada sebuah tujuan. Ia hanya ingin mengenal. Dan menurut
hematnya dengan berjalan ia akan mengenal siapa dan apa. Tapi tahukah kalian
untuk apa?itu tak perlu bagi kalian yang menganggap ini pekerjaan orang gila.
*
Adzan berkumandang.
Langit maghrib membentang. Ada waktunya ia meninggalkan keramaian jalan.
Kembali. Pulang bersembunyi di balik kegelapan.Saat Ia merasa dirinya sudah
terlalu larut dalam perjalanan siang. Siang yang selalu memekikkan kebisingan.
Siang yang tak henti-hentinya mengalirkan peluh-peluh yang tak tentu tujuannya
untuk apa. Di saat seperti ini, ia selalu merasa dahaga. Seperti ada sebuah
kobaran api yang melecut dari mulutnya, ada bara yang menyala pada setiap desir
darah di tubuhnya. Mulutnya terus menganga, menengadah ke langit seakan-akan
hujan akan segera turun. Tapi bukan, Kalian lihat, mulutnya yang menganga itu
tidak berharap hujan, tidak berharap air mengalir dari atas dengan tetes
kesejukan.
Biasanya disaat-saat
seperti ini, ia lebih suka pergi ke masjid. Tapi tidak untuk sembahyang. Dia
hanya singgah dan diam dalam bahasa batu. Tak ada yang ia lakukan selain
melihat keadaan, memperhatikan sekitarnya dengan matanya yang tajam. Lalu
menggelengkan kepala.
“Kenapa dengan kakek
itu?” seseorang memperhatikannya dengan mimik wajah heran.
“Entahlah, tiap maghrib
aku sering melihatnya di sini, tapi saat itu juga aku melihatnya seperti itu.”
Kata seseorang di sebelahnya.
“Jangan-jangan dia
pemulung yang ingin mencuri kotak amal”
“Mungkin”
“Tapi aku bisa
memastikan, setelah ini segera ia pergi”
“Aneh”
“Memang”
Orang-orang hanya bisa
bertanya-tanya kepada temannya. Tidak kepadanya. Entah takut atau cuek, yang
pasti kakek tua itu selalu mendengar setiap perkataan yang diucapkan oleh
mereka. Kemudian pergi, kembali asik sendiri. Bernyanyi. Ia bernyanyi. Tapi
nyanyiannya begitu sunyi. Orang-orang lebih senang mendengar deru mesin mobil
yang malang melintang di jalan.
“Aku
kehilangan duniaku, ketenaranku, dan pikiranku. Ketika matahari terbit, maka
semua bayang-bayang lenyap. Aku berlari mendahului bayang-bayang tubuhku yang
lenyap saat aku berlari. Namun, cahaya matahari itu berlari mendahuluiku dan
memburuku, hingga aku pun terjatuh dan bersujud pasrah ditelan samudera
kilau-Nya yang mempesona”[1]
Kakek tua itu
bernyanyi, menyanyikan sebuah kegundahan yang orang lain tak pernah rasakan.
Kegelisahan yang membuatnya ingin berjalan dan terus berjalan. Mungkin sampai
ia pun tak tahu lagi ke mana lagi ia akan berjalan. Tapi tak mungkin, Ia tidak
akan bingung. Sebab ia memang pejalan yang tak punya tempat tujuan.
“Kekasihku, maafkan
teman-temanku yang bodoh ini. Mereka hanya tidak tahu apa-apa. Bahwa tangan
mereka selalu mengganggu ketenanganmu, lidah mereka selalu tak sopan kepadamu,
bahkan di saat sedang di hadapanmu” Ia berkata kepada siapa. Siapa yang ia
sebut dengan kekasih. Tak ada yang menanyakannya. Karena ucapannya tak bisa
orang lain dengarkan.
*
Melihat kakek setua itu berjalan di terik panas mentari siang, siapa yang
tidak prihatin. Tapi bukannya menerima keprihatinan orang-orang, kakek itu suka
memarahi orang yang berusaha menolongnya. Sekarang ini semakin banyak orang
yang prihatin tapi sekedar prihatin bukan muncul dari kesadaran batin.
Gerutunya suatu ketika yang entah kapan dan di mana. Seakan-akan sudah menjadi
rumahnya, tempat sampah menjadi tempat persinggahan terakhirnya dalam menempuh
perjalanan siang. Menjadi manusia najis, kotor dan bau di mata manusia.
“Biarlah aku najis dan kotor di mata mereka, asal Kau tak mencampakkanku
dalam dunia yang jauh lebih kotor dari ini, Kekasihku.”
Namun ada yang tak pernah tertangkap oleh perhatian orang dari kakek tua
itu. Sepanas apapun matahari saat siang, saat itu juga ada yang janggal. Meski
terik panas matahari menerpa dengan ganas panasnya, tapi kecerahan terpancar
dari raut wajahnya. Wajah yang memancar aura malaikat, yang ketika malam akan
bersinar dan dari jauh akan terlihat seperti cahaya kunang-kunang. Tapi
siapakah yang peduli dengan cahaya itu, mata manusia sudah terlalu gelap untuk
menyaksikan cahayanya. Hanya keprihatinan yang bisa mereka tampakkan dengan
kekuatan uang.
Dan suatu malam wajah kakek itu semakin terang bercahaya, sinarnya menembus
konstelasi langit. Tapi siapa yang peduli, orang-orang yang lewat terlalu buta
untuk mengira bahwa sinar itu berasal dari kantong-kantong plastik perak yang
menumpuk di tempat sampah. Sinar yang memancar dalam waktu yang tak begitu
lama, menyusut, meredup kemudian tidak sama sekali ada. Paginya, tersebar kabar
seorang kakek tua meninggal di antara rongsokan tempat sampah dengan wewangi
yang menyebar sampai seberang jalan.(DS)
0 komentar:
Posting Komentar