Sabtu, 31 Agustus 2013

Kakek Penghuni tempat Sampah


Tidak ada yang kekal selain sebuah kebohongan yang dipertontonkan. Sesuatu yang buruk menjadi baik, yang fana tampak abadi pada kebodohan yang membabi buta.  Ini dunia, sebuah ruang yang menampung sejuta harapan dan kemunafikan. Sebuah ruang yang sekarang tinggal menunggu detik-detik kehancuran. Ini dunia, sebuah ruang dengan sebuah ketiadaan yang diada-adakan. Ini perkataanku, perkataan manusia yang dewasa dalam pelukan dosa-dosa. Teguklah seperti kau meneguk segelas anggur menuju ruang hampa yang akan memabukkanmu dalam puncak kesenangan.
*
Juli yang lesi. Siang dengan wajah yang pasi. Udara menguap, mengepul, memuai setiap jejak langkah pada bumi yang setia mengekalkannya sebagai kenangan. Duduklah seorang kakek tua dengan kantong-kantong plastik di tangannya. Dari matanya, tertanam sebutir matahari yang menyala-nyala, membiarkan tenggorokan terbakar dahaga. Sungguh siang yang malang. Katanya. Di saat orang lain begitu antusias dengan kesibukannya masing-masing, Ia malah duduk termangu di pinggir trotoar. Kadang ia berpikir, apa yang ingin diharapkan oleh orang-orang itu, dari kesibukan yang tak kenal waktu, dari kemacetan hidup yang akhirnya berakhir di jalan buntu. Jalan kematian.
Dia sangat akrab dengan jalanan, dengan segala keriuhannya saat siang, dengan kesunyiaannya yang mencekam ketika malam. Jangan pernah kau tanyakan, telah berapa peristiwa kecelakaan yang ia lihat, telah berapa kejahatan yang ia saksikan di tengah malam saat jalan begitu lengang. Bahkan ia sendiri tak mampu menghitungnya. Hidup adalah perjalanan. Katanya. Karena itu, Ia tak bosan-bosannya berjalan.
Jika kalian bertemu dengannya, satu hal yang harus diingat, jangan pernah kau tanyakan asalnya dari mana. Jangan tanyakan nama. Ia akan marah dan mungkin, kalian akan mendapatkan pukulan dari tangannya yang penuh keriput namun berotot kekar. Bukan apa, sebab baginya itu sama saja dengan memulangkannya ke masa lalu. Sedangkan, baginya masa lalu adalah pisau. 
Pernah suatu kali kakek tua itu ditanya oleh seseorang saat ia sedang duduk di bibir trotoar. Ia bertanya nama, bertanya asal dari mana dengan nada  sopan, tapi yang diterimanya bukan sebuah jawaban melainkan pukulan yang melayang ke wajahnya. Sontak orang-orang di sekitar trotoar itu menghampirinya, mengira kalau telah ada perkelahian. Orang-orang pun berkerumun mengelilinginya. Entah ingin menghakiminya atau apa, tapi yang pasti setelah kerumunan orang bubar, sang kakek sudah tidak ada. Entah kemana. Dari sela kerumunan itu seseorang keluar dengan wajah penuh darah. Tapi bukan kakek itu. Bukan. Orang-orang itu salah sasaran.
 Tidak ada yang mengenalnya. Sebab ia pun tak mau dikenal. Ia hanya ingin berjalan dan terus berjalan meski tanpa sedikitpun rencana untuk sampai pada sebuah tujuan. Ia hanya ingin mengenal. Dan menurut hematnya dengan berjalan ia akan mengenal siapa dan apa. Tapi tahukah kalian untuk apa?itu tak perlu bagi kalian yang menganggap ini pekerjaan orang gila.
*
Adzan berkumandang. Langit maghrib membentang. Ada waktunya ia meninggalkan keramaian jalan. Kembali. Pulang bersembunyi di balik kegelapan.Saat Ia merasa dirinya sudah terlalu larut dalam perjalanan siang. Siang yang selalu memekikkan kebisingan. Siang yang tak henti-hentinya mengalirkan peluh-peluh yang tak tentu tujuannya untuk apa. Di saat seperti ini, ia selalu merasa dahaga. Seperti ada sebuah kobaran api yang melecut dari mulutnya, ada bara yang menyala pada setiap desir darah di tubuhnya. Mulutnya terus menganga, menengadah ke langit seakan-akan hujan akan segera turun. Tapi bukan, Kalian lihat, mulutnya yang menganga itu tidak berharap hujan, tidak berharap air mengalir dari atas dengan tetes kesejukan.
Biasanya disaat-saat seperti ini, ia lebih suka pergi ke masjid. Tapi tidak untuk sembahyang. Dia hanya singgah dan diam dalam bahasa batu. Tak ada yang ia lakukan selain melihat keadaan, memperhatikan sekitarnya dengan matanya yang tajam. Lalu menggelengkan kepala.
“Kenapa dengan kakek itu?” seseorang memperhatikannya dengan mimik wajah heran.
“Entahlah, tiap maghrib aku sering melihatnya di sini, tapi saat itu juga aku melihatnya seperti itu.” Kata seseorang di sebelahnya.
“Jangan-jangan dia pemulung yang ingin mencuri kotak amal”
“Mungkin”
“Tapi aku bisa memastikan, setelah ini segera ia pergi”
“Aneh”
“Memang”
Orang-orang hanya bisa bertanya-tanya kepada temannya. Tidak kepadanya. Entah takut atau cuek, yang pasti kakek tua itu selalu mendengar setiap perkataan yang diucapkan oleh mereka. Kemudian pergi, kembali asik sendiri. Bernyanyi. Ia bernyanyi. Tapi nyanyiannya begitu sunyi. Orang-orang lebih senang mendengar deru mesin mobil yang malang melintang di jalan.
“Aku kehilangan duniaku, ketenaranku, dan pikiranku. Ketika matahari terbit, maka semua bayang-bayang lenyap. Aku berlari mendahului bayang-bayang tubuhku yang lenyap saat aku berlari. Namun, cahaya matahari itu berlari mendahuluiku dan memburuku, hingga aku pun terjatuh dan bersujud pasrah ditelan samudera kilau-Nya yang mempesona”[1]
Kakek tua itu bernyanyi, menyanyikan sebuah kegundahan yang orang lain tak pernah rasakan. Kegelisahan yang membuatnya ingin berjalan dan terus berjalan. Mungkin sampai ia pun tak tahu lagi ke mana lagi ia akan berjalan. Tapi tak mungkin, Ia tidak akan bingung. Sebab ia memang pejalan yang tak punya tempat tujuan.
“Kekasihku, maafkan teman-temanku yang bodoh ini. Mereka hanya tidak tahu apa-apa. Bahwa tangan mereka selalu mengganggu ketenanganmu, lidah mereka selalu tak sopan kepadamu, bahkan di saat sedang di hadapanmu” Ia berkata kepada siapa. Siapa yang ia sebut dengan kekasih. Tak ada yang menanyakannya. Karena ucapannya tak bisa orang lain dengarkan.
*
Melihat kakek setua itu berjalan di terik panas mentari siang, siapa yang tidak prihatin. Tapi bukannya menerima keprihatinan orang-orang, kakek itu suka memarahi orang yang berusaha menolongnya. Sekarang ini semakin banyak orang yang prihatin tapi sekedar prihatin bukan muncul dari kesadaran batin. Gerutunya suatu ketika yang entah kapan dan di mana. Seakan-akan sudah menjadi rumahnya, tempat sampah menjadi tempat persinggahan terakhirnya dalam menempuh perjalanan siang. Menjadi manusia najis, kotor dan bau di mata manusia.
“Biarlah aku najis dan kotor di mata mereka, asal Kau tak mencampakkanku dalam dunia yang jauh lebih kotor dari ini, Kekasihku.”
Namun ada yang tak pernah tertangkap oleh perhatian orang dari kakek tua itu. Sepanas apapun matahari saat siang, saat itu juga ada yang janggal. Meski terik panas matahari menerpa dengan ganas panasnya, tapi kecerahan terpancar dari raut wajahnya. Wajah yang memancar aura malaikat, yang ketika malam akan bersinar dan dari jauh akan terlihat seperti cahaya kunang-kunang. Tapi siapakah yang peduli dengan cahaya itu, mata manusia sudah terlalu gelap untuk menyaksikan cahayanya. Hanya keprihatinan yang bisa mereka tampakkan dengan kekuatan uang.
Dan suatu malam wajah kakek itu semakin terang bercahaya, sinarnya menembus konstelasi langit. Tapi siapa yang peduli, orang-orang yang lewat terlalu buta untuk mengira bahwa sinar itu berasal dari kantong-kantong plastik perak yang menumpuk di tempat sampah. Sinar yang memancar dalam waktu yang tak begitu lama, menyusut, meredup kemudian tidak sama sekali ada. Paginya, tersebar kabar seorang kakek tua meninggal di antara rongsokan tempat sampah dengan wewangi yang menyebar sampai seberang jalan.(DS)






[1] Penggalan sajak Jalaluddin rumi dalam karyanya, al-Masnawi.

0 komentar:

Posting Komentar

Social Icons