Selasa, 21 Februari 2012

K.H. Hasan Abdul Wafi

Latar Belakang Kehidupan dan pendidikan
Tahun 1923, di Desa Sumber Anyar Kecamatan Tlanakan Pamekasan, Lora Abd. Wafi dilahirkan. Beliau merupakan putera bungsu dari tujuh bersaudara, dari pasangan Kiai Miftahul Arifin dan Ny Latifah. Keenam saudara beliau adalah, KH. Ahmad Sayuti, Ny Hj. Atiyah, KH. Zainullah, KH. Masduqi, KH. Syarqowi dan KH Achmad Sufyan Miftahul Arifin.
Sejak usianya masih kecil, Lora Abd. Wafi telah mendapatkan pendidikan agama langsung dari ayahandanya, KH. Miftahul Arifin, Pengasuh Pondok Pesantren An-Nuriyah, Pamekasan. Ilmu agama yang diajarkan di antaranya adalah, membaca AL-Qur’an, Fiqh dan lainnya.
Sekira tahun 1938, ketika usia Lora Abd. Wafi masih 6 tahun, beliau harus rela kehilangan ibunda tercintanya untuk selama-lamanya. Seolah tak habis dirundung duka, lima tahun kemudian, ayahandanya tercinta wafat.
Meski demikian, kepergian kedua orangtua yang sekaligus gurunya tersebut, tidak menjadikan Lora Abd. Wafi tenggelam dalam lautan duka terus-menerus. Lora Abd. Wafi tetap melanjutkan proses belajarnya ke Madrasah Diniyyah di Desa Branta, Tlanakan, Pamekasan. Adapun guru beliau di Madrasah itu adalah Sayyid Hasan bin Alwi dan kakak kandungnya sendiri, KH. Achmad Sayuti. Selain itu, Lora Abd. Wafi juga belajar kepada KH. Achmad Faqih di Sumber Nyamplong Toronan, Pamekasan.
Di Madrasah itu, Lora Abd. Wafi terkenal sebagai murid yang cerdas dan dhobid (mudah menghafal). Karena di usia yang masih relatif muda, beliau sudah mampu menghafal beberapa bait alfiah.
Setamat dari Madrasah Diniyyah, Lora Abd. Wafi melanjutkan proses belajarnya ke Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar Palengan, Pamekasan, yang diasuh oleh KH. Abdul Majid. Di Pesantren ini, beliau langsung dipercaya oleh Kiai Abdul Majid untuk membantu mengajar dan mendidik para santri.
Dalam mengajar, Lora Abd. Wafi merupakan sosok ustadz/guru yang telaten. Tak jarang beliau membantu beberapa santrinya yang mengalami kesulitan dalam muthola’ah (mengulang materi pelajaran). Meski demikian, tak jarang pula beliau marah jika mengetahui salah satu muridnya malas muthola’ah.
Selanjutnya, karena rasa haus Kiai Abd. Wafi terhadap ilmu, akhirnya seidzin Kiai Abdul Majid, beliau kemudian meneruskan proses belajarnya ke tanah suci Makkah.
***
Sepulang dari tanah suci, nama beliau kemudian diitambah Hasan, lengkapnya KH. Hasan Abd. Wafi. Selanjutnya, bersama kakak kandungnya, KH. Sufyan Miftahul Arifin, beliau melanjutkan proses belajarnya kepada KH. Sahlan di sebuah Pesantren yang terletak di Krian Sidoarjo. Kepada Kiai Sahlan beliau belajar tentang tasawuf. Setelah dua tahun belajar tasawuf, kemudian beliau melanjutkan proses belajarnya ke Pesantren Peterongan Jombang yang kala itu diasuh oleh KH. Musta’in Ramli. Seolah masih terus dahaga akan ilmu, beliau kemudian melanjutkan proses belajarnya ke Pesantren Krapyak Jogjakarta yang kala itu diasuh oleh KH. Munawir.
Setelah malang-melintang dari satu pesantren ke pesantren lainnya, akhirnya Kiai Hasan merasa perlu memilih sebuah tempat untuk mengamalkan ilmu-ilmu yang beliau dapatkan dari sekian banyak Kiai di pelbagai pesantren. Akhirnya, Pondok Pesantren Nurul Jadid yang terletak di Kecamatan Paiton Probolinggo, menjadi pilihan terbaik bagi Kiai Hasan untuk mengamalkan ilmu sambil melanjutkan proses belajarnya kepada KH. Zaini Mun’im. Di Pesantren ini, beliau ditemani kakaknya, KH. Sufyan Miftahul Arifin yang kala itu juga nyantri sekaligus membantu Kiai Zaini mengajar dan mendidik santri-santrinya. Keputusan Kiai Hasan untuk menetap di Pesantren ini bertambah bulat ketika di usianya yang ke 35, beliau dijodohkan dengan Ny. Aisyah Zaini, puteri Kiai Zaini. Hasil pernikahan dengan puteri kesayangan gurunya ini, Kiai Hasan dikaruniai 12 putera-puteri, yaitu: 1) M. Ramli (wafat di usia 9 bulan), 2) seorang perempuan (wafat di usia balita dan belum sempat diberi nama), 3) KH. Kholilurrahman, 4) Ny. Hj. Ja’faroh, 5) Ny. Hj. Hamidah, 6) Ny. Hj. Salma, 7) Ny. Hj. Latifah, 8) Ny. Hj. Nur Khotimah, 9) M. Maemun, 10) Ny. Hj. Hilmiyyah Makkiyyah, 11) Abdurrahman, dan 12) M. Amin.

Mengabdi di Pesantren Nurul Jadid dan sekitarnya
Di pesantren Nurul Jadid beliau turut membantu mengajar dan mendidik santri bersama para pengasuh lainnya. Adapun kitab yang beliau ajarkan adalah al-Iqna, Tafsir al-Jalalain, Ibnu al-Aqil dan lain-lain. Selain mengajar kitab klasik di musala, beliau juga mengajar di lembaga formal, seperti di Muallimin 6 tahun dan Perguruan Tinggi Islam dan Dakwah (PTID) Nurul Jadid. Sementara materi yang biasa beliau ajarkan adalah fiqh.
Selain membantu mengajar dan mendidik santri, pada tahun 1976 s/d 2000 beliau dipercaya menjadi Dewan Pengawas Pesantren Nurul Jadid.
Sebagai pendidik beliau terkenal sangat disiplin dan keras. Ini berdampak positif terhadap perkembangan keilmuan dan wawasan para anak didik, baik yang berada di Maullimin 6 tahun atau pun di PTID. Karena para pelajar yang kala itu mayoritas adalah santri, selalu belajar dengan tekun dan bersungguh-sungguh. Tak jarang mereka belajar hingga menjelang pagi jika keesokan harinya Kiai Hasan akan mengajar mereka. Ketekunan dan kesungguhan belajar ini, karena Kiai Hasan selalu mengajak mereka berdiskusi mengenai persoalan-persoalan fiqhiyyah. Jika mereka tidak belajar dengan tekun dan sungguh-sungguh, kemudian tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Kiai Hasan, sudah dapat dipastikan mereka akan mendapatkan amarah. Dari kedisiplinan ini, akhirnya membuahkan hasil yang menggembirakan. Tidak sedikit dari para pelajar yang santri ini, selain pandai ilmu umum juga mahir dalam ilmu agama.
Selain mengajar di pesantren Nurul Jadid, Kiai Hasan juga mengamalkan ilmunya di lembaga pendidikan Ma’had Ali yang terletak di Pondok Pesantren Salafiyyah Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo, di Patokan Kraksaan dan beberapa tempat di sepanjang Pantai Utara, Jawa Timur. Adapun peserta didiknya, terdiri dari pelbagai macam golongan. Ada santri, pelajar, mahasiswa, pengurus NU, hingga Kiai.
Selain menekuni dunia pendidikan, beliau juga mempunyai perhatian dalam bidang pertanian dan perdagangan. Dalam dunia ini, Kiai Hasan tidak lupa melibatkan para santri-santrinya di dalamnya. Harapannya, agar para santri bisa menguasai ilmu pertanian dan perdagangan selain ilmu agama. Sehingga, jika nantinya sudah terjun ke masyarakat, mereka tidak mengalami kesulitan mencari nafkah hidup.
Dalam dunia pertanian, Kiai Hasan biasanya memberikan kesempatan pada para santrinya untuk mengelola sawahnya. Adapun hasilnya, dibagi sesuai dengan ketentuan hukum islam. Sementara itu, jika ada santrinya yang memberikan hasil jerih-payahnya dalam bentuk yang penuh atau tidak mengambil haknya, maka Kiai Hasan akan marah kepadanya. “Saya ini menerapkan syirkah; sebagian untuk saya dan sebagian untuk ananda sebagai orang yang mengerjakan sawah,” ujar Kiai Hasan.
Kiai Hasan juga merupakan sosok Kiai yang sangat perhatian terhadap nasib santri-santrinya. Jika beliau bertemu dengan santrinya, tak jarang beliau bertanya soal pekerjaan mereka. Jika mengetahui santrinya hanya bekerja dengan gaji yang kurang dari cukup untuk kebutuhan keluarganya, acapkali beliau menyuruh santri itu untuk datang ke rumah beliau dan selanjutnya diberi pinjaman uang, agar bisa dikembangkan dalam bentuk usaha sesuai dengan kemampuan santri tersebut.
Dari hal di atas, Kiai Hasan ternyata merupakan sosok Kiai yang memiliki jiwa lembut dan penuh kasih-sayang kepada santri-santrinya. Beliau menjadi keras dan sering marah, hanya karena semata-mata untuk mendidik para santri agar selalu menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-laranganNya. Lebih jauh, Kiai Hasan pernah berpesan bahwa jika berguru, hendaknya juga bersuhbah (bersahabat) dengan gurunya.

Berjuang untuk Nahdlatul Ulama (NU) dan Masyarakat
Selain mengamalkan ilmunya di Pesantren Nurul Jadid, KH. Hasan Abdul Wafi juga berjuang di organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Di Organisasi yang didirikan oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari ini, beliau berangkat bersama dengan saudara iparnya, KH. Abd. Wahid Zaini, SH. Hingga kemudian Kiai Hasan dipercaya sebagai ketua syuriah PCNU Kraksaan dalam dua periode. Sementara Kiai Wahid, setelah menjadi ketua tanfidziah PCNU Kraksaan, beliau diangkat menjadi pengurus PWNU hingga PBNU.
Sebagai ketua syuriah PCNU Kraksaan, Kiai Hasan merupakan orang yang disiplin. Jika datang ke kantor, beliau sering datang terlebih dahulu. Ini sangat berpengaruh besar, terutama terhadap dinamika dalam tubuh NU.
Selain itu, Kiai Hasan juga dikenal sebagai ulama yang berani menyampaikan amar makruf-nahi mungkar, walau amat pahit untuk disampaikan. Beliau tidak segan untuk marah terhadap seseorang jika orang tersebut melanggar syari’at. Meski demikian, amarah beliau cepat mereda, setelah menyampaikan apa yang menjadi unek-uneknya tentang sesuatu yang dianggap menyimpang dari ajaran agama.
Selama hidupnya, di kediaman Kiai Hasan tidak terdapat TV. Meski demikian, beliau tidak buta akan informasi. Ini dibuktikan dengan adanya suratkabar yang begitu menumpuk di kediamannya. Sehingga beliau terkenal dengan sosok ulama yang selalu mengikuti informasi yang up to date. Akan kegemarannya ini, tak jarang pengurus PCNU, baik tanfidziah-syuriah, muda-tua, sebelum mengetahui berita terbaru, beliau sudah terlebih dahulu mengetahuinya.
Dalam organisasi yang berlambang sembilan bintang mengitari bumi ini, beliau mendapatkan patner kerja yang serasi, yaitu Bpk. Rasyid AR, ketua tanfidziah PCNU Kraksaan. Bersama Pak Rasyid, beliau menempati posisi teras di PCNU Kraksaan selama dua periode. Bukti keserasian antara keduanya adalah kesediaan mereka untuk saling berkunjung ke kediaman masing-masing. Jika, Bpk Rasyid terlalu lama tidak berkunjung ke kediamannya, Kiai Hasan tak keberatan untuk menyambangi rumahnya. Begitu pun sebaliknya.
Atas kesediaan Kiai Hasan berkunjung ke rumahnya, Bpk Rasyid pernah berkata kepada Kiai Hasan, “Kiai, saya ini tidak pantas jika harus dikunjungi Kiai Hasan. Karena seorang tanfidziah adalah santri.” Mendengar perkataan ini, Kiai Hasan langsung menegur, “antara tanfidziah dan syuriah itu harus menyatu.” Demikianlah, meski Kiai Hasan adalah seorang ulama, beliau tidak sungkan-sungkan untuk berkunjung ke rumah koleganya demi kemajuan organisasi NU.
Selain itu, beliau juga selalu menjaga jalinan silaturrahmi dengan seluruh pengurus NU, baik di tingkat cabang, wakil cabang hingga ranting. Kunjungan yang sering beliau lakukan itu, adakalanya dalam rangka pembinaan, atau sekedar mengobrol biasa. Meski demikian, kehadiran beliau mempunyai nilai lain. Sehingga NU kala itu bisa jalan dengan solid dan baik.
Sebagai Ketua Syuriah NU, Kiai Hasan terkenal gigih memajukan wawasan keagamaan, baik terhadap pengurus NU atau pun masyarakat. Misalkan beliau berpendapat, jika ada masalah yang belum terpecahkan supaya diajukan ke cabang, dan akan ditindaklanjuti dengan diskusi. Kiai Hasan sendiri selalu berusaha untuk hadir. Sementara hasil dari diskusi akan dibukukan. Ini setiap satu bulan sekali diadakan. Selain itu, pada masa kepemimpinan Kiai Hasan, diadakan pula pengajian di setiap Majleis Wakil Cabang (MWC) dengan cara bergiliran. Adapun Kiainya terdiri dari Kiai-Kiai yang dipilih oleh peserta pengajian, di antaranya adalah Kiai Badri dan Kiai Hasan sendiri. Lebih jauh, sebagai ketua syuriah, beliau juga menganjurkan agar di masjid-masjid dikembangkan pengajian kitab S2 (sulam as-safinah).
Terhadap masyarakat, beliau selalu bersedia jika diundang untuk berdakwah, meski dalam kondisi kesehatan yang kurang baik. Dalam hal ini, Kiai Hasan selalu berpesan, bahwa jika diundang untuk menghadiri pengajian, jangan diukur dari materi yang diberikan. Tapi berjuang itu harus berani berkorban.
Beliau juga terkenal sebagai seorang dermawan. Misalkan ketika memimpin NU, tak jarang beliau mengeluarkan uang pribadinya untuk biaya transportasi atau untuk urusan logistik. Selain itu, menjelang hari raya, biasanya beliau juga sering membagi-bagikan pakaian dan sarung, terutama kepada pengurus NU yang aktif.
Kiai Hasan merupakan sosok ulama yang sangat mencintai NU. Ini beliau tunjukkan ketika kakak kandungnya, KH. Achmad Sufyan Miftahul Arifin yang mengajurkannya agar menjadi mursyid, karena alasan sikap kerasnya. Tapi Kiai Hasan menolak anjuran tersebut. Menurut Kiai Hasan, selama memimpin NU, beliau tidak bisa menjadi mursyid. “Biarkanlah saya NU saja, wirid-wiridnya, wirid NU saja,” ujarnya.
Kecintaan beliau ini kemudian ditularkan kepada santri-santrinya yang sudah memperoleh gelar sarjana. Kepada para santrinya, Kiai Hasan selalu menganjurkan agar aktif berjuang di NU.
***
Dalam memimpin PCNU Kraksaan, Kiai Hasan selalu bersandarkan kepada aturan AD/ART yang telah ditetapkan PBNU. Beliau juga merupakan sosok pemimpin yang mengetahui detail sejarah perjalanan NU. Misalkan, NU itu lahirnya dari masyarakat, bukan dari pemerintah. Sehingga, beliau akan sangat marah jika NU mengadakan kegiatan, tapi pengurus NU tidak mengajak masyarakat. Ini diharapkan agar NU bisa independen terhadap pemerintah.
Mengenai dunia pendidikan, kepada Tanfidziah, Kiai Hasan menganjurkan agar Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) diajarkan mulai SD hingga Perguruan Tinggi (PT). Yang kedua, beliau juga berpesan agar putera-puteri NU itu paling sedikit memiliki ijazah Aliyah (MA). Adapun perguruan tinggi itu menurut kemampuan. Pendapat ini bertolak dari keprihatinan beliau melihat anak-anak NU yang hanya tamat belajar sebatas SMP, lebih-lebih SD. Selain itu, menurut Kiai Hasan, anak puteri NU yang hanya bisa sekolah sampai tingkat SMP misalkan, kemudian langsung diajak kawin, pengetahuan anak itu belum cukup untuk mengerti soal bagaimana menjadi istri yang baik. Kecuali bagi yang sudah pernah nyantri di pesantren.
Bertolak dari hal di atas, wajar ketika Kiai Hasan meninggal, banyak orang yang merasa kehilangan terhadap sosok ulama yang ahli fiqh, organisatoris yang gigih dan pejuang yang ikhlas.

0 komentar:

Posting Komentar

Social Icons