Selasa, 21 Februari 2012

Gender dalam perspektif Islam

KESADARAN GENDER YANG ISLAMI
I. PENDAHULUAN
Masalah kesadaran gender dalam beberapa dasawarsa belakangan ini, termasuk di Indonesia telah mencuat ke permukaan. Berbagai struktur dan kultur yang selama ini mengabaikan perempuan digugat; dan upaya dekonstruksi terhadap pemahaman dan pelaksanaannya dilakukan.
Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya kesenjangan gender adalah dikarenakan bermacam-macamnya penafsiran tentang pengertian gender itu sendiri. Seringkali gender dipersamakan dengan sex (jenis kelamin laki-laki dan perempuan), dan pembagian jenis kelamin laki-laki dan perempuan ini serta peran dan tanggung-jawabnya masing-masing, telah dibuat sedemikian rupa dan berlalu dari tahun ke tahun bahkan dari abad ke abad, sehingga lama kelamaan masyarakat tidak lagi mengenali mana yang gender dan mana yang sex. Bahkan peran gender oleh masyarakat kemudian diyakini seolah-olah merupakan kodrat yang diberikan Tuhan.
Sebagai akibat dari pembagian peran dan kedudukan yang sudah melembaga antara laki-laki dan perempuan, baik secara langsung –berupa perlakuan/sikap, maupun tidak langsung –berupa dampak suatu peraturan perundang-undangan dan kebijakan, telah menimbulkan berbagai ketidak-adilan. Ketidak-adilan ini telah mengakar dalam sejarah, adat-istiadat, norma hukum ataupun struktur dalam masyarakat.
Ketidak-adilan ini boleh jadi timbul dikarenakan adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam berbagai bentuknya, yang tidak hanya menimpa kepada kaum perempuan, akan tetapi juga menimpa kaum laki-laki; walau secara menyeluruh ketidak-adilan gender dalam berbagai kehidupan ini lebih banyak menimpa kaum perempuan.
Perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan telah mempunyai impelementasi di dalam kehidupan sosial budaya. Persepsi yang seolah-olah mengendap di dalam bawah sadar seseorang ialah jika seseorang mempunyai atribut biologis, seperti penis pada diri laki-laki atau vagina pada diri perempuan, maka itu juga menjadi atribut gender yang bersangkutan dan selanjutnya akan menentukan peran sosialnya di dalam masyarakat.
II. PENGERTIAN GENDER
Kata “gender” berasal dari bahasa Inggeris “gender”, dalam Kamus Bahasa Inggeris-Indonesia, berarti “jenis kelamin”. Sedangkan dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai “perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku”.
Melalui pengertian dari kamus di atas, sebenarnya kurang tepat, karena seolah-olah gender disamakan pengertiannya dengan sex (yang berarti jenis kelamin). Kalau dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata gender memang belum masuk dalam perbendaharaannya, akan tetapi istilah gender ini lebih populer di lingkungan Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Dengan demikian untuk memudahkan pemahaman kita terhadap kata gender tersebut, ada baiknya merujuk pada penjelasan pemerintah melalui Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan sebagaimana juga yang tertuang dalam Instruksi Presiden RI No. 9 tahun 2000, sebagai berikut:

Gender (asal kata gen); perbedaan peran, tugas, fungsi, dan tanggung-jawab serta kesempatan antara laki-laki dan perempuan karena dibentuk oleh tata nilai sosial budaya (konstruksi sosial) yang dapat diubah dan berubah sesuai kebutuhan atau perubahan zaman (menurut waktu dan ruang). Gender adalah konsep yang mengacu pada peran dan tanggung-jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. Gender adalah pembagian peran dan tanggung jawab keluarga dan masyarakat, sebagai hasil konstruksi sosial yang dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan perubahan zaman. Gender bukanlah kodrat dan ketentuan Tuhan. Oleh karena itu gender berkaitan dengan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur oleh ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka berada. Dengan kata lain, gender adalah pembedaan peran dan tanggung-jawab antar perempuan dan laki-laki sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan:
Gender:
i. Konstruksi/bentuk sosial
ii. Tidak dimiliki sejak lahir
iii. Bisa dibentuk/bisa berubah
iv. Dipengaruhi:
o Tempat
o Waktu/zaman
o Suku/ras/bangsa
o Budaya
o Status sosial
o Pemahaman agama
o Ideologi negara
o Politik, hukum dan ekonomi

Karenanya gender:
o Bukan kodrat
o Dibuat manusia
o Bisa dipertukarkan
o Relatif
o Berbeda dengan ciri-ciri yang terdapat pada laki-laki maupun perempuan (jenis kelamin, biologis, natur)

Pengertian sex adalah pembagian jenis kelamin yang terdiri dari perempuan dan laki-laki, yang telah ditentukan oleh Tuhan, sebagai kodrat Allah swt. Perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki dapat dilihat baik dari ciri fisik primer maupun ciri fisik sekunder dari organ dan fungsi reproduksinya. Karenanya seks relatif tidak dapat ditukar atau diubah.


Ciri-ciri laki-laki dan perempuan dapat dillihat dalam matrik berikut ini:
Laki-laki Perempuan
Primer - Penis
- Kantung zakar (Scotrum)
- Buah zakar (testis)
- Sperma/mani
- Prostat (kelenjar) pengaturan pengeluaran sperma dan air seni / kelenjar kemih - Vagina (liang senggama)
- Ovarium (indung telur)
- Ovum (sel telur)
- Uterus
- Menyusui
- Haid
- Rahim
Sekunder - Bulu dada / tangan
- Jakun
- Suara berat
- Berkumis - Kulit halus
- Suara lebih bernada tinggi
- Dada besar
Ketentuan ini berlaku sejak dahulu kala, sekarang, dan akan berlaku selamanya. Uraian di atas memberikan kesimpulan kepada kita bahwa:
Jenis Kelamin Biologis (seks) adalah:
• Bawaan
• Kodrat
• Buatan Tuhan
• Mutlak

Tidak dipengaruhi oleh:
• Tempat
• Waktu/zaman
• Ras/suku/bangsa
• Budaya
• Negara ideologi

Karenanya: tidak bisa berubah, tetap dan hanya dimiliki laki-laki saja atau perempuan saja (nature). Untuk memperjelas perbedaan antara gender dan sex dapat dilihat pada skema berikut ini;
Gender Sex (Jenis Kelamin)
Dapat berubah
Dapat dipertukarkan
Tergantung waktu
Tergantung budaya setempat
Bukan merupakan Kodrat Tuhan
Buatan manusia Tidak dapat berubah
Tidak dapat dipertukarkan
Berlaku sepanjang masa
Berlaku di mana saja
Merupakan Kodrat Tuhan
Ciptaan Tuhan

Pemahaman atas konsep gender sesungguhnya merupakan isu mendasar dalam rangka menjelaskan masalah hubungan antara kaum perempuan dan kaum laki-laki, atau masalah hubungan kemanusiaan kita.

III. GENDER DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Sebelum menguraikan bagaimana pandangan Islam terhadap gender, perlu dikemukakan terlebih dahulu pandangan masyarakat dunia secara umum terhadap perempuan, terutama sebelum turunnya kitab suci Alquran. Kemudian baru ditelaah bagaimana pandangan Alquran terhadap gender, serta bagaimana penafsiran ulama terdahulu dan kontemporer terhadap ayat-ayat Alquran tersebut.
Sejarah telah menginformasikan bahwa sebelum diturunkannya kitab suci Alquran, berbagai peradaban umat manusia telah berkembang sedemikian rupa, seperti halnya peradaban bangsa Yunani, Romawi, India, Cina dan yang lainnya. Dan juga sebelum datangnya agama Islam, telah datang terlebih dahulu berbagai agama, seperti agama Zoroaster, Buddha, dan yang paling belakangan adalah agama Yahudi dan Nasrani.
Pada puncak peradaban Yunani, perempuan tidak mendapat penghargaan yang adil, karena mereka dianggap alat pemenuhan naluri seks laki-laki. Kaum laki-laki diberi kebebasan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan dan selera tersebut, dan para perempuan dipuja untuk itu. Patung-patung telanjang yang terlihat dewasa ini di Eropa adalah merupakan bukti yang menyatakan pandangan itu.
Peradaban Romawi juga tidak begitu berbeda dengan Yunani, menjadikan perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya. Setelah kawin, kekuasaan pindah ke tangan suami. Kekuasaan ini mencakup kewenangan menjual, mengusir, menganiaya dan membunuh. Peristiwa tragis ini berlangsung sampai pada abad V Masehi. Segala hasil usaha perempuan, menjadi hak milik keluarganya yang laki-laki.
Pada zaman Kaisar Konstantin (abad XV), terjadi sedikit perubahan dengan diundangkannya hak pemilikan terbatas bagi perempuan, dengan catatan bahwa setiap transaksi harus disetujui terlebih dahulu oleh keluarga (suami/ayah).
Peradaban Hindu dan Cina, juga tidak lebih baik. Hak hidup bagi seorang perempuan yang telah bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya, istri terkadang harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar. Tradisi ini baru berakhir pada abad XVII Masehi.
Sepanjang abad pertengahan nasib perempuan tetap sangat memperihatinkan, sampai dengan tahun 1805 perundang-undangan Inggeris masih mengakui hak suami untuk menjual istrinya, bahkan sampai dengan tahun 1882 perempuan Inggeris belum lagi mempunyai hak kepemilikan harta benda secara penuh, termasuk hak menuntut ke pengadilan.
Untuk dapat mengetahui keberadaan dan peran yang dimainkan Islam, diperlukan pemahaman mendalam terhadap stratifikasi sosial budaya bangsa Arab menjelang dan ketika Alquran diturunkan. Misi Alquran hanya dapat dipahami secara utuh setelah memahami kondisi sosial budaya bangsa Arab. Bahkan boleh jadi, sejumlah ayat dalam Alquran (termasuk ayat-ayat yang menjelaskan gender), dapat disalah-pahami tanpa memahami latar belakang sosial budaya masyarakat Arab. Justru itu sebelum membahas lebih jauh, perlu diperkenalkan secara umum kondisi geografis dan pola kehidupan mereka –yang tentunya ikut mengambil peran dalam proses pembentukan budaya masyarakat Arab.
Jazirah Arab mempunyai daerah yang cukup luas, dan sebagian besar wilayahnya terdiri dari padang pasir. Hanya sebagian kecil wilayahnya di bagian selatan dan utara, daerah yang subur. Posisi geografisnya yang jauh dari pusat-pusat kerajaan besar dan kondisi alamnya yang sulit dijangkau, menyebabkan kawasan ini luput dari cengkeraman 2 (dua) imperium besar Romawi dan Persia.
Mata pencaharian penduduk kebanyakan beternak bagi mereka yang mendiami kawasan tandus, bercocok tanam bagi mereka yang berada di kawasan yang subur. Kelangsungan hidup mereka tergantung pada alam, dan pembagian peran dalam masyarakat sangat tergantung pada kondisi obyektif keadaan alam. Laki-laki bekerja sebagai pencari nafkah keluarga dan mempertahankan keutuhan dan kehormatan kabilah (sektor publik), dan perempuan bekerja mengasuh anak dan mengatur urusan rumah tangga (sektor domestik).
Dilihat dari sudut system kekerabatan, maka keluarga Arab dapat dibedakan ke dalam 5 (lima) bentuk, yaitu:
1. Tribe (Kabilah/qabilah);
2. Sub Tribe (Sub Kabilah/‘asirah);
3. Clan, Lineage (Suku/hamulah);
4. Extended family (Keluarga Besar/‘a`ilah);
5. Nuclear family (Keluarga Kecil/usrah).
Kelima bentuk keluarga ini ditemukan di daerah tertentu, sekalipun pada daerah yang lain kelima bentuk tersebut tidak dianut secara identik, sesuai dengan watak dasar bangsa Arab yang nomaden; mereka menyesuaikan hidup dengan kondisi obyektif dimana mereka berada.
Pada masa Jahiliyah, anak-anak perempuan kehadirannya tidak diterima sepenuh hati oleh masyarakat Arab. Pandangan mereka ini telah direkam oleh Alquran, mulai dari sikap yang paling ringan yaitu bermuka masam, sampai pada sikap yang paling parah yaitu membunuh bayi-bayi mereka yang perempuan. Informasi ini dapat dibaca dalam QS. an-Nahl (16): 58, sebagai berikut:
    •     
58. dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan Dia sangat marah.
dan QS.at-Takwir (81): 9
   
9. karena dosa Apakah Dia dibunuh,
Demikian secara ringkas kondisi geografis serta pola kehidupan bangsa Arab sebelum turunnya agama Islam, selanjutnya akan ditelaah ayat-ayat Alquran dan pemahamannya, terutama yang menyangkut masalah gender.
Bahwa agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. telah memperjuangkan dan berhasil meningkatkan derajat perempuan yang sebelumnya mereka tertindas. Kaum perempuan yang sebelumnya tidak menerima warisan, malah termasuk barang yang diwariskan, oleh Islam diberikan porsi waris yang tetap (faraidh). Islam mendudukkan perempuan sebagai makhluk Allah sederajat dengan pria dengan hak dan tanggungjawabnya yang adil dan seimbang. Tetapi, kenyataan bahwa perempuan Muslimah pada masa-masa berikutnya pernah dan sebagian masih mengalami perlakuan yang berbeda dan diskriminatif, juga telah menjadi catatan historis dan kajian para ahli.
Alquran, sebagai sumber utama dalam ajaran Islam, telah menegaskan ketika Allah Yang Maha Pencipta menciptakan manusia termasuk di dalamnya, laki-laki dan perempuan. Paling tidak ada empat kata yang sering digunakan Alquran untuk menunjuk manusia, yaitu basyar, insan dan al-nas, serta bani adam . Masing-masing kata ini merujuk makhluk ciptaan Allah yang terbaik (fi ahsan taqwim), meskipun memiliki potensi untuk jatuh ke titik yang serendah-rendahnya (asfala safilin), namun dalam penekanan yang berbeda. Keempat kata ini mencakup laki-laki dan perempuan.

Mengenai asal kejadian manusia ini, Alquran menyatakan dalam surah An-Nisa’(4): 1, sebagai berikut:
 ••                 •       •     
1. Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
[263] Maksud dari padanya menurut jumhur mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa Yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan.
[264] Menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau memintanya kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti :As aluka billah artinya saya bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah.

Alquran, yang diwahyukan dalam bahasa Arab yang fasih, mengenal pembedaan antara kata-ganti (dhamir/pronoun) laki-laki dan perempuan, baik sebagai lawan bicara atau orang kedua (mukhatab), maupun sebagai orang ketiga (ghaib), namun perbedaan itu tidak ada sebagai orang pertama (mutakallim). Dalam tradisi penggunaan bahasa Arab, penggunaan bentuk maskulin, sebagai orang kedua atau ketiga, mencakup juga yang feminin. Pengucapan salam, assalamu ‘alaikum, misalnya, yang memakai bentuk maskulin (kum), mencakup juga audiensi perempuan, hingga terasa ‘berlebihan’ untuk menambahi ‘alaikunna yang secara langsung menunjuk kaum perempuan.
Mengingat tradisi bahasa Arab di atas, Alquran merasa penting untuk mengulang-ulang kedua bentuk (maskulin dan feminin) secara berpasangan untuk menekankan kesetaraan pria dan wanita dalam berbagai aspek kehidupan, disebutkan dalam QS. al-Ahzab (33):35, sebagai berikut:
•                           • •  
35. Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin[1218], laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
[1218] Yang dimaksud dengan Muslim di sini ialah orang-orang yang mengikuti perintah dan larangan pada lahirnya, sedang yang dimaksud dengan orang-orang mukmin di sini ialah orang yang membenarkan apa yang harus dibenarkan dengan hatinya.

Berbicara mengenai prinsip2 kesadaran gender dalam perspektif Islam, setidaknya kita dapat mengajukan 5 (lima) variable yang dapat digunakan sebagai ukuran untuk menguji bagaimana kitab suci Alquran memberitakan. Kelima variable tersebut masing-masing: laki-laki & perempuan sama2 sebagai hamba Allah, sebagai khalifah di muka bumi, sebagai yang menerima perjanjian/sama2 berikrar akan keberadaan Allah, sebagai hamba yang punya tanggung-jawab, dan sebagai yang berpotensi meraih prestasi.

1. Pertama, sebagai hamba Allah. Alquran menyebutkan bahwa salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepadaTuhan. Penjelasan ini dapat dibaca dalam QS. Az-Zariyat (51): 56, saewbagai berikut:
      
56. dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam Alquran biasa diistilahkan dengan orang-orang yang bertaqwa (muttaqun), dan untuk mencapai derajat muttaqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis tertentu yang disaebutkan dalam QS Al-Hujurat (49): 13, sebagai berikut:
 ••           •      •    
13. Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Dalam kapasitas sebagai hamba, laki-laki dan perempuan masing-masing akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai dengan kadar pengabdiannya, sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nahl (16): 97, sebagai berikut:
         •    •      
97. Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
[839] Ditekankan dalam ayat ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman.

2. Kedua, sebagai khalifah di bumi. Maksud dan tujuana penciptaan manusia di muka bumi ini adalah, disamping untuk menjadi hamba (‘abid) yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah SWT., juga untuk menjadi khalifah di bumi (khalifah fi al-ard). Kapasitas manusia sebagai khalifah di bumi ditegaskan dalam QS. Al-An’am (6): 165, sebagai berikut:
               •       
165. dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Pada ayat lain disebutkan dalam QS. al-Baqarah (2):30, sebagai berikut:
                     •         
30. ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Kata khalifah dalam kedua ayat di atas tidak menunjuk kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu. Laki-laki dan perempuan menpunyai fungsi yang sama sebagai khalifah, yang akan mempertanggung-jawabkan tugas-tugas kekhalifah-annya di bumi, sebagaimana halnya mereka harus bertanggung-jawab sebagai hamba Tuhan.

3. Ketiga, sebagai penerima perjanjian/ikrar ketuhanan yg sama. Laki-laki dan perempuan sama-sama mengamban amanah dan menerima perjanjian primordial dengan Tuhan. Seperti diketahui, menjelang seorang anak manusia keluar dari rahim ibunya, ia terlebih dahulu harus menerima perjanjian dengan Tuhannya (QS.Al-A’raf (7): 172).
                         •    
172. dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",

Menurut penjelasan Fakhr ar-Razi, tidak seorang pun anak manusia yang lahir ke muka bumi ini yang tidak berikrar akan keberadaan Tuhan, dan ikrar mereka disaksikan oleh para Malaikat. Tidak ada seorang pun yang mengatakan tidak. Di dalam ajaran Islam, tanggung jawab individual dan kemandirian seseorang telah berlangsung sejak dini, yaitu semenjak dalam kandungan. Sejak awal sejarah kejadian manusia dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama. Dan tambahnya lagi Alquran mengungkapkan bahwa Allah SWT yang Maha Kuasa memuliakan seluruh anak cucu Adam, sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya QS. Al-Isra’ (17): 70, sebagai berikut:
                 
70. dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan[862], Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
[862] Maksudnya: Allah memudahkan bagi anak Adam pengangkutan-pengangkutan di daratan dan di lautan untuk memperoleh penghidupan.

4. Keempat, sebagai hamba yang punya tanggung jawab. Semua ayat yang memuat cerita tentang keadaan Adam dan pasangannya di surga sampai keluar ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak secara aktif dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang هما(huma), yakni kata ganti untuk Adam dan Hawa, seperti dapat dilihat dalam beberapa kasus berikut: bahwa Adam dan Hawa diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga, disebutkan dalam QS. Al-Baqarah (2): 35, sebagai berikut:
     •             
35. dan Kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini[37], yang menyebabkan kamu Termasuk orang-orang yang zalim.
[37] Pohon yang dilarang Allah mendekatinya tidak dapat dipastikan, sebab Al Quran dan Hadist tidak menerangkannya. ada yang menamakan pohon khuldi sebagaimana tersebut dalam surat Thaha ayat 120, tapi itu adalah nama yang diberikan syaitan.

Adam dan istrinya sama-sama mendapat godaan dari setan, yang ditegaskan dalam Alquran, QS. Al-A’raf (7): 20, sebagai berikut:
•                         
20. Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk Menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka Yaitu auratnya dan syaitan berkata: "Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi Malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)".
Keduanya (Adam dan istrinya) sama-sama memakan buah khuldi dan mereka menerima akibat jatuh ke bumi, seperti tertulis dalam QS. Al-A’rat (7): 22, sebagai berikut:
              •           •     
22. Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?"
Kemudian keduanya sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni Tuhan, yang kisahnya diabadikan dalam QS. Al-A’raf (7): 23, sebagai berikut:
         •   
23. keduanya berkata: "Ya Tuhan Kami, Kami telah Menganiaya diri Kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni Kami dan memberi rahmat kepada Kami, niscaya pastilah Kami Termasuk orang-orang yang merugi.
Pernyataan-pernyataan dalam Alquran di atas, agak berbeda dengan pernyataan-pernyataan dalam Alkitab yang membebankan kesalahan lebih berat kepada Hawa. Dalam ayat-ayat tersebut di atas, Adam dan Hawa disebutkan secara bersama-sama sebagai pelaku dan bertanggung jawab terhadap perbuatannya tersebut.

5. Kelima, sebagai hamba yang berpotensi meraih prestasi. Peluang untuk meraih prestasi maksimum tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana ditegaskan secara khusus di dalam firman-Nya surah Ali Imran (3): 195, sbb:
              … 
195. Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan…

Dalam QS. an-Nisa’ (4): 124, Allah menegaskan:
            •    
124. Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang senada, seperti QS. an-Nahl (16): 97; dan QS. al-Gafir (40): 40.
Ayat-ayat tersebut di atas mengisyaratkan konsep kesadaran gender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun urusan karir professional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama meraih prestasi optimal.
Salah satu obsesi Alquran ialah terwujudnya keadilan di dalam masyarakat. Keadilan dalam Alquran mencakup segala segi kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Karena itu Alquran tidak mentolerir segala bentuk penindasan, baik berdasarkan kelompok etnis, warna kulit, suku bangsa, dan kepercayaan, maupun yang berdasarkan jenis kelamin. Jika terdapat suatu hasil pemahaman atau penafsiran yang bersifat menindas atau menyalahi nilai-nilai luhur kemanusiaan, maka hasil pemahaman dan penafsiran tersebut terbuka untuk diperdebatkan.
Ke-lima variable beserta ayat-ayat yang dikemukakan di atas memberikan informasi bahwa penciptaan manusia sejak awal tidak menunjukkan adanya perbedaan substansi antara laki-laki dan perempuan. Kalaupun antara keduanya mempunyai perbedaan maka substansi perbedaannya tidak pernah ditonjolkan. Ini mengisyaratkan bahwa Alquran mempunyai pandangan yang cukup positif terhadap perempuan.
Jika demikian halnya, mengapa terjadi perbedaan antara laki-laki dan perempuan? Mengapa terjadi ketidak adilan gender atau diskriminasi terhadap perempuan, dan kenapa disebut bahwa perempuan itu sebagai manusia kelas dua ? Konon juga paham yang demikian itu bersumber dari ajaran Islam ?
Perlu ditegaskan bahwa asal-usul kejadian manusia tidak diceritakan secara kronologis dalam Alquran. Cerita penciptaan manusia banyak diketahui melalui hadis, kisah-kisah isra’iliyyat, dan riwayat-riwayat yang bersumber dari kitab Taurat (kitab suci agamaYahudi), Injil (kitab suci agama Kristen), dan cerita-cerita yang bersumber dari kitab Talmud, kitab yang banyak memberikan penafsiran terhadap kitab Taurat.
Menurut keterangan Alkitab, manusia pertama kali diciptakan ialah laki-laki (Genesis/1:20) yakni Adam, dan kemudian daripadanya diciptakan perempuan yakni Hawa (Eva).
“(21) Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak, ketika tidur, Tuhan Allah mengambil salah-satu rusuk daripadanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. (22) Dan dari rusuk yang diambil Tuhan allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu”.
Pernyataan Alkitab ini mengisyaratkan bahwa perempuan adalah ciptaan kedua (the second creation) sesudah laki-laki (Adam) dan secara substansif laki-laki lebih utama daripada perempuan, karena perempuan diciptakan dari unsur laki-laki.
Menurut sumber-sumber Yahudi, dijelaskan bahwa secara substansial penciptaan perempuan dibedakan dengan penciptaan laki-laki. Jika orang-orang bukan penganut Yahudi dan Kristen membaca pernyataan-pernyataan di atas, akan terkesan bahwa substansi dan kedudukan perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Akan tetapi kalangan orang Yahudi dan Kristen tentu mempunyai metode tersendiri dalam memahami pernyataan-pernyataan kitab suci mereka, karena setiap pengikut sebuah kitab suci memiliki metode pemahaman tersendiri. Hal yang sama juga terjadi dalam penganut agama Islam, dalam sebuah teks dapat dipahami secara berbeda-beda antara satu ulama dengan ulama yang lain.
Tidak mudah meniadakan problem dalam memahami teks kitab suci, apalagi apabila teks itu diuraikan secara detail. Suatu cerita yang terurai secara tersurat di dalam kitab suci, menuntut keyakinan dan loyalitas kepada pemeluknya. Boleh jadi sekelompok masyarakat menilai cerita-cerita seperti itu adalah mitos, tetapi kelompok masyarakat lain meyakininya sebagai suatu fakta atau kisah simbolis yang sarat dengan makna. Sekelompok masyarakat menilai beberapa cerita yang berkembang dalam masyarakat sebagai mitos yang destruktif, tetapi cerita itu tetap hidup karena dianggap bagian dari doktrin agama.
Alquran tidak menyebutkan secara terperinci asal-usul kejadian perempuan, yang ada hanya cerita tentang kesombongan Iblis yang menggoda pada Adam dan pasangannya sehingga harus meninggalkan surga. Beberapa riwayat yang menceritakan asal-usul keberadaan kejadian perempuan (isi beritanya maupun redaksinya mirip dengan cerita yang ada dalam kitab Kejadian), ditemukan dalam kitab-kitab Tafsir yang dihubungkan dengan ucapan Rasulullah Muhammad saw. yang dikenal dengan “hadis”.
Salah-satu pemberitaan tentang kejadian perempuan tersebut dapat dilihat dalam Tafsir at-Thabari yang menguraikan, sebagai berikut:
- حدثنى موس بن هارون قال: أخبرنا عمرو بن حماد قال: ثنا اسبط عن السدى قال: اسكن آدم الجنة فكان يمشى فيها وحشا ليس له زوج يسكن اليها فنام نومة فاستيقظ فاذا عند رئسه امرءة قاعدة خلقها الله من ضلعه فسألها من انت ؟ قالت امرءة قال: ولم خلقت ؟ قالت: تسكن الى
Artinya: Diriwayatkan dari Musa ibn Harun berkata: saya diberi tahu oleh Amr Ibn Hammad dari Asbat dari as-Sadi berkata: Ketika Tuhan menempatkan Adam di surga ia hidup dan berjalan sendirian tanpa didampingi pasangan. Suatu ketika seorang perempuan yang Allah ciptakan dari tulang rusuknya. Adam bertanya: Siapa anda? Dijawab”Aku seorang perempuan”, Adam bertanya: Untuk apa anda diciptakan ? Dijawab: Supaya kamu tinggal bersamaku”.
Redaksi riwayat di atas sangat mirip dengan redaksi kitab Kejadian, khususnya pasal 21 dan 23 yang disebutkan sebelumnya. Riwayat-riwayat semacam ini banyak diintrodusir di dalam kitab-kitab Tafsir klasik maupun kitab-kitab Sejarah Islam seperti, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, oleh at-Tabari; al-Kamil fi at-Tarikh, oleh Ibn Asir; as-Sirah an-Nabawiyah, oleh Ibn Hisyam. Kitab-kitab klasik tersebut kelihatannya cenderung kurang selektif memasukkan kisah-kisah israiliyat ke dalam karya-karya mereka. Dan yang sudah pasti sebagai akibat kekurang selektifan mereka, membuat kisah-kisah tersebut juga cenderung memojokkan kaum perempuan.
Imam Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan hadis yang intinya berbunyi:
- عن ابى هريرة رضى الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " ان المرءة كالضلع إذا ذهبت تقيمها كسرتها وان تركتها استمتعت بها وفيها عوج" رواه البخارى ومسلم.
Artinya: Dari Abi Hurairah RA. berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Sesungguhnya perempuan seperti tulang rusuk, jika kalian mencoba meluruskannya ia akan patah. Tetapi jika kalian membiarkannya maka kalian akan menikmatinya dengan tetap dalam keadaan bengkok” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari uraian-uraian di atas jelas kelihatan bahwa Alquran sebenarnya hanya mengungkapkan persamaan-persamaan antara laki-laki dan perempuan, akan tetapi kitab Sejarah Islam klasik, terpengaruh dengan pemberitaan kitab Kejadian. Padahal sesungguhnya semangat ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Saw tidak sejalan dengan cerita-cerita yang memojokkan perempuan tadi.
Keberhasilan Nabi Muhammad SAW. membangun pilar-pilar dasar peradaban Islam didasarkan atas kekokohan pribadi Muslim dan solidnya lembaga keluarga yang dibangun dalam prinsip kemitraan cinta-kasih (jawz) dan resiprositas luhur (mu’asyarah bi al-ma’ruf) untuk membangun keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Nabi Muhammad SAW. mengangkat derajat perempuan dengan memperkuat landasan teologis-spiritual, dan merombak iklim kultural yang berkembang serta menjabarkannya dalam kehidupan keluarganya serta dalam kebijakan pemerintahannya. Koherensi dan konsistensi ajaran Islam Islam dengan praktek Rasulullah inilah yang dicatat sebagai suatu revolusi kultural pada saat itu.
Jika demikian halnya mengapa ada dalam Alquran ayat-ayat yang membedakan perlakuan terhadap perempuan? Untuk mengawali, patut diingat bahwa ‘membedakan’ perlakuan bukan berarti memperlakukan seorang secara tidak adil. Keadilan (justice) tidaklah identik dengan persamaan (equality). Dalam kajian filsafat, jauh sebelum Islam, Aristoteles sudah mengulas konsep keadilan yang dapat disimpulkan pada prinsip ‘treating equals equally’ (memperlakukan mereka yang sama secara sama). Sama dan beda dari segi apa? Apakah yang mempersamakan dan memperbedakan satu orang dari yang lain? Memperlakukan mereka yang sama secara berbeda tentu ketidak-adilan. Namun jika mereka memang tidak sama, malah jika diperlakukan sama (treating unequals equally), maka ketidak-adilan yang terjadi. Atau, mereka yang sama diperlakukan berbeda (treating equals unequally), tentu kezaliman yang muncul. Yang menjadi pertanyaan sekarang: apakah laki-laki dan perempuan ‘sama’, hingga harus diperlakukan ‘sama’, atau mereka berbeda hingga mesti diperlakukan berbeda, atau laki-laki dan perempuan memiliki banyak persamaan, tetapi juga berbagai perbedaan. Kalau begitu mereka harus diperlakukan secara sama dalam aspek-aspek yang mereka sama, serta mesti diperlakukan berbeda, aspek-aspek yang memang mereka berbeda.
Perbedaan yang cukup gamblang adalah masalah perbedaan perlakuan laki-laki dan perempuan terkait dengan nilai kesaksian (dan porsi kewarisan QS. an-Nisa’(4): 11 dan 176). Masalah lain yang juga tidak sejalan dengan prinsip kesetaraan adalah kedudukan suami isteri dalam rumah tangga, tentang apa yang dimaksud dengan ‘kepala keluarga’, umumnya didasarkan pada QS. An-Nisa’ (4): 34, sebagai berikut:
                                       •     
34. kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)[290]. wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar
[289] Maksudnya: tidak Berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.
[290] Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik.
[291] Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
[292] Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.

Tanpa harus masuk dalam kompleksitas penafsiran dan re-interpretasi terhadap ayat-ayat di atas dan yang sejenisnya, ada dua hal pokok yang patut dicermati. Pertama, Alquran sebagai wahyu Allah merupakan hal yang sakral dan absolut, namun pemahaman, interpretasi dan penjabarannya merupakan hasil jerih payah para ulama. Yang kedua, ajaran Islam, karena bersumber dari Allah Yang Maha Tahu dan Bijak, tentu seyogianya merupakan suatu kesatuan yang komprehensif dan tidak kontradiktif antara satu dengan lain. Dari sisi inilah, beberapa penafsir berupaya menyaring prinsip-prinsip pokok serta menghimpun nilai-nilai dasar ajaran Islam yang bersifat universal dan permanen, yang harus dipilah dari ketentuan-ketentuan yang bersifat temporal dan situasional yang terkait dengan tuntutan ruang dan waktu.
Hal inilah yang dilakukan para ulama kita di negeri ini. Mereka telah berijtihad baik secara perorangan maupun jama’ah untuk menemukan prinsip dan nilai tersebut, serta menjabarkan dan menerapkannya di bumi Indonesia pada masa kini. Berbagai penafsiran ulang dan perumusan baru diperkenalkan. Sekedar memperkenalkan salah satunya yang mungkin sering terlupakan, yaitu perlakukan terhadap lembaga perkawinan dan relasi timbal-balik suami-isteri yang setelah dikaji ternyata lembaga perkawinan dalam budaya Indonesia jauh berbeda dengan lembaga yang sama di jazirah Arab di masa lalu, ketika kitab-kitab fiqh klasik ditulis. KHI (Kompilasi Hukum Islam) telah merumuskan bahwa lembaga perkawinan yang lebih kemitraan, serta mensejajarkannya seperti syirkah (kerjasama), hingga harta-kekayaan yang terwujud di dalamnya menjadi milik bersama suami-isteri, sehingga jika, sekiranya, suami meninggal dunia, isteri berhak terlebih dahulu separoh (50%) dari harta perkawinan (gono-gini), barulah setelahnya isteri berhak menerima warisan ¼ kalau tidak ada anak, dan 1/8 jika ada anak.
Namun masih banyak lagi yang harus dilakukan. Upaya menyaring nilai dan menemukan prinsip ajaran Islam bukan hal yang mudah, termasuk juga untuk mensosialisasikan dan menerapkannya sebagai pedoman untuk menyusun pranata kehidupan manusia kini dan di sini. Masih banyak apa yang sebelumnya hanya produk pemikiran dan upaya penafsiran dianggap bagian dari ajaran agama yang universal atau prinsip yang permanen. Untuk itu marilah kita berupaya dengan sepenuh hati dan seluruh daya upaya untuk membaca, mempelajari dan menelaah sumber-sumber ajaran agama serta berusaha memahami tuntutan wahyu dan panduan hadits hingga kita dapat menerapkan ajaran Islam yang rahmat li al-‘alamin tersebut dalam ruang waktu kita sekarang ini.

IV. KESIMPULAN

Dari uraian-uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa;
1. Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab antar perempuan dan laki-laki sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat, yang dapat berubah sesuai dengan tuntutan perubahan zaman. Sedangkan seks (jenis kelamin: laki-laki dan perempuan) tidak berubah dan merupakan kodrat Tuhan.
2. Dalam ajaran agama Islam tidak ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki, baik sebagai hamba Allah, sebagai khalifah di bumi, sebagai hamba yang mempunyai tanggung jawab, sebagai hamba yang terlibat dalam drama kosmis, dan sebagai hamba yang berpotensi meraih prestasi.
3. Perbedaan di dalam Alqur’an ditemukan dalam masalah waris, kesaksian dan kepemimpinan dalam keluarga.
4. Kisah-kisah kejadian Adam dan istrinya Hawa dalam Alquran tidak ditemukan secara kronologis, namun pemberitaan yang sangat mirip dengan kitab Kejadian (Alkitab) ditemukan dalam kitab-kitab Tafsir dan Sejarah Islam klasik, dan pemberitaan yang dihubungkan dengan Nabi Muhammad SAW. (Hadis).
5. Untuk menghindari ketidak-adilan antara perempuan dan laki-laki perlu penafsiran ulang terhadap nash-nash yang bias gender.

0 komentar:

Posting Komentar

Social Icons