Pada Tahun 1906, di Desa Galis Pamekasan Madura, Lora Zaini Mun'im dilahirkan. Beliau merupakan putera pertama dari pasangan KH. Abdul Mun'im dan Ny. Hj. Hamidah. Lora Zaini memiliki adik bernama KH. Zawawi Mun’im.
Nama kecil Lora Zaini adalah Abdul Mughni. Sejak kelahirannya, masyarakat Galis berharap banyak pada dirinya. Sebab dalam tubuhnya telah tergabung antara darah bangsawan dengan darah ulama yang mempunyai komitmen dengan nilai nilai ajaran Islam, baik dari ayahanda maupun dari ibunda. Lebih-lebih, jika diruntut, silsilahnya sampai kepada Rasulullah SAW melalui Bindere Sa'ud (Bendoro Saud).
Dari jalur ayahandanya, Lora Mughni adalah putera KH. Abdul Mun'im. Sedang Kiai Abdul Mun’im adalah putera Kiai Mudarik. Adapun Kiai Mudarik sendiri adalah putera ke 4 Kiai Ismail, generasi kedua penerus Pondok Pesantren Kembang Kuning Pamekasan. Kiai Ismail adalah keponakan Kiai Mahalli, Pendiri Pondok Pesantren Kembang Kuning, yang pada tahun 619 M diangkat sebagai anak angkat Kiai Mahalli. Kakek Kiai Ismail adalah Kiai Nuruddin Gunung Tinggi Pakong, yang tidak lain adalah keturunan (dari jalur Kiai Batu Ampar Wetan) Bendoro Saud alias Temenggung Tirtonegoro, adipati Sumenep yang juga keturunan Pangeran Ketandur atau cucu dari Sunan Kudus.
Sedang dari jalur ibunda, Lora Mughni adalah keturunan para Raja Pamekasan melalui jalur KH. Bujuk Azhar (Ratoh Sidabulangan), penguasa Kraton Pamekasan Madura. Ibunda Lora Mughni berasal dari Desa Palesanggar, Kecamatan Pegantenan Pamekasan Madura. Kehidupan keluarganya terkenal sebagai keluarga santri.
Pada tahun 1937, Lora Abdul Mughni (yang akhirnya lebih populer dengan nama KH. Zaini Mun'im) kemudian menikah dengan keponakan Kiai Abdul Madjid Banyuanyar, Nyai Nafi’ah. Dari pernikahan ini beliau dikaruniai Allah dengan enam putera dan 1 puteri. Tiga putera beliau lahir di Madura, yaitu: 1) KH. Moh. Hasyim, BA. 2) Drs. KH. A. Wahid Zaini, SH. 3) Nyai Hj. Aisyah (kemudian dipersunting oleh KH. Hasan Abdul Wafi). Sedangkan keempat putera lainnya lahir di Tanjung Karanganyar Paiton Probolinggo, yaitu: 4) KH. Fadlurrahman, BA. 5) KH. Muh. Zuhri Zaini, BA 6) KH. Abdul Haq Zaini, Lc, dan 7) Drs. KH. Nur Chotim Zaini.
Latar Belakang Pendidikan
Sejak usia dini, Zaini muda telah mendapatkan pendidikan agama dari kedua orang tuanya, Nyai Hamidah dan KH. Abdul Mun’im. Menginjak usia 11 tahun, pada masa penjajahan Belanda, Zaini muda masuk sekolah Wolk School (Sekolah Rakyat) selama empat tahun (1917-1921). Selanjutnya, beliau memperdalam Al-Qur’an beserta tajwidnya kepada KH. M. Kholil dan KH. Muntaha, (menantu Kiai Kholil) di Pondok Pesantren Pademangan Bangkalan Madura. Setelah itu, pada tahun 1922 beliau melanjutkan proses belajarnya ke Pondok Pesantren Banyuanyar Pamekasan yang diasuh oleh KH. R. Abdul Hamid dan puteranya KH. Abdul Madjid.
Pada tahun 1925, beliau mulai merantau ke tanah Jawa dan mondok di Pesantren Sidogiri Pasuruan yang diasuh oleh KH. Nawawi. Di sini beliau hanya belajar satu tahun, karena ketika itu ayahandanya tercinta meninggal dunia. Sehingga, sebagai putera sulung, beliau harus pulang ke Madura, mengantikan posisi ayahandanya mengurus pertanian dan perdagangan, terutama pengoperasian pabrik sepatu dan pabrik koper yang telah diwariskan kepadanya.
Di usia 22 tahun, Zaini muda dapat mengendalikan dan mengembangkan usaha pertanian dan perdagangan ayahandanya. Adapun hasil usahanya, beliau gunakan untuk menimba ilmu ke Pondok Pesantren Tebuireng Jombang yang diasuh oleh KH. Hasyim Asy'ari (Pendiri Organisasi Nahdlatul Ulama). Di pesantren ini, beliau mempertajam ilmu agama dan ilmu bahasa Arab pada tingkatan yang lebih atas lagi, baik kepada Kiai Hasyim, KH. Maksum bin Kuaron Seblak (menantu Kiai Hasyim) maupun kepada KH. Wahid Hasyim (Putera Kiai Hasyim).
***
Pada pertengahan tahun 1928 bersama dengan nenek, ibu dan adik kandungnya, Zaini muda berangkat ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji dan menetap di Sifirlain untuk menuntut ilmu. Beliau belajar di Makkah selama lima tahun. Adapun para ulama yang menjadi guru beliau antara lain: KH. M. Baqir (berasal dari Yogyakarta), Syekh Umar Hamdani AI Maghribi, Syekh Alwi Al Maliki (Mufti Maliki di Makkah), Syekh Sa’id Al-Yamani (mufti Syafi’i di Makkah), Syekh Umar Bayunid (mufti Syafi’i di Makkah), Syekh Yahya Sangkurah (berasal dari Malaysia), dan Syekh Syarif Muhammad bin Ghulam As¬-Singkiti.
Sebelum pulang ke tanah air, beliau sempat mukim di Madinah selama enam bulan. Di sini beliau mengikuti berbagai pengajian di Masdjid Nabawi dari beberapa ulama terkemuka saat itu, di antaranya dari Syekh lbrahim Al-Barry.
Pada tahun 1934, Zaini muda pulang ke tanah air dan langsung menetap di Madura. Sejak tahun itu beliau akrab dipanggil KH. Zaini Mun’im, Pemimpin dan Pengasuh Pondok Pesantren Panggung Galis Pamekasan.
Kepribadian
Kiai Zaini merupakan sosok ulama yang sangat mulia. Pertama, meski berasal dari keturu¬nan Kiai dan bangsawan serta memiliki status ekonomi yang mapan, tapi beliau merupakan sosok ulama yang sangat populis. Dalam kesehariannya, beliau tidak pernah mengikutsertakan latar belakang keluarga¬ dan gelar ke¬bangsawanannya, yaitu raden. Padahal gelar ini umumnya selalu dibawa dan dipakai oleh orang orang Madura, termasuk para ulamanya yang memang berhak menyandangnya.
Kedua, jujur dan ikhlas. Kejujuran, ketekunan dan keikhlasan Kiai Zaini dalam mencari ilmu, sudah tertanam sejak masa mudanya. Paling tidak, sejak beliau mondok di Tebuireng, di mana Kiai Hasyim Asy'ari sendiri memberi julukan Zaini al¬khalisi, Zaini yang ikhlas.
Ketiga, hidup sederhana. Bagi Kiai Zaini, hidup sederhana adalah prinsip hidup yang mudah diterima masyarakat. Ini kemudian beliau terapkan kepada putera-puterinya. Dari segi berpakaian, beliau selalu membelikannya dari bahan bahan yang wajar, sebagaimana layaknya orang kebanyakan. Tujuannya, agar putera putrinya bisa hidup sederhana, sehingga tidak terjadi garis pemisah dengan masya¬rakat sekitamya.
Keempat, memuliakan dan menghormati orang lain. Ini terlihat ketika beliau ditahan Belanda di ruang penjara Probolinggo. Kala itu, ada shalat jama’ah dengan imam yang biasanya dipimpin oleh Bapak Mulyadi. Mengetahui Kiai Zaini datang, segera Pak Mulyadi mempersilahkan beliau untuk memipin shalat. Tapi Kiai Zaini menolaknya. Karena beliau datang belakangan dari Pak Mulyadi. Akhirnya, Pak Mulyadi yang bertindak sebagai imam, sementara beliau makmumnya.
Kelima, dalam menghadapi berbagai persoalan yang terjadi dalam masyarakat, beliau juga sangat tekenal dengan sikap yang longgar dan hati hati. Misalkan, meski dalam masalah hukum beliau sangat ketat, baik untuk dirinya sendiri, keluarga dan santrinya, tapi jika dengan orang lain, beliau memper¬lakukannya dengan sangat longgar. Sikap ini terlihat ketika seorang pengusaha menanyakan pada beliau tentang hukum berhubungan dengan bank. Ditanya demikian, beliau balik bertanya, “sampeyan menanyakan hukum itu pada diri saya pribadi atau apa yang sudah diputuskan NU dalam mukta¬marnya di Menes Jabar? Jika pendapat saya pribadi, hukumnya haram. Tapi jika keputusan NU itu ada tiga; haram, mubah dan ikhtilaf.”
Sementara sikap kehati hatian dalam menghadapi persoalan yang timbul di masyarakat, tampak ketika beliau memberikan pesan terhadap santrinya yang hendak pulang ke kampung halamannya, “dalam masa setahun atau dua tahun, janganlah ikut campur dalam persoalan di masyarakat. Tapi lihat dulu, bagaimana situasi dan kondisi masyarakat sesungguhnya. Setelah kamu betul betul tahu dan paham tentang seluk beluk masyarakat, silahkan kamu mulai terjun dan mengabdi pada masyarakat.”
Keenam, beliau terkenal gigih dan berani dalam memperjuangkan keadilan bagi masyarakat. Misalnya, suatu saat ada ketidakadilan dalam pembagian air (irigasi) untuk masyarakat petani, lalu beliau datang sendiri dan berkata kepada si penjaga irigasi, “apa kamu takut untuk melawan orang yang memaksamu untuk berbuat tidak adil? Jika takut, mari bersama saya menghadapnya.”
Ketujuh, bercita cita tinggi, lebih-lebih pada hal yang bersifat keilmuan. Cita-cita dan orientasi keilmuan Kiai Zaini ini, tercermin dari keinginan dan cita cita beliau untuk menjadikan seluruh masyarakat Indonesia menjadi masyarakat pesantren, yaitu masyarakat yang dijiwai oleh tiga prinsip hidup: 1) Masyarakat yang mementingkan hal hal yang menjadi fardlu ‘ain, 2) Masyarakat yang menjauhi segala dosa dosa besar, dan 3) Masyarakat yang senantiasa membina hubungan baik antara manusia dengan Allah dan antar sesama manusia.
Kedelapan, bersikap demokratis. Kepada santri-santrinya, beliau tidak pernah membeda-bedakan antara satu santri dengan santri lainnya karena perbedaan status keluarga di rumahnya. Menurut beliau, santri itu harus berdiri sama tegak dan duduk sama rendah.
Kesembilan, berfikir strategis. Selain ilmu agama, Kiai Zaini juga menaruh perhatian kepada ilmu umum. Ini terlihat dari ungkapan beliau, “saya mendirikan Pesantren Nurul Jadid ini tidak ingin hanya mencetak Kiai saja, tapi juga insan yang beriman dan punya komitmen tinggi terhadap perjuangan, di mana pun mereka berada dan sebagai apa pun. Saya menginginkan agar para santri ini ada di mana-¬mana, se¬hingga jika kita ke mana saja, ke departemen departemen yang ada di Indonesia, ini ada santrinya.”
Berangkat dari ungkapan di atas, beliau tidak pernah melarang para santrinya menjadi pegawai negeri. Padahal waktu itu umat Islam seakan akan anti pegawai negeri. Mengenai sikap beliau ini, Kiai Zaini bekata, “jika posisi itu tidak kita pegang, pasti orang luar yang akan memegangnya. Apa kita semua rela jika Islam dikendalikan oleh orang orang non muslim? Yang tahu membangun Islam adalah orang Islam sendiri, maka orang Islam harus masuk di dalamnya.”
Kesepuluh, sebagai pendidik, beliau sangat perhatian terhadap perkembangan santri-santrinya, baik yang masih berstatus santri aktif dan menetap di pesantren, maupun santri yang sedah menjadi alumni dan hidup di tengah masyarakat. Ini sepeti yang diceritakan oleh KH. Badri Masduki, Pengasuh Pondok Pesantren Baddridduja, Kraksaan Probolinggo. “Sam¬pai sekarang, saya belum menemukan orang yang lebih telaten dari beliau dalam hal ngopeni santri. Bukan saya yang sering sowan kepada beliau, tapi justru beliau yang sering mengunjungi saya ke Kraksaan. Beliau selalu memotivasi saya agar terjun ke masyarakat. Padahal kala itu hati saya sangat berat untuk keluar. Tapi beliau selalu mengunjungi saya dan mengajak terjun langsung ke masyarakat, turba ke ranting ranting NU, diajak mengikuti konferensi NU dsb. Akhirnya, saya kemudian bisa aktif terjun ke masyarakat dan aktif di Rais Syuriaah NU Cabang Kraksaan dan Syuriah NU Wilayah Jawa Timur. Ini semua berkat ketelatenan beliau dalam mengkader dan mendidik saya. Bagi saya beliau itu bukan hanya sekedar guru, tapi juga orang tua saya sendiri.”
Kiai Zaini Sebagai Pejuang
Semangat melawan penindasan, ketidakadilan dan kesewenang wenangan telah tertanam di dalam diri KH. Zaini Mun’im. Ini terlihat sejak masa mudanya, terutama setelah beliau pulang dari Makkah (1934). Ketika itu, beliau mulai memperhatikan berbagai persoalan yang melilit kehidupan masyarakat sekitarnya dan terlibat langsung dalam kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat banyak, khususnya dalam bidang sosial-ekonomi, beliau aktif dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU) di Pamekasan. Meski sebagai Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Panggung Galis, beliau tidak segan segan ikut terjun langsung menangani berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat, terutama tentang kebijakan pemerintah Kolonial Belanda di bidang pertanian (tembakau).
Selain itu, beliau juga aktif terlibat sebagai pejuang dalam mempertahankan NKRI, baik pada masa pendudukan Jepang dan Belanda. Pada masa Jepang beliau dipercaya sebagai pimpinan Barisan Pembela Tanah Air (PETA). Selanjutnya, beliau juga dipercaya sebagai pimpinan Sabilillah ketika melakukan Serangan Umum 16 Agustus 1947 terhadap bala tentara Belanda yang menguasai Kota Pamekasan
Berjuang di NU
Sekira tahun 1951, Kiai Zaini kedatangan tamu istimewa, yaitu KH. Hasan Sepuh Genggong, KH. Abdul Latif dan KH. Fathullah (Pengurus NU Cabang Kraksaan) untuk mengajak agar Kiai Zaini bersedia berjuang membina warga melalui organisasi NU Cabang Kraksaan. Ajakan ketiga Kiai ini kemudian beliau sambut dengan tangan terbuka.
Pada tahun 1953, Rais Syuri’ah NU Cabang Kraksaan, KH. Abdul Latif meninggal dunia. Sebagai gantinya, Kiai Zaini dipilih dan diangkat menjadi Rois Syuriyah NU Cabang Kraksaan hingga tahun 1975.
Sementara pada muktamar NU ke 21 di Medan (Sumatera Utara) Desember 1956, Kiai Zaini terpilih sebagai salah satu anggota dewan Partai NU dari 79 orang yang terpilih. Sejak menjadi anggota dewan Partai NU ini, keterlibatan beliau di bidang politik Nasional mulai menonjol
Selanjutnya, pada tahun 1960, Kiai Zaini terpilih sebagai Wakil Rois Pengurus Wilayah (PW) NU Jawa Timur.
Sebagai tokoh NU, Kiai Zaini enggan jika ummat dikotak-kotakkan atau dibeda bedakan. Bahkan beliau marah jika perselisihan yang ada antara NU dan Muhammadiyah itu terus dipertajam. Beliau lebih suka mencari persamaan persamaannya daripada mempertajam perbedaaannya, meski beliau mengakui jika di antara keduanya tetap ada perbedaan.
Selama berjuang di NU, Kiai Zaini tidak hanya memikirkan masalah agama, tapi juga memikirkan masalah kemasyarakatan dan kenegaraan. Menurut Kiai Zaini, bagaimana ummat Islam merasa dirinya sebagai pejuang Islam. Pendapat ini tercermin dari fatwa yang pernah beliau katakan, “orang yang hidup di Indonesia kemudian tidak melakukan perjuangan, dia telah ber¬buat maksiat. Orang yang hanya memikirkan masalah ekono¬minya saja dan pendidikannya sendiri, maka orang itu telah berbuat maksiat. Kita semua harus memikirkan perjuangan rakyat banyak, bagaimana agar hukum hukum Allah yang ada dalam Al-Qur’an, baik yang tersirat maupun yang tersurat, dapat berlaku di bumi Indonesia.”
Ide Dasar Kembali ke Khittah NU 1926
Ketika NU mengadakan Muktamarnya yang ke 25 pada tanggal 20 s/d 25 Desember 1971 di Surabaya, dasar dasar pemikiran untuk kembali ke Khittah sudah dimunculkan oleh Kiai Zaini. Saat itu beliau meminta agar program prog¬ram NU dapat dipisahkan antara kegiatan politik dan kegiatan kemasyarakatan, menjelang menghadapi sistem perpolitikan di Indonesia mendatang.
“Jika NU tidak mau memisahkan secara jelas antara kegiatan politik dan kemasyarakatannya, maka Islamnya yang akan menjadi korban,” tegas Kiai Zaini.
Tapi, karena saat itu sayap politik tokoh tokoh NU masih sangat kuat dan KH. Idham Chalid masih memiliki pengaruh besar, maka keinginan (politic feeling) Kiai Zaini itu belum bisa menjadi keputusan Muktamar.
Namun dua tahun kemudian, pernyataan Kiai Zaini di atas terbukti. Pada tahun 1973, terjadi perubahan sistem per¬politikan di Indonesia; peleburan dari banyak partai menjadi dua partai politik: Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Adapun Golkar, murni tidak melakukan fusi. Sementara Partai NU memfusikan aspirasi politiknya ke dalam PPP.
Sebagai Pendiri dan Pengasuh Pesantren Nurul Jadid
Ketika datang di Desa Tanjung (sekarang Karanganyar), mulanya Kiai Zaini tidak bermaksud mendirikan lembaga pendidikan pesantren, tapi hanya ingin mengisolasi diri dari keserakahan dan kekejaman penjajah. Tentang dakwah, beliau akan tempuh melalui Departemen Agama. Selanjutnya, be¬liau hendak melanjutkan perjalanannya ke pedalaman Yogyakarta, menemui teman teman seperjuangannya.
Tapi sebelum cita cita luhur itu terealisasi, beliau telah mendapatkan amanah berupa dua orang santri: Syaifuddin (Sidodadi Paiton) dan Syafiuddin (Gondosuli Kotaanyar Paiton). Saat itu, mereka berdua ditem¬patkan di surau kecil yang kala itu selain berfungsi sebagai tempat shalat, juga untuk ruang tamu, mengajar dan tempat tidur santri. Karena ada titipan dua santri itu, lalu beliau mengurungkan niat semula dan menetap di Karanganyar. Pilihan ini kemudian bertambah bulat, seiring meningkatnya jumlah santri yang berguru kepada beliau. Di antaranya adalah Muyan, Abdul Mukti, Arifin Makyar, Syam¬suddin, Baidlawi dan Jufri. Akhirnya, bersama sama para santri, Kiai Zaini mulai merintis beridirinya Pondok Pesantren Nurul Jadid.
Mendirikan Lembaga Pendidikan
Pada masa Kiai Zaini, lembaga pendidikan yang beliau dirikan antara lain: Pertama, Madrasah Ibtidaiyah Agama (MIA,1950). Kedua, taman kanak-kanak Nurul Mun’im dan lembaga pendidikan al-khairiyah.
Ketiga, Flour Kelas. Lembaga ini pada tahun 1961, berubah nama menjadi Mu’allimin. Selanjutnya pada tahun 1969, berubah menjadi Madrasah Tsanawiyah (MTs). Dan selang tiga tahun kemudian, status MTs ini dinegerikan.
Keempat, pada tahun 1974, berdiri Sekolah Dasar Islam (SDI). Dua tahun kemudian, SDI berubah nama menjadi Madrasah Ibtidaiyyah Nurul Mun’im (MINM).
Kelima, pada tahun 1975, didirikan lembaga Pendidikan Guru Agama Nurul Jadid (PGANJ) berjenjang 6 tahun. Tapi dalam proses perjalanannya, PGANJ ini hanya bertahan tiga tahun.
Keenam, Pada tanggal 1 September 1968, didirikan pendidikan Akademi Dakwah dan Pendidikan Nahdlatul Ulama (ADIPNU).
Sebagai Muballigh
Sebagai muballigh, Kiai Zaini menerapkan dua model dakwah. 1) dakwah bi lisani hal dan 2) dakwah bi lisanil maqal. Dalam aplikasinya, biasanya beliau lebih mendahulukan dakwah bi lisani hal dari pada dakwah bi lisanil maqal.
Dakwah bil Hal
Ke¬tika pertama kali datang di Dusun Tanjung Desa Karanganyar, Kiai Zaini langsung mempelajari situasi dan kondisi ekonominya. Ketika itu Desa Karanganyar terkenal sebagai pusatnya bromocorah, pelacuran, perjudian dan sebagainya. Sementara di sisi lain, beliau melihat bahwa tanah di sini dapat dikatego¬rikan sebagai tanah yang produktif, hanya saja masyarakatnya belum bisa memanfatakannya dengan baik.
Mulanya, Kiai Zaini merubah tanah milik beliau dari tegalan menjadi ladang dan sawah. Kemudian tanah itu beliau tanami jagung. Hasilnya? Ternyata cukup memuaskan. Melihat hasil tanaman milik beliau, kepala desa dan masyarakat Karanganyar terkagum-kagum. Hingga kemudian mereka tidak menolak ketika Kiai Zaini mengajak untuk bersama-sama membu¬at dan membangun jaringan irigasi untuk tanah persawahan, serta membuat sumur jika musim kemarau.
Selanjutnya, beliau menge¬nalkan pada masyarakat berbagai jenis tanaman, antara lain; tana¬man jagung, palawija, tebu rakyat dan akhirnya tanaman tembakau yang bibitnya diambilkan dari Madura.
Ketika pertama kali memperkenalkan tanaman tembakau, beliau mendapat respon negatif dari masyarakat. Menurut mereka, tanaman tembakau tidak bisa dimakan. Tapi dengan penuh kesabaran dan ketelatenan, beliau tetap menanam tembakau dan selanjutnya memberi pemahaman terhadap masyarakat bahwa, tanaman tembakau memang tidak untuk dimakan. Tapi untuk bahan pokok membuat rokok.
Setelah memperoleh pemahaman dan bukti dari Kiai Zaini, akhirnya masyarakat Karanganyar kemudian berbondong-bondong menanam tembakau. Adapun tanaman tembakau, selanjutnya menjadi tanaman andalan dan sandaran hidup masyarakat sekitar Karanganyar. Buktinya, ketika akan mengadakan suatu hajatan, mereka selalu bilang, “tunggulah nanti pada musim tembakau.”
Dakwah bil Maqal
Dalam menggunakan dakwah bi lisani maqol, Kiai Zaini tidak pernah mengenal waktu, tempat dan sama sekali tidak membeda-bedakan derajat masyarakat yang mengundangnya. Acara sekecil apa pun, beliau selalu mengusahkannya untuk datang.
Dalam berdakwah, Kiai Zaini selalu mengajak masyarakat untuk cinta pada agama dan tanah air Indonesia. Selain itu, beliau juga memotivasi mereka agar selalu berupaya meningkatkan kesejahteraan dan memerangi kemiskinan, kebodohan, kemasalan dan sebagainya.
Pada tahun 1968, di Indonesia mulai muncul kristenisasi. Merespon gejala ini, beliau berpendapat agar kegiatan dak¬wah di kalangan umat Islam secara keseluruan ditingkatkan. Para da’i perlu membekali dirinya dengan kemampuan teoritis dan ilmiah. Sehingga mereka mempunyai wawasan yang luas dan bisa melakukan misi dakwah terhadap masyarakat kelas menengah ke atas, terutama kepada mereka yang berada di berbagai instansi pemerintahan dan swasta.
Demi merealisasikan gagasan tersebut, Kiai Zaini mengadakan up grading dakwah dan pendidikan agama secara periodik. Gagasan beliau ini kemudian disambut positif oleh para tokoh masyarakat. Hingga kemudian, muncullah pemikiran-pemikiran baru agar kegiatan up grading itu lebih ditingkatkan lagi menjadi semacam lembaga yang bersifat per¬manen dengan kurikulum yang sistematis dan prospektif.
Berangkat dari aspirasi masyarakat itu, beliau kemudian melakukan konsultasi kepada beberapa ahli, di antaranya dengan Prof. Ismail Yakub, Rektor pertama IAIN Sunan Ampel Surabaya. Kepada Kiai Zaini, Prof. Ismail menyarankan agar mendirikan Akademi Dakwah. Tawaran ini beliau respon positif. Selanjutnya beliau menawarkannya ke dalam musyawarah kerja Pengurus Wilyah NU Jawa Timur di Lumajang. Hingga kemudian, pada tanggal 20 Juli 1968, dibentuklah panitia usaha pendidikan Akademi Dakwah dan Ilmu Pendidikan Nahdlatul Ulama (AD1PNU). Selanjutnya, pada tanggal 1 September 1968, di Pesantren Nurul Jadid didirikan ADIBNU (sekarang IAINJ)
Demikianlah kegigihan dan keseriusan Kiai Zaini dalam menyiarkan dan menyebarluaskan ajaran ajaran agama Islam. Bahkan, demi dakwah Isla¬miyah beliau tidak mengenal usia. Buktinya, tiga hari sebelum meninggal dunia (Rabu, 22 juli 1976), beliau masih sempat dan tetap bersemangat melakukan dakwah di Desa Bula Jaran Kecamatan Gending Probolinggo. Di tengah beliau menyampaikan pidatonya, tiba tiba badan beliau mera¬sa tidak enak. Sehingga beliau harus meninggalkan tempat pengajian sebelum acara selesai. Sesampainya di rumah, kesehatan beliau semakin menurun dan dinyatakan terserang penyakit darah tinggi, sehingga tidak sadarkan diri dan dilarikan ke Rumah Sakit Islam Surabaya. Pada tanggal 26 Juli 1976 pukul 04.00 Wib akhirnya beliau wafat, menghadap Ilahi Rabbi. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji’uun.
0 komentar:
Posting Komentar